• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

4.2 Profil Informan

1. Informan yang Berasal dari Masyarakat Pendatang

1. Nama : Nur Janah Zaini

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 47 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : pedagang

Suku : Jawa

Daerah Asal : Pekalongan

Nur Janah Zaini merupakan salah seorang pendatang di Gampong Keude Matangglumpangdua. Awal kedatangnya ke Aceh yaitu pada tahun 1994 dengan alasan ingin membuka usaha di Aceh. dia memiliki saudara yang sudah lebih dulu tinggal dan menetap di Aceh dan saudaranya itu juga yang menyarankannya untuk membuka usaha di Aceh. Nur Jana Zaini bekerja sebagai pedagang jamu sedangkan suaminya bekerja sebagai pedagang bakso. tapi tidak bertahan lama dia kembali lagi ke kampung halamannya karena takut dengan perang saat itu antara aparat GAM dengan aparat Indonesia. Dia kembali lagi ke Aceh pada tahun 2000

dengan alasan ingin kembali lagi ke Aceh dan melanjutkan usaha dagangnya dan suami yang sempat terhenti akibat konflik GAM.

Nur Janah Zaini mengaku di dalam gang rumahnya hanya dirinya yang merupakan orang pendatang. dia sendiri tidak terlalu dengan dengan tetangga-tetangganya karena dia sendiri terlalu sibuk berdagang yaitu dari pagi sampai sore. Bahkan sore harinya dia harus mengerjakan olahan jamu yang untuk di jual esok harinya.

Nur Janah Zaini mengatakan bahwa dia bisa berbahasa Aceh. selama dia tinggal di Aceh dia sendiri berusaha untuk belajar bahasa Aceh agar mudah berbaur dengan masyarakat dan agar tidak ada terjadi salah faham. Apalagi dia bekerja sebagai pedagang jamu yang memaksanya untuk bisa berbahasa Aceh supaya mudah untuk menjajakan jamunya kepada masyarakat. Dia mengatakan bahwa setelah belajar bahasa kemudian dia belajar mengenal budaya masyarakat lokal karena menurutnya dia sudah menetap di Aceh berarti dia harus siap untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal. Dalam sehari-hari dia menggunakan bahasa Aceh dalam Interaksi.

Menurut pengakuan Nur Janah Zaini ketika dia berbicara bahasa Indonesia ada beberapa dari masyarakat lokal yang mengomentari seperti “kau kan tinggal di Aceh jadi kau harus pakai bahasa Aceh”. ada juga ketika sedang berjualan jamu dan pakai bahasa Indonesia ada juga beberapa yang mengomentari seperti “han ek loen, nyan keun bahas loen” (gak mau saya, itu bukan bahasa saya). Munurutnya masyarakat lokal tidak mau menerima dia (masyarakat pendatang) menggunakan bahasa Indonesia. Menurutnya walaupun bahasa Aceh yang dia gunakan

bersalahan tetapi tetap saja dia menggunakanya. Walaupun tidak sedikit yang tertawa mendengarnya menggunakan bahasa Aceh dengan logat Jawa.

Nur Janah Zaini mengatakan bahwa dia tidak pernah mendengar ada aturan daerah yang mengatur masyarakat pendatang baik itu tentang bahasa dan yang lainnya. Tapi dia sendiri yang ingin mengikuti adat dan tradisi di Aceh, supaya enak dan tidak ada masalah tinggal di Aceh, asalkan jangan kita yang diganggu, gitu katanya.

Nur Janah Zaini mengatakan bahwa untuk berinteraksi dia tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan sukunya. Mengingat orang-orang disekitarnya adalah orang Aceh. dia mengaku tidak pernah terlalu dekat dengan orang Aceh di sekitar rumahnya karena menurutnya orang Aceh suka iri melihat masyarakat pendatang yang sukses di Aceh.

Nur Jana Zaini mengatakan bahwa menurutnya masyarakat Aceh tidak sopan, mereka sering memanggil dirinya yang sudah tua dengan sebutan “kah”

(kau). Bahkan sering kali di olok-olok ketika sedang berkeliling untuk menjual jamu.

2. Nama : Yulisda

Umur : 46 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Daerah Asal : Padang Pariaman

Yulisda merupakan salah seorang pendatang di Gampong Keude Matangglumpangdua pada tahun 2000. Dia datang ke Aceh dengan alasan mengikuti suaminya yang merupakan penduduk asli Gampong Keude Matangglumpangdua. Sebelumnya dia tinggal di Medan sebagai perantauan yang mengikuti kakaknya untuk berjualan nasi padang. Di Medanlah dia bertemu suaminya dan menikah di Medan. Lalu oleh suaminya dia dibawa ke kampung halamannya yaitu di Gampong Keude Matangglumpangdua.

Di gampong ini yulisda tinggal besama keluarga besar daru suaminya. Dia mengatakan bahwa di awal kedatangannya dia sedikit susah untuk berinteraksi karena semua orang di gampong ini menggunakan bahasa Aceh. bahkan di awal kedatangannya dia pernah mendengar kakak iparnya berkata bahwa semua orang padang itu jahat-jahat. Ini membuatnya sakit hati dan dia bertekat untuk membuat mereka merubah penilaian mereka terhadap orang padang. Bahkan ketika ada

khenduri nikahan adik iparnya dia pernah di tuduh sebagai pencuri sendal oleh kakak iparnya sendiri. Selain orang padang jahat-jahat mereka juga menganggap orang padang pancilok (pencuri).

Yulisda di awal kedatangannya ke Gampong ini dia dituntut oleh salah seorang yang mengakunya sebagai aparat GAM untuk menggunakan bahasa Aceh dalam sehari-hari. Inilah awalnya yulisda belajar bahasa Aceh dan menggunakannya dalam sehari-hari. Ketika awal-awal dia pakai bahasa Aceh banyak sekali yang bahkan menertawainya karena menggunakan bahasa Aceh tetapi logatnya tetap dengan logat bahasa Indonesia. Tapi itu tidak membuatnya

berhenti. Dia tetap menggunakan bahasa Aceh hingga sekarang dia malah sudah sangat lancar menggunakan bahasa Aceh.

Dalam sehari-hari dia menggunakan bahasa Aceh dan menggunakan bahasa Indonesia dengan sesama pendatang dan terkadang juga menggunakan bahasa Padang jika sesekali bertemu dengan orang yang sama-sama dari suku Padang. Walaupun tidak ada qanun (Peraturan Daerah) yang mewajibkan masyarakat pendatang tidak boleh menggunakan bahasa daerah asalnya tapi ejekan-ejekan dari masyarakat lokal yang mendengan tetap ada.

Selain alasan di atas, yulisda menggunakan bahasa Aceh dalam sehari-hari dengan alasan karena di Gampong Keude Matangglumpang dua mayoritas dari suku Aceh dan keseluruhan menggunakan bahasa Aceh dalam sehari-hari, jadi mau tidak mau harus bisa bahasa Aceh agar tidak sulit mengerti apa yang mereka katakan. Apalagi yulisda bekerja sebagai pendagang, menurutnya akan susah jika tidak bisa bahasa Aceh.

Menurut yulisda tidak pernah ada aturan yang membatasai masyarakat pendatang, hanya saja untuk pendatang yang beragama islam diharapkan memakai jilbab ketika datang ke Aceh. Menurutnya dia tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan sukunya dalam berinteraksi karena menurutnya semua orang layak ditegur dan disapa. Walaupun bergitu yulisda memiliki beberapa angapan terhadap masyarakat lokal (Aceh), yang dilihatnya dari orang-orang disekelingnya baik itu tetangga, keluarga dan lain-lain.

3. Nama : Ranti

Umur : 63 tahun

Agama : Budha

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pedagang

Suku : Tionghoa

Asal Daerah : Tiongkok

Ranti merupakan salah seorang pendatang dari suku Tionghoa, ibunya yang membawanya pertama kali ke Gampong Keude Matangglumpang dua saat itu dia masih sangat kecil. Bahkan SD pun dia bersama-sama dengan masyarakat Aceh dan menurut saya mereka baik. Dia mengaku bahwa untuk berinteraksi dia tidak pernah menbeda-bedan orang berdasarkan sukunya hanya dia akan menyusuaikan diri, jika bertemu degan sesama China dia akan berbicara dengan bahasa China kalau bertemu dengan orang Aceh yang tidak bisa bahasa Indonesia ya dia menggunakan bahasa Aceh. kalau bertemu dengan masyarakat Pendatang yang tidak bisa bahasa Aceh ya dia menggunakan bahasa Indonesia.

Menurut Ranti tidak pernah ada aturan daerah yang mengatur masyarakat pendatang, hanya saja menurutnya harus menyesuaikan diri dengan masyarakat Aceh yang menggunakan syariat islam. Dalam berpakaian misalnya, dia mengaku jika memakai celana pendek atau rok pendek di dalam rumah dan jika keluar rumah dia akan memakai rok atau celana panjang.

Ranti mengaku dengan pekerjaannya yang sebagai pedagang tak banyak kegiatan sosial yang dia ikuti bersama dengan masyarakat lokal. Bahkan kegiatan gotong-royong pun dia tidak pernah ikut, sibuk alasannya. Dalam berbahasa Ranti sudah memakai bahasa Aceh sejak dia kecil. Dan tidak ada keterpaksaan untuknya menggunakan bahasa Aceh. Bahkan susah menurutnya jika tinggal di Aceh dan tidak tahu bahasa Aceh karena di Gampong Keude Matangglumpang dua ini mayoritas menggunakan bahasa Aceh dan apalahi saya sebagai pendagang akan susah jika tidak tahu bahasa Aceh.

4. Nama : Suprial

Umur : 23 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Pedagang

Suku : Mandailing

Agama : Islam

Daerah Asal : Medan

Suprial merupakan anak dari seorang pedagang salak yang belum lama datang dan menetap di Gampong Keude Matangglumpang Dua yaitu pada awal tahun 2014. Dia memilih pindah ke Aceh untuk berdagang karena mendapat masukan dari saudaranya, saudaranya yang sudah terlebih dahulu menetap di Aceh. Suprial mengaku dari awal hingga sekarang dia menetap di Gampong Keude Matangglumpang Dua belum pernah terlibat masalah antara dia dengan masyarakat lokal. Dia mengaku hubungannya dengan masyarakat lokal baik-baik

saja. Menurutnya dia sebagai pendatang memanglah harus menyesuaikan diri di tempat yang dia datangi agar dapat berinteraksi dengan baik apalagi dia yang merupakan seorang pedagang.

Saat berdagang suprial bertetangga dengan masyarakat lokal namun berbeda barang dagang. Dia mengakut hubungannya baik-baik saja dengan pedagang-pedagang di sekitarnya. Namun tidak banyak interaksi antara pedagang karena masing-masing sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.

Suprial mengaku selama dia menetap di Gapong ini dia berusaha untuk belajar bahasa Aceh dan memakainya dalam sehari-hari. Menerutnya memang seharusnya dia belajar mengerti dan menggunakan bahasa masyarakat lokal agar mudah memahami apa yang dimaksut oleh pembelinya. Dia mengaku tidak semua dari bahasa Aceh dia ketahui, masih terlalu banyak yang dia belum ketahui tetapi menurutnya tidak masalah walaupun pembendaharaan katanya dalam bahasa Aceh masih sedikit tetapi dia tetap memakainya. Walaupun tak jarang banyak orang yang menertawainya dengan bahasa Acehnya yang kurang pas dan logat yang salah.

Selain mencoba berbahasa Aceh, Suprial terkadang juga menggunakan bahasa Batak yang merupakan bahasa ibunya. Tidak jarang beberapa komentar dari yang mendengar ketika dia menggunakan bahasa Batak seperti “ngomong apa itu kalian? Bahasa planet ya?” dan tak jarang yang tertawa mendengarnya. Selain itu, ketika menggunakan bahasa indonesia tak jarang juga orang langsung bertanya tentang suku, seperti “suku apa kok ngomong bahasa indonesia?”. Menurutnya ketika ada orang yang berbicara dalam bahasa Indonesia pasti ada

saja yang langsung menanyai seperti “bukan orang Aceh ya? Dari mana? Suku apa?” dan dalam setiap akhir kata menyuruh untuk belajar menggunakan bahasa Aceh seperti “ belajar bahasa Aceh ya karena kalau udah tinggal di Aceh harus bisa bahasa Aceh”.

Suprial mengaku dalam berinteraksi dia tidak memilih-milih orang apakah dia dari masyarakat pendatang atau dari masyarakat lokal. Menurutnya jika orang lain baik terhadapnya maka dia harus baik juga terhadap orang tersebut. Tetapi selama dia menetap di Gampong ini ada beberapa kata yang dia dengar oleh masyarakat lokal menyebut tentang orang suku batak. Mereka sering mengatakan bahwa orang dari suku batak adalah pelit. Tetapi dia mengaku menanggapinya dengan santai dan tak ambil masalah. Karena dia datang dan menetap di gampong ini hanya karena mencari rezeki jadi dia mengaku untuk tidak ingin membuat masalah dengan masyarakat lokal.

Sebagai pendatang baru saat itu dia pernah mendengar secara tidak langsung tentang peraturan terhadap masyarakat pendatang yaitu tentang kewajiban memakai pakaian yang menutup aurat. Dan tentang peraturan tersebut menurutnya bukan hal yang memberatkan, karena memang sejak di daerah asalnya dia juga sudah memakai pakaian yang menutup aurat.

2. Informan yang Berasal Dari Masyarakat Lokal

1. Nama : Rusdi

Umur : 27 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Pedagang

Rusdi merupakan salah seorang masyarakat lokal yang merupakan seorang pedagang elektronik. dalam interaksi dia tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan sukunya. Tetapi menurutnya jika dalam hal memilih sahabat, tetangga, dan pasangan hidup dia lebih memilih yang berasal dari suku yang sama dengannya karena menurutnya orang yang berbeda suku pasti memiliki watak yang berbeda, akan perlu adaptasi yang lebih lama menurutnya.

Rusdi memiliki beberapa pandangan terhadap masyarakat pendatang yaitu Suku Padang yang baik dan ramah, menurut Rusdi Suku Padang sangat mirip dengan Suku Aceh yang baik dan ramah, Suku Batak yang kasar, Suku China yang sangat tertutup, dan Suku Jawa yang pekerja keras, suka menipu, agak sombong, keras kepala dan penjilat. Menurut Rusdi dia tidak pernah merasa bermasalah dengan kehadiran masyarakat pendatang, selama masyarakat pendatang yang datang ke Gampong ini masih sesuai dengan syariat islam yang sangat di junjung oleh masyarakat lokal.

Menurut Rusdi tidak masalah jika ada dari masyarakat pendatang yang masuk ke dalam sistem pemerintahan Gampong Keude Matangglumpang dua

asalkan tidak korupsi dan harus bisa beradaptasi dengan masyarakat lokal, karena menurut Rusdi mereka (masyarakat pendatang) jarang bisa beradaptasi dengan masyarakat lokal. Rusdi mengatakan bahwa dia tidak pernah mendengar tentang qanun (undang-undang) daerah untuk masyarakat pendatang tetapi menurutnya asalkan perilaku masyarakat pendatang tidak ada yang menyimpang dari syariat islam.

Dalam sehari-harinya Rusdi menggunakan bahasa Aceh dalam Interaksi, dan menurutnya semua masyarakat lokal memang harus menggunakan bahasa Aceh dengan alasan menjaga identitas suku. Rusdi ingin kebudayaan yang telah ada sejak nenek moyang mereka tetap dapat dijaga oleh pemuda-pemudi sebagai penerus adat.

2. Nama : Hidayatun Nufus

Umur : 20 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : pegawai toko

Hidayatun Nufus merupakan salah seorang masyarakat lokal Gampong Keude Matangglumpang Dua yang bekerja sebagai pegawai toko buku. Dia mengaku tidak banyak mengenal masyarakat pendatang tetapi dia mengatakan bahwa banyak mendengar tentang sifat ataupun perilaku masyarakat pendatang dari orang tuanya, teman-teman dan lingkungan kerjanya. Diantaranya Suku Jawa, Suku Batak, Suku Tionghoa, Suku Padang. Dia mengatakan bahwa sering sekali

dia mendengar masyarakat lokal mengatakan seperti orang Batak kotor, orang Jawa di depan baik tetapi di belakangnya buruk, orang China tukang tipu, orang Padang Baik hati, dan lain sebagainya.

Hidayatun Nufus pada awalnya berfikir kalau orang padang itu jahat-jahat, dia sering mendengar hal itu dari keluarganya. Seriring dia besar stereotipnya terhadap orang padang berubah, karena dia melihat istri adik ayahnya (cecek) yang orang padang namun baik hati menurutnya.

Hidayatun Nufus sendiri mengaku tidak pernah merasa masalah dengan adanya masyarakat pendatang, dia sendiri tidak membeda-bedakan orang dalam interaki. Tetapi jika dalam hal memilih sahabat dan pasangan hidup dia mengaku hanya mau dengan masyarakat lokal saja. Alasannya adalah karena tidak ingin pergi jauh dari Aceh dan menurutnya juga kenapa dia lebih memilih masyarakat lokal adalah karena dia tidak percaya dengan masyarakat pendatang yang menurutnya kebanyakan dari sifat mereka tidak bagus.

Sehari-harinya Hidayatun Nufus berbicara dalam bahasa Aceh. Menurutnya wajar saja karena semua orang di Gampong ini juga berbicara dengan bahasa Aceh, termasuk pendatang. Dia mengaku terkadang dia juga pernah menggunakan bahasa Indonesia ketika melayani pembeli di toko buku dan selalu saja ada tanggapan negatif dari yang mendengar. Menurutnya tidak ada masalah dengan masyarakat pendatang yang menggunakan bahasa Indonesia di gampong ini. Karena ini kan memang Negara Indonesia. Bahkan dia mengatakan jika ada orang yang melarang masyarakat pendatang untuk berbicara dengan bahasa

Indonesia itu berarti mereka kampungan. Ini kan Negara Indonesia bukan Negara Aceh, katanya.

Menurut Hidayatun Nufus, masyarakat pendatang selama ini tidak ada pengaruh buruk bagi masyarakat lokal. Karena kebanyakan dari masyarakat pendatang yang datang ke gampong ini adalah untuk berdagang dan tidak pernah membuat kekacauan. Tetapi masyarakat lokal sendiri yang terkadang menganggap buruk kehadiran pendatang. Menurutnya sisa-sisa masa referendum yang menjadikan sikap masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang. Pada masa referendum, semua masyarakat pendatang yang ada di Aceh di usir dari Aceh oleh aparat GAM baik itu Suku Jawa, Suku Tionghoa, Suku Batak, dan suku Padang.

Hidayatun Nufus mengaku tidak pernah mendengar tentang peraturan untuk masyarakat pendatang. Tetapi menurutnya memang seharusnya masyarakat pendatang yang datang ke Aceh harus mengikuti syariat islam dan harus menghargi masyarakat lokal yang keseluruhan merupakan agama islam. Dan masyarakat pendatang juga harus bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat lokal menurutnya. Dan terhadap masyarakat pendatang yang non-islam dia tidak merasa masalah. Asalkan mereka mau mengikuti syariat dan tidak membuat kekacauan. Hidayatun Nufus juga mengatakan bahwa dia setuju jika ada masyarakat pendatang non-islam yang ingin membangun rumah ibadah mereka di gampong ini.

Dari dulu sampai sekarang ini belum pernah ada aparatur gampong yang berasal dari masyarakat pendatang, tetapi menurutnya tidak masalah jka suatu saat ada dari masyarakat pendatang yang menjadi geuchik ataupun yang lainnya

asalkan memang itu yang terbaik. Tetapi menurut Hidayatun Nufus masyarakat lokal pasti akan lebih mengutamakan untuk memilih masyarakat lokal di bandingkan masyarakat pendatang. Dan dia sendiri mengatakan akan lebih mengutamakan memilih masyarakat lokal di bandingkan dengan masyarakat pendatang. Karena menurutnya dia lebih percaya dengan msyarakat lokal yang memimpin gampong.

3. Nama : Titin Suhartini

Umur : 31 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Guru Honor

Titin Suhartini merupakan salah seorang guru honorer SD di Gampong Keude Matangglumpang Dua, dia mengaku banyak bertemu dengan masyarakat pendatang dari berbagai suku diantaranya Suku Padang, Suku Batak, Suku Jawa, Suku Tionghoa. Dia mengaku tidak membeda-bedakan orang berdasarkan suku tertentu untuk sekedar menyapa dan berinteraksi. Tetapi lain halnya jika memilih sahabat maupun pasangan hidup dia hanya mau dengan masyarakat lokal juga yaitu Suku Aceh karena dia takut jika menikah dengan orang dari suku pendatang maka akan dibawa oleh suaminya ke kampung halamannya kelak. Dia mengaku bahwa dari kecil sampai sekarang dia belum pernah keluar dari Aceh, itu juga alasan yang membuatnya takut untuk masuk ke kota orang.

Titin Suhartini sendiri memiliki beberapa pandangan terhadap masyarakat pendatang yang mana pandangan ini dia ketahui dari ibunya. Terhadap Suku Batak, dia menganggap orang-orang dari Suku Batak adalah “kotor” dan dia sendiri jika melihat keponakannya yang sedang main kotor langsung dia bilang dengan “nyoe aneuk lage aneuk batak, kuto that” (ini anak kayak anak batak, jorok kali). Begitu juga dengan orang-orang dari Suku Tionghoa dia mengganggap mereka “kotor”. Sedangkan untuk orang-orang dari Suku Jawa dia mengatakan bahwa mereka baik, lembut, dan ramah. Dan dia mengaku belum banyak mengenal orang-orang dari Suku padang. Yang dia tahu bahwa tetangganya yang merupakan Suku Padang adalah baik.

Untuk masyarakat pendatang Titin Suhartini mengatakan bahwa tidak masalah baginya jika mereka (masyarakat pendatang) tidak menggunakan bahasa Aceh selama menetap di Aceh, asalkan tidak menggunakan bahasa adatnya. Dan untuk berpakaian menurutnya wajib untuk masyarakat pendatang mengikuti syariat islam seperti halnya yang di patuhi oleh masyarakat lokal. Begitu juga dengan pesta pernikahan atau akikahan yang menggunakan adat juga harus menggunakan adat Aceh.

Titin mengaku sehari-hari dia berbicara dengan bahasa Aceh dengan sesama masyarakat lokal, dan berbicara bahasa Indonesia dengan masyarakat pendatang dan di rumah dengan keponakannya pun dia menggunakan bahasa Aceh agar keponakannya terbiasa dengan bahasa Indonesia katanya. Titin mengaku untuk hal berbelanja dia lebih memilih untuk membeli dari orang Aceh karena menurutnya lebih baik mengutamakan orang sendiri dari pada orang lain (suku lain). Menurutnya selama ini belum pernah ada masalah dengan adanya

masyarakat pendatang terhadap masyarakat lokal, mungkin karena jumlah mereka yang sangat sedikit.

Diantara masyarakat pendatang juga ada diantaranya yang merupakan non-islam, dan menurut Titin tidak setuju jika mereka ingin membangun rumah ibadah mereka di gampong ini. Dengan alasan tidak suka.

3. Profil Informan yang Berasal dari Tokoh Adat

1. Nama : Teuku Muhammad Nassir

Umur : 60 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Pekerjaan : Ketua MAA Kecamatan Peusangan

Teuku Muhammad Nassir merupakan ketua MAA Kecamatan Peusangan yang mengurusi urusan adat untuk perwakilan Kecamatan Peusangan. Dia mengatakan bahwa keadaan Aceh sekarang sudah sangat berbeda dengan keadaan Aceh zaman dulu, sekarang ini masyarakat Aceh mengalami kemunduran dalam menjujung syariat islam. Hukum islam merupakan cerminan adat Aceh dimana Teuku Muhammad Nassir mengatakan bahwa apa saja yang di larang dalam hukum islam maka adat Aceh juga pasti melarangnya.

Masyarakat pendatang menurut Teuku Muhammad Nassir tidak pernah dituntut untuk menggunakan bahasa Aceh atau budaya Aceh lainnya. Tetapi alangkah baikknya jika mengikuti, dan menurut Teuku Muhammad Nassir dia melihat bahwa mereka (masyarakat pendatang) terlihat suka rela mengikuti

budaya Aceh. Teuku Muhammad Nassir mengatakan bahwa masyarakat

Dokumen terkait