Stereotip Antara Masyarakat Lokal dan Masyarakat Pendatang
di Gampong Keude Matangglumpang Dua, Kecamatan
Peusangan, Kabupaten Bireuen
S K R I P S I
Diajukan Oleh :
IZZATUL ISMI
(100901071)
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Stereotip antara Masyarakat Lokal dan
Masyarakat Pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen”, disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sumatera Utara. Secara ringkas skripsi ini mendeskripsikan stereotip antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang di Gampong Keude Matangglumpang dua.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak
skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orangtua
tercinta ayah saya Munir Abdul Ghani dan ibu saya Yulinar Sikumbang yang telah melahirkan dan membesarkan serta mendidik saya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Akhirnya ini lah persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya.
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang telah membantu menyelesaikan skirpsi ini kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
2. Rasa Hormat dan terimakasih yang tidak akan dapat penulis ucapkan
dengan kata-kata kepada Bapak Junjungan SBP Simanjuntak, Drs., M.si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal perkuliahan sampai pada perbaikan judul skripsi ini dan terimakasih
juga karena telah bersedia menjadi anggota penguji saya saat meja hijau. Terima kasih atas semua masukan bapak kepada saya, kiranya semuanya menjadi pengalaman serta permbelajaran berharga untuk saya kedepannya.
3. Rasa hormat dan terimakasih yang sedalam-dalamnya saya ucapkan kepada Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.si, selaku ketua Departemen Sosiologi dan juga sebagai pembimbing skripsi yang selalu memberikan waktu, tenaga, dan pemikiran dalam penulisan skripsi ini. Sangat banyak yang
saya dapatkan pelajaran dan juga pengalaman dari bimbingan ibuk selama proses mengerjakan skripsi serta saat mengikuti masa perkuliahan. Saya yakin semua itu akan sangat berharga dan akan membantu saya untuk kedepannya nanti.
4. Terima kasih kepada DOSEN... yang telah bersedia menjadi ketua
penguji saya saat meja hijau. Terima kasih atas masukan dan semangat yang DOSEN berikan kepada saya. Kiranya motivasi yang DOSEN berikan akan menjadi pedoman bagi saya kedepannya.
5. Terima kasih untuk segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Feni Khairifa, Kak Betty, serta Syarifah yang telah banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.
6. Ucapan terima kasih yang sangat mendalam juga saya ucapkan kepada
kasih sayangnya tiada terhingga dan tiada batasnya kepada saya, selalu
memberikan doa dan nasehat, dan selalu memberikan semangat kepada saya dan dukungan secara moril maupun materil.
7. Secara khusus juga saya ucapkan terima kasih kepada Ismail Muhammad Hatta Nasution yang telah banyak memberi motivasi bagi saya dalam
menjalani masa perkuliahan serta selalu mendukung saya dalam mengerjakan skripsi ini.
8. Terima kasih juga saya ucapkan kepada sahabat-sahabat saya yang telah
banyak membantu saya dalam masa perkuliahan hingga pada penyelesaian skripsi ini, Nuridah Tanjung, Ayu Kartika, Andika Yudhistira Tarigan, Rifki Hutriawan, dan terkhusus pada Terangta Tarigan, S.Sos yang selalu menjadi partner diskusi saya.
9. Terima kasih juga kepada kelompok percut yang telah banyak mengahabiskan waktu bersama saya selama ini, ada Udin, Syurman, Ribel, Lambok, Wensdy, Warrent, Hot Rina. Semangat untuk usaha dan skripsi kalian juga.
10.Terima kasih yang besar saya ucapkan kepada teman-teman satu stambuk
(2010) yang sudah saya anggap saudara saya sendiri, yang sudah menjalani masa-masa perkuliahan bersama-sama selama ini, ada Nurli, Adit, Himmah, Aris, Hilal, Fahmi, Yolanda, Santiur, Evi, Nurma, Mira, Yohanna, Rohanna, dan teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan
satu-satu.
11.Terima kasih juga saya ucapkan kepada sahabat lama saya yang selalu menemani saya selama ini ada Tiffani Hardiani Tarigan dan Ananda Riski Syahri Nasution.
ini. kepada Pak Edy Syaputra selaku sekretaris desa yang telah
mendampingi saya dalam melakukan penelitian, Pak Teuku Muhammad Nassir selaku ketua adat perwakilan Kecamatan Peusangan yang juga telah banyak memberikan saya informasi, kepada Ibuk Elfi yang telah bersedia jujur memberikan informasi kepada saya, kepada Ust Anwar selaku tokoh
agama yang juga telah rela memberikan banyak informasi serta waktu kepada saya, saya ucapkan terima kasih atas kesediaan anda semua yang telah memberi banyak pengalaman berharga kepada saya.
Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengaharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi
pembacanya, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.
Medan, Juni 2015 (Penulis)
ABSTRAK
Penulisan skripsi tentang “Stereotip antara Masyarakat Lokal dan Masyarakat Pendatang” di Gampong Keude Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen dimana masyarakat lokal yang di maksut adalah etnis Aceh yang merupakan mayoritas sedangkan masyarakat pendatang adalah etnis Jawa, Padang, Batak, dan Tionghoa. Beberapa kali hubungan tidak harmonis masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang di gampong ini di anataranya terhadap etnis Jawa yaitu pada 4 Desember 1976 Aceh membentuk GAM untuk perlawanan terhadap Pemerintahan Indonesia yang orang Aceh saat menyebutnya Pemerintahan Jawa. Para imigran Jawa banyak yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi mulai dari penganiayaan, penculikan terhadap etnis Jawa, pembakaran rumah, hingga kehilangan nyawa. Pengalaman hubungan tidak harmonis juga pernah terjadi dengan masyarakat etnis Tionghoa pada masa “G30SPKI” dan Era Reformasi dimana pada saat itu Indonesia pada umumnya sedang mengalami krisis moneter dan khususnya Aceh. Pada masa itu etnis Tionghoa menjadi sasaran rasa iri masyarakat lokal dan pada akhirnya toko-toko milik etnis Tionghoa di jarah dan pemiliknya sendiri di usir dari Aceh. Dari berbagai tantangan yang di hadapi oleh masyarakat pendatang yang menetap di Aceh, baik pengharusan berbahasa Aceh, penggunaan adat-istiadat dan kebiasaan Aceh dalam sehari-hari, dan stereotip yang merupakan sebuah bentuk diskriminasi terhadap masyarakat pendatang. hal ini yang menjadi ketertarikan kepada peneliti untuk mengetahui bagaimana stereotip antara masyarakt lokal dan pendatang dan bagaimana interaksi yang ada setelah adanya stereotip.
Metode penelitian yang di gunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data di lakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Gampong Keude Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen. Dimana di dalamnya termasuk masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang di dapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.
Hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat etnis pendatang dan penganut agama Budha di gampong ini merupakan kelompok subordinat dimana memiliki posisi yang kurang menguntugkan dalam masyarakat karena dianggap sebagai kelompok yang dinomorduakan. Dimana masyarakat pedatang dianggap sebagai kelompok nomor dua yang harus mengikuti nilai-nilai bentukan dari masyarakat lokal. Masyarakat pendatang agama Budha merasa kurangnya toleransi masyarakat lokal terhadap mereka dalam melaksanakan ritual keagamaan. Namun penganut agama Budha memilih untuk diam karena tidak ingin timbul konflik dengan masyarakat lokal. Masyarakat etnis pendatang merasa terdiskriminasi dengan stereotip yang sering dinlontarkan masyarakat lokal kepada mereka seperti, boh Jawa, Padang pileh gaseeh, Padang brok akai, China kaphee, Batak kuto. Interaksi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang masih tetap ada seiring dengan adanya stereotip. Walaupun ada potensi konflik laten antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang tetapi masih dapat dikelola sehingga tidak berpotensi menjadi konflik terbuka.
Daftar Isi
Kata Pengantar ... i
Abstrak ... v
Daftar Isi... vi
Daftar Tabel ... viii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian... 7
1.4 Manfaat Penelitian... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pandangan Sosiolog Terhadap Masyarakat Majemuk ... 8
2.2 Masyarakat Multikultural Indonesia ... 10
2.3 Teori Konflik ... 12
2.4 Penyebab Konflik Dalam Masyarakat Majemuk ... 14
2.5 Karakteristik Masyarakat Aceh ... 16
2.6 Stereotip Antarbudaya ... 20
2.7 Pengaruh Stereotip dalam Interaksi Antarbudaya ... 22
2.8 Defenisi Konsep ... 22
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 24
3.2 Lokasi Penelitian ... 24
3.3 Unit Analisis dan Informan ... 25
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 26
3.5 Interpretasi Data ... 27
3.6 Jadwal Pelaksanaan ... 28
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA
4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian ... 31
4.2 Profil Informan ... 41
4.3 Stereotip Masyarakat Lokal Terhadap Masyarakat Pendatang ... 65
4.4 Stereotip Masyarakat Pendatang Terhadap Masyarakat Lokal ... 98
4.5 Bahasa Merupakan Bagian dari Identitas bagi Masyarakat Gampong Keude Matangglumpang Dua ... 109
4.6 Keberadaan Masyarakat Etnis Pendatang dan Penganut Agama Non-Islam sebagai Kelompok Subordinat di Gampong Keude Matangglumpang Dua ... 114
4.6.1 Masyarakat Etnis Pendatang ... 115
4.6.2 Penganut Agama Non-Islam ... 118
4.7 Konflik laten antara Masyarakat lokal dengan Masyarakat Pendatang ... 123
4.8 interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang setelah adanya stereotip ... 130
BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan... 134
5.2 Saran ... 135
DAFTAR PUSTAKA ... 137
Daftar Tabel Tabel 1.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 36
Tabel 1.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Suku ... 36
Tabel 1.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama ... 37
ABSTRAK
Penulisan skripsi tentang “Stereotip antara Masyarakat Lokal dan Masyarakat Pendatang” di Gampong Keude Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen dimana masyarakat lokal yang di maksut adalah etnis Aceh yang merupakan mayoritas sedangkan masyarakat pendatang adalah etnis Jawa, Padang, Batak, dan Tionghoa. Beberapa kali hubungan tidak harmonis masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang di gampong ini di anataranya terhadap etnis Jawa yaitu pada 4 Desember 1976 Aceh membentuk GAM untuk perlawanan terhadap Pemerintahan Indonesia yang orang Aceh saat menyebutnya Pemerintahan Jawa. Para imigran Jawa banyak yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi mulai dari penganiayaan, penculikan terhadap etnis Jawa, pembakaran rumah, hingga kehilangan nyawa. Pengalaman hubungan tidak harmonis juga pernah terjadi dengan masyarakat etnis Tionghoa pada masa “G30SPKI” dan Era Reformasi dimana pada saat itu Indonesia pada umumnya sedang mengalami krisis moneter dan khususnya Aceh. Pada masa itu etnis Tionghoa menjadi sasaran rasa iri masyarakat lokal dan pada akhirnya toko-toko milik etnis Tionghoa di jarah dan pemiliknya sendiri di usir dari Aceh. Dari berbagai tantangan yang di hadapi oleh masyarakat pendatang yang menetap di Aceh, baik pengharusan berbahasa Aceh, penggunaan adat-istiadat dan kebiasaan Aceh dalam sehari-hari, dan stereotip yang merupakan sebuah bentuk diskriminasi terhadap masyarakat pendatang. hal ini yang menjadi ketertarikan kepada peneliti untuk mengetahui bagaimana stereotip antara masyarakt lokal dan pendatang dan bagaimana interaksi yang ada setelah adanya stereotip.
Metode penelitian yang di gunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data di lakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Gampong Keude Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen. Dimana di dalamnya termasuk masyarakat lokal dan masyarakat pendatang. interpretasi data dilakukan dengan menggunakan data-data yang di dapat dari hasil observasi dan wawancara, yang diinterpretasikan berdasarkan dukungan kajian pustaka sehingga dapat diambil suatu kesimpulan.
Hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa masyarakat etnis pendatang dan penganut agama Budha di gampong ini merupakan kelompok subordinat dimana memiliki posisi yang kurang menguntugkan dalam masyarakat karena dianggap sebagai kelompok yang dinomorduakan. Dimana masyarakat pedatang dianggap sebagai kelompok nomor dua yang harus mengikuti nilai-nilai bentukan dari masyarakat lokal. Masyarakat pendatang agama Budha merasa kurangnya toleransi masyarakat lokal terhadap mereka dalam melaksanakan ritual keagamaan. Namun penganut agama Budha memilih untuk diam karena tidak ingin timbul konflik dengan masyarakat lokal. Masyarakat etnis pendatang merasa terdiskriminasi dengan stereotip yang sering dinlontarkan masyarakat lokal kepada mereka seperti, boh Jawa, Padang pileh gaseeh, Padang brok akai, China kaphee, Batak kuto. Interaksi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang masih tetap ada seiring dengan adanya stereotip. Walaupun ada potensi konflik laten antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang tetapi masih dapat dikelola sehingga tidak berpotensi menjadi konflik terbuka.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa (etnik), ada sekitar
1.340 suku bangsa di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada sensus
penduduk tahun 2010, yaitu suku Jawa, suku Sunda, suku Melayu, Tionghoa
Indonesia, suku Madura, suku Batak, suku Minang, suku Betawi, suku Bugis,
suku Aceh, suku Banten, suku Banjar, suku Bali, dan lain sebagainya. Sehingga
disebut sebagai masyarakat yang majemuk. Setiap suku bangsa tersebut
menempati suatu wilayah masing-masing yang merupakan daerah asalnya.
Mereka mempunyai kepercayaan, nilai-nilai, kebiasaan, adat-istiadat, norma,
bahasa, dan sejarah yang berlaku dalam masyarakat, sehingga mencerminkan
adanya perbedaan antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya.
Kemajemukan Bangsa Indonesia sudah tergambar dalam semboyan
kebangsaan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda tetapi satu” yang
maknanya mengisyaratkan bahwa perbedaan tidak mesti menjadi masalah yang
besar karena perbedaan yang dimiliki bangsa kita adalah perbedaan yang indah
dan tidak ada bangsa lain yang memilikinya. Tetapi kenyataannya sekarang
semboyan ini semakin memudar. Hal ini dikuatkan dengan pelakuan yang
menunjukkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika hanya sebatas wacana dan tidak
dipraktekkan. Terlihat dari banyaknya konflik antar suku bangsa di Indonesia
semboyan Bhinneka Tunggal Ika, diantaranya konflik antar suku Dayak dengan
Madura di Sampit Kalimantan Tengah, konflik antar suku Jawa dengan penduduk
asli di Aceh, konflik Ambon antara suku Buton, Bugis, Makassar dengan
penduduk asli di Ambon dan sebagainya. Dimana keseluruhan kasus diatas
didasari oleh kesalah pahaman, prasangka negatif dan stereotip antar kelompok
etnis yang berujung pada konflik.
Keberadaan masyarakat majemuk menurut banyak pakar memang menjadi
sumber masalah konflik, dimana dalam kemajemukan masyarakat selalu terdapat
hubungan mayoritas dan minoritas budaya dalam masyarakat serta terdapat
hubungan primordialisme baik secara vertikal maupun horizontal. Disamping itu
kesenjangan diantara kelompok minoritas dan kelompok mayoritas dalam bidang
ekonomi, kesempatan dalam memperoleh pendidikan dan mata pencaharian yang
mengakibatkan kecemburuan sosial, stereotip, prasangka atau kontravensi hingga
dapat berakhir dengan konflik.
Undang Undang Dasar No. 40 Tahun 2008 jelas menjamin setiap
kehidupan masyarakat. Bahwa setiap ras dan etnis berkedudukan sama di hadapan
Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia dilahirkan dengan martabat dan
hak-hak yang sama tanpa perbedaan apapun. Meskipun pemerintahan pusat memiliki
wewenang penuh dalam hal mengatur kehidupan masyarakat setiap ras dan etnis,
keputusan-keputusan yang membatasi hak yang dilindungi oleh konstitusi. Jelas
terlihat dalam peraturan daerah untuk jabatan wali nangroe yang mengharuskan
kemampuan berbahasa Aceh. Yang jelas hanya dimiliki sedikit sekali oleh suku
non Aceh. Padahal terdapat 13 suku yang mendiami provinsi Aceh yang
masing-masing memiliki bahasa yang berbeda.
Kemajemukan suku bangsa pada masyarakat aceh sama halnya dengan
kemajemukan pada masyarakat indonesia. Terdapat 13 sukubangsa yang
mendiami provinsi Aceh yaitu suku Aceh, suku Tamiang, suku Gayo, suku Alas,
suku Kluet, suku Julu, suku Pakpak, suku Aneuk Jamee, suku Singulai, suku
Lekon, suku Devayan, suku Haloban, dan suku Nias, dimana setiap suku bangsa
tersebut menempati suatu wilayah masing-masing, Mereka mempunyai
kepercayaan, nilai-nilai, kebiasaan, adat-istiadat, norma, bahasa, dan sejarah yang
berlaku dalam masyarakat, sehingga mecerminkan adanya perbedaan antara suku
bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lainnya. Dan terdapat beberapa suku
pendatang lainnya yaitu suku Jawa, suku Batak, suku Minangkabau, suku
Tionghoa. Dimana suku Aceh merupakan yang mayoritas di provinsi ini yaitu
50,32%, suku Jawa 15,87%, suku Gayo 11,46%, suku Alas 3,89%, suku Singkil
2,55%, suku Simeulue 2,47%, suku Batak 2,26%, suku Minangkabau 1,09%,
lain-lain 10,09%. Data Pusat Badan Statistik (BPS) pada sensus penduduk tahun 2000.
Hubungan antara mayoritas dan minoritas pada masyarakat Aceh jelas
terlihat, dimana suku Aceh sebagai mayoritas sangat dominan dalam sistem
pemerintahan Aceh. Jelas terlihat dalam undang undang untuk jabatan wali
nanggroe yang mengharuskan kemampuan berbahasa Aceh. Selain jumlahnya
yang dominan, suku Aceh telah mampu membuat masyarakat suku lain di luar
provinsi Aceh menganggap bahwa suku Aceh adalah suku utama di Aceh. padahal
jelas terdapat beberapa suku-suku lainnya yang kedudukannya sama dengan
masyarakat suku Aceh sendiri.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh dalam berinteraksi
menggunakan bahasa Aceh, bahkan masyarakat pendatang juga menggunakan
bahasa Aceh. Data diperoleh dari lapangan saat pra observasi bahwa mereka di
paksa untuk belajar bahasa Aceh agar dapat menggunakan bahasa Aceh dalam
interaksi sehari-hari oleh salah satu aparat GAM. Bahkan sampai pada anak-anak
mereka yang pandai menggunakan bahasa Aceh. Seperti halnya penggunaan
bahasa Aceh, pendatang juga dituntut untuk berpakaian yang sesuai dengan
budaya masyarakat Aceh yang berlatar belakangkan islam yaitu menggunakan
pakaian yang menutup aurat dan menggunakan jilbab.
Hubungan tidak harmonis di tunjukan suku Aceh terhadap pendatang yang
menjadi mayoritas yaitu suku jawa. Yaitu pada 4 Desember 1976 Aceh
membentuk GAM yaitu sebuah gerakan perlawanan terhadap pemerintah
Indonesia yang orang Aceh menyebutnya pemerintah Jawa. para transmigran
penculikan terhadap etnis Jawa, pembakaran rumah hingga kehilangan nyawa,
sehingga banyak dari transmigran Jawa yang memilih untuk keluar dari Aceh.
Dari beberapa pendapat dan data dari lapangan saat pra observasi yang
diperoleh dari salah satu masyarakat pendatang suku Minang Kabau dia merasa
dikucilkan sebagai pendatang oleh beberapa suku Aceh di lingkungannya. Meraka
mengangap orang-orang suku Minang adalah pancilok atau pencuri sehingga
mereka menunjukkannya dengan sikap was-was terhadapnya. Ini jelas
menunjukkan bentuk stereotip suku Aceh terhadap suku pendatang. Namun yang
menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah apa yang menjadi latar belakang stereotip
ini, dan bagaimana interkasi antara suku Aceh dengan pendatang.
berlangsung-di-aceh.html )di unduh pada sabtu 31 mei 2014 pukul 12:27 wib
Beberapa data lapangan lainya juga diperoleh dari salah satu masyarakat
asli Aceh yaitu suku Aceh, pengalamannya ketika menggunakan bahasa Indonesia
dalam berbelanja makanan dan salah seorang konsumen lainnya langsung
menanyakan perihal mengapa ia menggunakan bahasa Indonesia. “mengapa kok
tidak mengunakan bahasa Aceh? malah menggunakan bahasa Indonesia. Kamu
orang (suku) apa rupanya?”. Pertanyaan seperti ini jelas merupakan diskriminasi
terhadap orang yang menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan sehari-hari,
padahal jelas bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan rakyat
Indonesia.
Dari berbagai tantangan yang dihadapi oleh masyarakat pendatang yang
dalam berpakaian dan berperilaku, dan prasangka negatif atau stereotip yang
merupakan sebuah bentuk diskriminasi terhadap masyarakat pendatang. Hal ini
menjadi ketertarikan kepada peneliti untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi
terjadinya stereotip pada masyarakat Aceh terhadap masyarakat pendatang serta
bagaimana interaksi sosial antara masyarakat Aceh dengan masyarakat pendatang
yang akan dilihat pada masyarakat di salah satu desa di Aceh yaitu di Desa
Matang Gelumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen.
1.2 Perumusan Masalah
Rumusan masalah adalah pertanyaan penelitian berkaitan dengan topik
ataupun judul penelitian yang perlu dijawab dan mencari jalan pemecahannya.
Berdasarkan latar belakang yang diapaparkan, maka peneliti mencoba menarik
suatu permasalahan yang lebih mengarah pada fokus penelitian yang akan
dilakukan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah stereotip masyarakat Aceh terhadap masyarakat pendatang
dan sebaliknya stereotip masyarakat pendatang terhadap masyarakat Aceh
di Desa Matang Gelumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten
Bireuen?
2. Bagaimana interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat lokal dengan
masyarakat pendatang setelah adanya stereotip di Desa Matang
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana stereotip masyarakat Aceh terhadap
pendatang dan sebaliknya stereotip masyarakat pendatang terhadap
masyarakat Aceh di Desa Matang Gelumpang Dua, Kecamatan
Peusangan, Kabupaten Bireuen.
2. Untuk mengetahui bagaimana interaksi sosial yang terjadi antara
masyarakat lokal dengan masayarakat pendatang setelah adanya stereotip
di Desa Matang Gelumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten
Bireuen.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kajian ilmiah
bagi mahasiswa khususnya mahasiswa di departemen sosiologi FISIP USU bagi
pengembangan di bidang ilmu sosial hubungan antar kelompok.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat setempat, bagi
instansi pemerintah, khususnya bagi instansi terkait di Pemerintahan Kabupaten
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pandangan Sosiolog Terhadap Masyarakat Majemuk
masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat suku
bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa menjadi
sebuah bangsa dalam wadah negara.
Masyarakat majemuk menurut J.S. Furnifall (dalam Elly, 2011:547-550)
dapat dibedakan ke dalam empat katagori, yaitu:
1. Masyarakat majemuk dengan kompetitif seimbang. Yaitu masyarakat yang
terdiri dari sejumlah komunitas atau etnik yang mempunyai kekuatan kompetitif
yang kurang lebih seimbang. Dalam keadaan ini, kerja sama antara etnis sangat
diperlukan untuk mencapai pembentukan masyarakat yang stabil. Contohnya di
pulau jawa, hubungan antara etnis Jawa dengan etnis Sunda yang memiliki
kekuatan seimbang. Yang mana tidak terdapat hubungan dominasi diantara
keduanya.
2. Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan. Yaitu masyarakat majemuk
yang terdiri atas sejumlah komunitas etnis dengan kekuatan kompetitif yang tidak
seimbang, dalam artian bahwa salah satu kekuatan kompetitif lebih besar dari
pada kekuatan kompetitif kelompok lainnya. Kekuatan kompetitif yang lebih
besar ini terdiri dari kelompok mayoritas yang mendominasi dalam segala
bersifat lebih kecil dan melemah. Gejala-gejala konflik laten antara masyarakat
daerah dan pemerintah pusat seperti gerakan saparatisme Aceh, Papua, dan
Maluku Selatan yang lebih banyak dipicu oleh image bahwa kelompok ini merasa
bukan sebagai warga negara yang memiliki kemerdekaan. Artinya lepas dari
penjajahan belanja dan masuk ke penjajahan beru yaitu dijajah oleh bangsa Jawa.
dalam hal ini, masyarakat Jawa dapat dikatakan sebagai kelompok mayoritas yang
mendominasi negeri ini. dengan banyaknya pejabat negara di masa ini yang
rata-rata berasal dai Jawa. dengan demikian, Jawa sebagai kelompok mayoritas di
negeri ini mendominasi kelompok lain yang jumlahnya relatif lebih kecil.
3. masyarakat majemuk dengan minoritas dominan. Yang artinya, dalam
kehidupan masyarakat ini terdapat satu kelompok etnis minoritas, tetapi mereka
memiliki keunggulan kompetitif yang luas sehingga kekuatan kompetitifnya
mendominasi bidang-bidang kehidupan tertentu seperti politik, dan ekonomi.
4. masyarakat majemuk dengan fregmentasi. Artinya, suatu kehidupan masyarakat
yang terdiri atas sejumlah kelompok etnik, tetapi semuanya berjumlah kecil
sehingga tidak terdapat satu pun kelompok yang memiliki posisi yang dominan.
Masyarakat majemuk menurut Cliford Geertz pada penelitiannya dalam
buku Pengantar Sosiologi oleh Elly dan Usman (2011:549) pada masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang terbagi-bagi kedalam subsistem yang kurang
lebih berdiri sendiri-sendiri, yang setiap subsistemnya terikat dalam ikatan-ikatan
yang bersifat primordial. Menurut Cliford Geertz yang paling mudah untuk
akan pentingnya kesukbangsaan yang berbentuk komunitas-komunitas suku
bangsa dan digunakan sebagai referensi atas jati diri kesukubangsaan ini.
Adapun masyarakat majemuk menurut Dr. Nasikun dalam Elly (2011:
550) adalah masyarakat yang menganut berbagai sistem nilai yang dianut oleh
berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa,
sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat
sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau
bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
2.2 Masyarakat Multikultural Indonesia
Masyarakat indonesia adalah seluruh gabungan semua kelompok manusia
yang hidup di negara indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnik, agama dan
lain-lain sehingga bangsa indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai
masyarakat yang majemuk. Seperti yang dikatakan oleh Suryadinata dalam Paulus
(2012:2-49) bahwa indonesia masuk ke dalam tipe social-nation yang berasal dari
beragam kelompok etnik. Berdasarkan Sensus tahun 2000 diketahui bahwa jumlah
enik dan sub-etnik yang terdapat di Indonesia adalah 1072, dengan 11 etnik
memiliki warga di atas satu persen. Tentunya setiap etnik tersebut memiliki
identitas budaya dengan karakteristiknya masing-masing. Hal ini membuat
indonesia harus selalu waspada apakah etnik yang beragam itu mudah untuk
disatukan atau tidak. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat
Indonesia, identitas etnis, dalam hal ini kesukuan termasuk di dalamnya nilai-nilai
budaya dan adat istiadat, masih menjadi faktor penting dalam kehidupan
Selain keberagaman etnik Indonesia juga memiliki keberagaman agama.
beberapa agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Islam,
Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu. Dimana Islam merupakan
agama yang terbesar di Indonesia
Masyarakat indonesia nampaknya terdiri dari suku-suku dan agama-agama
yang memiliki ciri “hot ethnicity” cenderung menonjolkan identitas etniknya,
memiliki emosi yang mendalam mengenai hal kesukuan seperti (“saya orang
Aceh”, “saya orang Batak”, dan lain-lain) adapula yang menonjolkan agama
seperti (“saya islam”, “saya katolik”, dan lain-lain) dan selalu memendam
keinginan untuk merdeka. Sedangkan “cold ethnicity” sifatnya kurang fanatik,
kurang emosional dan identitas etnis sering hanya digunakan untuk mencari
keuntungan sesaat. Kondisi yang seperti ini nampaknya bisa terus berubah,
tergantung pada bagaimana negara-bangsa ini mengelola integrasi masyarakatnya
terutama dalam mengembangkan kesejahteraan, keadilan dan solidaritas sosial.
Oleh karena persoalan di atas maka Brubaker memperkenalkan konsep
nationalizing state (Brubaker dalam Paulus 2012:4) yaitu negara yang berusaha
membujuk warganya untuk merasa menjadi suatu nation. Suatu bangsa yang
memiliki unsur identitas yang beragam, seperti suku, agama, ras dan sebagainya,
sehingga dirasa perlu untuk mengembangkan berbagai kebijakan untuk membujuk
warganya agar memiliki suatu identitas bersama yang bersifat nasional. Melalui
pendekatan multikulturalisme dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda
tetapi tetap satu jua) indonesia memberikan kebebasan kepada semua
sub-kebudayaan untuk tetap hidup sekaligus mengembangkan budaya dan sikap
dalam kenyataannya masih belum benar-benar terwujud. Masih banyak terdapat
konflik etnis maupun agama di indonesia.
Daisy (2012:87-88) mengatakan bahwa peran iklim demokrasi yang
diberikan Indonesia juga besar dalam meningkatkan kesadaran kelompok,
khususnya kelompok etnik. Kebangkitan identitas etnik dan kesadaran kelompok
etnik ini diikuti dengan tuntutan-tuntutan terhadap keadilan dan kesederajatan
dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun
sosial budaya. Hal ini dapat terjadi karena proses pembangunan yang tidak merata
dan kebijakan-kebijakan publik yang tidak mempertimbangkan keragaman
budaya. Selain itu, kebangkitan dan kesadaran kelompok etnik juga dapat
mengarah pada munculnya etnosentrisme dan chauvinisme kelompok. Masalah-
masalah ini dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok etnik, yang bisa
mengarah pada konflik laten maupun konflik terbuka yang menggunakan
kekerasan sampai pada gerakan pemisahan diri seperti Aceh (GAM) dan Papua
(OPM). Untuk mempertahankan integrasi sosial maupun nasional seharusnya
kebijakan-kebijakan publik dan pengakuan kesederajatan setiap kelompok entik
yang hidup dan menjadi unsur pembentukan masyarakat Indonesia perlu dijamin
oleh siapapun atau kelompok manapun yang berkuasa.
2.3 Teori Konflik
Konflik sosial selalu berawal dari perbedaan pandangan, langkah dan
pemahaman dan benturan di antara-kepentingan antarkelompok maupun
antar-individu. Konflik merupakan salah satu proses sosial disasosiatif, sebab proses ini
sifat konflik ini sendiri, dimana positif dan negatifnya gejala konflik akan sangat
tergantung pada bagaimana konflik ini dikelola atau diarahkan.
Lebih lanjut, bagaimana ilmu - ilmu sosial dalam memandang tentang
gejala konflik sosial, yaitu :
1. Pandangan struktural konflik yang memandang konflik sebagai
gejala yang serba hadir dalam setiap kehidupan sosial. Dengan
demikian, setiap kehidupan sosialselalu mengandung konflik dan
konsekuensinya merupakan perpecahan dan integrasi yang semua
ini tergantung pada bagaimana mengelola konflik sosial agar
keberadaannya bukan anarkis, tetapi terkendali dan terarah untuk
disesuaikan dengan tujuan kehidupan sosial ini sendiri.
2. Pandangan struktural fungsional yang memandang bahwa integrasi
dalam kehidupan sosial tidak pernah tercapai secara sempurna,
sebab setiap proses pengintegrasian kehidupan sosial selalu
memendam potensi konflik. Akan tetapi, walaupun integrasi sosial
tidak pernah tercapai secara sempurna, sistem sosial akan selalu
memiliki kecenderungan bergerak ke arah tercapainya titik
keseimbangan (equilibrium) yang sifatnya dinamis, sebagai
perwujudan dari konsensus dari anggota masyarakat itu sendiri
berkaitan dengan nilai-nilai universal.
Konflik bedasarkan jenisnya, yaitu terdapat konflik rasial, antar-etnis, dan
1. Konflik rasial biasanya didasari oleh pemahaman yang salah antara ras
satu dengan ras lainnya. Kesalahpahaman itu terletak pada perasaan
antarras dimana satu kelompok ras memiliki perasaan lebih unggul
dibanding dengan ras lainnya.
2. Konflik antarsuku bangsa. Konflik sosial antarsuku bangsa lebih banyak
dipicu oleh stereotip terhadap kelompok lain, atau kecurigaan terhadap
suku-suku tertentu atas penguasaan sumber-sumber vital yang menguasai
hajat publik. Selain itu, konflik tersebut didukung oleh gejala pemahaman
kekelompokan yang menimbulkan sikap etnosentrisme suku bangsa
dengan menganggap suku bangsa lain lebih rendah.
3. Konflik antarpemeluk agama. Sumber utama dari perang antar pengikut
agama ialah kepercayaan atau keyakinan akan kebenaran agama yang
menganggap bahwa agama yang dianutnya merupakan yang paling benar,
paling diridhai Tuhan, sedangkan agama yang dianut oleh penganut lain
adalah sesat yang pada akhirnya sikap ini menimbulkan fanatisme yang
berlebihan, sehingga menimbulkan sikap yang intoleransi terhadap
pengikut agama lain.
2.4 Penyebab Konflik Dalam Masyarakat Majemuk
Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk tidak dipungkiri banyak hal
yang potensial menimbulkan adanya konflik sosial, yaitu beberapa yang menjadi
penyebabnya adalah (Elly 2011:557-558):
1. Menguatnya etnosentrisme kelompok. Etnosentrisme berasal dari kata etnos
titik pusat. Dengan demikian, etnosentrisme memiliki arti perasaan kelompok
di mana kelompok merasa dirinya paling baik, paling benar, paling hebat
sehingga mengukur kelompok lain selalu merujuk kepada kelompoknya.
Secara sosiologis, etnosentrisme dapat diartikan sebagai gejala dimana
kelompok sosial selalu mengunakan indikator mengukur unsur-unsur
kebudayaan kelompok lain selalu merujuk kepada kelompoknya.
2. Stereotip terhadap kelompok seperti: anggapan bahwa orang Batak kasar, orang
Madura memiliki budaya kekerasan karena seringnya terjadi peristiwa carok.
Biasanya stereotip seperti ini sering kali menimbulkan kesalahpahaman antar
kelompok sosial. Ketersinggungan atas opini akan lebel kelompok dengan
lebel-lebel yang bersifat ejekan seperti ini akan menimbulkan sifat
ketersinggungan kelompok yang akhirnya menggugah tersulutnya konflik
sosial.
3. Hubungan antar-penganut agama, sebagaimana terjadi di Poso, Sulawesi
Tengah dan peristiwa pembongkaran rumah ibadah di Jawa Barat oleh
kelompok tertentu.
4. Hubungan antara penduduk asli dengan penduduk pendatang seperti yang
pernah terjadi di Sambas, Kalimantan Barat antara etnis Madura dan Dayak.
Selain konflik Sambas juga terdapat konflik Sampit yaitu konflik antar etnis
Jawa dan Dayak dimana konflik diawali oleh sikap-sikap tertentu yang
menimbulkan ketersinnggungan antarpihak, antara penduduk pendatang dan
2.4 Karakteristik Masyarakat Aceh
Aceh dilatarbelakangi oleh berbagai sukubangsa dan budaya yang
merupakan suatu integrasi antar suku bangsa sehingga pada masa kerajaan Aceh
Darussalam disebut dengan suku bangsa Aceh. Menurut temuan sejarawan Suku
Aceh berasal dari India dan Timur Tengah. Realita tersebut karena letak geografis
yang sangat strategis dengan Selat Malaka dan berdekatan dengan India. Di
samping itu banyak budaya Aceh yang dipengaruhi negara Hindustan serta
kemiripan wajah dengan bangsa India hal ini menyebabkan wajah-wajah orang
Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang yang berada di lain daerah. Namun
demikian pada awal perkembangan kebudayaan suku Aceh di wilayah ujung
Pulau Sumatera dinamakan Lambri dan Lamuri.
Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal wali, karong, kaom yang
merupakan bagian dari sistem kekerabatan. Agama islam adalah agama yang
paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh dijuluki dengan “serambi
mekkah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan
sebagainya.
Suku Aceh adalah salah satu kelompok “asal” di daerah Aceh yang kini
merupakan Provinsi Aceh. Orang Aceh biasa menyebut dirinya dengan “ureueng
Aceh”. Suku Aceh adalah penduduk asli yang tersebat populasinya di daerah
Provinsi Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda
Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Timur, Aceh
rumpun bahasa Austronesia yang terdiri dari beberapa dialek, diantaranya dialek
Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.
Suku Aceh atau Suku yang menggunakan bahasa Aceh umumnya hidup di
daerah pesisir Aceh. Suku Aceh ini merupakan yang terbanyak diantara sub-suku
Aceh yang lainnya. Suku Aceh mempunyai peranan yang baik di bidang ekonomi,
politik dan sosial keagamaan. Suku Aceh ini berbicara dalam bahasa Aceh dan
berbudaya Aceh serta mempunyai peranan dalam pengembangan agama Islam di
Aceh.
Suku Aceh berdomisili di sembilan daerah tingkat II. Suku Aceh ini
diperkirakan berasal dari negara India, Indo Cina dan Persia, hidupnya terpencar
baik di pesisir maupun di pedalaman Aceh. demikian juga mata pencaharian,
mereka dapat kuasai dalam berbagai bidang. Kehidupan mereka lebih cepat
menerima pembaruan. Keberadan Suku Aceh ini memperkuat sistem dan struktur
masyarakat Aceh selanjutnya membentuk suatu peradaban Aceh yang Islami.
Suku Aceh atau yang sering disebut dengan Aceh pesisir merupakan
masyarakat yang mayoritas hidup dan berkembang sebagaimana sub-suku
lainnya. Suku aceh merupakan mayoritas dominan dalam segi politik, ekonomi,
dan perdagangan di Aceh. Suku Aceh ini juga sering diidentikkan dengan pekerja
keras, tahan akan tantangan dan giat serta ulet dalam segala bidang. Suku Aceh
atau Aceh pesisir merupakan salah satu suku yang sangat mudah menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, baik dengan para pendatang atau apabila mereka
pendidikan dan para saudagar dari Suku Aceh yang memainkan peranannya di
Aceh maupun di tingkat pusat.
Di Provinsi Aceh terdapat pula beberapa suku bangsa lainnya, sekaligus
antar suku tersebut mempunyai budaya sendiri dan berbeda satu dengan yang
lainnya. Berbagai suku tersebut diantaranya, Suku Gayo, Suku Tamiang, Suku
Alas, Suku aneuk Jamee (pendatang), Suku Kluet, Suku Melayu Singkil, Suku
Defayan, dan Suku Sigulai.
Gayo merupakan salah satu sub-suku Aceh yang hidup dan berkembang
didataran tinggi tanah Gayo. Etnik Gayo merupakan sub-etnik yang mendekati
atau hampir sama dengan etnik Batak. Etnik Gayo sebelumnya hidup di
pedalaman Aceh tengah, akan tetapi setelah kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam
antara tahun 1550-1650, etnik ini disatukan oleh Sultan Aceh sehingga statusnya
sama dengan etnik Aceh yang hidup dan berkembang di daerah Aceh. etnik gayo
dilihat dari kehidupan dan dalam interaksi dengan lingkungan budaya luar
hidupnya agak khas dibanding dengan etnik lainnya, karena etnik Gayo sangat
menghargai nilai-nilai budayanya. Kenyataannya tersebut dapat dilihat dari
interaksinya dalam masyarakat. Akan tetapi selama perkembangan teknologi
informasi kehidupan mereka telah mulai terbuka dengan lingkungannya. Etnik ini
dalam kehidupan sehari-hari sangat menjujung tinggi nilai-nilai budaya serta
bahasa mereka.
Etnik Tamiang merupakan salah satu sub-etnis Aceh yang menurut sejarah
merupakan turunan melayu dari Kerajaan Sriwijaya. Etnik ini berlayar ke daerah
merupakan etnik pendatang ke Aceh, karena sebelumnya di ujung sumatera
tersebut sudah ada penghuninya. Oleh karena itu mereka singgah di daerah Kuala
Simpang. Etnik ini identik dengan Melayu Riau dan Melayu Malaysia. Akan
tetapi secara keseluruhan etnik ini dapat menyetu dengan etnik Aceh, karena
kelembutan dan keramahan etnik Melayu tersebut. Etnik Tamiang sering disebut
Melayu Tamiang atau Aceh Tamiang. Dilihat dari bahasa dan warna kulitnya
memang lebih banyak Melayunya dibandingkan dengan Acehnya. Demikian juga
kebudayaan mereka hampir sama dengan kebudayaan Melayu Deli dan Suku
Melayu lainnya di Semenanjung Malaka. Aceh Tamiang selain memakai bahasa
melayu sebagai bahasa pengantar, sekaligus budayanya mirip dengan etnik
Melayu lainnya di Nusantara.
Sedangkan etnis Alas merupakan etnik yang tinggal di Kabupaten Aceh
Tenggara dan Hulu Sungai Singkil. Secara Antropologi Etnik Alas ini mendekati
etnik Karo, yang ada di Sumatera Utara. Demikian juga bahasa mereka pun
hampir dengan bahasa Karo. Namun demikian etnis Alas ini hidup dan
berkembang serta berbudaya dengan budayanya sendiri. Mereka juga umumnya
tinggal di daratan tinggi Aceh Tenggara. Etnis Alas sampai saat ini di perdesaan
masih memakai marga, akan tetapi marganya pun berbeda dengan marga Batak,
selain karena kedekatan budaya sekaligus berdekatan dengan Sumatera Utara.
Demikian juga dengan budaya baik pakaian ataupun bahasanya mirip dengan
budaya dan bahasa Batak.
Etnik Aneuk Jamee merupakan etnik pendatang, umumnya dari Sumatera
Akan tetapi mereka sebenarnya merupakan integrasi antara etnis Minang dengan
etnis Aceh, sehingga lahir lah satu etnik yang disebut dengan Aneuk Jamee
(kamu-pendatang).
Sedangkan etnik Kleut, baik Kleut Utara maupun Kleut Selatan,
merupakan salah satu turunan dari etnis Alas. Bahkan etnis Alas menurut cerita
berasal dari berasal dari etnis Kleut ini. Dan etnis Singkil adalah satu etnis yang
hidup di Kabupaten Aceh Singkil. Etnis ini mirip bahasanya dengan etnis Melayu
dan bahasa kleut dan bahasa Batak Karo. Terakhir adalah etnik Defayan dan
Singulai. Etnik ini hidupnya di kabupaten Simeulu atau Pulau Simeulu. Etnik ini
mendekati turunan dari etnis Nias Sumatera Utara. Akan tetapi etnis Defayan dan
Singulai semuanya menganut agama islam dan berbudaya seperti budaya islam.
Secara antropologi etnis ini jika dilihat bentuk mukanyapun mendekati etnis Nias
dan kebanyakan mereka berkulit agak putih. Inilah etnik-etnik Aceh yang hidup
dan berkembang saat ini. Mereka umumnya beragama Islam dan tunduk kepada
syariat Islam. Etnik-etnis Aceh tersebut disatukan kedalam satu bangsa pada masa
Kerajaan Islam dengan nama Bangsa Aceh (Rani Usman 2003:38-42).
2.6 Stereotipe Antarbudaya
Stereotipe merupakan suatu penilaian terhadap sesuatu yang pada dasarnya
belum dapat dibuktikan kebenarannya secara faktual. Stereotip dalam hal ini
merupakan keyakinan yang terlalu digeneralisasi, disederhanakan, atau
dilebih-lebihkan terhadap kelompok etnis tertentu. Dengan demikian, ketika kita
mengidentifikasi individu tersebut pada basis anggota kelompok etnis tertentu,
dan langkah berikutnya adalah menilai diri individu tersebut.
Menurut Kornblum dalam buku Pengantar Sosiologi (Kamanto,
2004:152), stereotip merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras
atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Stereotip
mungkin ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya benar. Menurut stereotip yang
dipunyai orang Amerika mengenai keturunan Polandia, misalnya orang Polandia
antara lain bodoh, kotor, tidak berpendidikan, tidak berbudaya. Menurut
Kornblum, stereotip ini berasal dari abad ke 19, tatkala orang Polandia yang
bermigrasi ke Amerika adalah petani yang tidak berpendidikan.
Berbicara tentang stereotip, kita tidak akan lepas dari kata prasangka. Di
mana stereotip merupakan konsep seseorang dalam bersikap, begitu juga
prasangka. Prasangka tidak selamanya bersifat negatif, karena merupakan dugaan
awal terhadap seseorang atau kelompok lain. Dapat juga bersifat positif yag
disebut dengan prototype.
Menurut Rogers dan Steinfatt dalam buku Menghargai Kultural (Rahardjo:
2005:55-56) bahwa terdapat perbedaan sederhana antara prasangka dengan
stereotip. Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang
didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga dapat dipahami
sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan atau pengujian terhadap
informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan generalisasi tentang
2.7 Pengaruh Stereotip Dalam Interaksi Antarbudaya
Samovar dkk dalam (Turnomo,2005:62) bahwa stereotip akan
mempengaruhi interaksi antarbudaya dimana:
1. Stereotip dapat menjadi penyebab tidak berlangsungnya interaksi
antarbudaya. Bila kita mempunyai stereotip, maka kita akan memilih
untuk bertempat tinggal dan bekerja dalam latar yang meminimalkan
kesempatan kontak dengan orang dari kelompok yang tidak disukai.
2. Stereotip cenderung menciptakan beberapa faktor negatif selama
pertemuan antarbudaya yang secara serius akan mempengaruhi kualitas
interaksi.
3. Bila stereotip sangat intensif, maka orang yang berstereotip akan terlibat
dalam diskriminatif terhadap kelompok yang tidak disukai. Dan kondisi
akan mudah mengarah pada konfrontasi dan konflik terbuka.
2.8 Defenisi Konsep
Agar penelitian ini tetap pada fokus penelitian dan suapaya tidak
menimbulkan penafsiran ganda dikemudian hari, maka perlu dibuat defenisi
konsep antara lain sebagai berikut:
1. Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang didalamnya terdapat
keanekaragaman budaya, termasuk di dalamnya terdapat keragaman
bahasa, agama, adat istiadat, dan pola-pola sebagai tatanan perilaku
anggota masyarakatnya (Setiadi dan Kolip 2011).
2. Stereotip adalah pandangan atau prasangka buruk terhadap sesuatu yang
hal ini pandangan yang ingin dilihat adalah pandangan masyarakat lokal
terhadap masyarakat pendatang dan sebaliknya pandangan masyarakat
pendatang terhadap masyarakat lokal.
3. Kelompok subordinat adalah kelompok minorias yang selalu
didiskriminasi dan dianggap sebagai warga masyarakat “kelas dua”. (Elly,
2011:553). Dalam hal ini kelompok yang tersubordinasi adalah
masyarakat suku pendatang dan agama non-islam yang
kepentingan-kepentingan dan hak-hak mereka di anggap sebagai “warga kelas dua”.
4. Masyarakat lokal adalah masyarakat yang lahir dan menetap di Aceh
sebelum adanya masyarakat pendatang yang datang dan menetap. Dalam
hal ini masyarakat lokal adalah masyarakat suku Aceh.
5. Masyarakat Pendatang adalah penduduk yang tinggal dan menetap di
Aceh yang kampung halamannya berada di luar Aceh yang mempunya
suku, agama, dan kebudayaan yang berbeda. Dalam hal ini masyarakat
pendatang terbagi menjadi dua yaitu life time migran yaitu pendatang yang
telah menetap di Aceh sejak kecil dan resigh migran yaitu pendatang yang
belum lama menetap di Aceh, diantaranya suku Jawa, Batak, Minang,
Tionghoa dan lain-lain.
6. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis
menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok, maupun antar
individu dengan kelompok manusia. (Soekanto 2006). Dalam hal ini yang
ingin dilihat adalah bentuk interaksi antara masyarakat lokal Aceh dengan
BAB II
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif ialah
bertujuan untuk menggambarkan atau melukiskan apa yang sedang di teliti dan
berusaha untuk memberikan gambaran yang jelas dan mendalam tentang apa yang
diteliti dan menjadi pokok permasalahan. Pendekatan kualitatif diartikan sebagai
pendekatan yang menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari
apa yang diamati (Nawawi, 2006 : 203).
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Matang, Kecamatan Peusangan, Kabupaten
Bireuen. Alasan peneliti memilih daerah ini karena peneliti merasa tertarik untuk
meneliti bagaimana stereotip masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang
dan sebaliknya stereotip masyarakat pendatang terhadap masyarakat lokal dan
bagaimana interaksinya. Karena dilihat dari komposisi penduduknya daerah ini
memiliki keberagaman suku, agama dan budaya dimana suku Aceh sebagai
3.3 Unit Analisis dan Informan
3.3.1 Unit Analisis
Unit analisis adalah hal-hal yang diperhitungkan menjadi subjek penelitian
atau keseluruhan unsur yang menjadi focus penelitian (Bungin, 2007:51-52).
Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah masyarakat Desa Matang,
Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen. Dimana di dalamnya termasuk
masyarakat lokal dan masyarakat pendatang.
3.3.2 Informan
Informan merupakan subjek yang memahami permasalahan penelitian
sebagai pelaku maupun orang yang memahami permasalahan penelitian (Bungin,
2007:76). Dalam penelitian ini, pemilihan informan peneliti menggunakan teknik
purposive sampling dalam menentukan subjek penelitian. Adapun yang menjadi
informan sebagai sumber data dalam penelitian ini adalah:
1. Masyarakat Lokal 3 orang.
2. Masyarakat pendatang yang sudah menetap lebih dari 1 tahun 4 orang yakni
pendatang dari suku Jawa, suku Padang, suku Tionghoa, suku Batak.
3. Tokoh masyarakat formal ( Kepala Desa atau aparatur desa) 1 orang.
4. Tokoh adat dan tokoh agama 3 orang yakni 1 orang dari tokoh adat, 1 orang
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai
penelitian. Teknik pengumpulan data ini terbagi menjadi dua bagian, yakni:
1. Data Primer yaitu informasi yang langsung diperoleh dari informan
penelitian di lokasi penelitian. Untuk mendapatkan data primer dapat
dilakukan dengan:
a. Observasi yaitu pengamatan oleh peneliti baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Metode observasi langsung dilakukan melalui
pengamatan gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian pada saat
peristiwa sedang berlangsung (Nawawi, 2006:67). Metode observasi
langsung ini dilakukan jika informan tidak dapat menjelaskan mengenai
tindakan yang ia lakukan atau karena ia tidak ingin menjelaskan
mengenai tindakannya. Oleh karena itu data dari metode observasi
langsung diharapkan dapat menjadi penunjang data dari metode
wawancara. Data yang diperoleh dari observasi ini adalah untuk melihat
kondisi geografis lokasi penelitian tempat dimana masyarakat lokal dan
masyarakat pendatang tinggal.
b. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk
tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan
atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana
lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah
keterlibatannya dalam kehidupan informan. (Bungin, 2007).
2. Data Sekunder yaitu data yang berkaitan dengan obyek penelitian
namun bukan dari penelitian di lapangan. Data sekunder dalam penelitian
ini dapat diperoleh dari studi kepustakaan yakni dengan mencari data dari
artikel, surat kabar, tabloid, buku, internet, ataupun sumber lainnya yang
berkaitan dengan permasalahan penelitian.
3.5 Interpretasi Data
Dalam penelitian kualitatif, peneliti dapat mengumpulkan banyak data
baik dari hasil wawancara, observasi maupun dari dokumentasi. Data tersebut
semua umumnya masih dalam bentuk catatan lapangan. Oleh karena itu perlu
diseleksi dan dibuat kategori-kategori. Data yang telah diperoleh dari studi
kepustakaan juga terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan relevansinya
dengan permasalahan penelitian. Setelah itu data dikelompokkan menjadi satuan
yang dapat dikelola, kemudian dilakukan interpretasi data mengacu pada tinjauan
pustaka. Sedangkan hasil obsevasi dinarasikan sebagai pelengkap data penelitian.
Akhir dari semua proses ini adalah penggambaran atau penuturan dalam bentuk
kalimat-kalimat tentang apa yang telah diteliti sebagai dasar dalam pengambilan
3.6 Jadwal Pelaksanaan
No Kegiatan
Bulan Ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pra Obsevasi X
2 ACC Judul X
3 Penyusunan Proposal Penelitian X X
4 Seminar Proposal Penelitian X
5 Revisi Proposal Penelitian X
6 Penelitian Ke Lapangan X X X X
7 Bimbingan/Laporan Akhir X X X X
8 Sidang Meja Hijau X
3.7 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menyadari masih banyak keterbatasan
penelitian baik karena faktor intern di mana peneliti memiliki keterbatasan ilmu
dan materi dan juga karena faktor eksternal seperti informan. Untuk itu bagi para
akademisi yang menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar pengambilan
keputusan diharapkan memperhatikan keterbatasan peneliti dalam penelitian ini
yaitu:
1. Penelitian ini hanya membahas tentang stereotip masyarakat lokal
terhadap masyarakat pendatang dan sebaliknya stereotip masyarakat
pendatang terhadap masyarakat lokal dan interaksi yang terjadi antara
Matangglumpang Dua. Adapun stereotip stereotip antar masyarakat
lokal dengan pendatang ini hanya di bahas secara singkat tanpa ada
melakukan penelitian tentang penyebab-penyebab adanya stereotip
antar masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang tersebut. Namun
akan sangat menarik jika akan ada penelitian selanjutnya yang fokus
membahas tentang penyebab-penyebab timbulnya stereotip antar
masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang.
2. Ruang dan waktu dalam penelitian juga cukup terbatas, sehingga
diharapkan penelitian ini sebaiknya dilakukan dalam waktu yang
relatif lama agar data-data lapangan dapat terkumpul lebih mendalam
lagi.
3. Dalam melakukan wawancara, peneliti mengalami kesulitan dalam
berkomunikasi dengan informan yang berasal dari masyarakat
pendatang, karena peneliti sendiri yang merupakan orang lokal. Tetapi
peneliti mengingat bahwa peneliti harus lah objektif, sehingga semua
dapat teratasi. Masyarakat pendatang yang terlihat tidak mau jujur dan
takut juga menjadi salah satu keterbatasan bagi peneliti untuk
mengetahui lebih jauh dan mendalam lagi tentang stereotip mereka
terhadap masyarakat lokal. Di tambah pengalaman buruk mereka
terhadap masa konflik yang mana masyarakat pendatang lah yang
menjadi sasaran keganasan pada konflik saat itu. Itu juga lah yang
menjadikan mereka trauma dan takut untuk jujur kepada peneliti.
4. Dalam melakukan penelitian ini jumlah masyarakat pendatang di
keterbatasan bagi peneliti dimana jumlah mereka yang sangat sedikit,
sehingga sulit bagi peneliti untuk mendapatkan hasil yang maksimal
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA
4.1 Deskripsi Wilayah Penelitian
4.1.1 Sejarah Gampong Keude Matangglumpang Dua
Sama halnya dengan gampong-gampong lainnya yang ada di Aceh dimana
nama gampong di ambil dari kejadian-kejadian dan benda-benda yang menurut
masyarakat merupakan hal yang bermakna. Yangmana setiap gampong memiliki
cerita dan keunikannya masing-masing. Dan Gampong Keude Matangglumpang
Dua memiliki sejarahnya sendiri dimana nama Keude Matangglumpang Dua di
ambil dari nama sebuah pohon yaitu pohon glumpang yang hanya satu-satu di
daerah Kecamatan Peusangan saat itu.
Dari beberapa sumber diketahui bahwa pada saat itu terdapat dua pohon
glumpang sangat besar yang berada tidak jauh dari simpang empat Keude
Matangglumpang Dua, dan matang sendiri di ambil dari kata batang yang oleh
masyarakat di ganti menjadi matang, kata keude sendiri karena di antara kedua
pohon glumpang tersebut di tengah-tengahnya terdapat “Keude” (warung) kecil
milik salah seorang penduduk. Dan Keude Matangglumpang Dua sendiri pada
masa dulunya merupakan tempat berdagang yang oleh masyarakat disebut
“Keude”. Demikian terus kata Kude Matangglumpang Dua di jadikan sebagai
Namun ada juga cerita yang mengatakan bahwa pohon glumpang
berjumlah tiga pohon lalu pohon yang satunya mati dan hanya tinggal dua pohon.
Dan karena itu lah disebut dengan glumpang dua. Namun seiring berkembangnya
Gampong Keude Matangglumpang Dua menjadi pusat pertokoan dan kedua
pohon glumpang pun di potong oleh masyarakat hingga akar-akarnya hingga tidak
ada sedikitpun tersisa tepatnya pada tahun 1956. Hingga saat ini tidak terdapat
satu pun lagi pohon glumpang di gampong ini.
Suku Aceh merupakan penduduk asli di Gampong Keude
Matangglumpang Dua, namun saat ini gampong ini bukan dihuni oleh Suku Aceh
saja. Karena letak yang strategis sebagai pusat perdagangan maka banyak orang
yang berdatangan ke Gampong Keude Matangglumpang Dua untuk tinggal di
tempat ini. Beberapa pendatang yang awalnya hanya sekedar bekerja dan
beberapa akhirnya memilih menetap dan menjadi warga Gampong Keude
Matangglumpang Dua. Banyak suku yang menetap di Gampong ini diantaranya,
Suku padang, Suku Batak, Suku Tionghoa, Suku Jawa dan lain-lain. Dan
beberapa dari kedatangan suku-suku lain juga dikarenakan faktor pernikahan.
Adapun susunan pemerintahan di Gampong Keude Mtangglumpang Dua
pada tahun 2014 adalah sebagai berikut:
Geuchiek : M. Thaib, SPd
Sekretaris Gampong : Edi Saputra
Kaur Pemerintahan : Anwar
Kaur Keistimewaan Aceh dan Kesos : Anwar AR
Ka. Pemberdayaan Perempuan : Zuraida
Imum Meunasah : Tgk. Zulkifli Hanafian
4.1.2 Keadaan Geografis Gampong
Gampong Keude Matangglumpang Dua merupakan gampong yang berada
di Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen. Di mana gampong ini merupakan
ibukota Kecamatan Peusangan, dan berjarak 10 km dengan ibukota Kabupaten
yaitu Bireuen. Batas-batas Gampong Keude Matangglumpang Dua sebagai
berikut:
a. Sebelah Utara : Meunasah Timu
b. Sebelah Selatan : Paya Cut dan Neuheun
c. Sebelah Timur : Pante Gajah
d. Sebelah Barat : Meunasah Dayah
Gampong ini terletak di tengah diantara gampong-gampong lainnya di
Kecamatan Peusangan. Sehingga tepat lah gampong ini yang merupakan pusat
perdagangan yang mana pusat pasar, perkantoran dan sekolah berada di gampong
4.1.3 Sarana dan Prasarana Gampong
Terdapat beberapa prasarana desa yang fungsinya membantu msyarakat
Gampong Keude Matangglumpang Dua dalam melakukan kegiatannya
sehari-hari. Dimana prasarana ini merupakan pemberian dari pemerintah maupun hasil
dari masyarakat itu sendiri.
1. Perhubungan
Prasarana ini sangat berpengaruh pada kelancara aktifitas sehari-hari
masyarakat di Gampong keude Matangglumpang Dua. Dimana terdapat
beberapa prasarana terkait perhubungan ini seperti jalan aspal, jalan tanah,
jalan sirtu, jembatan, terminal, mobil, sepeda motor, becak motor, agkutan
umum, TV atau radio, dan surat kabar.
2. pemasaran
Dimana prasarana ini sangat membantu msayarakat dalam berdagang.
Seperti halnya kios atau warung, pertokoan, pasar dan koperasi.
3. Produksi
Sarana ini membantu penduduk Gampong Keude Matangglumpang Dua
dalam hal produksi. Sarana dalam bidang produksi yang dimiliki gampong
ini adalah saluran irigasi, dan kilang padi.
4. Sosial
Prasarana ini sangat membantu masyarakat dalam bidang sosial yang
pendidikan, dan olah raga. Dimana di Gampong Keude Matangglumpang
Dua terdapat beberapa prasarana sosial seperti:
1) Apotik : 2 buah
2) Posyandu : 1 buah
3) Rumah Sakit Swasta : 1 buah
4) Rumah Bersalin : 1 buah
5) Taman Kanak-Kanak : 1 buah
6) SD : 3 buah
7) SLTP sederajat : 2 buah
8) SMA : 1 buah
9) MAN : 1 buah
10)Perguruan Tinggi Swasta : 1 buah
11)Pesantren : 1 buah
12)Mesjid : 1 buah
13)Mushola : 1 buah
14)Lapangan Bola : 1 buah
15)Lapangan Volly : 2 buah
16)Lapangan Bulu Tangkis : 3 buah
4.1.4 Penduduk
Penduduk Gampong Keude Matangglumpang Dua berjumlah 1450 jiwa
dengan 369 KK. Dengan jumlah penduduk yang berjenis kelamin laki-laki
Tabel 1.1 Komposisi Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin
Sumber : Kantor Camat Kecamatan Peusangan
Tabel 1.2 Komposisi Penduduk berdasarkan Suku
No Suku Jumlah Persentase
1 Aceh 1375 jiwa 94,8 %
2 China 44 jiwa 3 %
3 Jawa 22 jiwa 1,5 %
4 Padang 6 jiwa 0,4 %
5 Batak 3 jiwa 0,2 %
Jumlah 1450 jiwa 100 %
Sumber : Kantor Camat Kecamatan Peusangan
Dari tabel di atas kita dapat melihat bahwa suku Aceh merupakan
mayoritas di Gampong Keude Matangglumpang Dua yaitu 1375 jiwa. Dengan No Jenis Kelamin Jumlah Persentase
1 Laki-laki 772 jiwa 53,24 %
2 Perempuan 678 jiwa 46,76 %
jumlah suku pendatang yaitu 75 jiwa termasuk di dalamnya suku Batak, suku
Padang, suku Jawa dan China.
Tabel 1.3 Komposisi Penduduk berdasarkan Agama
No Agama Jumlah penganut Persentase
1 Islam 1421 jiwa 98 %
2 Budha 29 jiwa 2 %
Total 1450 jiwa 100 %
Sumber : Kantor Camat Kecamatan Peusangan
Semua penduduk Gampong Keude Matangglumpang Dua menganut
agama Islam dan Budha dimana islam merupakan mayoritas sebanyak 1421 jiwa
dimana di dalamnya termasuk masyarakat lokal dan masyarakat pendatang suku
Jawa, suku Padang, suku Batak dan sebagian dari suku China yang menganut
agama Budha sebanyak 29 jiwa. Penganut agama Budha di gampong ini hanya
suku China walaupun sudah banyak juga dari mereka yang telah menganut agama
islam yaitu 15 orang dan hanya tersisa 29 orang yang beragama Budha.
Berdasarkan mata pencaharian, penduduk Gampong Keude
Matangglumpang Dua dapat dibagi menjadi beberapa kelompok seperti yang
Tabel 1.4 Komposisi Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah Persentase
1 Bertani 14 jiwa 2,26 %
2 Berternak 11 jiwa 1,78 %
3 Dagang 83 jiwa 13,43 %
4 Pegawai
Swasta/Negeri
275 jiwa 44,50 %
5 Lain-lain 235 jiwa 38 %
Jumlah 618 jiwa 100 %
Sumber : Kantor Camat Kecamatan Peusangan
Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa pada umumnya penduduk Gampong
Keude Matangglumpang Dua bekerja sebagai pegawai negeri/swasta dan
berdagang. Hal ini didukung dengan Gampong Kuede Matangglumpang Dua yang
merupakan ibukota Kecamatan Peusangan. Yang mana sebagian besar Gampong
ini dipenuhi dengan perkantoran, pusat pasar, pertokoan, dan sekolah. Sehingga
tidak heran banyak dari penduduk yang bekerja sebagai pegawai dan pedagang.
Sebagian besar hasil produksi dari Gampong ini merupakan dari sektor
industri kecil dan kerajinan rumah tangga, jasa, perdagangan, dan sebagian kecil
berupa pertanian dan peternakan. Dari sektor industri kecil terlihat dari beberapa
tukang jahit, tukang kue, tukang rias dan lain-lainya. Dalam sektor jasa, dapat
terlihat beberapa jenis pekerjaan jasa yang terlihat dari penduduknya seperti
pegawai negeri, pegawai swasta, bidan, dokter, dukun, supir, jasa penyewaan dan
jasa lainnya. Pada bidang perdagangan dapat terlihat bentuk usaha penduduk
Gampong Keude Matangglumpang Dua berupa warung, pertokoan, pabrik dan
lain-lain. Dan hasil petanian di Gampong ini adalah padi sawah sebanyak 0,5 h
dan kelapa sebanyak 1 h dan buah giri Matang 679 h. Hewan ternak yang biasa di
pelihara oleh penduduk di gampong ini adalah sapi, kambing, ayam dan bebek.
4.1.5 Perekonomian
Gampong Keude Matangglumpang Dua merupakan ibukota Kecamatan
Peusangan dan terletak pada poros jalan raya sehingga memudahkan akses
menuju ke ibukota kabupaten maupun jalur perdagangan antar kota dalam
propinsi. Letak Gampong yang tidak terisolasi baik dari segi komunikasi dan
transportasi sehingga kegiatan perekonomian dan perdagangan dapat berjalan
dengan baik. Sekitar jalan raya Gampong Keude Matangglumpang Dua
merupakan jejeran ruko-ruko tempat berdagang, sekolah dan perkantoran. Dimana
sebagian besar penduduk Gampong memiliki sumber penghasilan utama dari
sektor jasa, perdagangan besar atau eceran, warung kopi dan warung makan.
Komoditas khas Gampong Keude Matangglumpang Dua adalah jeruk giri
yang biasa disebut oleh masyarakat dengan “boh giri matang” dan hanya terdapat
di Gampong ini. Selain Giri Matang, komoditas khas daerah Gampong Keude
dan sate matang yang merupakan masakan khas Gampong Keude
Matangglumpang Dua.
4.1.6 Kondisi Sosial Budaya
Masyarakat Aceh yang tinggal di Gampong Keude Matangglumpang Dua
sangat kental dengan budaya Aceh dan agama islamnya misalnya dalam
penggunaan bahasa Aceh dan penggunaan syariat islam dalam pemerintahannya.
Masyarakat Aceh juga masih melaksanakan adat istiadat Aceh misalnya pada saat
upacara perkawinan (adat meukawein), kelahiran anak (adat peucicap dan
peutroen aneuek), penyambutan hal yang baru (adat peusijuek), adat dalam bulan
puasa dan acara sakral lainnya yang semuanya di lakukan sesuai dengan hal-hal
yang diperbolehkan dalam agama Islam.
Masyarakat di Gampong Keude matangglumpang Dua sangat terbiasa
dengan adanya perayaan atau khenduri yaitu perayaan maulid nabi (khenduri
maulod) yang di lakukan sebagai bentuk kecintaan kepada Rasulullah Muhammad
SAW, Khenduri Blang adalah tradisi masyarakat sebelum melakukan kegiatan
turun ke sawah, khenduri apam dilaksanakan pada bulan Rajab untuk
memperingati hari Isra’ Mi’raj sambil memakan kue apam bersama-sama di
mesjid, Khenduri Tulak Bala yakni prosesi untuk menghindari bencana, Khenduri
Ureueng Meninggai yakni adat yang dilakukan pada malam pertama orang
meninggal berada di alam kubur. Dimana setiap perayaan tersebut bagi
masyarakat di gampong ini memiliki filosofi yang menyangkut dengan nilai-nilai
Selain syariat islam di gampong Keude Matangglumpang Dua juga sangat
menjunjung tinggi pendidikan hal ini terlihat dari banyaknya sarana pendidikan
yang ada di gampong ini yaitu SD, SLTP, SMA, MAN, Pesantren dan bahkan
Perguruan Tinggi juga terdapat di Gampong ini.
4.2 Profil Informan
1. Informan yang Berasal dari Masyarakat Pendatang
1. Nama : Nur Janah Zaini
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 47 tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : pedagang
Suku : Jawa
Daerah Asal : Pekalongan
Nur Janah Zaini merupakan salah seorang pendatang di Gampong Keude
Matangglumpangdua. Awal kedatangnya ke Aceh yaitu pada tahun 1994 dengan
alasan ingin membuka usaha di Aceh. dia memiliki saudara yang sudah lebih dulu
tinggal dan menetap di Aceh dan saudaranya itu juga yang menyarankannya untuk
membuka usaha di Aceh. Nur Jana Zaini bekerja sebagai pedagang jamu
sedangkan suaminya bekerja sebagai pedagang bakso. tapi tidak bertahan lama dia
kembali lagi ke kampung halamannya karena takut dengan perang saat itu antara