• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

4.4 Stereotip Masyarakat Pendatang Terhadap Masyarakat

1. Iri Hati

Ibu Nur Janah Zaini adalah seorang pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua yang merupakan suku Jawa. Ibu Janah sudah 16 tahun

menetap di gampong ini dan dia mengaku cukup banyak mengenal sifat-sifat orang Aceh di karenakan dia tinggal di lingkungan yang keseluruhannya adalah orang Aceh saja. Dia mengatakan bahwa dia mengangap orang Aceh memiliki iri hati dan suka berburuk sangka dengan suku lain bukan tanpa alasan, dia mengaku bahwa dia sering melihat sendiri perlakuan atau tatapan sinis dari orang Aceh yang melihatnya jika membeli barang baru di rumahya atau ketika dia membeli sepeda motor baru. Menurut ibu Janah dia merasa serba salah menetap di gampong ini sebagai pendatang terlebih orang Jawa yang memiliki sejarah kelam di gampong ini. Ketika dia membeli barang baru pasti ada yang memandangnya sinis dan ketika dia capek bekerja namun dia tidak membeli apa-apa juga ada perkataan yang kurang menyenang kan dari orang Aceh. Hal ini seperti yang di katakan oleh Ibu Nur Janah Zaini yang mengatakan bahwa:

“ibuk lihat orang Aceh ini kebanyakan yang iri kalau lihat orang pendatang yang sukses disini. Kayak ibuk ini lah, kalau ada aja barang baru di rumah langsung lah ada aja yang sinis ngeliat ibuk. Tapi kalau ibuk gak ada belik apa-apa ada juga perkataan orang itu yang bikin sakit hati. Apalagi ibuk kan anak ibuk dua-duanya kuliah di Jawa sana. Itu lah orang itu ngomong “ka hek kerja peujeut hana sapu na, pu peng mandum i puwo u gampong. Shit meunan awak Jawa, peng di mita inoe aleuhnyan harta i puwo u gampong . ek i mantong i tinggai inoe” (udah capek kerja kenapa gak punya apa-apa, apa uangnya semua di kirim ke kampong. Memang kayak gitu lah orang Jawa, uang di cariknya disini abis itu hartanya di kirim ke kampong. Taik nya aja di tinggal disini) kayakgitu lah yang selalu ibuk dengar orang itu ngomong. Di pikir orang itu lah ibuk gak bisa bahasa Aceh. Ibuk memang sengaja ibuk belajar bahasa Aceh biar gak bisa di tipu-tipu orang”. (Hasil wawancara pada tanggal 23 November 2014)

Nur Janah Zaini juga mengatakan bahwa dia kerap kesal melihat orang Aceh yang suka sekali menganggap rendah suku lain, mereka menganggap bahwa hanya sukunya lah yang paling hebat dalam hal ke agamaan. Seperti halnya ketika di dalam pengajiannya dia pernah merasa di rendahkan karena di anggap tidak

bisa mengaji. Di dalam kelompok pengajiannya ibu Janah mengatakan hanya dia seorang yang merupakan orang pendatang. Dan ketika pertama dia bergabung dengan kelompok pengajian tersebut dia mendengar beberapa orang di belakangnya membicarannya. Mereka meragukan apakah orang Jawa seperti nya mampu mengaji dengan baik karena menurut mereka hanya mereka lah yang terbaik dari segi agama. Pada saat itu juga ibu Janah menegur orang-orang di belakangnya yang asik membicarakannya tersebut dan mengatakan untuk tidak meremehkan suku orang lain dan mungkin saja suku lain lebih baik dari mereka. Hal ini seperti yang di katakan oleh ibu Janah yang mengatakan bahwa:

“orang itu sukak kali lah merendah kan orang lain, apalagi yang beda suku. Yang di bilang orang itu lah kalau orang Jawa gak pande ngaji. Emang di pikirnya mereka orang-orang Aceh aja rupanya yang bisa ngaji. Disitu ibuk agak palak juga. Dalam hati ibuk, maunya di lihatnya itu di tv-tv dalam acara Tahfitz Quran. Bukannya dikit juga itu yang dari orang Jawa yang ikut lomba hafal Quran”. (Hasil wawancara pada tanggal 23 November 2014)

Hal yang sama juga di katakan oleh ibu Yulisda yang merupakan pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua yang berasal dari suku Padang. Hingga sekarang ini maka ibu Yulisda sudah 15 tahun menetap di gampong ini bersama keluarga besar dari suaminya. Dia bekerja sebagai pedagang di lingkungan yang juga kebanyakan orang Aceh. Dari beberapa pengalannya dia menganggap bahwa orang Aceh kebanyakan iri terhadap orang lain yang lebih sukses darinya. Pada intinya mereka tidak suka melihat orang lain yang lebih baik dalam hal apapun dibanding mereka. Dia melihat bahwa tetangganya yang juga merupakan adik iparnya sering sekali ikut-ikut membeli barang sama seperti yang dia beli setelah Yulisda memperlihatkannya kepada adik iparnya tersebut. Bahkan

adik iparnya tersebut mengatakan bahwa barang yang di belinya memiliki harga yang jauh lebih mahal.

Yulisda menganggap orang Aceh pantang kurang top dari orang lain. Karena rasa iri mereka lah yang membuat mereka selalu saja mengikuti apapun yang dimiliki oleh orang lain. Hal ini seperti yang di katakan oleh Yulisda yaitu:

“iya orang eceh ini sifatnya iri-iri kayaknya. Sukak kali iri kalau liat orang punya barang baru aja misalnya. Langsung lah itu di beliknya juga yang sama, gak pernah mau kalah orang itu. Apa yang orang punya harus punya juga dia. Udah gitu kalau liat punya orang selalu di bilangnya gak bagus tapi abis itu besoknya mintak pinjam. Kekgitu lah kebanyakan sifat orang Aceh”. (Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014)

2. Tidak Memiliki Sopan Santun

Dari penelitian lapangan di temukan dari salah satu informan yang merupakan masyarakat pendatang dari suku Jawa yang menganggap bahwa kebanyakan anak-anak di Aceh tidak memiliki sopan santun. Sebagai pedagang jamu dia mengaku memiliki pelanggan dari berbagai kalangan dan dengan berkeliling menjual jamu dia dapat bertemu dengan banyak orang baik itu perempuan, laki-laki, orang tua, dan anak-anak. Menurutnya anak-anak masyarakat lokal di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini sangat tidak memiliki sopan santun karena mereka sering sekali menganggilnya dengan panggilan “kah” (kau) terhadapnya setiap kali berkeliling berjualan jamu. Menurutnya sangat tidak sopan jika anak-anak menganggil “kau” terhadapnya yang sudah tua. Dan bukan ditujukan kepadanya saja, tetapi dia juga sering mendengar anak-anak memanggil “kau” juga dengan orang lain yang juga sudah

tua sepertinya, dan bahkan ada juga yang memanggil orang tua dengan namanya saja. Menurutnya itu sama sekali bukti ketidak sopanan anak-anak masyarakat lokal yang ada di gampong ini.

Ibu Janah mengaku sangat miris melihat kondisi anak-anak di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Dia mengatakan jika anaknya sendiri yang berbicara terhadap orang tua dengan tidak sopan seperti tersebut maka dia akan sangat marah dan tidak akan membiarkannya. Tetapi berbeda halnya yang di lihat oleh ibu Janah, dia mengaku geram ketika melihat anak-anak tidak sopan tersebut malah di jadikan lelucon terhadap orang-orang tua di sekitarnya dan bukan menegurnya. Seperti yang di katakan oleh ibu Janah bahwa:

“gak ada sopannya orang di Aceh ini, masak kita yang tua ini di panggil “kah” sama anak-anak muda disini. Sering kali ibu dengar kayak gitu, gak ada sopan-sopannya mereka ngomong sama orang tua. Sering ibu dengar anak-anak muda ngomong sama orang tua kayak ngomong sama orang sebayanya pas ibu keliling-keliling jualan”. (Hasil wawancara pada tanggal 23 November 2014)

Ibu Yulisda juga mengatakan yang sama dimana dia juga menganggap bahwa kebanyakan anak-anak di Gampong Matangglumpang Dua ini tidak memiliki sopan santun ketika berbicara dengan orang yang lebih tua. Yulisda sering melihat orang-orang secara bergantian lalu lalang di kedai tempat di berjualan. Dia sering melihat anak-anak yang berbicara tidak sopan dengan orang tua, dia mengaku sangat tidak suka melihatnya. Kalau di gampong ini menurut ibu Yulisda tidak ada bedanya antara anak-anak dan orang tua ketika berbicara karena kebanyakan anak-anak yang di lihatnya sering memanggil nama saja terhadap seorang yang selayaknya di panggil kakek oleh nya. Sama hal nya yang di katakan

oleh ibu janah sebelumnya, ibu Yulisda juga sering sekali melihat anak-anak yang menggunakan kata “kah” ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.

Yulisda mengatakan bahwa beberapa di antara pekerja di kedainya ada yang masih berada di jenjang SMP namun tidak sekolah lagi, menurutnya anak-anak yang bekerja di kedainya juga tidak memiliki sopan santun saat berbicara dengannya, suaminya dan bahkan dengan pekerja lain yang usianya jauh lebih tua. Hal ini seperti yang di katakan oleh ibu Yulisda yaitu:

“anak-anak disini tu kebanyakan gak sopan kalau ngomong sama orang tua, itu lah kadang ibuk gak sukak di Aceh ini itu lah, ngomong sama orang tua gak ada sopannya. Geram ibuk liatnya, masak ibuk yang tua ini di panggil “kah” sama anak-anak. Seharusnya kan panggil ibuk gitu lah kan sama orang tua, macam ngomong sama kawannya aja di buatnya gak ada sopannya. Yang geram nya ibuk itu rupanya dimana-mana memang kekgitu anak-anak itu ngomong sama orang tua bukan sama ibuk aja rupanya. Di kede ini ada anak-anak yang kerja, sebaya anak SMP trus ngomong sama orang tua kira-kira lebih tua umurnya dari ibuk dan si anak itu ngomongnya panggil nama aja sama orang tua itu. Yang iya nya gak ada yang masalah semua yang disitu. Ibuk udah geram sendiri liatnya, soalnya orang tua yang gak disopani itu ketawa-ketawa aja macam gak terjadi apa-apa”. (Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014)

3. Pelit dan Sombong

Saat penelitian lapangan di ketahui bahwa ada anggapan bahwa orang Aceh sombong dan cenderung pelit terhadap orang lain bahkan untuk dirinya sendiri, seperti yang di ketahui dari salah satu informan yang merupakan masyarakat pendatang yaitu ibu Yulisda. Ibu Yulisda sering melihatnya dalam keluarga besarnya suaminya yang sebagian besar tinggal di aerah yang dekat dengannya. Dia berfikir bahwa orang Aceh sombong dan pelit bukan tanpa alasan,

dia sering sekali kedatangan adik iparnya kerumah karena hanya untuk meminta-minta bahan-bahan masak kepadanya seperti cabai, bawang, ikan, tomat dan banyak lagi sebagainya. Padahal adik iparnya tersebut bekerja sebagai PNS di salah satu Sekolah Dasar di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini. menurutnya orang Aceh bukan hanya pelit tetapi juga kikir, dalam beberapa pengalaman ibu Yulisda orang-orang di sekelilingnya suka sekali meminta namun sangat anti untuk memberi. Bahkan orang Aceh menurutnya sangat pelit sampai-sampai untuk dirinya sendiri pun mereka pelit.

Seperti yang di lihatnya dalam keluarga besar suaminya mereka suka sekali meminta makanan yang ada di rumahnya dan ketika Yulisda menyuruh untuk membeli mereka malah tersenyum seakan tidak mampu membeli, padahal mereka memiliki gaji yang tidak sedikit. Beberapa pengalaman lainnya juga di rasakan Yulisda di kedai di tempatnya berjualan ayam goreng krispi. Menurutnya ada sebagian orang yang sering sekali meminta kremes-kremesan sisa goreng ayam tersebut, lalu yulisda mengatakan untuk memakan ayam jangan hanya memakan kremesan saja, Padahal jika di lihat orang yang sering minta-minta tersebut bukan orang yang di katakan miskin. Dan banyak orang lainnya yang menurut Yulisda suka menahan keinginan mereka karena tidak mau membeli sesuatu yang menurut mereka mahal dan buang-buang duit. Menurut Yulisda sendiri dia paling tidak suka meminta-minta milik orang lain selama dia masih mampu untuk membeli nemun lain halnya yang di lihat Yulisda dengan orang-orang Aceh.

Bukan hanya pelit, Yulisda juga menganggap bahwa orang Aceh sombong. Yulisda mengaku sangat senang untuk menegur orang-orang yang dikenalnya jika berpapasan di suatu tempat. Karena menurutnya tidak ada salahnya jika menegur orang dan memang sebaiknya yang lebih muda lah yang menegur terlebih dahulu. Dan pengalaman yang menjengkelkan menurut Yulisda melihat orang Aceh yang susah sekali menegur jika bertemu, hal ini merupakan pengalaman Yulisda ketika berpapasan beberapa kali dengan keponakan dan saudara iparnya di jalan namun sangat sering mereka tidak mau menyapa padahal dia sudah menyapanya duluan.

Yulisda juga melihat bahwa suaminya sendiri yang merupakan orang Aceh juga memiliki sifat sombong yang sama. Suaminya sangat memilih orang untuk bergaul, dia hanya mau berteman dengan orang yang lebih tinggi derajatnya dari segi keuangan dari suaminya dan dia akan terlihat merendahkan orang jika dengan orang yang statusnya lebih rendah dari suaminya. Itu juga yang sangat tidak di sukai oleh Yulisda. Dan bukan hanya itu, ketika dia duduk di kedai dia juga melihat ada beberapa orang yang jika berbicara sangat meninggi seakan-akan dia sangat kaya padahal orang tersebut sama sekali bukan orang kaya. Hal ini merupakan hasil wawancara dengan Yulisda yang mengatakan bahwa:

“menurut ibuk rang Aceh ini parah kali pelitnya orang itu, sama sendiri pun bisa orang itu pelit. Kan biasanya kita kalau pelit sama orang ka wajar ya, ini sanggup kali pelit sama diri sendiri, di tahan-tahan itu selera makannya karena gak mau bayar mahal tapi kalau kita kasih oh senang kali orang itu. Itu lah orang Aceh pelitnya minta ampun sama orang tapi kalau udah ada maunya sama kita baik kali orang itu. Sombong juga ya orang Aceh ini, di kedai ini banyak sekali yang ibuk jumpai orang-orang yang sombong sok meninggi di depan orang lain sok kaya gitu tapi kita

pun taunya kalau dia itu orang miskin”. (Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014)

4. lebih memilih orang sesama Aceh dalam banyak hal

Dalam hal ini peneliti menemukan dari salah seorang pendatang suku Batak yaitu Suprial. Sebagai pendatang Suprial merupakan Minoritas di antara keseluruhan masyarakat Aceh dan dia melihat bahwa orang Aceh lebih memilih dan lebih megutamakan dengan sesama orang Aceh dalam berbagai hal seperti memilih pacar, memilih teman, memilih Jodoh, bahkan memilih untuk mengutamakan berbelanja di tempat sesama orang Aceh juga. Ini membuatnya miris karena hal tersebut membuat Suprial susah untuk mendapatkan teman ataupun pacar di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini.

Berdasarkan pengalaman Suprial yang beberapa kali mendekati wanita di Gampong Keude Matangglmupang Dua ini tidak pernah berhasil karena menurutnya lagi-lagi mereka lebih memilih pacaran dengan sesama orang Aceh. Suprial tidak mengetahui bahwa ada angapan-anggapan negatif atau stereotip yang di percaya oleh sebagian luas masyarakat lokal di gampong ini terhadap orang Batak. Sehingga Suprial sulit untuk menemukan teman ataupun pacar disini. Hal ini seperti yang di katakan oleh Suprial bahwa:

“kalau aku sama aja semua ku liat, mau orang Aceh mau orang Batak sama aja samaku. Gak ada pulak aku membedak-bedak orang, tapi itu lah, gak ada memang aku yang akrab kali di Aceh ini. karena ku liat orang-orang Aceh ini lebih sukak orang-orang itu bekawan sama-sama orang-orang Aceh juga. Cari pacar pun aku susah kali disini, cantik-canik ceweknya tapi gak ada yang mau samaku. Ku pikir memang orang itu lebih suka pacaran

sama orang Aceh juga”. (Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014)

5. Tidak Menghargai Perbedaan Agama

Hal menarik di temukan saat penelitian lapangan ketika mewawancarai tokoh adat agama Budha di Gampong Keude Matanglumpang Dua ini yaitu ibu Elfi. Selain jumlah mereka yang sangat sedikit mereka juga menyimpan rasa kecewa mereka terhadap masyarakat lokal, menurut ibu Elfi hak-hak mereka sebagai umat bergama di batasi di gampong ini. bahkan seperti Vihara untuk tempat mereka beribadah pun tidak ada di gampong ini. untuk beribadah mereka yang beragama Budha harus pergi jauh ke ibu kota kabupaten Bireuen. Ibu Elfi mengatakan dia ingin sekali untuk membangun sendiri Vihara mereka di gampong ini dengan biaya mereka sendiri dan tidak akan meminta bantuan dari gampong. Tapi niat itu sampai sekarang tidak juga di sampaikan oleh ibu Elfi karena takut tidak akan di izinkan karena dia melihat selama ini bahwa mereka sebagai umat beragama tidak terlalu di hargai keberadannya disini. Hal ini seperti yang di katakakn oleh ibu Elfi yang mengatakan bahwa:

“sebenarnya ibuk kepengen kali supaya di bangun vihara di kampong ini dan ada memang niat ibuk untuk mengajukannya. Karena selama ini kalau mau pergiibadah itu kami harus pergi ke Bireuen sana jauh kali. Tapi ibuk gak mau bilang niat ibuk ini ke Camat karena ibuk takut kalau niat ini gak di izinkan. Rencana ibuk, ibuk mau mengajukannya ke Gubernur aja di Banda Aceh. karena kan di Banda Aceh juga ada vihara, jadi mana tau juga di izinkan untuk bangn vihara di kampong ini. Kalau memang pemerintah Aceh ini gak mau bantu soal dana, ibuk mau kok harta ibuk di pakek untuk bangun viharanya. Soalnya ada tanah ibuk yang lumayan luas dan ibuk ikhlas kalau memang untuk keperluan ummat”. (Hasil wawancara pada tanggal 28 November 2014)

Ibu Elfi mengatakan bahwa hubungan mereka dengan masyarakat lokal sebenarnya biasa-biasa saja. Mereka tidak pernah menganggap adanya masalah dengan agama lain. Menurutnya semua agama pada dasarnya sama saja selalu mengajarkan umat mengenai hal yang baik. Tetapi di Gampong Keude Matangglumpang Dua ini sangat terlihat bahwa tidak adanya antara masyarakat lokal yang beragama Islam dengan kami yang beragama Budha. Pernah suatu ketika ibu Elfi sedang mengadakan acara kecil-kecilan untuk ritual ke agamaan mereka dalam agama islam sering disebut sebagai pengajian atau wiritan, dan saat itu ibu Elfi mengaku mengundang beberapa dari masyarakat lokal untuk merayakan acara mereka tetapi tidak ada yang datang dalam memenuhi undangan ibu Elfi tersebut. Tetapi ibu Elfi tidak menyerah dan pernah suatu ketika ada yang datang walapun hanya satu orang saja. Ibu Elfi berfikir bahwa masyarakat lokal kalau kami akan menghidangkan daging babi sebagai menu di acara mereka, padahal ibu Elfi mengatakan bahwa orang-orang China di gampong ini ada

vegetarian. Hal ini seperti yang di katakan oleh ibu Elfi yang mengatakan bahwa:

“hubungan antar agama di kampong ini sih sebenarnya baik-baik aja. gak pernah ada masalah selama ini karena agama. Agama Islam dan Budhs disini berjalan masing-masing lah kalau di bilang. Gak saling membaur, tapi ibuk nanggapinya ya biasa aja. mungkin karena agama Budha disini ka memang dikit kali. Dulu kami pernah ngundang beberapa dari tokoh kampong dan masyarakat untuk datang ke acara kerohanian agama kami. bukannya gak pernah di undang, tapi ya memang gak ada yang mau datang. Terkadang ada juga yang datang tapi itu pun Cuma satu orang. Ibuk sendiri sebenarnya nganggap semua agama itu sebenarnya sama aja, semuanya mengajarkan yang baik-baik. Tapi kadang menganutnya aja yang menyalahi. Bahkan banyak orang China diisni yang dulunya Budha pindah ke agama islam. Bahkan saudara ibuk sendiri juga ada tapi ya saya hargai, kan memang itu pilihan mereka. Malah ibuk benci kalai liat orang yang udah pindah agama tapi malah di permainkan agama orang”. (Hasil wawancara pada tangggal 28 November 2014)

4.5 Bahasa Merupakan Bagian dari Identitas bagi Masyarakat Gampong

Dokumen terkait