• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

4.3 Stereotip Masyarakat Lokal Terhadap Masyarakat

Dalam hal ini akan kita rincikan stereotip yang terjadi dalam masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang. Di mana berdasarkan pengertiannya bahwa stereotip yang terjadi juga belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya namun tetap berkembang dan menjadi salah satu label kelompok dalam masyarakat. Dalam hal ini, secara umum stereotip masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang dapat kita lihat pada salah satu tokoh agama Islam di Gampong Keude Matangglumpang, yaitu Ust. Anwar (62 Tahun). Di mana dia terlihat resah dengan semakin banyaknya pendatang yang datang ke Gampong Keude Matangglumpang Dua. Bahwa dia takut kehadiran para pendatang merupakan sebuah upaya penyebaran agama Non Islam ke gampong ini. Sehingga sebisa mungkin dia dengan teman-temannya selalu mengawasi para pendatang, bahkan mereka terlihat memiliki curiga yang lebih terhadap pendatang yang Non Islam. Hal ini merupakan stereotip yang sudah terbentuk dalam kelompok agama Islam di desa ini.

Untuk secara khususnya, stereotip yang terbentuk dalam masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang akan dirincikan dibawah ini.

4.3.1 Stereotip Masyarakat Lokal terhadap Etnis Jawa

1. Penjajah

Dari hasil penelitian lapangan saya menemukan bahwa beberapa dari informan masyarakat lokal dimana mereka memiliki anggapan di kalangan mereka bahwa Pemerintahan Indonesia identik dengan etnis Jawa. mereka menganggap Pemerintahan Indonesia pernah menyisakan pengalaman yang

kurang menyenangkan yang berawal pada pemerintahan Suekarno. Inilah yang kemudian menjadi stigma di kalangan informan yang mengesankan bahwa mereka merasa di hianati, tertipu oleh Pemerintahan Indonesia yang mereka anggap sebagai pemerintahan Jawa.

Pada masa pemerintahan Suekarno, soekarno pernah mengasingkan diri di Aceh pada saat Yogyakarta yang saat itu merupakan ibu kota Republik Indonesia jatuh ke tangan Belanda. Kemudian masyarakat Aceh menyumbangkan pesawat kepada Republik Indonesia yang merupakan hasil jerih payah masyarakat Aceh. Yakni pesawat Dakota RI-001 Seulawah (pesawat pertama Indonesia). Masyarakat aceh menyerahkan pesawat tersebut kepada Pemerintahan RI untuk meneruskan perjuangan melawan penjajahan Belanda. Soekarno pernah memohon kepada Aceh untuk tetap mendukung Indonesia dan tetap menjadi penyuplai dana demi kemerdekaan Indonesia. Dengan imbalan ketika Indonesia merdeka nanti beliau akan memberikan otonomi kepada Aceh untuk menjalankan syariat islam di wilayahnya sendiri. Dan ketika Indonesia resmi merdeka Soekarno malah tidak menepati janjinya. Ini menjadikan masyarakat Aceh merasa tertipu dan akhirnya Aceh memberontak lalu muncullah konflik Aceh dan Republik Indonesia.

Kemudian pada orde baru pada masa pemerintahan Soeharto, Aceh juga di buat kecewa karena Soeharto tidak juga memberikan bahkan melupakan tentang pemberian status daerah istimewa Aceh yang telah di janjikan oleh Soekarno sebelumnya. Terlebih lagi kekecewaan masyarakat Aceh semakin bertambah parah kepada Pemerintahan Indonesia ketika ditemukannya sumber cadangan minyak dan gas alam di Lhokseumawe Aceh Utara dan diketahui terbesar pada tahun itu. Namun keuntungannya tidak pernah dirasakan oleh masyarakat Aceh.

Aceh tetap saja miskin, seluruh keuntungan mengalir ke pusat yaitu Jakarta. Dan pada saat itu posisi-posisi penting dalam pemerintahan Aceh diduduki oleh orang Jawa dan semakin besar lah kebencian masyarakat Aceh terhadap orang Jawa yang dikarenakan anggapan masyarakat Aceh bahwa Pemerintahan Indonesia adalah Pemerintahan Jawa.

Kemudian konflik Aceh berkecamuk dan Pemerintahan Indonesia menjadikan Aceh sebagai “Daerah Operasi Militer”. Semakin besar kekecewaan Aceh terhadap Pemerintahan Indonesia. Sehingga pastas saja Aceh saat itu menginginkan merdeka dari Republik Indoensia. Kebencian masyarakat Aceh terhadap Pemerintahan Indonesia berimbas kepada kebencian masyarakat Aceh terhadap suku Jawa. mereka menganggap bahwa semua suku Jawa adalah penghianat dan penipu, ini merupakan sisa-sisa dari penghianatan Pemerintahan Indonesia terhadap rakyat Aceh. Rakyat Aceh menganggap Pemerintahan Jawa yang sebenarnya adalah Pemerintahan Indonesia adalah sebagai penjajah.

Seperti yang di katakan oleh Nur Janah Zaini yang merupakan masyarakat pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua yang merupakan suku Jawa. Dia sudah menetap di Aceh sejak pada masa konflik Aceh dan Pemerintahan Indonesia. Sebagai pendatang dari suku Jawa banyak sekali penderitaan dan cacian yang dia terima di gampong ini apalagi dia sendiri adalah suku Jawa yang saat itu masyarakat Aceh sendiri sangat sentimen terhadap suku Jawa. Pada masa konflik tersebut dia pernah di usir dan di paksa keluar dari Aceh. dan pada saat itu dia terpaksa tinggal di medan dan kembali lagi ke Aceh ketika konflik Aceh sudah mereda. Beberapa cacian juga di terimanya, ada yang meneriakinya dengan “anak

buah Soeharto” dan bahkan di katai “penjajah”. Hal ini seperti yang di katakan oleh Nur Janah Zaini yang mengatakan bahwa:

“dulu ketika masa GAM itu kami orang Jawa bukan Cuma di usir dari sini tapi juga sering diteriaki sama orang-orang Aceh seperti “nyaan pat ka trok ureueng Jawa nyang aneuek buah Soeharto” (nah itu udah datang orang Jawa yang anak buahnya Soeharto). (Hasil wawancara pada tanggal 23 November 2014).

Dari hasil wawancara dengan beberapa informan baik masyarakat lokal dan masyarakat pendatang di dapati bahwa mereka manganggap masyarakat Jawa sudah mengeksploitasi sumber daya alam di Aceh namun hasilnya di pakai untuk pembangunan daerah di Jawa. Dan stereotip ini juga berlaku bagi masyarakat jawa yang mencari nafkah di Aceh. bahkan ada julukan sendiri kepada mereka orang Jawa yang bekerja mencari nafkah di Aceh yaitu “nyoe ureueng Jawa, menyoe peng dimita diisno kaleuhnyan harta i puwo u gampong, ek i manteng nyang i tinggai inoe”(ini lah orang Jawa, kalau uang dicarinya disini abis itu hartanya di kirim pulang ke kampung, taiknya aja ditinggal disini). (data di peroleh dari salah seorang masyarakat lokal yaitu Hidayatun Nufus pada tanggal 5 January 2015). Hal serupa juga dikatakan oleh salah seorang masyarakat pendatang dari suku Jawa yang mengatakan bahwa dirinya pernah di ejek dengan julukan yang sama ketika sedang berjualan jamu.

Arif Ramdan dalam bukunya yang berjudul Aceh di Mata Urang Sunda mengatakan bahwa di sejumlah daerah di Aceh, contohnya Pidie, Aceh Utara, dan Bireuen ada penyebutan khusus untuk sesuatu yang bersifat telah menjadi sisa dan tidak bermakna akibat di makan rayap. Misalnya kata “Boh Jawa”, bermakna

serbuk papan yang terdapat di dinding-dinding kayu karena habis di makan rayap. Orang Aceh mengangap begini lah etnis Jawa memakan kekayaan Aceh.

Konflik Aceh dan Pemerintahan Indonesia juga menyebabkan kecurigaan dan ketidak percayaan masyarakat lokal terhadap suku Jawa. Banyak dari masyarakat suku Jawa yang hanya ingin berjualan juga menjadi sasaran kecurigaan oleh masyarakat lokal. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Hidayatun Nufus yang mengatakan bahwa:

wate masa konflik nyan, lee ureueng Jawa nyang geu meukat pecah belah keno. Awaknyan geu jak me u rumoh-rumoh, nyan keuh nyan nyang yee ureueng Aceh, sabab awak nyan i eu-eu sampek u dalam rumoh jadi ureueng Aceh geu pikee awak nyan cuak nyang di kirem le Pemerintah Indonesia”. (Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015).

Terjemahan:

“waktu masa konflik itu, banya orang Jawa yang jualan pecah belah disini. Mereka jualannya di bawak sampek ke rumah-rumah, itu lah yang membuat orang Aceh takut karena mereka ngeliat-liat sampe ke dalam rumah, jadi orang mikir kalau mereka itu adalah mata-mata yang dikirimkan oleh pemerintah Indonesia”.

Dari beberapa pernyataan di atas, terlihat memang bahwa mereka memiliki kecurigaan dan ketidak percayaan mereka terhadap masyarakat suku Jawa. selain itu, stereotip tersebut juga muncul karena perasaan kesenjangan dari pemerintah yang pada akhirnya dapat memicu adanya rasa cemburu bahkan rasa curiga terhadap masyarakat pendatang terkhusus etnis Jawa. Stereotip yang sudah terinternalisasi dalam masyarakat lokal terhadap masyarakat pendatang etnis Jawa

susah untuk dihilangkan dan malah menimbulkan jarak atau menjadikan dinding bagi masyarakat lokal untuk dapat berinteraksi dengan masyarakat pendatang.

Dalam penelitian ini saya menemukan bahwa yang dimaksut dengan suku Jawa oleh masyarakat lokal adalah semua yang tinggal dan semua orang dengan daerah asal di pulau Jawa. Padahal kenyataannya terdapat beberapa suku lain selain suku Jawa di pulau Jawa, yaitu suku Sunda, suku Betawi, suku Tangger, suku Madura dan lain-lain.

3. Munafik

Dari penelitian lapangan di ketahui bahwa ada anggapan dari beberapa informan yang menganggap bahwa masyarakat suku Jawa adalah munafik. Anggapan ini tidak bisa di lepas dari sejarah pemerintahan Soekarno yang menyisakan pengalaman yang kurang menyenangkan terhadap masyarakat Aceh yang berujung kepada pandangan atau persepsi masyarakat lokal terhadap masyarakat suku Jawa. Kata munafik identik dengan orang yang pura-pura percaya namun di dalam hatinya tidak atau seseorang yang perbuatannya tidak sesuai dengan perkataannya.

Dalam penelitian ini, salah satu informan yang merupakan masyarakat lokal yaitu Hidayatun Nufus mengatakan bahwa dia pernah memiliki teman dekat yang merupakan orang Jawa. mereka bekerja di satu toko peralatan sekolah yang sama, ketika saya bertanya tentang suku Jawa langsung Hidayatun Nufus mengatakan bahwa “orang Jawa itu munafik”. Hidayatun Nufus merasa pernah tertipu oleh masyarakat pendatang yang merupakan suku Jawa. menurutnya dia

sudah sangat percaya dengan orang Jawa tersebut, dia menceritakan rahasia-rahasianya dan bahkan dia selalu cerita tentang masalah keluarganya. Dia percaya bahwa temanya yang merupakan orang Jawa tersebut tidak akan membocorkan atau menceritakan aibnya kepada orang lain. Tetapi jauh dari perkiraannya ternyata temannya yang merupakan orang Jawa tersebut malah menceritakan aibnya tersebut kepada teman-teman yang lain di dalam tempat kerja yang sama dengannya. Menurutnya dia merasa tertipu dengan tampilan orang Jawa yang menurutnya lemah lembut dan sopan namun munafik. Hal ini seperti yang di katakan oleh Hidayatun Nufus yang mengatakan bahwa:

menyoe loen seulama nyoe hana tom na masalah ngen masyarakat pendatang. tetapi menyoe neu tanyoeong bak loen tentang ureueng Jawa awaknyan biasa jih geut meukeu tepai meulikeut brok”. (Hasil wawancara pada tanggal 5 January 2015)

Terjemahan:

“kalau saya selama ini tidak pernah ada masalah dengan masyarakat pendatang, tetapi kalau di tanya tentang orang Jawa, orang itu biasanya di depan kita baik tapi kalau di belakang kita buruk”.

Dari pengalamannya tersebut Hidayatun Nufus mengaku berhati-hati untuk berteman selanjutnya dengan orang dari suku Jawa. pengalamannya yang merasa tertipu dengan orang Jawa menbuatnya berfikir kalau begitu lah kebanyakan sifat orang Jawa.

Pernyataan lainnya di peroleh dari informan yang merupakan masyarakat lokal yaitu Rusdi yang mengatakan bahwa dirinya sebenarnya tidak mengenal orang dari suku Jawa dengan baik, namun sepengetahuannya tentang suku Jawa dari teman-teman dan keluarganya banyak yang mengatakan bawa orang Jawa

adalah munafik. Mereka berbicara dengan sopan dan lemah lembut namun di belakang menusuk. Dia mengatakan bahwa ada pengalaman temannya yang pernah tertipu dengan orang Jawa. hal ini seperti yang di katakan oleh Rusdi yang mengatakan bahwa:

na ngeon loen ken cewwk jih ureueng Jawa. si kawannya kerja bak bangunan di banda. Ijih i peugah bak loen, jih peugah cewek jih nyan menyoe ta eu kok brat juu lage aneuek get-get. Si kawan nyan pih hana i teujeut pubut sapu. I neuk mat jaro pih hana i teujeut. Eh rupa-rupa jih hana trep i teupeu le si kawannyoe bahwa cewek jih ka mumee ngon agam laen. Nyan keuh nyan i peugah, awak Jawa nyoe i luwa sok get, sok sopan, padahai brok i dalam”. (Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014).

Terjemahan:

“ada kawanku kan pacarnya orang Jawa. si kawan ini kerja bangunan di Banda Aceh. cerita dia samaku, di bilangnya pacarnya itu nampak kayak anak baik-baik kali lah. Si kawan itu pun segan mau ngapa-ngapai, mau mengang tangannya aja segan dia. Eh rupanya gak lama ketahuan sama si kawan ini kalau pacarnya hamil sama orang lain. Itu lah katanya, orang Jawa ini luarnya sok baik, sok sopan, padahal di dalamnya busuk”.

Mendengar stereotip tentang suku Jawa yang munafik Rusdi tidak menyangkal bahwa sedikit tidaknya mempengaruhinya dalam banyak hal, termasuk dalam memilih teman, sahabat dan pacar. Bahwa akan lebih memilih untuk memiliki sahabat, pacar atau teman dari yang sesama suku dengannya yaitu suku Aceh.

Dari hasil penelitian lapangan yang saya lakukan menemukan bahwa di balik stigma negatif (Stereotip) masyarakat Aceh yang melekat pada masyarakat pendatang suku Jawa ternyata juga terdapat stigma positif (prototipe) terhadap suku Jawa yaitu:

1. Pekerja Keras

Beberapa informan ada yang menganggap bahwa orang Jawa adalah pekerja keras. Seperti yang di katakan oleh Rusdi, di balik stereotipnya terhadap orang Jawa dia juga memiliki stigma bahwa orang Jawa sangat pekerja keras. Ini seperti yang di lihatnya dari kebanyakan orang Jawa migran (orang Aceh menyebutnya) di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Dia melihat bahwa orang-orang Jawa di gampong ini kebanyakan bekerja di perkebunan, dagang, dan tukang bangunan yang di dominasi oleh suku Jawa. Rusdi membandingkannya dengan masyarakat lokal sendiri, dia melihat kebanyakan masyarakat lokal yang nongkrong di warung kopi baik dari kalangan kakek-kakek, bapak-bapak, bahkan perempuan dan anak muda juga sering kelihatan nongkronng di warung kopi. Dan sebaliknya orang Jawa di gampong ini hampir tidak pernah kelihatan ikutan nongkrong di warung kopi. Ini jelas mencermintan orang Jawa yang sangat pekerja keras dan lebih mengunakan waktunya untuk bekerja dari pada hanya sekedar nongrong di warung kopi. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Rusdi yang mengatakan bahwa:

menyoe loen eu ureueng Jawa nyoe kok brat juu pekerja keras jih, Awak nyan dumpu but item. Bukti jih lah, but-but kreuh di gampong nyoe ken awaknyan dom di dalam, yang semula lah, kerja bangunan lah, ngon jamu keliling pih na wak nyan. Kop beda menyoe ngon ureueng Aceh nyoe, pane na ureueng-ureueng Aceh nyoe yang item bu-but kreuh menyoe keun sabab ka meucepiet that. Aci ne ue mantong ureueng-ureueng yang duk-duk bak keude kupi nyan. Hantom meu ta ue pih ureueng Jawa hinan”.

Terjemahan:

“ kalau ku lihat orang Jawa ini sangat pekerja keras, Mereka kerja apapun mau. Buktinya aja lah, pekerjaan-pekerjaan keras di gampong ini kan kebanyakan orang-orang itu di dalamnya, yang bertani lah, tukang bangunan lah, dagang jamu keliling itu pun ada mereka. Beda kali kalau sama orang Aceh ini, mana ada orang Aceh ini yang mau kerja keras kalau bukan karena terjepit kali. Tengok lah yang nongkrong-nongkrong di warung kopi itu, mana pernah kita lihat orang Jawa disitu”.

Hal yang sama juga di katakan oleh salah seorang masyarakat lokal yaitu Zaryanti yang merupakan seorang pedagang di Keude Gampong Matangglumpang Dua. Dia mengaku mengenal beberapa orang Jawa yang merupakan langganannya berbelanja. Menurutnya orang Jawa sangat pekerja keras. seperti apa yang dikatakan oleh Rusdi, Zaryanti juga mengatakan bahwa orang Jawa biasanya pekerjaan apapun mereka mau. Karena bagi orang Jawa uang itu sangat berarti. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Zaryanti yang mengatakan bahwa:

loen galak loen eu ureueng Jawa, awak nyan kop brat pekerja keras, Mandum but ji tem wak nyan. Na loen meuturi ureueng meukat jamu, jih langganan loen jep jamu, kop geut ureueng jih. Ngon lako jih pih loen meuturi, awaknyan mendua sama-sama pekerja keras”. (Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014)

Terjemahan:

“aku suka kalau lihat orang Jawa, mereka itu pekerja keras kali, semua pekerjaan mau aja mereka. Ada kenalan ku tukang jualan jamu, dia langgananku. Baik kali orangnya. Dia dan suaminya pun ku kenal, mereka sama-sama pekerja keras”.

2. Lemah Lembut

Lemah lembut memang sudah merekat pada image orang Jawa. tanpa mengenal orang Jawa secara langsung juga bisa mengetahuinya. Di banyak media seperti Tv, internet dan lain-lain selalu menampilkan image orang Jawa yang lemah lembut tutur katanya dan sopan. Dalam hasil penelitian lapangan saya juga menemukan bahwa ada beberapa yang memiliki anggapan yang sama yaitu orang Jawa yang lemah lembut. Seperti yang di katakan oleh Titin Suhartini yang mengenal orang Jawa dengan image tersebut. Dia tidak pernah mengenal orang Jawa secara langsung namun jika di tanya tentang orang Jawa maka jawaban pertama yang keluar adalah orang Jawa lemah lembut tutur katanya. Dia mengakui bahwa sejak awal dia mengenal suku Jawa dari tv dia langsung suka dengan ke lemah lembutan orang-orang Jawa saat berbicara. Hal ini seperti yang di katakan oleh Titin Suhartini yang mengatakan bahwa:

iloen galak loen eu ureueng Jawa, sabab awaknyan biasa jih lembut, ramah, sopan, mangaaat juu bak ta eu. Tapi iloen jareueng shit meurempeok langsong ngon awaknyan. Tapi menyoe neu tanyong ke loen tentang ureueng Jawa yang lon teupeu ya meunan, awak nyan get, ramah ngon lembut. Tapi ya hana ta teupu shit kiban yang asli jih”. (Hasil wawancara pada tanggal 7 January 2015).

Terjemahan:

“saya suka melihat orang Jawa, karena biasanya itu lemah lembut, sopan, ramah, enak gitu lihatnya. Tapi jarang juga sebenarnya jumpa langsung sama mereka. Tapi kalau di tanya tentang orang Jawa yang saya tahu ya gituuu.... mereka itu baik, ramah dan lembut, tapi gak tau juga kayak mana aslinya”.

Sama halnya juga seperti yang di katakan oleh Safrizal. Safrizal merupakan seorang mahasiswa di sebuah universitas di Gampong Keude Matangglumpang Dua. Dia juga merupakan anak dari seorang pedagang buah-buahan di gampong ini, ini tentu membuatnya banyak bertemu dengan orang-orang baik dari masyarakan lokal sendiri dan bahkan masyarakat pendatang dari berbagai suku. Namun Safrizal mengatakan bahwa dia sangat terkesan terhadap orang Jawa yang menurutnya mereka sangat ramah, baik, dan sopan. Dia mengatakan bahwa ada beberapa pembeli di kedai buahnya yang merupakan masyarakat pendatang termasuk orang Jawa, dia mengatakan bahwa dari beberapa suku pendatang yang ada di gampong ini dia lebih menyukai suku Jawa karena menurutnya orang Jawa lemah lembut dalam berbicara. Hal ini seperti yang di katakan oleh Safrizal bahwa:

hai menurut loen masyarakat pendatang ngon masyarakat lokal nyoe sebenar jih saban mantong. Menyoe geutanyoe get ke awak nyan, pasti awak nyan get shit ke awak geutanyoe. Loen pih hana shit yang krab that ngon awak pendatang. tapi menyoe loen eu, loen lebeeh galak loen eu ureueng Jawa. that lembut awak nyan menyoe i peugah haba. Mangaat keudeh bak ta dingeu. Awak nyan deuh lage sopan meunan bak cara peugah haba jih”. (Hasil wawancara pada tanggal 25 November 2014)

Terjemahan:

“menurutku masyarakat pendatang sama masyarakat lokal ya sama aja sebenarnya. Kalau kita baik sama mereka pasti mereka juga bakal baik sama kita. Aku pun gak ada nya yang dekat kali sama masyarakat pendatang. cuman kalau ku liat, aku sih lebih suka sama orang Jawa. lembut kali orang itu kalau ngomongnya. Enak gitu dengarnya. Mereka kelihatan sopan gitu dari cara bicaranya”.

4.3.2 Stereotip Masyarakat Lokal terhadap Etnis Padang

Bicara tentang etnis Padang, beberapa informan dari masyarakat lokal mengaku memiliki banyak kesamaan dengan etnis padang. Sama-sama memiliki daerah dengan keseluruh masyarakatnya memeluk agama islam. Dan sama-sama sebagai daerah yang pernah di jadikan sebagai tempat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada masa Kolonial Belanda. Etnis Padang sangat menjunjung tinggi agama terlihat dalam motto adat minang yaitu “ada dua tali dalam hidup, yaitu tali darah dan tali adat. Tali darah yaitu islam dan tali adat yaitu budaya Minang”. Begitu juga dengan orang Aceh yang menganggap budaya dengan agama menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dimana agama islam berakulturasi dengan kebudayaan lokal. Seperti terlihat dalam motto adat Aceh yaitu “Adat ngon hukom (agama), lagei zat ngon sifeut”.

Walaupun terdapat banyak kesamaan budaya dan agama antara Padang dan Aceh namun tidak menjamin tidak adanya stereotip yang muncul antara masyarakat lokal Aceh terhadap masyarakat pendatang Padang. Beberapa stereotip tersebut di antaranya:

1. Pilih Kasih (Aceh:pileh gaseeh)

Dari hasil penelitian lapangan di temukan bahwa terdapat julukan yang yang di tujukan untuk orang Padang di Gampong Keude Matangglumpang Dua.

Dokumen terkait