• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.3 Profil Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan wilayah yang mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki hutan hujan tropis di Jawa. Tipe hutan alam di kawasan TNGHS dibagi menjadi hutan hujan dataran rendah (100-1000 m dpl) yang didominasi oleh Zona Colin (500- 1000 m dpl), hutan hujan pegunungan bawah (1000-1500 m dpl), dan hutan hujan pegunungan tengah (1500-1929 m dpl. Pada awalnya TNGHS merupakan kawasan hutan lindung dengan luas 39.941 ha selama periode 1924-1934 masa pemerintahan Hindia-Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1935 mengeluarkan kebijakan mengenai perubahan kawasan tersebut untuk menjadi cagar alam dengan nama Cagar Alam Gunung Halimun yang dikelola oleh Djawatan Kehutanan Jawa Barat (Jabar) .

Pada tahun 1977 Gubernur Jabar menyetujui usulan bahwa seluruh hutan lindung di wilayah Jabar diserahkan PHPA (Pelestarian Hutan dan Perlindungan Alam). Usulan mengenai perluasan kawasan cagar alam melebihi 40.000 ha diusulkan oleh PHPA, namun sebagian besar hutan telah dibuka menjadi lahan pertanian dan pemukiman. Sebagian hutan produksi juga masih merupakan hutan

primer. Tahun 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun dikelola oleh Perum Perhutani dan tahun 1979 PHPA juga mulai mengelola kawasan ini yang sudah diperluas menjadi 40.000 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992 kawasan Cagar Alam Halimun ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan TNGH dipegang oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, dan Departemen Kehutanan. Melihat kondisi sumberdaya alam hutan yang dari waktu ke waktu semakin terancam kelestariannya dan adanya dorongan dari pihak-pihak yang peduli akan konservasi, kawasan TNGH diperluas dengan kawasan hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan sekitarnya yang dulunya berstatus hutan produksi terbatas dan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani, dialihfungsi menjadi hutan konservasi. Melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175/Kpts-II/2003 pada tanggal 10 Juni 2003, kawasan TNGH diperluas dengan luas total 113.357 ha dan bernama resmi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Berikut riwayat pendirian dan penetapan wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak :

Tabel 5. Riwayat Pendirian dan Penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Periode Tahun Keterangan

1924-1934 Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan luas mencakup 39.941 ha

1935-1961 Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia / Djawatan Kehutanan Jawa Barat 1961-1978 Status cagar alam di bawah pengelolaan Perum Perhutani

Jawa Barat

1979-1990 Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I

1990-1992 Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

1992-1997 Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

1997-2003 Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III

2003 Status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun Salak seluas 113.357 ha (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya

Secara geografis TNGHS terletak pada 106012’58’’ BT-106045’50’’BT dan 06032’14’’LS-06055’12’’ LS. Secara administratif wilayah TNGHS termasuk dalam tiga kabupaten di Jawa Barat yaitu: Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Lebak. Hasil survei GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 menyebutkan bahwa di dalam kawasan terdapat 314 kampung dan 29 kampung lainnya berada di sekitar perbatasan kawasan (Supriyanto dan Ekariyono, 2007). Keberadaan kampung-kampung dengan masyarakat yang berinteraksi dengan kawasan merupakan suatu kondisi yang bisa menimbulkan hambatan ataupun dukungan bagi kegiatan pengelolaan TNGHS dalam jangka panjang. Masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan umumnya adalah masyarakat Sunda yang terbagi dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan masyarakat non kasepuhan. Selain keberadaan masyarakat, wilayah TNGHS juga beroperasi perusahaan pertambangan, perkebunan, industri makanan minuman, dan lain sebagainya. Kawasan TNGHS merupakan kawasan tanah hutan milik negara yang berada di bawah kewenangan Departemen Kehutanan yang disesuaikan dengan UU No.5/1990 tentang Kawasan Pelestarian Alam dan UU No.24 tahun 1993 tentang Tata Ruang, yang mana TNGHS merupakan kawasan lindung. TNGHS pun memiliki aturan zonasi yang sekiranya pihak-pihak yang berkepentingan mampu memahami dan melaksanakan sesuai aturan yang ditetapkan. Berikut tata zonasi kawasan TNGHS berdasarkan Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode 2007-2026 :

1. Zona Inti dan Zona Rimba

Zona inti dan zona rimba meliputi ekosistem hutan alam yang masih tersisa yang mana identifikasi zona ini melalui pendekatan ilmiah dengan mengkaji ekosistem dan habitat spesies penting, daerah-daerah yang secara sosial budaya memiliki nilai dan pengaruh terhadap ekosistem.

2. Zona Rehabilitasi

Zona rehabilitasi merupakan ekosistem penting serta menjadi habitat spesies penting yang telah terdegradasi seperti hutan hujan rendah, areal yang rusak, koridor Gunung Halimun Salak, dan sebagainya. Masa yang akan datang, setelah ekosistem ini pulih dapat ditetapkan menjadi zona inti atau rimba atau pemanfaatan.

3. Zona Pemanfaatan

Zona pemanfaatan berkaitan dengan areal yang akan dikembangkan untuk memenuhi fungsi-fungsi pemanfaatan di dalam taman nasional antara lain untuk wisata alam, pembangunan sarana prasarana pengunjung dan lokasi penelitian intensif. Zona pemanfaatan yang memiliki obyek wisata dan areal bekas Perhutani akan tetap dikelola oleh Perhutani dan zona yang berupa jalur-jalur pendakian dan wilayah yang rawan pengunjung akan dikelola oleh BTNGHS.

4. Zona Khusus

Zona khusus merupakan bagian dari TNGHS yang mana sebelum penunjukkan taman nasional, dalam wilayah ini sudah ada pemukiman dan garapan masyarakat sejak dulu. Selain itu juga jalan propinsi dan kabupaten yang melintas di TNGHS.

5. Zona Religi, Budaya, dan Sosial serta Zona Tradisional

Penentuan zona religi, budaya, dan sosial serta zona tradisional terbagi menjadi 2 yaitu:

a. Areal yang penting bagi kegiatan budaya yang ditentukan melalui penelusuran sejarah seperti makan di puncak Gunung Salak, situs Cibedug, dan situs Kosala di Lebak dijadikan zona religi dan budaya.

b. Wilayah dimana penduduk secara tradisional memanfaatkan hasil hutan non kayu dijadikan zona tradisional untuk memastikan akses masyarakat terhadap hutan. Wilayah yang termasuk zona tradisional adalah kasepuhan yang ada di dalam kawasan TNGHS.

6. Zona Lainnya

Zona lainnya tidak termasuk dalam Permenhut No. 56. Zona ini merupakan bagian dari taman nasional yang nantinya akan ditetapkan menjadi zona tertentu melalui komunikasi dengan para pihak.

Pada dasarnya penetapan zonasi oleh TNGHS juga dilakukan oleh masyarakat kasepuhan, yang mana masyarakat kasepuhan juga memiliki zonasi adat dalam kawasan TNGHS. Zonasi adat ini adalah :

1. Leuweung Kolot (Leuweung Tutupan), wilayah hutan yang sama sekali tidak boleh diganggu untuk kepentingan apapun. Wilayah ini dipercaya dijaga oleh roh-roh dan siapa yang melanggar akan terjadi kemalangan (kabendon).

2. Leuweung Titipan, suatu kawasan hutan yang diamanatkan oleh leluhur

kasepuhan kepada para incu putu untuk menjaga dan tidak mengganggu kawasan ini. Siapapun yang memasuki kawasan ini tanpa seijin sesepuh akan mendapatkan hal yang buruk (kabendon). Pemerintah juga harus ikut serta menjaga kelestarian kawasan ini sampai tiba waktunya kawasan ini dibuka atas seijin leluhur.

3. Leuweung Sampalan, kawasan hutan yang telah terbuka dan dapat digarap

oleh masyarakat untuk huma, sawah, dan kebun.

Kawasan TNGHS terbagi habis dalam wilayah administratif pemerintah daerah propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa yang mana pada tingkat ini secara de jure kawasan TNGHS mestinya bebas dari pemukiman penduduk. Keberadaan masyarakat sendiri di TNGHS diatur oleh regulasi pemerintah daerah. Masyarakat di dalam kawasan memperoleh pengakuan legal berupa KTP sedangkan masyarakat kasepuhan memiliki hak yang berdasarkan adat, namun secara hukum keberadaan masyarakat adat belum diakui9. Kondisi ini menggambarkan terjadinya perbedaan pandangan antara pihak TNGHS dan masyarakat khususnya masyarakat adat. Masyarakat kasepuhan sudah sejak dahulu sebelum jaman pra kemerdekaan menetap di kawasan TNGHS dengan pengelolaan sumberdaya alam yang diturunkan oleh para pendahulunya dan segala aturan adat yang sampai saat ini masih diaplikasikan dalam kehidupan mereka.

Keberadaan masyarakat kasepuhan bisa menjadi hambatan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya alam oleh TNGHS, apalagi pola hidup masyarakat kasepuhan yang berpindah-pindah yang mengikuti “wangsit” yang diterima oleh ketua adat (Adimiharja dalam TNGHS 2007). Bahkan ada dua kasepuhan yakni Ciptagelar dan Citorek yang memiliki lahan cadangan di kawasan TNGHS yang mana pada suatu saat mereka akan pindah ke lahan cadangan tersebut. Hal tersebut memang merupakan sebuah permasalahan yang harus segera ditemukan       

9

penyelesaiannya. Data menunjukkan bahwa rendahnya ekonomi masyarakat yang ada di dalam dan sekitar TNGHS dapat menyebabkan degradasi ekosistem hutan. Hal ini dikarenakan sebagian besar masyarakat bergantung hidupnya pada kawasan TNGHS sedangkan TNGHS pun harus merealisasikan visinya yakni untuk konservasi alam.