• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 TAHAP PENELITIAN UTAMA

4.2.1 Profil Whey Pres dan Curd Hasil Koagulasi

Profil whey pres dan curd hasil koagulasi diamati dan diukur setelah koagulasi terjadi. Koagulasi protein kedelai diawali dengan pembuatan susu kedelai. Total penambahan air yang digunakan untuk membuat susu kedelai dalam penelitian ini adalah 15 kali berat kedelai. Menurut Fahmi (2010), perbandingan berat kedelai dan air 1:15 menghasilkan padatan total susu kedelai sebesar 5% Brix. Padatan ini diasumsikan mewakili konsentrasi protein yang terdapat dalam susu kedelai. Total padatan susu kedelai penting dalam tahap koagulasi, karena semakin banyak protein yang terdapat dalam susu kedelai, koagulan yang dibutuhkan juga semakin banyak (Blazek, 2008).

Proses koagulasi susu kedelai memerlukan pemanasan sebagai prekursor terjadinya agregasi protein (Boye et al., 1997). Pada penelitian ini, dilakukan dua kali pemanasan, yaitu: 1) pemanasan pada suhu 100 oC selama 3 menit saat pembuatan susu kedelai, dengan tujuan mengekstrak protein kedelai serta mendenaturasi struktur alami protein kedelai; dan 2) perlakuan pemanasan susu kedelai pada suhu 83 oC dan suhu 63 oC pada tahap koagulasi dengan tujuan mempercepat proses koagulasi protein.

Koagulasi dengan koagulan whey (biang tahu) berumur 1, 2, dan 3 hari yang ditambahkan pada suhu 63 oC dan 83 oC menunjukkan bahwa proses koagulasi terjadi pada kondisi pH yang berbeda. Semakin tua umur koagulan whey yang digunakan, pH whey pres (pH koagulasi) yang dihasilkan semakin tinggi. Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata dalam hal penggunaan umur koagulan whey terhadap pH koagulasi atau pH whey pres yang dihasilkan. Namun, perlakuan suhu awal proses koagulasi menunjukkan adanya pengaruh nyata terhadap pH whey pres yang dihasilkan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, suhu awal proses koagulasi 83 oC memberikan kondisi koagulasi pada pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu awal

31 0 1 2 3 4 5 6 7 Susu kedelai 1-63 C 2-63 C 3-63 C 1-83 C 2-83 C 3-83 C p H Perlakuan

proses koagulasi 63 oC. Grafik pengaruh perlakuan umur koagulan whey dan suhu awal proses koagulasi terhadap pH whey pres dapat dilihat pada Gambar 14.

Koagulan whey atau biang tahu termasuk koagulan golongan asam. Oleh karena itu, mekanisme koagulasinya disebabkan oleh penurunan pH ke titik isoelektrik protein kedelai. Menurut Berk (1992), protein kedelai memiliki kelarutan minimum pada pH 4.2-4.6, kisaran pH tersebut dikenal sebagai titik isoelektrik protein kedelai. Namun, kombinasi penambahan koagulan dan pemanasan menyebabkan curd terbentuk pada pH antara 4 hingga 6 (Hermansson, 1994).

Nilai pH pada proses koagulasi akan berpengaruh terhadap banyaknya protein yang terkoagulasikan menjadi curd dan kadar protein yang ada di dalam whey hasil pengepresan curd. Nilai pH koagulasi yang mendekati titik isoelektrik protein kedelai akan lebih efektif dalam mengkoagulasikan protein kedelai dibandingkan nilai pH koagulasi yang jauh dari titik isoelektrik protein kedelai. Untuk mengetahui keefektifan proses koagulasi, dilakukan pengukuran terhadap kadar protein (Bradford) dan transmitan whey hasil pengepresan curd. Selain itu, tujuan pengukuran tersebut adalah menduga banyaknya protein yang terkoagulasi oleh perlakuan umur koagulan whey dan suhu awal proses koagulasi. Tabel 8 menunjukkan hasil pengukuran kadar protein Bradford whey dan transmitan whey.

Gambar 14. Grafik pengaruh umur koagulan whey tahu dan suhu awal proses koagulasi terhadap pH whey pres

Tabel 8. Kadar protein whey dan transmitan whey hasil pengepresan curd

Suhu Awal Proses Koagulasi (oC) Umur Koagulan Whey (Hari) Kadar Protein* (mg/ml) Transmitan (%T) 63 1 0.64891a 1.02043a 2 0.62829a 1.49880a 3 0.68272a 1.27030a 83 1 0.54110a 8.93326b 2 0.75646a 6.07147b 3 0.77422a 11.90720b

Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

32 Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 10), terlihat bahwa baik umur koagulan whey

maupun suhu awal proses koagulasi tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein whey pres, dengan kadar protein berkisar 0.541095 mg/ml hingga 0.774226 mg/ml. Umur koagulan whey tidak berpengaruh nyata terhadap transmitan whey pres, sementara suhu awal proses koagulasi memberikan pengaruh nyata terhadap transmitan whey pres (Lampiran 12). Suhu awal proses koagulasi 83 oC cenderung menghasilkan nilai transmitan whey pres yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu awal proses koagulasi 63 oC. Rata-rata koagulasi pada suhu awal 83 oC menghasilkan nilai transmitan sebesar 8.97064 %T dan suhu awal proses koagulasi 63 oC menghasilkan nilai transmitan 1.26318 %T.

Data nilai transmitan whey pres di atas, mengindikasikan bahwa suhu awal proses koagulasi 83

o

C lebih efektif dalam mengkoagulasikan protein dibandingkan dengan suhu awal proses koagulasi 63

o

C. Hal ini dibuktikan dengan tingginya nilai transmitan whey pres yang diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 oC, yang menunjukkan rendahnya kadar protein terlarut yang tersisa di dalam whey pres. Namun, indikasi ini tidak didukung oleh data kandungan protein whey pres yang terukur dengan metode Bradford, yaitu suhu awal 83 oC memberikan nilai rata-rata kadar protein whey

pres yang sama dengan koagulasi pada suhu awal 63 oC. Hal ini dikarenakan whey pres yang dihasilkan tidak homogen dan sulit dihomogenkan sehingga data yang dihasilkan tidak beraturan. Selain itu, nilai transmitan tidak hanya ditentukan oleh protein terlarut dalam whey pres, tetapi juga ditentukan komponen terlarut lain (seperti karbohidrat). Oleh karena itu, seharusnya perlu dilakukan perlakuan untuk memisahkan padatan selain protein yang dapat mengganggu analisis transmitan. Namun perlakuan tersebut tidak dilakukan dalam penelitian ini. Nilai korelasi antara kadar protein Bradford dan transmitan whey pres juga tidak signifikan (Lampiran 13), atau dengan kata lain keduanya tidak memiliki korelasi. Seharusnya antara kadar protein Bradford dan transmitan whey pres memiliki korelasi berbanding terbalik. Fahmi (2010) melaporkan semakin tinggi nilai transmitan whey

akan semakin rendah kadar protein Bradford.

Lampiran 13 juga menunjukkan korelasi positif yang kuat antara pH whey pres (pH koagulasi) dan transmitan whey pres. Pada kisaran pH 4.66 sampai 5.57, tingginya nilai pH koagulasi diikuti oleh tingginya nilai transmitan whey pres. Korelasi positif ini berbeda dengan teori Berk (1992) yang menyebutkan kelarutan minimum protein kedelai berada pada pH 4.2-4.6. Selain pH koagulasi, suhu awal proses koagulasi memegang peranan penting dalam menentukan nilai transmitan whey pres. Suhu awal proses koagulasi yang tinggi (83 oC) menyebabkan partikel protein bergerak lebih cepat dan intensitas untuk berinteraksi membentuk agregat juga semakin besar, atau dengan kata lain agregasi protein pada suhu awal proses koagulasi 83 oC berlangsung cepat. Suhu awal proses koagulasi yang lebih rendah, dalam hal ini 63 oC, menyebabkan proses agregasi belangsung lambat sehingga dalam waktu yang ditentukan (10 menit) masih banyak koagulat protein yang belum teragregasi membentuk curd. Koagulat yang belum teragregasi ini tidak larut sempurna dalam whey

pres sehingga mengganggu pengukuran transmitan dan menyebabkan nilai transmitan rendah. Dalam waktu yang sama (10 menit) proses agregasi protein kedelai pada suhu awal 83 oC lebih cepat dibandingkan dengan agregasi pada suhu awal 63 oC sehingga koagulasi pada suhu awal 83 oC menghasilkan whey dengan nilai transmitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan koagulasi pada suhu awal 63 oC. Menurut Milewski (2001), pemanasan akan meningkatkan energi vibrasi dan rotasi dari protein terlarut. Flokulasi pada pH yang mendekati titik isoelektrik protein akan dipercepat oleh pemanasan sehingga mempercepat terjadinya proses koagulasi.

Tabel 9 menunjukkan kadar protein, kadar air, massa, dan total padatan sampel curd yang terbentuk melalui berbagai perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey. Melalui analisis ragam (Lampiran 15), terlihat bahwa interaksi suhu awal proses koagulasi dengan umur

33 koagulan whey berpengaruh nyata terhadap kadar protein Kjeldahl curd. Suhu awal proses koagulasi 83 oC rata-rata menghasilkan curd dengan kadar protein Kjeldahl basis basah yang lebih tinggi, sekitar 12.14%, dibandingkan dengan suhu awal proses koagulasi 63 oC yang hanya 9.59%. Curd dengan kadar protein Kjeldahl tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 oC dan koagulan whey berumur 1 hari, sementara curd dengan kadar protein Kjeldahl terendah diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 oC dan koagulan whey berumur 1 hari. Hasil analisis ragam (Lampiran 17, 19, dan 21) menunjukkan bahwa hanya suhu awal proses koagulasi yang berpengaruh nyata terhadap kadar air, massa, dan total padatan curd, sementara umur koagulan whey tidak memberikan pengaruh nyata terhadap ketiga parameter tersebut. Nilai rata-rata kadar air, massa, dan total padata curd untuk perlakuan suhu awal proses koagulasi 63 oC dan 83 oC dalam basis basah masing-masing adalah 81.94% dan 79.96% untuk kadar air, 199.47 g dan 173.17 g untuk massa, serta 36.00 g dan 34.69 g untuk total padatan curd.

Tabel 9. Kadar protein*, kadar air, massa, dan total padatan curd

Suhu Awal (oC) Umur Koagulan Whey (Hari) Kadar Protein** (g/100g) Kadar Air** (g/100g) Massa** (g) Total Padatan (g) 63 1 8.99a 82.12b 198.70b 35.51b 2 9.04a 81.45b 193.60b 35.93b 3 10.73b 82.25b 206.10b 36.58b 83 1 12.84c 80.09a 177.10a 35.26a 2 12.11b,c 79.59a 166.40a 33.95a 3 11.46b,c 80.19a 176.00a 34.86a

Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

* Diukur dengan metode Kjeldahl ** Diukur dalam basis basah

Pengaruh interaksi suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey terhadap kadar protein Kjeldahl curd memperlihatkan suatu pola, yaitu kadar protein Kjeldahl curd semakin tinggi dengan semakin tuanya umur koagulan whey untuk suhu awal proses koagulasi 63 oC dan berlaku sebaliknya untuk suhu awal proses koagulasi 83 oC. Data tersebut juga menunjukkan bahwa kadar protein Kjeldahl curd tertinggi, 12.84 %, dihasilkan pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 oC dan

whey berumur 1 hari. Jika dihubungkan dengan data pH koagulasi atau pH whey pres pada Gambar 14, kadar protein curd tertinggi diperoleh ketika pH koagulasi 5.42 dan turun dengan turun/naiknya pH koagulasi. Dengan demikian, kondisi pH optimum untuk koagulasi protein kedelai KOPTI berada pada pH ± 5.42. Kondisi pH optimum tersebut diperoleh pada perlakuan suhu awal proses koagulasi 83 oC dan penambahan koagulan whey berumur 1 hari (pH 3.81) sebanyak 20% (v/v) susu kedelai.

Kadar protein curd erat kaitannya dengan kadar protein whey pres. Keduanya memiliki hubungan berbanding terbalik. Semakin banyak persentase protein yang terkoagulasikan menjadi

curd, maka akan semakin sedikit protein yang tertinggal di dalam whey pres. Efektivitas proses koagulasi dapat dilihat dari nilai keduanya. Semakin banyak persentase protein yang terkoagulasikan menjadi curd, semakin efektif proses koagulasi.

Curd yang dihasilkan melalui koagulasi pada suhu awal 63 oC memiliki kandungan air yang lebih tinggi dibandingkan curd yang dihasilkan pada suhu awal 83 oC. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 17) perlakuan suhu awal proses koagulasi memberikan perbedaan yang signifikan terhadap kadar air curd, sementara perbedaan umur whey tidak memberikan perbedaan yang signifikan. Curd

34 dengan kadar air tertinggi, 82.25%, diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63 oC dengan koagulan

whey berumur 3 hari. Sedangkan curd dengan kadar air terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83 oC dengan koagulan whey berumur 2 hari. Perbedaan kandungan air pada curd ini disebabkan oleh kecepatan agregasi protein dalam membentuk matriks curd. Agregasi pada suhu awal proses koagulasi 63 oC berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan agregasi pada suhu awal proses koagulasi 83 oC. Agregasi yang lambat memungkinkan untuk memerangkap air lebih banyak dibandingkan dengan proses agregasi yang cepat. Menurut Milewski (2001), pemanasan akan meningkatkan energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Semakin tinggi suhu pemanasan akan semakin tinggi pula energi vibrasi dan rotasi protein terlarut. Tingginya energi vibrasi dan rotasi ini menyebabkan peluang protein untuk bertabrakan dan menyatu menjadi lebih besar sehingga proses agregasi pun menjadi lebih cepat.

Massa curd dipengaruhi oleh kandungan air dan protein di dalam curd serta komponen- komponen lain yang terperangkap dalam matriks curd. Analisis ragam (Lampiran 19) menunjukkan bahwa perbedaan massa curd yang dihasilkan dipengaruhi suhu awal proses koagulasi. Melalui analisis korelasi Pearson (Lampiran 22), kombinasi perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey menghasilkan massa curd yang berbanding lurus dengan kandungan air dan total padatan curd serta berbanding terbalik dengan pH whey pres (pH koagulasi) dan kadar protein Kjeldahl curd. Massa curd tertinggi diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63 oC dengan koagulan

whey berumur 3 hari, yaitu curd dengan kadar air dan total padatan tertinggi. Sedangkan massa curd

terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83 oC dengan koagulan whey berumur 2 hari, yaitu

curd dengan kadar air dan total padatan terendah. Data ini didukung oleh pernyataan Obatulu (2007), semakin lambat kemampuan koagulan dalam mengkoagulasi susu akan memberikan rendemen massa

curd yang lebih baik karena agregat protein akan memerangkap air lebih banyak di dalam curd. Sebaliknya, koagulan yang mengkoagulasikan protein lebih cepat kurang memerangkap air sehingga massa curd yang dihasilkan lebih sedikit.

Total padatan curd merupakan selisih antara massa total curd dengan massa air di dalam curd. Data ini mencerminkan massa padatan yang ada dalam curd, baik protein maupun nonprotein yang terperangkap dalam matriks curd. Berdasarkan analisis korelasi Pearson (Lampiran 22), total padatan yang ada dalam curd berbanding lurus dengan massa curd dan berbanding terbalik dengan pH whey

pres (pH koagulasi). Semakin tinggi massa curd yang terbentuk maka akan semakin tinggi pula total padatan di dalam curd dan semakin tinggi pH maka akan semakin rendah total padatan dalam curd. Hasil analisis ragam (Lampiran 21) menunjukkan bahwa suhu awal proses koagulasi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap total padatan curd. Total padatan curd tertinggi diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 63 oC dengan koagulan whey berumur 3 hari, sedangkan total padatan terendah diperoleh dari koagulasi pada suhu awal 83 oC dengan koagulan whey berumur 2 hari.

4.2.2

Pelarutan Protein

Pelarutan dilakukan untuk mengekstrak protein sampel tepung kedelai dan curd sehingga dapat dilakukan analisis proporsi protein dalam kedelai dan curd dengan SDS-PAGE. Pelarutan tepung kedelai dilakukan sebagai pembanding hasil yang diperoleh dari pelarutan curd, terutama komposisi polipeptida penyusunnya. Pelarut yang mengandung 2-merkaptoetanol, yaitu alkil tiol yang dapat menghasilkan tiol bebas berlebih, digunakan untuk melarutkan protein sampel tepung kedelai dan

curd. Senyawa ini mampu melarutkan protein curd dengan memutus ikatan disulfida, interaksi hidrofobik, dan ikatan hidrogen yang terjadi bersamaan dengan terbentuknya curd. Menurut Rabilloud (1999), penambahan 2-merkaptoetanol dan pemanasan akan merusak struktur tiga dimensi protein. Senyawa 2-merkaptoetanol akan memutus ikatan disulfida dan mereduksinya menjadi gugus

35 sulfihidril. Adapun mekanisme pemutusan ikatan disulfida oleh 2-merkaptoetanol dapat dilihat pada Gambar 15.

Pelarutan protein merupakan syarat agar protein sampel tepung kedelai dan curd dapat di-

running dalam alat SDS-PAGE. Sampel yang akan dilarutkan/diekstrak terlebih dahulu dihilangkan kandungan lemaknya agar tidak mengganggu pelarutan protein. Lemak dihilangkan dengan merendam sampel dalam larutan heksan selama 6 jam kemudian mensentrifusenya pada kecepatan 12500 rpm selama 5 menit.

Supernatan yang diperoleh dari proses ekstraksi diukur kadar proteinnya dengan metode Bradford. Untuk mengetahui efektivitas proses pelarutan, hasil pengukuran kadar protein Bradford supernatan dibandingkan dengan kadar protein Kjeldahl sampel bebas lemak. Hasil pengukuran kadar protein Bradford dan perbandingannya dengan kadar protein Kjeldahl sampel bebas lemak untuk semua perlakuan dapat dilihat pada Tabel 10.

Gambar 15. Mekanisme pemutusan ikatan disulfida oleh 2-merkaptoetanol (Rabilloud, 1996) Tabel 10. Perbandingan total protein terekstrak dengan total protein Kjeldahl sampel bebas lemak

masing-masing perlakuan

Sampel Total Protein

Terekstrak* Total Protein Kjeldahl* Recovery (%) Tepung Kedelai 13.38 39.85 33.56 63 oC Whey 1 Hari 4.84a 11.16a 43.36a Whey 2 Hari 5.21a 12.60a 41.31a Whey 3 Hari 5.68a 13.29a 42.71a 83 oC Whey 1 Hari 5.57a 13.51a 41.25a Whey 2 Hari 5.17a 13.12a 39.43a Whey 3 Hari 5.06a 12.63a 40.05a

Nilai rataan dengan superskrip yang berbeda dalam kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0.05)

36 Hasil analisis ragam (Lampiran 26) menunjukkan bahwa baik perlakuan suhu awal proses koagulasi maupun umur koagulan whey tidak berpengaruh nyata terhadap total protein yang dapat terekstrak dengan metode pelarutan protein. Selain itu, analisis ragam (Lampiran 24) juga menunjukkan bahwa perlakuan suhu awal proses koagulasi dan umur koagulan whey juga tidak berpengaruh terhadap total protein Kjeldahl curd bebas lemak sehingga persen recovery yang diperoleh pun tidak berbeda nyata. Rata-rata persen recovery pelarutan protein hanya mencapai 41.35%, lebih tinggi daripada persen recovery pelarutan tepung kedelai yang hanya 33.56%.

Persen recovery dari pelarutan protein tidak mencapai 100%. Total protein yang diukur dengan metode Kjeldahl adalah total nitrogen (N) yang ada di dalam curd, baik N yang berasal dari protein maupun N yang berasal dari komponen nonprotein. Sementara Bradford hanya mengukur protein yang terlarut dalam supernatan hasil pelarutan protein. Jika dilihat dari akurasinya, metode Bradford memiliki akurasi yang lebih baik daripada metode Kjeldahl. Selain itu, pembuatan curd yang menggunakan pemanasan juga mengubah konformasi dan komposisi protein kedelai sehingga kemudahan protein untuk dilarutkan juga mengalami perubahan.

Menurut Corredig (2006), pemanasan pada pembuatan curd mengubah konformasi protein kedelai dan ikatan disulfida serta menginisiasi terbentuknya interaksi hidrofobik dan ikatan hidrogen. Hasil penelitian Sulieman et al. (2008) menunjukkan perubahan proporsi globulin, albumin, prolamin, dan glutelin dalam protein empat kultivar lentil (famili leguminosa) akibat pemasakan. Pemasakan menyebabkan perubahan yang signifikan terhadap keempat protein tersebut. Globulin, albumin, dan prolamin mengalami penurunan yang signifikan, rata-rata sekitar 4% untuk globulin, 23% untuk albumin, dan 0.35% untuk prolamin. Sementara glutelin mengalami peningkatan rata-rata sekitar 22% sehingga protein tak terlarut meningkat sekitar 4.5%. Fahmi (2010) juga melaporkan bahwa proporsi protein kedelai mengalami perubahan setelah pemasakan menjadi curd. Baik menggunakan koagulan CaSO4.2H2O maupun CH3COOH rata-rata protein globulin, albumin, dan prolamin mengalami

penurunan masing-masing sekitar 3%, 10%, dan 0.03%. Berbeda dengan ketiga protein tersebut, rata- rata glutelin mengalami peningkatan sebesar 3%. Hasil kedua penelitian ini ikut memperjelas penyebab dari nilai protein recovery yang hanya mencapai 41%.

Dokumen terkait