• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Pengalaman Berduka

2. Proses berduka berdasarkan teori Sanders

Fase ini merupakan fase yang dialami individu ketika mengalami perubahan fungsi fisiologis dan psikologis secara tidak disadari pada saat pertama kali menyadari terjadinya kehilangan.

Shock secara umum digunakan untuk menggambarkan sejumlah trauma yang derita. Secara natural, trauma ini bergantung pada banyak hal: bagaimana, kapan, dan dimana kematian itu terjadi. Jika kematian digambarkan terjadi dengan sangat cepat dan tiba-tiba, shock yang dialami oleh anggota keluarga mungkin akan lebih kuat. Kondisi dimana kematian terjadi akan mempengaruhi tingkat keparahan dan panjangnya waktu yang dibutuhkan pada fase shock.

Fase shock memiliki beberapa karakteristik umum, yang dapat diidentifikasi sebagai:

i. State of Alarm

Ketika berada dalam keadaan shock, tubuh berada dalam keadaan tanda-tanda fisiologis yang kuat. Respon fisik ini adalah reaksi natural ketika perasaan aman sedang terancam. Ketika mengalami kehilangan (loss), reaksi yang dirasakan seperti perasaan takut dan kadang-kadang menjadi panik. Akibatnya, tubuh membentuk sebuah posisi pertahanan untuk melindungi diri.

ii. Ketidakpercayaan

Ketidakpercayaan dan penolakan terjadi ketika dalam keadaan berduka karena kedua hal ini bertindak sebagai pertahanan. Kedua hal ini membantu untuk menjalani proses kehilangan (loss) yang sesungguhnya. Pada saat pertama kali mengalami grief, sangat tidak

mungkin untuk berpikir tentang hal lain kecuali tentang kehilangan (loss).

iii. Confusion

Mulai merasa kebingungan, tidak bisa mengingat apapun, sulit berkonsentrasi, menghilangkan benda-benda seperti kunci, kacamata, atau buku agenda, dan merasa sulit untuk mengambil keputusan. Reaksi ini sangat normal. Dunia seakan-akan telah hancur saat orang yang dicintai diambil.

iv. Restlessness

Di awal masa duka, individu akan merasa resah dan gelisah. Meningkatnya tegangan pada otot-otot menyebabkan perpindahan tanpa sadar dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Individu sering terlihat berjalan mondar-mandir dari suatu ruangan ke ruangan yang lain tanpa suatu tujuan yang jelas.

v. Feelings of Unreality

Merasa bahwa keadaan yang dialami saat itu bukanlah suatu hal yang nyata. Ini merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri dalam menghadapi situasi emosi yang sangat menyakitkan.

vi. Helplessness

Individu merasa membutuhkan pertolongan, karena peristiwa kehilangan merupakan suatu kejadian dalam hidup yang dapat menyebabkan individu sulit mengontrol diri, dan tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan untuk mengembalikan orang yang dicintai. Individu merasa seperti anak-anak kembali, serta membutuhkan bantuan orang lain untuk mengontrol diri sehingga dapat menjalani hidup secara wajar.

b. Fase Kedua: Awareness of Loss

Fase kedua ini ditandai dengan emosi yang tidak menentu setiap harinya. Saat bangun pagi individu merasa cemas dan merasa takut saat akan beranjak dari tempat tidur. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan karena kehilangan orang yang begitu dekat dan disini individu mulai menerima dan menyadari kenyataan yang terjadi. Ada beberapa karakteristik dari fase ini:

i. Separation Anxiety

Individu merasa takut akan bahaya, merasa tidak aman dan terjadi pergolakan batin dalam diri individu. Ada kecemasan yang berlebihan karena merasa kehilangan orang yang selama ini begitu dekat dan menjadi tempat individu bergantung baik secara fisik maupun psikologis.

ii. Conflict

Rasa kehilangan dapat menimbulkan banyak konflik. Dari penelitian ditemukan bahwa banyak orang yang mengalami grief takut untuk tinggal sendiri tetapi juga ragu untuk tinggal dengan orang lain, disini terjadi konflik dalam diri orang tersebut. Konflik lain yang sering terjadi adalah antara adanya perasaan tidak rela akan kehilangan orang yang dicintai.

iii. Acting Out Emotional Expectations

Orang yang mengalami grief, sering melakukan tindakan emosional secara tidak sadar, seperti marah tanpa alasan yang jelas.

iv. Prolonged Stress

Individu memilih cara untuk mengeluarkan emosinya, baik dengan menangis, berteriak, ataupun memilih untuk menahan kesedihannya.

c. Fase Ketiga: Conservation and The Need to Withdrawal

Fase ini adalah fase dimana individu lebih suka menyendiri dan menarik diri dari pergaulan. Di fase ini, individu merasa sangat kelelahan, dan memerlukan istirahat dan pemulihan kembali. Berikut adalah karakteristik dari fase ini:

i. Withdrawal and the Need to Rest

Selama periode ini individu lebih suka menyendiri, menjauh dari teman-teman untuk dapat berpikir dan istirahat.

ii. Despair rather than Depression

Individu kehilangan harapan dan merasa putus asa karena menginginkan orang yang dicintainya dapat kembali seperti semula atau sebelumnya

iii. Diminished Social Support

Orang yang mengalami grief membutuhkan dukungan sosial sebanyak mungkin dan dalam jangka waktu yang lama untuk membantunya menjalani grief. iv. Helplessness or Loss of Control

Individu merasa membutuhkan pertolongan karena merasa tidak berdaya dan kehilangan kendali.

d. Fase Keempat: Healing

Pada fase ini, seseorang mulai mencoba keluar dari grief yang ia alami. Beberapa karakteristiknya adalah:

i. Reaching a Turning Point

Orang yang mengalami grief mulai memasuki proses pemulihan, tetapi sulit untuk menentukan kapan dan dimana seseorang mulai mengalami hal itu karena tidak ada

peningkatan aktivitas secara tiba-tiba. Individu perlahan-lahan menyadari bahwa kekuatannya telah pulih dan ia melakukan lebih banyak kegiatan dan tidak mudah lelah seperti yang dialaminya pada waktu-waktu sebelumnya. ii. Assuming Control

Individu mulai dapat mengendalikan dirinya kembali setelah melewati peristiwa yang menakutkan, khususnya yang telah membuat perubahan secara drastis terhadap diri individu. Pada fase ini individu sangat takut untuk mengambil keputusan, terutama yang dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk sehingga ia lebih banyak diam dan tidak bertindak apapun.

iii. Relinquishing Roles

Pembagian peran dalam keluarga, dimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda sehingga tercipta stabilitas dan keseimbangan dalam keluarga. Ketika keluarga ”kehilangan” salah satu anggotanya, terjadi perubahan keseimbangan sistem keluarga sehingga harus dilakukan penyesuaian kembali. Peranan itu harus digantikan anggota keluarga lain, misalnya: peran ayah diambil oleh anak laki-laki. Menyerahkan peran dan mendapat peran yang baru adalah hal yang paling berat yang dialami individu.

iv. Forming a New Identity

Kematangan yang diperoleh ketika individu mampu untuk menerima tanggung jawab baru dan menjalani hidup yang berbeda yang lebih didasarkan pada keputusannya sendiri daripada pada keputusan yang diambil oleh orang lain.

v. Centering Ourselves

Individu tidak dapat memulai memperbaiki diri tanpa memusatkan perhatian pada dirinya terlebih dahulu. Tanpa proses pemusatan itu, individu tidak mengetahui bagaimana perasaannya sebenarnya, apa yang ia butuhkan untuk dirinya atau apa yang ingin dilakukan. Memusatkan perhatian pada diri bukan berarti lebih mengutamakan ego atau self centered, melainkan individu mencari pusat stabilitas dirinya. Individu harus yakin bahwa ia dapat membut keputusan terhadap dirinya sendiri berdasarkan kebutuhan dan nilai-nilainya sendiri, bukan karena orang lain.

5. Fase Kelima: Renewal

Pada fase ini, seseorang mulai beradaptasi, menerima, dan belajar untuk menjalani hidup tanpa kehadiran orang yang ia kasihi

yang sudah meninggal dunia. Karakteristik fase ini adalah sebagai berikut:

i. Renewing Self Awareness

Setelah peristiwa grief, terjadi suatu proses transisi yang membawa individu dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Individu membutuhkan waktu untuk memproses hal-hal yang telah dialaminya, sebelum ia mampu menerima suatu hal yang baru.

ii. Accepting Responsibility for Ourselves

Individu bertanggungjawab atas hidup dan nasibnya sendiri.

iii. Learning to Live Without

Kehilangan anggota keluarga berarti adalah belajar untuk hidup tanpa mereka. Jika individu benar-benar ingin memulai suatu hidup yang baru, ia perlu mencari aktivitas lain untuk mengisi kekosongan dihidupnya.

Peneliti menggunakan teori dari Sanders karena teori tersebut sesuai dengan tujuan peneliti yaitu melihat pengalaman proses berduka. Melalui teori yang dikemukakan oleh Sanders ini peneliti juga dapat melihat tahapan proses berduka secara lebih jelas pada tiap individu.

Dokumen terkait