• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman proses berduka pada individu dewasa awal yang telah kehilangan orang tuanya - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengalaman proses berduka pada individu dewasa awal yang telah kehilangan orang tuanya - USD Repository"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

PENGALAMAN PROSES BERDUKA PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG TELAH KEHILANGAN ORANG TUANYA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Novita P. Tambunan

NIM : 089114007

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

PENGALAMAN PROSES BERDUKA PADA INDIVIDU

DEWASA AWAL YANG KEHILANGAN ORANG TUANYA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Novita P. Tambunan

NIM : 089114007

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Good things comes to those who wait

mama

Sebab di dalam Dia kamu telah menjadi kaya dalam segala

hal: dalam segala macam perkataan dan segala macam

pengetahuan -1 Kor 1 : 4

(6)
(7)

vi

EXPERIENCE OF GRIEF PROCESS ON EARLY ADULTHOOD WHO LOSS THEIR PARENT

Novita P. Tambunan ABSTRACT

This research aims to know about the experience of grief that happened to individual that left by their parent. This topic is worth studied because some of research did not discussed experience of grief variety. The previous research only uses one subject. These findings are not good enough because it did not give variety of grief experience that is different in each person. This study use qualitative method, narrative analysis. The subjects of this study are five people and the data was collected by interviewing the subjects. Five phase of grief that they have through are shock, awareness of loss, conservation and need of withdrawal, healing and renewal, even some subjects cannot pass those phase. According to data analysis, it is shown that some subjects passed that phase randomly and the other passed the phase chronologically. In the end, varieties grief process could give turning point to those subjects. Through this study, we could find two structure of narrative that is progressive and stable.

(8)

vii

PENGALAMAN PROSES BERDUKA PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG KEHILANGAN ORANG TUANYA

Novita P. Tambunan ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengalaman berduka yang dialami oleh individu yang ditinggal oleh keluarganya. Hal ini menarik karena beberapa penelitian yang telah diadakan kurang membahas pengalaman berduka secara beragam. Penelitian sebelumnya melihat pengalaman berduka seorang anak karena kematian orang tua, akan tetapi penelitian tersebut hanya menggunakan satu subjek. Hal ini dirasa kurang memadai karena tidak memberikan keberagaman pengalaman berduka yang tidak sama pada setiap individunya. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif narasi. Subjek dalam penelitian ini berjumlah lima orang dan data diambil dengan menggunakan wawancara. Lima fase berduka yang dilalui oleh para subjek adalah shock, awareness of loss, conservation and the need to withdrawal, healing dan renewal, meskipun tidak semua subjek melalui kelima fase tersebut. Dari analisa data dapat dilihat bahwa kelima subjek menjalani fase secara tidak berurutan dan subjek lainnya menjalani fase secara berurutan. Proses berduka yang beragam pada akhirnya mampu memberikan titik balik kepada para subjek. Selain itu dari kelima subjek ditemukan pula dua struktur narasi yaitu struktur narasi progresif dan struktur narasi stabil.

(9)
(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmatNya lah penelitian yang berjudul Pengalaman Berduka Pada Individu Dewasa Awal Yang Kehilangan Orang Tuanya dapat selesai dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penyelesaian penelitian ini banyak orang yang membantu dengan berbagai cara dan bentuk. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Alm. ibu Dr. Christina Siwi Handayani, yang telah menjadi dosen pembimbing akademik saya sedari semester awal hingga beliau menutup usia. Terima kasih atas semangat dan dorongan yang telah ibu berikan selama ini.

3. Ibu Dr.Tjipto Susana, selaku dosen pembimbing saya. Terima kasih atas kesediaan dan kesabaran ibu dalam membimbing saya sampai penelitian ini selesai.

4. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M. S dan ibu Agnes Indar Etikawati, M. Si, Psikolog selaku dosen penguji.

5. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

(11)

x

membantu saat praktikum. Terima kasih juga Mas Doni yang membantu dalam peminjaman buku-buku di ruang baca.

7. Untuk YH, LS, MA, FN dan MK terima kasih atas kesediaannya berbagi cerita dan menjadi subjek dalam penelitian ini. Tanpa kalian, penelitian ini tidak akan selesai.

8. Papa dan Mama. Terima kasih untuk segala bentuk dukungan yang diberikan, baik dalam bentuk doa, semangat, pemakluman dan kehadiran. Walaupun kalian jauh, tetapi selalu terasa dekat. Terima kasih papa dan mama, I love you!

9. Untuk kedua krucil, Yohanes dan Joshua. Terima kasih telah menjadi adik yang baik disaat diperlukan dan menjadi adik yang nakal disaat tidak diperlukan. Both of you always be my little brother.

10.Untuk Benedictus Ananta Depriambodo, terima kasih atas dukungan dan semangatnya dari awal sampai akhir. Belajar bersama untuk kebaikan bersama. Go go mbil!!

11.Untuk Eneng dan Gendut. Terima kasih untuk semua kelapangan dada, telinga untuk mendengar dan pelukan yang selalu ada. Tahun-tahun perkuliahan tidak akan sama tanpa kekonyolan, kecerobohan dan keisengan kalian. I love you guys.

12.Untuk songong family, kalian adalah keluarga kecilku. Terima kasih untuk semua hal konyol yang sudah kita lalui dan „rumah‟ yang sangat nyaman. 13.Untuk Kak Lusi, Mba Ayu, Mba Raras. Kiki, Ve. Kalian adalah

(12)

xi

14.Untuk Felix dan Nicko, terima kasih untuk semua semangatnya.

15.Untuk teman satu bimbingan skripsi Intan, Ines, Risa, Cynthia dan Puji. Terima kasih atas bantuan info dan dorongan semangat yang selalu ada dari kalian.

16.Untuk teman-teman psikologi 2008 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih untuk menjadi teman angkatan yang selalu ceria. Selalu menyenangkan bertemu dengan kalian.

17.Semua pihak lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Terima kasih.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna, maka dari itu peneliti ingin meminta maaf jika ada kesalahan yang disengaja maupun tidak. Peneliti berharap penelitian ini dapat berguna bagi pembaca.

(13)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRACT ... vi

ABSTRAK ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR BAGAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

1. Manfaat Teoritis………...….……... ... 7

2. Manfaat Praktis……….… ... 8

(14)

xiii

A. Duka karena Kematian Orang Tua ... 9

B. Pengalaman Berduka ... 11

1. Proses berduka berdasarkan teori Bowlby ... 11

2. Proses berduka berdasarkan teori Sanders ... 11

```a .Fase Pertama ... 11

b. Fase Kedua ... 14

c. Fase Ketiga ... 15

d. Fase Keempat ... 16

e. Fase Kelima ... 18

C. Narasi ... 20

BAB III METODE PENELITIAN ... 23

A. Jenis Penelitian ... 23

B. Fokus Penelitian ... 24

C. Subjek Penelitian ... 25

D. Metode pengumpulan data ... 26

E. Kredibilitas Penelitian ... 28

F. Metode Analisis Data ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 30

A. Proses Pengambilan Data ... 30

1. Persiapan Peneitian ... 30

2. Proses Pengambilan Data... 31

B. Hasil Analisa ... 32

(15)

xiv

2. Subjek 2 ... 37

3. Subjek 3 ... 40

4. Subjek 4 ... 44

5. Subjek 5 ... 48

6. Kesimpulan Umum ... 52

C. Pembahasan ... 57

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68

A. Kesimpulan ... 68

B. Saran ... 69

1. Bagi Lingkungan Sosial ... 69

2. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Jadwal Pengambilan Data ... 31

Tabel verbatim subjek 1 ... 74

Tabel verbatim subjek 2 ... 94

Tabel verbatim subjek 3 ... 107

Tabel verbatim subjek 4 ... 125

(17)

xvi

DAFTAR BAGAN

Bagan Fase Berduka Subjek 1 ... 63

Bagan Fase Berduka Subjek 2 ... 64

Bagan Fase Berduka Subjek 3 ... 65

Bagan Fase Berduka Subjek 4 ... 66

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran subjek 1 ... 91

Lampiran subjek 2 ... 105

Lampiran subjek 3 ... 123

Lampiran subjek 4 ... 145

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehilangan dapat datang dalam berbagai bentuk dalam kehidupan kita. Akan tetapi, tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian dari seseorang yang kita cintai. Kematian dapat terjadi di segala fase kehidupan manusia. Orang dewasa lebih sering mati karena penyakit kronis, seperti sakit jantung dan kanker, sedangkan mereka yang berusia dewasa muda lebih sering mati karena kecelakaan. Penyakit yang diderita orang dewasa seringkali membuat mereka sekarat dan melumpuhkan sebelum akhirnya menuju kematian (Santrock, 2002).

(20)

Rasa berduka normal bagi mereka yang ditinggalkan. Rasa berduka ini timbul karena munculnya rasa terkejut, tidak percaya akan perginya orang yang mereka cintai. Rasa duka yang dialami pada awalnya menyakitkan dan membaik seiring berjalannya waktu (Liebman, 2001). Kematian orang tua dapat menghilangkan banyak hal seperti cinta, saran, bimbingan, model pengasuhan bahkan penyangga antara kita dan kematian. Banyak orang yang berduka juga mengalami perasaan tidak memiliki harapan, tidak sadar mengenai dirinya sendiri nyata atau tidak, tidak memiliki orientasi dan kurang sadar mengenai kenyataan, seperti kehilangan ketertarikan pada berbagai hal dan ketidakmampuan dalam konsentrasi atau mengingat. Gejala perilaku dan jasmaniah seperti menangis, kehilangan selera makan dan berat badan, kurang bertenaga dan kepercayaan terhadap obat penenang dan alkohol adalah hal-hal umum yang sering ditemukan. Efek dari rasa berduka seperti ini kurang begitu baik bagi diri orang yang ditinggalkan sehingga membutuhkan cara untuk melepas emosi yang dimiliki.

(21)

hal ini akan menjadi satu pukulan yang besar. Pada kasus orang tua yang kehilangan anaknya karena kematian, orang tua kehilangan mimpi-mimpi dan harapan-harapan yang telah mereka tanamkan pada diri anak. Orang tua juga kehilangan harga diri mereka sendiri karena merasa gagal untuk menjaga anak (S. Dorothy, 2010). Sedangkan kehilangan sosok orang tua bagi anak juga merupakan pukulan yang besar. Selain kehilangan sosok yang membimbing, anak juga akan lebih mudah merasa kehilangan arah. Pengalaman awal akan penolakan dan kehilangan (seperti saat orang tua meninggal) dapat menyebabkan perasaan kesepian yang bertahan lama (Santrock, 2002).

(22)

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Cahyasari (2009) mengenai rasa berduka pada remaja yang ditinggal oleh orang tuanya. Penyebab kematian orang tua subjek adalah karena penyakit. Hasil yang diperoleh adalah subjek mengalami perubahan dalam pola tidur dan konsentrasi saat orang tua nya meninggal. Kelemahan dari penelitian ini adalah peneliti hanya menggunakan satu subjek sehingga tidak bisa melihat keragaman pengalaman berduka yang berbeda. Hal ini menjadikan pengalaman berduka menarik untuk diteliti lebih lanjut terhadap subjek yang lebih beragam agar bisa melihat pengalaman berduka yang terjadi dan hasil akhir dari pengalaman itu sendiri.

Seorang anak yang berduka biasanya menolak mempercayai bahwa orang tuanya telah meninggal, memprotes dengan penuh semangat dan berusaha untuk mencari cara agar orang tuanya kembali. Terkadang seorang anak menerima kenyataan bahwa orang tuanya sudah tiada dan memulai untuk mengorganisir ulang hidupnya. Meskipun dengan dukungan sosial yang kuat, untuk melewati rasa kehilangan akibat kepergian orang tua bukanlah hal yang mudah. Seperti juga pada orang dewasa, derajat rasa berduka yang dimiliki seorang anak kecil terhadap kematian orang tua nya tergantung apakah hubungan yang terjalin adalah hubungan ketergantungan atau hubungan yang bertentangan.

(23)

karena karena pada anak-anak mereka belum mengerti dengan peristiwa yang terjadi. Kondisi tersebut juga bias terjadi pada remaja dimana remaja adalah masa pencarian jadi diri dan membutuhkan kontrol diri untuk mengarahkan ke arah yang positif. Namun pada orang dewasa juga akan berdampak pada sikap dan perilakunya. Hal ini memungkinkan terjadinya maju-mundur nya fase berduka individu dewasa awal yang menghadapi kematian orang tuanya (Santrock, 2002).

Meskipun perpisahan dengan orang tua tidak secara langsung mengarah kepada psikopatologi, hal ini dapat memicu rangkaian kejadian-kejadian negatif yang efeknya bisa bertahan dari waktu ke waktu (Maier, E. Hailey and Lachman, Margie E., 2000). Satu pandangan menyebutkan bahwa kita akan melewati tiga fase duka cita setelah kita kehilangan seseorang yang kita cintai : terkejut, putus asa dan pulih kembali. Didukung dengan pandangan lainnya yang menyebutkan bahwa ada empat fase yang akan kita lalui yaitu kelumpuhan, rindu, depresi dan pulih kembali (Santrock, 2002).

(24)

Proses duka yang dialami oleh seseorang dapat dilihat melalui cerita pengalaman berduka, baik melalui tulisan pribadi mereka seperti buku diari atau sebuah karya biografi yang bercerita mengenai pengalaman mereka. Sedney, Baker dan Gross (1994) menyatakan bahwa cerita mencakup kejadian emosional, dapat membantu individu dan keluarganya mendapatkan kontrol atas kejadian tersebut, meredakan tegangan emosional, membuat pengalaman lebih bermakna dan menghubungkan pengalaman-pengalaman yang berbeda yang dimiliki oleh tiap orang (Bosticco, dkk, 2005). Berdasarkan pernyataan sebelumnya, bercerita dipercaya bisa mengurangi tegangan emosional sehingga efek-efek buruk yang biasa ditemui pada orang yang ditinggalkan bisa berangsur-angsur menghilang.

McAdams (1990) percaya bahwa cerita merupakan sebuah pengertian dari hati untuk menyampaikan tujuan manusia dan pembuatan ide (Bosticco, dkk, 2005). Cerita juga merupakan salah satu fungsi katarsis untuk seseorang (Bosticco, dkk, 2005). Melalui cerita seorang individu dapat menyalurkan ide-ide mengenai hal-hal yang dialaminya, bagaimana perasaannya saat itu dan apa yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Melalui cerita akan dapat ditemukan banyak hal-hal yang diperlukan untuk mengetahui bagaimana seseorang bisa melewati pengalaman berduka yang dialami olehnya. Selain itu melalui cerita, juga dapat dilihat proses yang dilewati oleh individu untuk melalui pengalaman berdukanya.

(25)

berduka juga merupakan salah satu pengalaman yang paling menyakitkan dari semua pengalaman manusia (Clark, 2004). Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana pengalaman berduka yang dialami oleh seseorang yang menghadapi kematian orangtua dan dampaknya melalui cerita.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pengalaman berduka yang dialami seorang individu dewasa awal yang kehilangan orangtua?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui mengenai pengalaman proses berduka melalui struktur narasi yang dialami oleh individu yang ditinggal oleh orang tuanya.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

(26)

2. Manfaat Praktis

(27)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Duka karena Kematian Orang Tua

Menerima kenyataan mengenai kematian yang sudah diperkirakan atau terjadi secara tiba-tiba, sama menantangnya. Ketika kematian terjadi secara tiba-tiba, tidak ada waktu untuk mempersiapkan dan seringkali tidak adanya kesempatan untuk mengucapkan perpisahan. Emosi yang dirasakan bisa sangat beragam, tergantung dari hubungan dan penyebab kematian (Liebman, 2001).

Seseorang yang memiliki hubungan yang erat dan baik dengan orang yang meninggal akan mengalami rasa berduka yang berbeda dibandingkan dengan orang yang memiliki hubungan yang renggang dan buruk dengan orang yang meninggal. Rasa berduka akan kepergian orang yang disayang akan menjadi hal yang sulit. Anda akan mengingat waktu-waktu yang dihabiskan bersama. Hal-hal besar dan hal-hal kecil sekalipun akan menjadi pancingan yang mudah bagi ingatan anda mengenai orang tersayang tersebut dan anda bisa tiba-tiba menangis atau bersedih dan muram. Reaksi yang muncul tersebut adalah reaksi wajar yang muncul selama pengalaman berduka berlangsung.

(28)

aman dan nyaman (Cahyasari, 2009). Peran orang tua adalah sebagai pemberi motivasi terbesar bagi anak, sehingga diharapkan orang tua dapat memberikan kasih sayang sepenuhnya kepada anak. Kedekatan antara orangtua dan anak memiliki makna dan peran yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupan keluarga (Tiurmauly, 2007).

Huber dan Gibson (1990) menyatakan bahwa masa berkabung dilihat berbagai kali sebagai penyakit, kiris, serangkaian tahap atau tugas perkembangan dan yang terbaru sebagai transisi psikososial yang kompleks yang membutuhkan beberapa waktu agar selesai (Lemme, Barbara H., 1995). Dalam hal ini, berkabung menggambarkan perubahan hidup yang besar yang memiliki efek jangka panjang. Berkabung meliputi perubahan pada gaya hidup seperti perubahan yang seseorang pikirkan mengenai kehidupan, diri dan lainnya dan merespon perubahan dalam peran dan skema (Horowitz dalam Lemme, Barbara H. , 1995).

Mereka yang melalui rasa duka terkadang merasa bangga karena mereka bertahan dari situasi yang tak terbantahkan, rasa sakit yang dalam karena kehilangan orang terdekat. Mereka merasa percaya diri dengan kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan hidup, dipersenjatai oleh peralatan yang diperlukan dalam perjuangan mereka melalui proses berduka (Schulz dalam Lemme, Barbara H., 1995).

(29)

almarhum dan mengarahkan energi dari yang meninggal kepada jenis hubungan lain.

B. Pengalaman Proses Berduka

Setelah peristiwa kematian, yag ditinggalkan akan mengalami rasa duka. Rasa duka yang dialami pada diri seseorang berbeda satu dengan yang lainnya. Tahapan dalam proses duka tidak selalu berurutan, hal ini bervariasi pada tiap individu (Cahyasari, 2009). Berikut teori mengenai tahapan proses berduka yang diungkapkan oleh para ahli.

1. Proses berduka berdasarkan teori Bowlby dalam Aiken, 1993: a.Konsentrasi langsung yang diarahkan kepada yang meninggal

b.Kemarahan atau permusuhan kepada yang meninggal atau orang lain c. Permohonan untuk dukungan dan pertolongan dari orang lain

d.Keputusasaan, penarikan diri dan disorganisasi secara umum

e. Mengorganisasi ulang dan mengarahkan diri kepada kasih sayang yang baru

2. Proses berduka berdasarkan teori Sanders dalam Dorothy 2008: a. Fase Pertama: Shock

(30)

Shock secara umum digunakan untuk menggambarkan sejumlah trauma yang derita. Secara natural, trauma ini bergantung pada banyak hal: bagaimana, kapan, dan dimana kematian itu terjadi. Jika kematian digambarkan terjadi dengan sangat cepat dan tiba-tiba, shock yang dialami oleh anggota keluarga mungkin akan lebih kuat. Kondisi dimana kematian terjadi akan mempengaruhi tingkat keparahan dan panjangnya waktu yang dibutuhkan pada fase shock.

Fase shock memiliki beberapa karakteristik umum, yang dapat diidentifikasi sebagai:

i. State of Alarm

Ketika berada dalam keadaan shock, tubuh berada dalam keadaan tanda-tanda fisiologis yang kuat. Respon fisik ini adalah reaksi natural ketika perasaan aman sedang terancam. Ketika mengalami kehilangan (loss), reaksi yang dirasakan seperti perasaan takut dan kadang-kadang menjadi panik. Akibatnya, tubuh membentuk sebuah posisi pertahanan untuk melindungi diri.

ii. Ketidakpercayaan

(31)

mungkin untuk berpikir tentang hal lain kecuali tentang kehilangan (loss).

iii. Confusion

Mulai merasa kebingungan, tidak bisa mengingat apapun, sulit berkonsentrasi, menghilangkan benda-benda seperti kunci, kacamata, atau buku agenda, dan merasa sulit untuk mengambil keputusan. Reaksi ini sangat normal. Dunia seakan-akan telah hancur saat orang yang dicintai diambil.

iv. Restlessness

Di awal masa duka, individu akan merasa resah dan gelisah. Meningkatnya tegangan pada otot-otot menyebabkan perpindahan tanpa sadar dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Individu sering terlihat berjalan mondar-mandir dari suatu ruangan ke ruangan yang lain tanpa suatu tujuan yang jelas.

v. Feelings of Unreality

(32)

vi. Helplessness

Individu merasa membutuhkan pertolongan, karena peristiwa kehilangan merupakan suatu kejadian dalam hidup yang dapat menyebabkan individu sulit mengontrol diri, dan tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan untuk mengembalikan orang yang dicintai. Individu merasa seperti anak-anak kembali, serta membutuhkan bantuan orang lain untuk mengontrol diri sehingga dapat menjalani hidup secara wajar.

b. Fase Kedua: Awareness of Loss

Fase kedua ini ditandai dengan emosi yang tidak menentu setiap harinya. Saat bangun pagi individu merasa cemas dan merasa takut saat akan beranjak dari tempat tidur. Individu mengalami kecemasan yang berlebihan karena kehilangan orang yang begitu dekat dan disini individu mulai menerima dan menyadari kenyataan yang terjadi. Ada beberapa karakteristik dari fase ini:

i. Separation Anxiety

(33)

ii. Conflict

Rasa kehilangan dapat menimbulkan banyak konflik. Dari penelitian ditemukan bahwa banyak orang yang mengalami grief takut untuk tinggal sendiri tetapi juga ragu untuk tinggal dengan orang lain, disini terjadi konflik dalam diri orang tersebut. Konflik lain yang sering terjadi adalah antara adanya perasaan tidak rela akan kehilangan orang yang dicintai.

iii. Acting Out Emotional Expectations

Orang yang mengalami grief, sering melakukan tindakan emosional secara tidak sadar, seperti marah tanpa alasan yang jelas.

iv. Prolonged Stress

Individu memilih cara untuk mengeluarkan emosinya, baik dengan menangis, berteriak, ataupun memilih untuk menahan kesedihannya.

c. Fase Ketiga: Conservation and The Need to Withdrawal

(34)

i. Withdrawal and the Need to Rest

Selama periode ini individu lebih suka menyendiri, menjauh dari teman-teman untuk dapat berpikir dan istirahat.

ii. Despair rather than Depression

Individu kehilangan harapan dan merasa putus asa karena menginginkan orang yang dicintainya dapat kembali seperti semula atau sebelumnya

iii. Diminished Social Support

Orang yang mengalami grief membutuhkan dukungan sosial sebanyak mungkin dan dalam jangka waktu yang lama untuk membantunya menjalani grief. iv. Helplessness or Loss of Control

Individu merasa membutuhkan pertolongan karena merasa tidak berdaya dan kehilangan kendali.

d. Fase Keempat: Healing

Pada fase ini, seseorang mulai mencoba keluar dari grief yang ia alami. Beberapa karakteristiknya adalah:

i. Reaching a Turning Point

(35)

peningkatan aktivitas secara tiba-tiba. Individu perlahan-lahan menyadari bahwa kekuatannya telah pulih dan ia melakukan lebih banyak kegiatan dan tidak mudah lelah seperti yang dialaminya pada waktu-waktu sebelumnya. ii. Assuming Control

Individu mulai dapat mengendalikan dirinya kembali setelah melewati peristiwa yang menakutkan, khususnya yang telah membuat perubahan secara drastis terhadap diri individu. Pada fase ini individu sangat takut untuk mengambil keputusan, terutama yang dapat membuat keadaan menjadi lebih buruk sehingga ia lebih banyak diam dan tidak bertindak apapun.

iii. Relinquishing Roles

Pembagian peran dalam keluarga, dimana setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda-beda sehingga tercipta stabilitas dan keseimbangan dalam keluarga. Ketika keluarga ”kehilangan” salah satu

(36)

iv. Forming a New Identity

Kematangan yang diperoleh ketika individu mampu untuk menerima tanggung jawab baru dan menjalani hidup yang berbeda yang lebih didasarkan pada keputusannya sendiri daripada pada keputusan yang diambil oleh orang lain.

v. Centering Ourselves

Individu tidak dapat memulai memperbaiki diri tanpa memusatkan perhatian pada dirinya terlebih dahulu. Tanpa proses pemusatan itu, individu tidak mengetahui bagaimana perasaannya sebenarnya, apa yang ia butuhkan untuk dirinya atau apa yang ingin dilakukan. Memusatkan perhatian pada diri bukan berarti lebih mengutamakan ego atau self centered, melainkan individu mencari pusat stabilitas dirinya. Individu harus yakin bahwa ia dapat membut keputusan terhadap dirinya sendiri berdasarkan kebutuhan dan nilai-nilainya sendiri, bukan karena orang lain.

5. Fase Kelima: Renewal

(37)

yang sudah meninggal dunia. Karakteristik fase ini adalah sebagai berikut:

i. Renewing Self Awareness

Setelah peristiwa grief, terjadi suatu proses transisi yang membawa individu dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Individu membutuhkan waktu untuk memproses hal-hal yang telah dialaminya, sebelum ia mampu menerima suatu hal yang baru.

ii. Accepting Responsibility for Ourselves

Individu bertanggungjawab atas hidup dan nasibnya sendiri.

iii. Learning to Live Without

Kehilangan anggota keluarga berarti adalah belajar untuk hidup tanpa mereka. Jika individu benar-benar ingin memulai suatu hidup yang baru, ia perlu mencari aktivitas lain untuk mengisi kekosongan dihidupnya.

(38)

C. Narasi

Meskipun tak ada seorang pun yang ingin mengalami sebuah trauma, kita cenderung percaya bahwa kesedihan yang mendalam yang diakibatkan oleh kejadian tertentu seperti kehilangan seseorang yang dikasihi dan penyakit serius bisa membawa sesuatu yang baik dari diri kita. Pengalaman negatif yang ekstrim terkadang bisa membuat hidup kita menuju tujuan yang positif (McAdams, 2005).

Bruner mengatakan kita menggunakan cerita untuk menyampaikan dan menjelaskan mengenai perilaku manusia (McAdams, 2005). Menurut Habernas dan Bluck, fungsi cerita mengenai kehidupan adalah untuk membuat hidup lebih masuk akal dengan membantu mengatur berbagai peran dan segi yang berbeda dari kehidupan seseorang menjadi suatu kesatuan dengan menawarkan penjelasan kasual mengenai bagaimana orang-orang percaya akan menjadi seperti apakah mereka (John, Robins & Pervin, 2008).

Freud percaya orang yang ditinggalkan harus melalui rasa dukanya dengan meninjau ulang pikiran dan kenangan-kenangan dari orang yang yang meninggal (hypercathexis). Melalui proses yang menyakitkan tersebut orang yang ditinggalkan dapat terlepas dari yang dikasihi dan ikatan dengan yang ditinggal dengan yang meninggal akan terpisah (Mallon, 2008).

Lule (1990) menegaskan bahwa orang-orang menggunakan metode naratif untuk “membuat dunia menjadi masuk akal”. Berdasarkan

(39)

dalam sup yang mengalir” orang-orang meletakkan kejadian-kejadian dalam

urutannya dan memahami kenyataan ketika mereka menceritakan ceritanya, yang menciptakan penghubung antara dunia mereka sendiri dan dunia orang lain (Tannen dalam Bosticco, Cecilia & Thompson, Teresa L., 2005).

Pada level cerita kehidupan, kejadian negatif menuntut sebuah penjelasan. Hal ini menantang orang yang bercerita untuk membuat pengertian naratif mengenai hal buruk yang terjadi -menjelaskan mengapa hal itu terjadi dan mengapa hal tersebut tidak perlu terjadi lagi, untuk memeriksa konsekuensi dari kejadian negatif untuk perkembangan selanjutnya di dalam cerita (John, Robins & Pervin, 2008). Dari pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa narasi dapat membantu untuk melihat proses yang dilalui individu.

(40)
(41)

23

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Mengingat tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui mengenai pengalaman berduka yang dialami oleh individu yang ditinggal oleh keluarganya dan melihat dampak dari rasa berduka yang dialami oleh mereka yang ditinggalkan, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memungkinkan individu memfokuskan atensi dan mengungkapkan variasi pengalaman yang dijalaninya (Patton, dalam Dorothy, 2010).

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain (Moleong, 2010). Dalam bukunya Moleong menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang memanfaatkan wawancara terbuka untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan, perasaan dan perilaku individu atau sekelompok orang (Moleong, 2010). Penelitian kualitatif melibatkan pengumpulan data dalam bentuk laporan verbal naturalistik –sebagai contoh transkrip wawancara atau pernyataan tertulis- dan analisis yang dilakukan bersifat tekstual.

(42)

nilai, sikap dan persepsi. Pendekatan kualitatif juga dimanfaatkan oleh peneliti yang ingin meneliti sesuatu dari segi prosesnya (Moleong, 2010).

B. Fokus Penelitian

Fokus pada penelitian ini adalah mengetahui mengenai pengalaman dalam proses berduka yang dialami oleh individu yang ditinggal oleh orang tuanya. Ditinggal disini memiliki arti ditinggal karena kematian oleh orang tuanya. Kematian tersebut dapat berasal dari penyakit yang sudah lama diderita maupun kematian yang datang secara tiba-tiba. Kematian orang tua bisa membawa berbagai dampak bagi anak yang ditinggalkan. Salah satu dampaknya adalah berduka. Pengalaman berduka tidak selalu datang berurutan melainkan bisa terjadi secara acak dan berbeda pada tiap individu. Hal ini terjadi karena faktor kedekatan antara orang tua dan anak sehingga kesedihan yang muncul bisa berbeda di tiap individunya.

(43)

sudah berubah tapi masih dalam proses. Sedangkan kategori yang ketiga adalah narasi progresif, dimana individu berpikir bahwa sakit yang dideritanya memberikan sejumlah kesempatan baru (Smith, 2008).

C. Subjek Penelitian

(44)

D. Metode Pengumpulan Data

Metode yang akan digunakan peneliti untuk mendapatkan cerita dari subjek adalah dengan metode wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu (Moleong, 2010).

Wawancara mendalam merupakan satu bentuk wawancara, yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh partisipan penelitian. Wawancara mendalam memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali “background life” seseorang sehingga peneliti mendapatkan

gambaran dan dinamika yang hendak diteliti. Wawancara mendalam juga dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu sesuai dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut. Hal ini merupakan keunggulan pendekatan kualitatif (Poerwandari, 2005).

(45)

Dalam menceritakan kisah hidup, seseorang secara alami cenderung mengatur kejadian dan keadaan dalam kehidupan mereka yang dapat membuat kejadian-kejadian tersebut masuk akal. Ketika wawancara kisah kehidupan berlangsung, subjek adalah orang yang bercerita, narator dari cerita kehidupannya sedangkan pewawancara adalah orang yang menuntun atau pengarah dalam proses ini. Inti dari wawancara kisah kehidupan adalah untuk memberikan kesempatan bagi yang diwawancara untuk menceritakan kisah mereka dalam cara yang mereka pilih untuk bercerita. Kunci untuk mendapatkan wawancara yang baik adalah menjadi fleksibel dan bisa beradaptasi dengan situasi situasi tertentu (Atkinson, -).

Saat menceritakan cerita, ada beberapa orang yang cenderung bercerita dengan singkat, tidak menghias ceritanya dan tidak memiliki emosi dsaat bercerita. Hal ini berdampak pada cerita yang singkat mengenai sebuah kejadian nyata. Hal ini bisa diperbaiki dengan membantu orang yang bercerita untuk lebih mengembagkan cerita secara keseluruhan, cerita berdasarkan perasaan; meskipun pada akhirnya interviewer hanya akan mendapatkan hapalan. Dalam kasus lainnya, orang yang bercerita bisa mengenang, membuat atau mengatur sebuah cerita. Jika hal ini terjadi, maka interviewer perlu untuk menjalankan pendeteksi kebohongan. Peneliti dapat bertanya dan melibatkan beberapa interpretasi mengenai mengapa individu tersebut memilih cerita yang mengada-ada (Atkinson, -).

(46)

2. Membangun rapport dengan subjek sembari menjelaskan tujuan dari penelitian. Peneliti juga menjelaskan bahwa saat proses wawancara berlangsung peneliti akan merekam suara menggunakan tape recorder untuk keperluan peneliti dan meminta persetujuan dari subjek untuk hal tersebut.

3. Mengatur jadwal dengan subjek untuk mengadakan proses wawancara

4. Membuat panduan wawancara yang akan digunakan saat proses wawancara. Panduan wawancara dibuat secara semi-terstruktur dengan tujuan agar subjek dapat menceritakan pengalaman ditinggal oleh orang tuanya.

5. Melakukan wawancara dengan subjek dengan meminta subjek untuk menandatangani informed concent terlebih dahulu sebagai bukti kesediaan suara subjek untuk direkam dan digunakan sebagai data penelitian.

E. Kredibilitas Penelitian

(47)

Kredibilitas tercapai dengan cara :

1. Membuat verbatim dan ringkasan cerita berdasarkan hasil wawancara

2. Menyerahkan verbatim dan ringkasan kepada para subjek untuk dikonfirmasi ulang dengan tujuan menyamakan hal yang diungkapkan oleh subjek dengan apa yang peneliti tangkap.

3. Setelah data dikonfirmasi oleh subjek, peneliti melanjutkan pada tahap selanjutnya yaitu olah data.

F. Metode Analisis Data

Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensitesiskanya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Moleong, 2010).

1. Membuat verbatim

Peneliti membuat verbatim dari hasil wawancara yang telah direkam dengan cara mencatat setiap perkataan yang terucap saat wawancara berlangsung.

2. Memilah data

(48)

data. Kalimat subjek yang berupa data digaris bawahi agar memudahkan peneliti.

3. Koding awal

Peneliti menggunakan metode naratif untuk menganalisa kalimat subjek yang telah digarisbawahi. Analisa pertama dimasukkan ke dalam kotak koding awal.

4. Analisa data

Hasil koding awal yang telah dilakukan oleh peneliti dikaitkan dengan teori yang digunakan. Hasil analisa dimasukkan ke dalam kotak analisa.

5. Review olah data

Hasil olah data yang telah didapatkan dibawa kepada ahli (dosen pembimbing) untuk diperiksa kembali. Jika ditemui kesalahan maka akan dilakukan perbaikan sampai menemukan hasil yang tepat. 6. Merangkai hasil olah data

Hasil olah data yang sudah dilakukan dirangkai menjadi sebuah kalimat dan dilanjutkan dengan pembahasan.

7. Mengaitkan narasi dengan teori

(49)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.

PROSES PENGAMBILAN DATA

1.

Persiapan Penelitian

Peneliti mencari subjek sebanyak 7 orang yang memiliki kriteria berada dalam jangka usia 21-40 tahun yang telah kehilangan orang tuanya yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau kematian yang tiba-tiba. Subjek merupakan orang-orang yang berada dalam lingkungan yang sama dengan subjek. Dari tujuh subjek yang peneliti dapat, hanya 5 orang subjek yang memberikan gambaran proses berduka kepada peneliti.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti meminta ijin terlebih dahulu kepada para subjek dan menjelaskan maksud dan tujuan dari wawancara (informed concent). Setelah para subjek menyatakan kesediaannya, peneliti membuat janji dengan para subjek untuk melakukan wawancara. Wawancara dilakukan di beberapa tempat dengan menggunakan handphone sebagai alat rekam suara.

(50)

lainnya tertutup mengenai perasaannya sehingga peneliti tidak bisa melihat proses berduka yang dialami.

2.

Proses Pengambilan Data

Pengambilan data yang dilakukan di beberapa tempat memakan waktu yang berbeda-beda pada setiap subjek. Pengambilan data dilakukan pada waktu yang telah disepakati oleh subjek dan peneliti. Sebelum wawancara dimulai, peneliti akan menerangkan kembali maksud dan tujuan dari wawancara dan meminta ijin untuk merekam pembicaraan untuk dijadikan data (informed concent). Setelah ditemukan kesepakatan dan subjek bersedia menandatangani informed concent, maka proses pengambilan data bisa dimulai. Subjek akan diberikan pertanyaan mengenai latar belakang hubungan mereka dengan orang tua, peristiwa kepergian, dan proses berduka yang dialami. Berikut dilampirkan jadwal pengambilan data :

No Inisial Hari, tanggal, jam Tempat pengambilan data

1. YH Rabu, 9 Oktober 2013, 15.32 - 16.04

Kamar kos subjek

2. LS Kamis, 10 Oktober 2013, 10.06 - 10.42

Kamar kos subjek

3. MA Selasa, 8 Oktober 2013, 12.25 - 13.15

(51)

4. FN Selasa, 16 Juli 2013, 17.44 – 18.26

Rumah subjek

5. MK Selasa, 8 Oktober 2013, 11.18 – 12.02

Kamar kos subjek

B.

HASIL ANALISA

1. Subjek 1

Subjek mengawali narasi dengan cerita mengenai hubungannya yang baik dengan anggota keluarganya. Menurutnya, ia adalah seorang anak yang dimanja oleh keluarganya dan sangat dekat dengan ayahnya. Karena dimanja subjek memiliki sifat manja, suka memerintah orang dan sombong. Keluarga subjek adalah keluarga yang hangat dan dekat antar anggota keluarganya. Subjek selalu mendapatkan kasih sayang yang cukup dalam kesehariannya. Tidak hanya kasih sayang, subjek juga mengakui mendapatkan pendidikan moral yang baik dari ayahnya. Hubungan subjek dengan ayahnya diceritakan dengan sangat baik. Ayah subjek sangat menyayangi subjek karena subjek adalah anak lelaki satu-satunya. Kematian ayahnya sempat masuk kedalam pikiran subjek ketika subjek duduk di kelas tiga SD. Akan tetapi saat itu subjek membayangkan bahwa ayahnya akan pergi saat subjek berusia 30 tahun.

(52)

masuk ke fase satu teori Sanders yaitu Shock (State of Alarm). Setelah itu subjek mengamuk dan membalikkan meja yang telah ditata untuk tempat jenazah. Reaksi marah subjek masuk ke fase kedua teori Sanders yaitu Awareness of Loss (Prolonged Stress). Hal yang menyebabkan subjek mengamuk secara tiba-tiba adalah rasa kaget dan tidak percaya bahwa ayahnya sudah meninggal dan kondisi ini masuk ke fase satu teori Sanders Shock (Ketidakpercayaan). Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut:

“aku ngerasa bapakku seharusnya masih hidup.kenapa ditatain kayak gini? Harusnya masih hidup… Bentuk penolakan berikutnya itu aku gak ikut ke makam. Kenapa gak ikut? Aku gak kuat”

S1. B 243 ; B 302-305 Kepergian ayah subjek yang terjadi secara tiba-tiba memicu kemarahan di dalam diri subjek dan yang menjadi pelampiasan subjek selain meja adalah Tuhan. Subjek yang marah kepada Tuhan mengeluh mengapa harus memanggil ayahnya. Kondisi ini masuk dalam fase kedua teori Sanders Awareness of Loss (Acting Out Emotional Expectations). Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut:

“kenapa Dia kayak gitu sama aku. Penolakanku kayak gitu aja si waktu itu, nangis.”

(53)

Withdrawal (Despair rather than Depression). Subjek memiliki rasa bersalah akan kejadian ini. Hal ini dikarenakan subjek yang tidak ingin pergi ke sekolah sehingga ayahnya harus mengantarkan dirinya. Subjek menyesal mengapa dirinya harus bersikap seperti itu sehingga ayahnya harus mengantarkan dirinya sampai kecelakaan dan meninggal. Selama masa berduka subjek mendapatkan dukungan sosial yang banyak dari keluarganya. Keluarga subjek berusaha untuk membesarkan hati subjek dengan tidak menyalahkan diri atas kecelakaan tersebut. Akan tetapi subjek sudah mengecap dirinya sebagai penyebab meninggal ayahnya.

Rasa bersalah dan trauma akan kecelakaan yang dimiliki subjek membuat dirinya menarik diri dari lingkungannya. Subjek memutuskan untuk tidak bersekolah selama satu tahun dan mengurung diri di rumah. Penarikan diri ini masuk ke dalam teori Sanders yang ketiga yaitu Conservation and Need to Withdrawal (Withdrawal and the Need to Rest). Berikut kutipan kalimat subjek:

“…abis itu aku gak sekolah lagi, sempet istirahat setahun karena aku banyak trauma disitu. Aku cuma bisa ngurung diri di kamar itu lo selama satu tahun.”

(54)

berhasil mendapatkan pemikiran bahwa kepergian ayahnya adalah peristiwa yang memiliki makna yang lebih besar yaitu karena rencana Tuhan berbeda dengan rencana yang manusia buat. Subjek percaya bahwa ayahnya sudah menjalani hidup dengan baik sehingga dirinya bisa melepaskan kesedihannya. Subjek masuk fase empat teori Sanders yaitu Healing (Centering Ourselves), karena subjek berhasil mendapat nilai-nilai yang bisa dirinya tekankan sendiri berdasarkan proses yang telah subjek jalani sendiri. Berikut kutipan kalimat subjek:

“aku nganggap rencana Tuhan itu gak kayak rencana kita. Itu yang aku dapat. Terus yang kedua, ada beberapa hal yang lebih berguna. Karna kalo misalnya dia masih hidup, itu hal-hal lain itu gak bisa jalan… Itu yang aku ilhamin waktu itu dan sampai sekarang. Dan aku ngerasa ya itu lah jalannya dia, dia menjalani hidupnya dengan baik. Itulah yang buat aku bisa menerima dia pergi waktu itu.”

(55)

“apapun yang terjadi dimasa lalu ya ada bener atau salah, itu prosesku buat jadi lebih benar. Ketika aku ngelakuin kesalahan tapi aku bisa tanggung jawab itu sudah gak masalah. Dan aku rasa gak ada yang aku sesali, seburuk apapun keadaan saat ini aku harus siap.”

S1. B 657-667 Berdasarkan hasil narasi subjek, narasi tersebut dapat digolongkan sebagai narasi yang progresif. Subjek pada awalnya tidak bisa menerima kepergian ayahnya yang terjadi secara tiba-tiba. Subjek menarik diri dari lingkungan sosial karena rasa sedih dan rasa bersalah yang terus ada pada diri subjek. Saat-saat berat berhasil subjek lalui setelah dirinya berhasil menemukan makna dari kepergian ayahnya. Subjek percaya bahwa dengan kepergian ayahnya banyak hal baik yang bisa dicapai karena Tuhan itu adil. Dengan kepergian ayahnya, subjek juga berhasil berproses menjadi seorang yang lebih mandiri dan bertanggung jawab.

(56)

apapun atas kematian ayahnya. Hal tersebut membuat narasi subjek masuk dalam kategori struktur narasi progresif.

2. Subjek 2

Subjek menilai kehidupannya sebelum kepergian ayahnya sebagai sesuatu yang positif. Hubungan subjek dengan ayah dan ibu subjek sama dekatnya. Latar belakang anak tunggal membuat subjek memiliki sifat manja dan egois. Subjek tidak peduli apa yang terjadi, ketika subjek menginginkan sesuatu keinginan tersebut harus dipenuhi. Sosok ayah menjadi penting bagi subjek tidak hanya karena ayah adalah kepala keluarga tetapi juga karena ayah menjadi sosok pencari nafkah utama. Hilangnya sosok ayah sebagai pencari nafkah menjadi sorotan utama bagi subjek.

Reaksi subjek saat pertama kali mengetahui ayahnya sudah meninggal adalah kaget. Subjek yang diberitahu oleh suster bahwa ayahnya sudah berada di kamar jenazah menangis dan berteriak karena rasa sedih tersebut. Reaksi subjek tersebut masuk dalam fase dua teori Sanders, Awareness of Loss (Prolonged Stress). Kesedihan subjek ditambah dengan kekecewaaannya karena hanya subjek yang tidak ada di saat terakhir ayahnya dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“perasaannya yang pasti apa ya, sedih, kecewa karena saya ga ada disitu. Semua keluarga om, tante, mbah saya semua ada disitu , yang tidak hanya saya. Jadi saya merasa kecewa kenapa saya tidak ada disitu.”

(57)

Kekecewaan ini menjadi penyesalan hingga saat ini. Sebelum ayahnya meninggal, subjek sudah membayangkan jika ayahnya pergi. Sepupu subjek juga sudah memberikan pandangan kepada subjek apabila ayah subjek meninggal. Subjek yang sedang berada dalam masa duka menyadari jika dirinya tidak bisa terus bersedih karena masih ada hal-hal lain untuk dikerjakan. Disini subjek berusaha mengendalikan dirinya agar tidak berduka dan masuk dalam fase keempat teori Sanders yaitu Healing (Assuming Control).

Subjek selanjutnya kembali ke fase tiga teori Sanders, Conservation and the Need to Withdrawal (Diminished Social

Support), di saat masa berduka subjek sebenarnya membutuhkan dukungan dari sekitarnya akan tetapi subjek kurang merasa adanya dukungan. Subjek merasakan dukungan yang paling besar hanya berasal dari ibu subjek. Hal tersebut sesuai dengan kutipan:

“dukungan dari sekitar itu kurang ada ya saya rasa, jadi ya saya dan ibu saling mendukung berdua… Ya saya tidak bisa merasakan dukungan secara pribadi ya.”

S2. B 327-330 ; B 338-340 Pada saat tertentu subjek suka berpikir ingin kembali ke masa lalu dimana ayahnya belum meninggal dan menemani di saat terakhirnya. Keinginan subjek tersebut masuk ke dalam fase tiga teori Sanders, Conservation and Need to Withdrawal (Despair rather than Depression). Penyesalan subjek dapat dilihat dalam kalimat berikut:

(58)

mengulang waktu kan. Kita ga bisa. Jadi kadang nyesel kenapa sih aku tidak berada disitu saaat itu.”

S2. B 381-388 Keadaan baru subjek dan ibunya yang berbeda dengan keadaan sebelumnya membuat subjek belajar mengubah sifat manja dan egoisnya. Subjek berusaha untuk memperbaiki diri masuk ke dalam fase empat teori Sanders yaitu Healing (Centering Ourselves). Titik balik dirasakan oleh subjek yang setelah ditinggal oleh ayah hanya tinggal berdua dengan ibunya mulai merasakan perubahan dalam hal ekonomi. Titik balik dirasakan oleh subjek saat dirinya merasakan perubahan ekonomi setelah ayah subjek meninggal. Usaha keluarga yang sudah tidak dapat berjalan memaksa subjek dan ibunya untuk bekerja mencari uang. Keadaan ini masuk kedalam fase lima teori Sanders, Renewal (Learning to Live Without) dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut

“kita sempat down banget sampai ibu tidak bisa memberikan saya uang saku, disitu memaksa saya untuk mencari kerjaan-kerjaan tambahan, ngelesin atau privat, seperti itu ya ibu juga akhirnya nyari nyari kerjaan... Tapi itu beberapa tahun lalu ya terus akhirnya kita berdua bisa berusaha dan akhirnya kita bisa melalui masa itu kan.”

(59)

balik bagi diri subjek. Subjek yang memiliki sikap yang dinilai manja dapat berubah menjadi seorang individu yang mandiri dan memiliki kepribadian yang lebih baik dari sebelumnya.

Ditinjau dari narasi yang telah dipaparkan, subjek telah mengalami perubahan positif semenjak peristiwa kematian ayahnya. Subjek berhasil menemukan titik balik dan makna sehingga mampu berubah menjadi seorang yang lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itu narasi tersebut masuk ke dalam struktur narasi progresif. Meskipun subjek masih memiliki penyesalan akan ketidakhadirannya pada saat ayahnya meninggal seperti pada kutipan berikut, “penyesalan itu kadang masih keingat sampai sekarang sih”, hal tersebut tidak merubah segala makna positif yang berhasil diraih oleh subjek.

3. Subjek 3

(60)

Subjek mengalami fase pertama teori Sanders yaitu Shock (Confussion). Subjek kaget saat mengetahui ayahnya meninggal. Subjek mengatakan bahwa dirinya seperti melayang dan tidak bisa mengingat apa yang sedang ia lakukan atau dimana dirinya sekarang. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“terus aku rasanya gimana ya. Melayang aja, kayak ga ngerti ini maksudnya apa. Pas besoknya di rumah duka juga masih yang ini dimana sih, aku ngapain sih.”

S3. B 259-264 Selain itu subjek juga takut ayahnya tidak bisa keluar jika peti ditutup. Subjek memilih untuk menahan keinginan untuk menangis karena subjek tidak mau membuat tamu menjadi lebih sedih lagi. Subjek masuk fase dua teori Sanders, Awareness of Loss (Prolonged Stress). Kepergian ayah subjek membuat subjek kehilangan figur yang penting bagi dirinya. Rasa kehilangan ini masuk dalam fase kedua teori Sanders yaitu Awareness of Loss (Separation Anxiety).

Dalam masa berdukanya, subjek serta anggota keluarga masih tidak percaya mengenai kepergian sang ayah. Hal ini masuk ke dalam fase pertama teori Sanders yaitu Shock (Ketidakpercayaan). Rasa tidak percaya tersebut dapat muncul karena tidak ada tanda-tanda sebelumnya bahwa ayah subjek mengidap penyakit yang berbahaya. Hal tersebut dapat dilhat dalam kutipan:

“tapi semuanya masih ga ngira kok bisa papi tiba-tiba ga ada gitu. Soalnya waktu paskah kan baik-baik aja…. Disitu aku mikir ah ini paling sakit biasa, nanti juga papi sembuh.”

(61)

Kepergian ayah subjek yang terjadi secara tiba-tiba tidak hanya meninggalkan rasa sedih melainkan juga rasa marah. Subjek merasa marah kepada Tuhan karena telah mengambil ayahnya. Rasa marah yang subjek miliki masuk ke dalam fase kedua teori Sanders, Awareness of Loss (Acting Out Emotional Expectations). Rasa marah yang subjek miliki dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“cuma waktu itu aku sempat marah juga kan sama Tuhan, kenapa kok papiku yang diambil. Kenapa kok gak orang jahat aja kayak kokonya papiku kan jahat kenapa ga dia aja yang diambil hahahaa.”

S2. B 447-454 Saat subjek duduk di bangku kuliah, subjek mendengar cerita mengenai seseorang yang kehilangan anak serta istrinya. Subjek yang merenungi cerita tersebut bahwa subjek seharusnya masih bersyukur karena subjek masih memiliki ibu dan saudara. Subjek masuk kedalam fase empat teori Sanders, Healing (Centering Ourselves).

“pas yang nyadarin itu dulu inget ga ada kuliah agama Kristen kan dia cerita anaknya sama istrinya sudah meninggal. Disitu aku mikir ya ampun dia kehilangan dua sekaligus, aku cuma kehilangan satu, papiku, aku masih punya mamiku, kakak-kakakku, tapi aku itu ga bersyukur banget si punya mereka.”

S2. B 460-471 Renungan berhasil menjadi titik tolak subjek sehingga subjek belajar untuk menerima kepergian ayahnya. Saat ini subjek masuk ke dalam fase lima teori Sanders, Renewal (Learning to Live Without). Renungan subjek dapat dilihat dalam kutipan:

(62)

tua. Abis itu ternyata mereka itu ga gitu ya, mereka itu mmm aku sama cici sama kokoku mikirnya mereka manusia juga bisa ga ada suatu saat. Jadi yang ada aku sama cici kokoku lebih menjaga mamiku.”

S2. B 483-498 Setelah subjek bisa menerima keadaan bahwa ayahnya sudah meninggal subjek merasakan perubahan dalam dirinya dan keluarga. Subjek bisa menjadi lebih dewasa. Subjek dan saudara-saudaranya memutuskan untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Mereka menjadi lebih dekat dan lebih peduli satu sama lain. Hal yang menjadi ganjalan bagi subjek adalah sikap subjek yang dulu tidak baik kepada ayahnya. Akan tetapi subjek percaya bahwa hal tersebut merupakan proses menuju kedewasaan.

Awal narasi menceritakan mengenai hubungan subjek dengan ayahnya yang baik. Ayah subjek suka menolong jika subjek dalam kesulitan. Hal tersebut membuat subjek memiliki kedekatan tersendiri dengan ayahnya. Sehingga saat ayah subjek meninggal, subjek mengalami masa dimana dirinya menolak hal tersebut dan merasakan kemarahan. Subjek memiliki penyesalan akan sikap subjek yang kurang baik kepada ayahnya seperti pada kutipan kutipan berikut, “kalo inget dulu suka nakal sama papiku. Kalo inget itu sih nyesel, iya nyesel”. Subjek dan keluarga mengalami titik balik yang membawa

(63)

Titik balik dan makna positif dari kematian ayahnya membuat narasi ini masuk ke dalam struktur narasi progresif. Meskipun subjek memiliki penyesalan yang menjadi ganjalan bagi dirinya hal tersebut tidak merubah struktur narasi yang dimiliki oleh subjek. Subjek yang memiliki penyesalan terhadap ayahnya tetap bisa mendapatkan titik balik sehinggga dirinya mampu berubah menjadi individu yang lebih baik.

4. Subjek 4

(64)

Subjek terkejut saat mendapat kabar bahwa ayahnya telah meninggal. Akan tetapi subjek tidak terlalu kaget karena sebelumnya subjek sudah memiliki firasat akan kepergian ayahnya. Setelah kepergian ayahnya, subjek mengalami rasa cemas. Kepergian ayahnya bukanlah hal yang membuat dirinya merasa cemas, tetapi kehilangan ayah sebagai pencari nafkahlah yang membuat dirinya merasa dalam tekanan.

Kecemasan subjek disini masuk kedalam fase ketiga teori Sanders yaitu Conservation and Need to Withdrawal (Helplessness or Loss of Control). Selain kecemasan karena kehilangan sosok pencari nafkah, subjek juga cemas karena dirinya mendapat peran sebagai kepala rumah tangga secara tiba-tiba. Subjek yang merasa cemas juga msuk ke fase ketiga Sanders yaitu Conservation and Need to Withdrawal (Helplessness or Loss of Control). Kekhawatiran subjek dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“ya karena mamaku kan ibu rumah tangga, gak kerja dan segala macam ya takut dong uang dari mana sih buat ngerawat lima anak. Lebih ke situ sih kalo yang aku lihat, soalnya gak ada yang kerja… aku lebih tertekannya karena kasian aja adek-adekku, karena kan aku punya tugas yang begitu banyak, aku pikir jadi itu yang bikin stres, mikirin segala hal.”

(65)

Conservation and Need to Withdrawal (Helplessness or Loss of

Control). Berikut kutipan kalimat subjek:

“awal-awalnya itu kayak kasi pengumuman, “tolong dong bantu aku” Karena aku itu kayak gak bisa apa-apa, gak ngerti mau ngapain.”

S4. B 561-567 Subjek yang kewalahan karena tanggung jawab barunya sangat mengharapkan adanya bantuan dari keluarganya masuk dalam fase ketiga yaitu Conservation and Need to Withdrawal (Diminished Social Support).

“aku cuma pengen semua anggota keluarga bisa diajak musyawarah. Bisa diajak ngomong jadi gak semua semua dilimpahin ke aku”

S4. B 665-670 Subjek berusaha untuk menerima kepergian ayahnya sehingga dirinya tidak bersedih lagi. Subjek disini masuk ke dalam fase empat teori Sanders yaitu Healing (Centering Ourselves). Untuk merelakan kepergian ayahnya, subjek membentuk suatu pola pikir mengenai misi yang ayahnya emban. Subjek percaya bahwa ayahnya memiliki misi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya dan misi tersebut telah selesai sehingga sudah saatnya ayahnya pergi. Fokus subjek disini masuk kedalam fase kelima dari teori Sanders yaitu Renewal (Learning to Live Without).

“karena pada saat itu langsung move on. Karena aku berpikir pada saat papaku meninggal yaudah misi dia selesai. Sekarang lanjut misi aku, jadi aku gak, gak terlalu lama-lama lah buat sedih.”

(66)

Dalam pembentukan pola pikir tersebut, subjek berhasil menemukan titik balik dimana dirinya bisa beranjak dari rasa sedih atas kepergian ayahnya dan membawa dirinya kepada pemikiran baru yang lebih baik. Pemikiran tersebut adalah diri subjek sebagai orang yang melanjutkan misi ayahnya. Subjek memiliki misi untuk membuat keluarganya menjadi keluarga yang lebih baik dari sebelumnya. Akan tetapi sebelum subjek memulai misinya tersebut, subjek berusaha untuk mengubah dirinya terlebih dahulu. Subjek berusaha untuk mengubah sifat yang ia rasa kurang baik agar bisa menjadi baik dan bisa terpancar kepada keluarganya. Dalam tahapan ini subjek masuk ke fase keempat teori Sanders yaitu Healing (Forming a New Identity) dimana subjek menemukan kematangan dirinya. Subjek memiliki sebuah refleksi mengenai kehidupan keluarganya. Dirinya menyesali kurang baiknya hubungan antara dirinya dengan ayahnya sehingga subjek menginginkan perubahan dalam keluarganya kini yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“aku percaya papaku punya misi untuk mendidik istrinya, anak-anaknya buat jadi lebih baik. Nah papaku mewujudkan itu dengan cara bekerja biar kita kecukupan. Tapi ya kita jadinya jauh, gak terlalu dekat… Terus ya karena aku punya misi seperti ini sih aku pengen mengubah keluargaku biar gak seperti dulu”

(67)

percaya bahwa misi ayahnya adalah untuk membuat keadaan keluarga lebih baik dengan cara mencukupkan segala kebutuhan mereka. Akan tetapi hal inilah yang membuat keluarga subjek tidak dekat satu sama lain. Setelah kepergian ayahnya subjek merasa bahwa sekarang adalah misinya untuk membuat keluarga lebih baik dengan cara mendekatkan diri satu sama lain dan belajar untuk berbagi. Subjek sedang dalam tahap belajar untuk mengubah sifatnya yang dia rasa kurang baik menjadi lebih baik untuk kedepannya agar ia bisa memenuhi misinya.

Pernyataan subjek berupa, “tapi ya aku berpikir mungkin dengan gak adanya papa bisa jadi jalan buat kita bangkit” membuat subjek masuk ke dalam struktur narasi progresif. Hal ini dikarenakan subjek berhasil mengambil suatu hal positif dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik semenjak kepergian ayahnya. Ditambah lagi subjek sudah merelakan semua penyesalan atas kematian ayahnya. Pernyataan-pernyataan diatas sesuai dengan ciri-ciri struktur narasi progresif.

5. Subjek 5

(68)

terjadi karena ayah subjek yang sudah meninggal sebelumnya menyebabkan subjek hanya tinggal berdua dengan ibunya. Tidak jarang subjek berselisih paham dengan ibunya, akan tetapi hal ini tidak mengganggu kepedulian mereka satu sama lain. Seperti saat ibu subjek pergi tanpa pamit, subjek yang cemas mencari ibunya sampai ketemu. Begitu pula sebaliknya, saat subjek sakit, ibu subjek akan sedih dan terus menemani subjek.

Subjek mengalami fase pertama teori Sanders yaitu Shock. Subjek kaget dan sedih saat mengetahui bahwa ibunya telah meninggal. Subjek tidak menyangka bahwa ibunya sudah meninggal, karena awalnya subjek berpikir masih ada harapan. Subjek masih berada dalam fase Shock (ketidakpercayaan). Rasa sedih subjek memuncak saat dirinya harus menghadapi kenyataan bahwa subjek harus tinggal sendiri. Keadaan tersebut sulit untuk diterima oleh subjek dan subjek sempat melakukan penolakan seperti tidak mau pulang dari makam. Keadaan ini masuk dalam fase dua teori Sanders yaitu Awareness of Loss (Conflict). Penolakan subjek dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“ah kalo aku kan kerasa banget sepi nya, gak ada siapa-siapa lagi. Pas dimakam itu habis dimakamin kan aku gak mau pulang.”

(69)

berusaha untuk menghibur subjek agar tidak merasa kesepian dan sedih. Keadaan ini masuk dalam fase tiga teori Sanders Conservation and Need to Withdrawal (Diminished Social Support) dan dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut:

“nek koe suntuk ning omah langut (langut itu apa ya kalo kesepian, ga ada kerjaan) ya main-mainlah kesini. Kan disini ada anaknya Ijan sama Deta. Bisa bantu-bantu warung… Kalo misalnya kamu gak punya maem, eh apa kalo gak sempet masak ya kesini aja.. Yang lain-lain itu gak usah mikir misalnya uang kuliah, gak musingin mau kerja mau ngapainlah. Keluarga si pasti gitu. Kalo jalan-jalan diajak sama mereka. Jadi ya sebisa mungkin aku gak merasa sendirian lah”

S5. B 421-430 ; B 432-440 Walaupun keluarga sudah berusaha memberikan subjek dukungan sosial akan tetapi rasa sedih karena harus tinggal sendiri tidak bisa dihindari oleh subjek. Kesendirian yang subjek alami menjadi titik balik dari narasi subjek. Subjek yang tidak pernah memegang urusan rumah tangga, sekarang harus belajar untuk mengerjakan semuanya sendiri. Subjek juga belajar untuk menghadapi ketakutannya sendiri karena sudah tidak ada ibu atau ayah yang bisa membantunya. turning point subjek terjadi dalam fase empat teori Sanders yaitu Healing (Centering Ourselves).

“saya ngerenung selama setengah jam, saya ngerengung kek gini, sudah saya harus diem. Saya sekarang sendiri, sudah gak ada siapa-siapa. Saya harus lawan dia, karena kalo bukan saya yang lawan, mau siapa lagi? Konsekuensinya tinggal sendiri itu ya harus berani mau ngapa-ngapain sendiri.”

(70)

orang tua. Subjek juga akhirnya berhasil menerima kepergian ibunya dengan membangun sebuah pemikiran bahwa ibunya sudah tidak sakit lagi. Hal yang masih mengganjal subjek adalah keinginannya untuk mengulang waktu dan bersikap lebih baik kepada ibunya. Tinggal sendiri dan belajar mengerjakan urusan rumah tangga sendiri menjadikan subjek masuk fase lima teori Sanders yaitu Renewal (Accepting Responsibility for Ourselves). Berikut kutipan dimana subjek menerima tanggung jawab baru pada dirinya:

“jadi prinsipnya tinggal sendiri itu semuanya mesti bisa kamu tanganin, semuanya.”

(71)

Ciri-ciri struktur narasi progresif ditemukan dalam narasi ini Subjek merasa kehidupannya berubah kearah positif dan berhasil menemukan makna dibalik peristiwa kematian. Akan tetapi subjek masih memiliki keinginan untuk memperbaiki sikapnya kepada ibunya sebelum ibunya meninggal. Berikut kutipan kalimat subjek yang menunjukkan bahwa dirinya masih memiliki penyesalan di masa lalu, “..aku di depan ibu tuh memorinya pasti buruk semua gitu. Jadi

seandainya bisa ngulang waktu aku pengen bener-bener ngerubah sikap aku”. Penyesalan subjek menuntut subjek untuk berproses lebih baik lagi agar bisa merelakan semua yang terjadi agar bisa sampai kepada penerimaan kematian secara penuh. Penyesalan subjek tidak merubah struktur narasi yang dimiliki oleh subjek. Hal ini dikarenakan subjek tetap berproses dan berhasil berubah menjadi lebih positif sehingga subjek tetap mendapat struktur narasi progresif.

6. Kesimpulan Umum

(72)

bahwa dirinya tidak memerlukan waktu lama untuk bakit dari rasa sedih. Pada subjek kelima penerimaan akan kepergian ibunya di dapat sekitar 40 hari kepergian ibunya.

Walaupun para subjek memerlukan waktu yang bervariasi untuk menerima kematian orang tua mereka, para subjek dapat berproses mengenai kematian ayah atau ibu mereka dan berhasil mengubah sifat negatif mereka menjadi lebih baik. Kelima subjek tidak menyangka akan kepergian ayah atau ibu mereka. Penerimaan akan kepergian ayah atau ibu terlihat sangat sulit bagi subjek 1, 2, 3, dan 5. Di sisi lain penerimaan subjek 4 akan kepergian ayah dirasa lebih mudah.

(73)

Kelima subjek berusaha untuk maju dan bergerak ke depan. Kelima subjek memiliki struktur narasi progresif. Struktur narasi progresif tanpa penyesalan hanya ditemukan pada subjek yang pertama dan keempat. Keadaan hubungan para subjek dengan orang tua mereka sangat bertolak belakang. Subjek pertama adalah sosok anak yang sangat dekat dengan ayahnya sedangkan di sisi lain subjek keempat memiliki hubungan yang renggang dengan ayahnya. Perbedaan hubungan antara subjek pertama dan keempat dengan orang tua juga menciptakan perbedaan pada penerimaan mengenai kepergian orang tua. Subjek pertama memerlukan waktu kurang lebih satu tahun untuk menerima kepergian ayahnya sedangkan subjek keempat tidak memakan banyak waktu untuk menerima kepergian ayahnya. Ciri-ciri struktur narasi progresif adalah berhasilnya subjek pertama dan subjek keempat untuk mendapatkan titik balik dan tidak adanya penyesalan di dalam diri mereka masing-masing sehingga mereka mampu merubah diri mereka ke arah yang lebih positif.

(74)

rumah sakit dan rumah mereka. Akan tetapi penyesalan yang dialami oleh para subjek tidak mempengaruhi struktur narasi mereka. Penyesalan tidak merubah struktur narasi mereka karena ketiga subjek berhasil menemukan titik balik dan makna dari peristiwa. Ditambah lagi dengan berhasilnya para subjek untuk berubah menjadi lebih positif.

Di sisi lain hubungan yang dekat dengan orang tua membuat ketiga subjek terkejut atas kepergian yang mendadak. Ditambah lagi dengan ketiga subjek merasa bahwa masih ada ganjalan yang menyebabkan mereka masih ingin kembali ke masa lalu dan berusaha memperbaiki kesalahan mereka. Empat hal diatas membuat ketiga subjek sulit menerima kepergian orang tua mereka. Walaupun ketiga subjek berhasil menemukan titik balik dimana mereka berhasil berubah menjadi orang yang lebih baik, akan tetapi ketiga subjek masih bertahan di masa lalu. Bertahannya subjek pada pengandaian “andai aku bisakembali ke masa lalu” akan membuat dirinya tertahan

dan tidak akan maju menjadi seseorang yang lebih baik.

Gambar

Tabel verbatim subjek 1 .............................................................................

Referensi

Dokumen terkait

Implikasi penelitian: 1) Upaya meningkatkan Penguasaan Konsep Matematika melalui Kecerdasan Emosional, guru perlu mengetahui kestabilan emosional siswa

para mujtahid, karena para mujtahid hanya terbatas pada memperjelas atau memunculkan hukum Allah serta menemukannya melalui jalan Istimbath (penetapan hukum yang berdasarkan

Pera/atn Kesehatan 4asyarakat (Perkesmas) Pencatatan di 7ormat ;suhan Kepera/atan Dan Register Di kohort Keluarga Kemudian semuanya direkap di laporan bulanan perkesmas

Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan dengan media lingkungan sebagai berikut: Guru membagi siswa kedalam beberapa kelempok, kemudian melakukan kegiatan kerja

Untuk membuat maupun menulis file excel sebenarnya tidak terlalu sulit, karena sudah cukup banyak tersedia library atau class yang dibuat khusus untuk menangani

Sebuah Skripsi yang Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. © Acit Darsita 2016

Pada hasil partisipasi aktif siswa, siswa telah berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran dan keaktifan siswa pada proses pembelajan berlangsung dapat dilihat

Ada sebagian orang yang senang sekali membatasi hidup orang lain berdasarkan warna yang dia gunakan, misalnya mengatakan “kamu sih suka baju warna hitam,