• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

I.5 Kerangka Teori

I.5.1 Implementasi

I.5.1.2 Proses Implementasi Kebijakan

Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam, manusia maupun biaya) dan diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan yang diambil tersebut merupakan bentuk tranformasi rumusan-rumusan yang diputuskan dalam kebijakan menjadi pola-pola operasional yang pada akhirnya akan menimbulkan perubahan sebagaimana diamanatkan dalam kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Hakikat utama implementasi adalah pemahaman atas apa yang harus dilakukan setelah sebuah kebijakan diputuskan. (http://hyukurniawan.wordpress.com/2010/02/06/konsep-implementasi-kebijakan-publik/)

Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan publik perlu diketahui variabel atau faktor penentunya. Van Meter dan Van Horn dalam winarno (2007:155) mengemukakan delapan variabel penting yang tercakup dalam suatu proses implementasi, yaitu :

1. Ukuran-Ukuran Dasar dan Tujuan Kebijakan

Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan kinerja kebijakan. Identifikasi indikator-indikator kinerja

merupakan tahap penting dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator kinerja ini menilai sejauh mana ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan telah direalisasikan, yang kemudian dapat digunakan dalam mengurai tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh.

2. Sumber-Sumber Kebijakan

Sumber-sumber kebijakan layak mendapat perhatian karena menunjang keberhasilan implementasi kebijakan. Sumber-sumber yang dimaksud mencakup dana atau perangsang (incentive) lain yang mendorong dan mempelancar implementasi yang efektif. Dalam beberapa kasus, besar kecilnya dana akan menjadi faktor yang menetukan keberhasilan implementasi kebijakan.

3. Komunikasi Antar Organisasi dan Kegiatan-Kegiatan Pelaksanaan

Implementasi akan berjalan efektif bila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan dipahami oleh individu yang bertanggung jawab dalam kinerja kebijakan. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberi perhatian yang besar pada ketepatan komunikasi antar pelaksana kebijakan, dan konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan-tujuan yang dikomunikasikan dengan berbagai sumber informasi.

4. Karakteristik Badan-Badan Pelaksana

Dalam melihat karakteristik badan-badan pelaksana, pembahasan ini tidak bisa lepas dari stuktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik, norma dan pola-pola hubungan dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan, baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dengan menjalankan kebijakan.

Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi, partisipasi publik yang ada di lingkungan serta lingkungan yang mendukung keberhasilan ataupun menolak implementasi kebijakan.

6. Kecenderungan Pelaksanaan

Arah kecenderungan pelaksanaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan merupakan suatu hal yang sangat penting. Penerimaan terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan kebijakan yang diterima secara luas oleh pelaksana kebijakan yang diterima secara luas oleh pelaksana kebijakan akan menjadi pendorong keberhasilan bagi implementasi kebijakan.

7. Kaitan Antara Komponen-Komponen Model

Komponen yang dimaksud disini ukuran-ukuran dasar dan tujuan, komunikasi antar organisasi dan kegiatan-kegiatan pelaksanaannya, karakteristik dari badan pelaksana dan kecenderungan para pelaksana yang semuanya saling berkaitan dalam mengimplementasikan kebijakan.

8. Masalah Kapasitas

Kapasitas merupakan salah satu faktor yang berpengaruh bagi implementasi kebijakan. Hal ini menyangkut staf yang terlatih dan banyaknya pekerjaan yang dikerjakan, sumber-sumber keuangan dan hambatan-hambatan waktu yang bisa menjadikan implementasi kebijakan tidak berjalan dengan baik.

Selain kedelapan variabel penting yang dikemukakan Van Meter dan Van Horn tersebut, George C. Edwards III juga mengemukakan empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan. (http:/mulyono.staff.uns.ac.id./2009/05/28/model-implementasi-kebijakan-george-edward-iii/) keempat variabel tersebut adalah:

1. Komunikasi

Proses penyampaian informasi baik antar pegawai maupun komunikasi pegawai dengan masyarakat yang dapat dilakukan melalui sosialisasi program.

2. Sumber Daya

Sumber daya yang dimaksud mencakup sumber daya manusia yang memadai di bidang administrasi, ketersediaan informasi maupun fasilitas-fasilitas pendukung seperti perangkat teknologi informasi, perlengkapan kantor, serta sumber dana yang mencukupi untuk pelaksaan program.

3. Disposisi atau Sikap

Disposisi atau sikap disini maksudnya adalah keinginan dan sikap dari berbagai pihak untuk mendukung suatu kebijakan. Hal ini meliputi penyempurnaan pelayanan dan adanya komitmen dari seluruh aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan prima serta adanya keinginan kuat dari masyarakat untuk terus melakukan perbaikan.

4. Struktur organisasi

Yaitu tatanan organisasi yang mengatur pedoman kerja dan penjabaran wilayah tanggung jawab setiap aparatur pelaksana kebijakan.

Dari uraian diatas penulis ingin menambahkan variabel yang menetukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu, isi kebijakan. Isi kebijakan mencakup kepentingan kelompok sasaran, jenis manfaat yang diterima, perubahan yang dinginkan, ketepatan program, yang didukung dengan sumber daya yang memadai. Jadi, variabel yang menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu : Komunikasi, Sumber daya, Disposisi atau sikap, Sruktur organisasi dan Isi kebijakan.

I.5.2 Good Governance

Arti good dalam istilah good governance mengandung dua pengertian : pertama, nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat dalam pencapaian tujuan kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Bedasarkan pengertian tersebut, kepemerintahan yang baik berorientasi pada dua hal yaitu :

1. Orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional 2. Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien

melakukan upaya pencapaian tujuan nasional. (Suhady 2005:49)

Dari segi fungsional, aspek governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efesien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan, atau justru sebaliknya dimana pemerintah tidak berfungsi secara efektif dan terjadi efesiensi. Governance menurut defenisi dari World Bank adalah “the way state power is used in managing economic and social resources for development and society”. Sementara UNDP mendefinisikannya sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Bedasarkan defenisi terakhir, governance mempunyai tiga kaki, yaitu :

1. Economic governance meliputi proses pembuatan keputusan yang memfasilitasi terhadap equity, poverty, dan quality of live.

2. Poloitical governance adalah proses keputusan untuk formulasi kebijakan 3. Administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan.

(Sedarmayanti 2003:4-5)

Oleh karena itu, institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah), private sector (sektor swasta), dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. State berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, private sector menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik.

Dalam Sistem Administrasi Indonesia, penerapan Good Governance seperti dalam pengertian yang dikembangkan oleh UNDP. Berdasarkan dokumen kebijakan UNDP dalam “Tata Pemerintahan Menunjang Pembangunan Manusia Berkelanjutan”. Januari 1997, yang dikutip Buletin iformasi Proggram Kemitraan untuk Pembaharuan Tata Pemerintahan di Indonesia (Partnership for governance Reform in Indonesia), 2000, disebutkan : Tata pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan Negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan kepentingan mereka.

UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik Governance, yaitu : legitimasi politik, kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan partisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, system yudisial yang adail dan dapat dipercaya. Tetapi UNDP kurang menekankan pada asumsi superioritas majemuk, multi-partai, system orientasi pemilihan umum, dan

pemahaman bahwa perbedaan bentuk kewenangan politik dapat dikombinasikan dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas dengan cara-cara yang berbeda. Hal-hal tersebut juga berkaitan terhadap argumentasi mengenai nila-nilai kebudayaan yang relatif; system penyelenggaraan pemerintahan yang mungkin bervariasi mengenai respon terhadap perbedaan kumpulan nilai-nilai ekonomi, politik, dan hubungan sosial, ata dalam hal-hal seperti : partisipasi, individualitas, serta perintah dan kewenangan. UNDP menganggap bahwa Good Governance dapat diukur dan dibangun dari indikator-indikator yang komplek dan masing-masing menunjukkan tujuannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 merumuskan pengertian kepemerintahan yang baik yaitu keperintahan yang mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi, efesiensi, efektivitas, supermasi hukum, dan dapat diterima oleh sluruh masyarakat.

I.5.2.1 Prinsip-Prinsip Good Governance

Berdasarkan pengertian Good Governance oleh Mardiasmo dan Bank Dunia yang disebutkan diatas dan sejalan dengan tuntutan reformasi yang berkaitan dengan aparatur Negara termasuk daerah adalah perlunya mewujudkan administrasi Negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas, dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan maka menuntut penggunaan konsep Good Governance sebagai kepemerintahan yang baik, relevan dan berhubungan satu dengan yang lainnya. Ide dasarnya sebagaimana disebutkan Tingkilisan (2005:116) adalah bahwa Negara merupakan

institusi yang legal formal dan konstitusional yang menyelenggarakan pemerintahan dengan fungsi sebagai regulator maupun sebagai Agent of Change.

Good Governance awalnya digunakan dalam dunia usaha (corporate) dan adanya desakan untuk menyusun sebuah konsep dalam menciptakan pengendalian yang melekat pada korporasi dan manajemen professionalnya, maka ditetapkan Good Corporate Governance. Sehingga dikenal prinsip-prinsip utama dalam Governance korporat adalah: transparansi, akuntabilitas, fairness, responsibilitas, dan responsivitas. (Nugroho,2004:216)

Transparansi merupakan keterbukaan, yakni adanya sebuah system yang memungkinkan terselenggaranya komunikasi internal dan eksternal dari korporasi. Akuntabilitas adalah pertanggungjawaban secara bertingkat keatas, dari organisasi manajemen paling bawah hingga dewan direksi, dan dari dewan direksi kepada dewan komisaris. Akuntabilitas secara luas diberikan oleh dewn komisaris kepada masyarakat. Sedangkan akuntabilitas secara sempit dapat diartikan secara financial. Fairness agak sulit diterjemahkan karena menyangkut keadilan dalam konteksmoral. Fairness lebih menyangkut moralitas dari organisasi bisnis dalam menjalankan hubungan bisnisnya, baik secara internal maupun eksternal.

Responsibilitas adalah pertanggungjawaban korporat secara kebijakan. Dalam konteks ini, penilaian pertanggungjawaban lebih mengacu kepada etika korporat, termasuk dalam hal etika professional dan etika manajerial. Sementara itu komite governansi korporat di Negara-negara maju menjabarkan prinsip governansi korporat menjadi lima kategori, yaitu: (1) hak pemeganng saham, (2) perlakuan yang fair bagi semua pemegang saham, (3) peranan konstituen dalam

governansi korporat, (4) pengungkapan dan transparansi dan (5) tanggungjawab komisaris dan direksi.

Prinsip-prinsip Good Governance diatas cenderung kepada dunia usaha, sedangkkan bagi suatu organisasi public bahkan dalam skala Negara prinsip-prinsip tersebut lebih luas menurut UNDP melalui LAN yang dikutip Tingkilisan (2005:115) menyebutkan bahwa adanya hubungan sinergis konstruktif di antara Negara, sektor swasta atau privat dan masyarakat yang disusun dalam sembilan pokok karakteristik Good Governance, yaitu:

1. Partisipasi (Participation)

Setiap warga Negara mempunyai suara dalam formulasi keputusan, baik secara langsung maupun intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara berpartisipasi secara konstruktif

2. Penerapan Hukum (Fairness).

Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama ukum untuk hak azasi manusia.

3. Transparansi (Transparency)

Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang mambutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.

4. Responsivitas (Responsiveness)

Lembaga-lembaga dan proses-proses kelembagaan harus mencoba untuk melayani setipa stakeholders.

5. Orientasi (Consensus Oreintation)

Good Governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.

6. Keadilan (Equity)

Semua warga Negara, baik laki-laki mapuin permpuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ataupun menjaga kesejahteraan mereka dan terlibat di dalam pemerintahan.

7. Efektivitas (Effectivness)

Proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.

8. Akuntabilitas (Acoountability)

Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat sipil (civil society) bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.

9. Strategi visi (Strategic vision)

Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Prinsip-prinsip diatas merupakan suatu karakteristik yang harus dippenuhi dalam hal pelaksanaan good governance yang berkaitan dengan kontrol dan pengendalian, yakni pengendalian suatu pemerintahan yang baik agar cara dan penggunaan cara sungguh-sugguh mencapai hasil yang dikehendaki stakeholders. Penerapan Good Governance kepada pemerintah adalah ibarat masyarakat memastikan mandat, wewenanang, hak dan kewajibannya telah dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Disini dapat dilihat bahwa arah kedepan dari Good Governance adalah membangun the professional government, bukan dalam arti pemerintah yang dikelola para teknokrat, namun oleh siapa saja yang mempunyai kualifikasi professional, yaitu mereka yang mempunyai ilmu dan pengetahuan yang mampu mentransfer ilmu dan pengetahuan menjadi skill dandalam melaksanakannya berlandaskan etika dan moralitas yang tinggi.

Berkaitan dengan pemerintah yang dikelola siapa saja yang mempunyai kualifikasi professional mengarajh kepada kinerja SDM yang ada dalam organisasi publik sehingga dalam peyelenggaraan good governance didasarkan pada kinerja organisasi publik, yakni responsivitas (Responsiveness), responsibilitas (Responsibility), dan akuntabilitas (Accountability).

Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan public sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. (Tingkilisan, 2005:117)

Berdasarkan pernyataan tingkilisan diatas maka disebutkan bahwa responsivitas mengacu pada keselarasan antara program dan kegiatan pelayanan

yang diberikan oleh organisasi publik dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang diprogramkan dan dijalankan oleh organisasi publik , maka kinerja organisasi tersebut akan semakin baik. Responsivitas dimasukkan sebagai salah satu indikator Good Governance karena responsivitas scara langsung menggambarkan kemampuan suatu organisai public dalam menjalankan misi dan tujuannya, terutaa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang sangat rendah ditunjukkan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dan kebutuhan masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan kegagagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan organisasi publik. Organisasi yang memiliki tingkat responsivitas yang rendah dengan sendirinya juga akan memiliki kinerja yang rendah.

Responsibilitas menjelaskan sejauh mana pelaksanaan kegiatan organisasi public itu dilakukan sesuai dengan yang implicit atau eksplisit. Semakin kegiatan organisasi public itu dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinspi administrasi dan peraturan serta kebijaknsanaan organisasi, maka kinerjanya akan dinilai semakin baik.

Sedangkan akuntabilitas mengacu pada seberapa besar pejabat politik dan kegiatan organisasi public tunduk pada pejabat polotik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinnya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, maka dengan sendirinya akan selalu mempresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini kinerja organisai public dinilai baik apabila sepenuhnya atau setidaknya sebagian besar kegiatannya didasarkan pada upaya-upaya untuk memenuhi harapan dan keinginan para wakil rakyat. Semakin banyak tindak

lanjut organisasi atas harapan dan aspirasi pejabat politik, maka kinerja organisasi tersebut akan semakin baik.

Konsep akuntabilitas public dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi public atau pemerintah seperti pencapaian target. Kinerja sebaiknya harus dinilai dari ukuran eksternal juga seperti nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Suatu kegiatan organisasi public memiliki akuntabilitas yang tinggi kalau kegiatan itu dianggap benar dan sesuai dengan nilai dan norma yang berkembang di dalam masyarakat.

Dokumen terkait