• Tidak ada hasil yang ditemukan

Baso dkk (2011:59) “Pelayanan terpadu adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi korban kekerasan yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh lembaga terkait sebagai suatu kesatuan penyelenggaraan rehabilitasi kesehatan, medicolegal, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial, dan bantuan hukum bagi korban kekerasan.”

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008, yang dimaksud dengan pelayanan terpadu adalah “serangkaian kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi saksi dan atau korban tindak pidana kekerasan perempuan dan anak yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh instansi atau lembaga terkait sebagai suatu kesatuan penyelenggaraan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, reintegrasi sosial dan bantuan hukum bagi saksi dan atau korban tindak kekerasan perempuan dan anak.”

18

xxix

Salah satu program yang telah dijalankan oleh Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) Provinsi Sulawesi Selatan adalah pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) tingkat provinsi yang menjadi pusat koordinasi P2TP2A tingkat Kabupaten/kota di Sulawesi Selatan. P2TP2A ini dibentuk pada tahun 2009 yang merupakan tindak lanjut dari Surat Kesepakatan Bersama antara Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan RI, dan Kepala Kepolisian Negara RI dengan nomor 14 / Men PP / Dep. V / X / 2002, 1329 / MENKES / SKB / X / 2002, 75 / HUK / 2002 / B / 3048 / X / 2002 tentang P2TP2A.

Baso dkk (2011:59) “Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) adalah suatu unit kesatuan yang menyelenggarakan pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan.”

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan Dan Anak (P2TP2A) merupakan salah satu bentuk wahana pelayanan bagi perempuan dan anak dalam upaya pemenuhan informasi dan kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, hukum, perlindungan dan penanggulangan tindak kekerasan serta perdagangan terhadap perempuan dan Anak.

Fungsi dari P2TP2A menurut Miraza (2009:41) adalah :

a. Pemberian upaya penyelamatan segera bagi korban kekerasan perempuan dan anak dalam bentuk investigasi, penjemputan, pelaporan dan konseling

b. Pemulihan kondisi mental korban akibat tekanan trauma

20

xxx

c. Pembelaan terhadap proses penyelesaian kasus yang dihadapi korban baik secara kekeluargaan maupun hukum

d. Pengembalian korban kepada keluarga, panti, keluarga pengganti dan lingkungan sosial sesuai dengan situasi dan kondisi korban.

Tahap upaya penyelamatan setelah diketahuinya suatu kasus tindak kekerasan pada perempuan dan anak adalah :

a. Investigasi, berupa serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mengumpulkan fakta-fakta dalam mencari kebenaran informasi.

b. Penjemputan atau penyelamatan korban, merupakan tindakan yang perlu segera dilakukan (dalam hal korban belum kembali dan telah diketahui alamatnya), apabila pelaku atau korban telah kembali maka upaya ini dianggap tidak perlu dilakukan.

c. Pemeriksaan kondisi korban, yakni melakukan langkah medis untuk menyelamatkan korban dan membuat rekaman medik korban

d. Konseling atau pemberian bimbingan psikologis kepada korban, termasuk mempertanyakan keinginan korban terhadap kasus yang sedang dialaminya, apakah korban setuju kasusnya diproses secara hukum atau tidak, tujuannya adalah meyakinkan korban pada pilihannya untuk tidak kembali ke tempat semula dan yakin dalam menjalankan kehidupan yang selanjutnya.

e. Pelaporan/pengaduan, dalam hal ini kepada pihak yang berwajib tentang tindak kekerasan yang dialami oleh korban. Pendampingan hukum dan bantuan litigasi terhadap korban perlu dilakukan tidak hanya pada saat pelaporan di kepolisisan tetapi sampai pada proses penuntutan di pengadilan

21

xxxi

f. Proses perlindungan berupa serangkaian tindakan yang harus diberikan kepada korban yang tujuannya semata-mata untuk melindungi dan memberi rasa aman bagi korban, dari intimidasi maupun ancaman yang datang dari pelaku/keluarga pelaku, keluarga korban atau pihak ketiga yang sengaja ingin mengambil keuntungan atau mengeksploitasi korban.

Sari (2015:3) mengemukakan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal bidang layanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan, sebagaimana yang tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum pada Pasal 1 berisi :

a. Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disebut SPM adalah tolak ukur kinerja pelayanan Unit Pelayanan Terpadu dalam memberikan pelayanan penanganan laporan/pengaduan, pelayanan kesehatan, rehabilitasi sosial, penegakan dan bantuan hukum, serta pemulangan dan reintegrasi sosial bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya :

1) Penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian

2) Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani

b. Unit Pelayanan Terpadu atau disingkat UPT adalah suatu unit kesatuan yang Menyelenggarakan fungsi pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. UPT tersebut dapat berada di Pusat Krisis Terpadu (PKT)

22

xxxii

yang berbasis di rumah sakit, Puskesmas, P2TP2A, tergantung kebutuhan di masing- masing daerah.

c. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.

D. Kekerasan Perempuan 1. Definisi

Perempuan diakui berperan besar dalam eksistensi umat manusia, namun realitanya seringkali menjadi korban kekerasan. Ollenburger dan Moore (2002:161) mengemukakan bahwa “kekerasan perempuan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup pribadi ataupun masyarakat”

Muntaj (2008:231) mendefinisikan kekerasan perempuan adalah “setiap tindakan yang dilakukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi”.

Baso dkk (2011:17) “kekerasan yang dialami perempuan adalah kekerasan akibat adanya relasi gender yang tidak seimbang, tidak adil dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena bias budaya patriarkhi”.

23

xxxiii

Berdasarkan definisi dari beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan perempuan adalah segala bentuk penganiayaan terhadap perempuan yang berakibat penderitaan fisik, seksual maupun psikologis secara sewenang-wenang baik di lingkungan pribadi ataupun di lingkungan umum.

Muhtaj (2008:236) mengemukakan bahwa dalam setiap masyarakat dan lingkungan kegiatan, perempuan acapkali menjadi sasaran ketidakadilan dalam hukum maupun pergaulan sosial. Keadaan ini disebabkan bahkan diperburuk oleh adanya persepsi salah di lingkungan keluarga, masyarakat dan negara. Walaupun sebab dan akibatnya berbeda konteksnya antara setiap negara, diskriminasi terhadap perempuan dirasakan menjadi masif.

Seseorang akan berpendapat, tanpa menghiraukan perempuan atau laki-laki, suatu tindakan kriminal adalah kejahatan dan harus di hukum. Namun pandangan yang lebih hati-hati pada persoalan yang relevan dengan kriminalitas wanita, memberikan gambaran yang lebih kompleks daripada pendekatan terhadap kriminalitas yang terlalu sederhana. Teori-teori pelanggaran kriminalitas yang ada, telah terbukti tidak cukup untuk menjelaskan pelanggaran dan kriminalitas wanita. Teori-teori itu hanya sedikit menjelaskan reaksi-reaksi resmi polisi, pengadilan dan lembaga-lembaga penghukuman sebagai pelanggar atau tahanan (Ollenburger dan Moore, 2002:167).

Menurut Ollenburger dan Moore (2002:168) kriminalitas yang meliputi seluruh dunia dan telah tetap merupakan suatu kegiatan yang menonjol, kriminalitas wanita telah meningkat lebih cepat dari kriminalitas pria, khususnya pada bangsa-bangsa yang sedang berkembang.

24

xxxiv

Pada tahun 1992, penegasan bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan merupakan memontum yang penting bagi advokasi gerakan penegak hak-hak asasi manusia khususnya hak asasi perempuan. Penegasan ini dilatari oleh penajaman konsep hak asasi manusia tersebut telah ditegaskan oleh Komite PBB yang di tandatangani pada 26 Juni 1945 di San Fransisco yaitu tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Seiring dengan dikeluarkannya dua puluh butir rekomendasi khusus dari Komite PBB tersebut yang isinya mengenai landasan aksi yang harus dilakikan oleh Negara-negara peserta Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang

berlaku efektif sejak 3 september 1979 (Muhtaj, 2009:240). Dari latar belakang ini mulai terjadi kemajuan dalam upaya pencegahan masalah kekerasan terhadap perempuan di berbagai negara termasuk Indonesia.

2. Bentuk-bentuk Kekerasan

Bentuk-bentuk kekerasan dalam deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan menurut Ambarwati (2009:10-11) dapat berwujud :

a. Kekerasan secara fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti: pemukulan menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu, parang), membenturkan kepala ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan rokok atau dengan kayu yang bara apinya masih ada, menendang, mencekik leher

25

xxxv b. Kekerasan psikis

Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak bberdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis berupa makian, ancaman cerai, tidak memberi nafkah, hinaan, menakut-nakuti, melarang melakukan aktivitas di luar rumah.

c. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, maupun pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.

Kekerasan seksual seperti memaksa isteri melakukan hubungan seksual walaupun isteri dalam kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain.

d. Kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

3. Faktor-faktor Penyebab Kekerasan

Secara umum bentuk kekerasan yang terjadi di kalangan perempuan adalah bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Penyebab kekerasan

26

xxxvi

perempuan khusunya dalam lingkup rumah tangga sangat kompleks dan saling terkait antara faktor-faktor yang berhubungan. Akar dari penyebab KDRT dilatarbelakangi oleh sejarah personal laki-laki yang dianggap memiliki kuasa yang lebih dari pada perempuan sehingga menempatkan perempuan lebih rendah dan menganggap perempuan sebagai milik laki-laki, sehigga kekerasan dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar dilakukan laki-laki terhadap perempuan.

Kekerasan sebagai manifestasi agresivisitas seksual laki-laki yang bersifat bawaan yang dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan seperti pemukulan terhadap isteri.

Kekerasan terhadap perempuan merupakan persoalan yang struktural yang bersifat sistemik, yang disebabkan oleh pola hubungan asimetris yang berbasis pada perbedaan jenis kelamin dan pembagian kerja seksual (UNICEF, 2005).

Akar penyebab KDRT menurut WHO (2005) menjelaskan bahwa faktor penyebab KDRT meliputi beberapa bidang yakni ekonomi, budaya, sosial, politik dan hukum. Dari faktor ekonomi, laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah, dan juga secara kodrati dianggap mempunyai kelebihan daripada perempuan, sehingga perempuan bergantung secara ekonomi kepada laki-laki, perempuan tidak memiliki kesempatan pendidikan yang sama dengan laki-laki sehingga perempuan mempunyai sedikit peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan gaji yang layak.

Jama dan Hadijah (2008:92) mengemukakan bahwa dari segi sosial hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki dalam budaya masyarakat Indonesia yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti agama, ras, etnis kelas maupun gender menempatkan posisi perempuan lebih rendah dari pada

laki-27

xxxvii

laki dan dianggap tidak penting sehingga menyebabkan perempuan dibatasi oleh banyak aturan-aturan yang harus dijalani yang pada akhirnya mrugikan bagi perempuan itu sendiri. Pembatasan dapat berupa pembatasan bidang sosial, penetapan posisi dan perilaku. Kekerasan dilakukan ketika timbul anggapan sosial bahwa perempuan melampaui batas yang telah ditetapkan dalam peran sosial.

Peran sosial yang harus dijalani ini seolah-olah menjadikan keabsahan untuk melakukan kekerasan pada perempuan dan dianggap wajar mendapat perlakuan tersebut. Tindakan isolasi pada perempuan di dalam keluarga dan masyarakat menurut WHO (2005) juga dapat berkontribusi menambah potensi terjadinya KDRT karena perempuan menjadi tidak memiliki akses pada keluarga dan organisasi lokal. Dengan kata lain, partisipasi perempuan dalam jaringan sosial merupakan faktor kritis bagi kaum perempuan untuk belajar mengurangi resiko dan menyelesaikan masalahnya sendiri.