• Tidak ada hasil yang ditemukan

Putusan Hakim dan Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika

PUTUSAN HAKIM DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENGGUNA NARKOTIKA

C. Putusan Hakim dan Perlindungan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Pengguna Narkotika

Penghargaan serta perlindungan terhadap anak sudah ditegaskan dalam Konvensi Hak Anak yang di adopsikan oleh Majelis Umum PBB pada 20 November 1989 melalui resolusi No.44/25. Konvensi ini merupakan hasil kesepakatan dan berbagai sistem hukum dan falsafah berbagai bangsa-bangsa. Dilakukan karena setiap negara memiliki tradisi dan budaya yang berbeda mengenai anak. Pemerintah indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Hak Anak berdasarkan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, pemerintah juga telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Namun demikian usaha perlindungan dan pemenuhan hak anak di indonesia masih terus diliputi oleh berbagai masalah, baik pada tataran normatif maupun tataran implementasi.161

Peradilan merupakan lembaga yang menjalankan kekuasaan kehakiman, sebagai lembaga yang berwenang mengadiili, sebagaimana fungsi yudikatifnya yaitu

161Mahmul Siregar dkk, Melindungi Anak Dengan Hukum Pada Situasi Emergensi Dan Bencana Alam, (Medan: PKPA, 2007), hlm. 115.

menegakkan keadilan dan kebenaran dan juga melaksanakan fungsi eksekutif yaitu menjaga dan menegakkan hukum, maka lembaga peradilan pun melaksanakan fungsi legislatif yakni penemuan dan pembentukan hukum.162

Putusan pengadilan merupakan pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan, yang dapat berupa pemidanaan, lepas atau bebas dari segala tuntutan hukum dan berupa tindakan dalam hal menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Dalam menjatuhkan suatu putusan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, sesungguhnya diperlukan suatu sikap yang bijaksana dari Hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan memperhatikan akibat yang ditimbulkan baik bagi anak tersebut maupun bagi kepentingan umum.163

Tabel. 7

Terutama bagi anak yang terlibat dalam tindak pidana narkotika.Berikut data tentang lamanya pidana yang dijatuhkan oleh hakim terhadap anak pelaku tindak pidana pegguna narkotika hasil studi dokumentasi di Pengadilan Negeri Medan yang tersaji dalam tabel berikut:

Lama Pidana Penjara yang di Jatuhkan Oleh Hakim Pengadilan Negeri Medan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Narkotika

Sumber: Pengadilan Negeri Medan.

162Ibid.

163http://repository.unand.ac.id/15041/, diakses 11 September 2012.

No. Nomor Putusan Lama pidana 1. 357/Pid.B/2010/PN.Mdn 7 Bulan Penjara 2. 2.278/Pid.B/2010/PN.Mdn 6 Bulan Penjara 3. 2.513/Pid.B/2010/PN.Mdn 7 Bulan Penjara 4. 827/Pid.B/2011/PN.Mdn 2 Tahun Penjara 5. 1.101/Pid.B/2011/PN.Mdn 1 Tahun 4 Bulan

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa dari 5 (lima) putusan Pengadilan Negeri Medan yang mengadili perkara anak pelaku tindak pidana narkotika semuanya menjatuhkan pidana penjara. Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan sebagai akibat penahanan dan pidana perampasan kemerdekaan pada anak. Hal ini sesuai dengan komentar Ketua Komnas Perlindungan Anak, Aris Merdeka Sirait, dalam perbicangan bersama Pro 3 RRI mengatakan bahwa keberadaan penjara untuk anak selama ini tidak berpihak kepada perkembangan psikologis anak. Penjara, jelas Aris Merdeka Sirait, untuk anak justru menjadi wahana belajar kriminalitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak dari berbagai negara maju, didapati penjara untuk anak tidak memberi efek jera.164

Penahanan dan pidana perampasan kemerdekaan itu digunakan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu sesingkat mungkin. Bertitik tolak dari kenyataan tersebut di atas, maka perlindungan hukum bagi anak dalam penahanan dan pidana perampasan kemerdekaan perlu sekali dilakukan untuk memperkecil dampak negatif yang melekat pada anak yang berkonflik dengan hukum.165

Hakim anak dalam menangani perkara anak cenderung menjatuhkan putusan yang berisi pemidanaan berupa penjara meskipun dengan jangka pendek.

Kecenderungan demikian bertentangan atau tidak sesuai dengan asas ultimum

164http://www.rri.co.id/index.php/detailberita/detail/7540#.UJ-YRFsfldg, diakses, Minggu 11 November 2012.

165http://eprints.undip.ac.id/13348/, diakses Selasa, 16 Oktober 2012.

remidium karena pemberian pidana walaupun dalam jangka waktu pendek memberikan stigma yang buruk kepada pelaku dalam hal ini anak yang harus dilindungi kepentingannya (masa depan anak). Seharusnya, pemberian pidana penjara merupakan upaya terakhir dan berorientasi pada kesejahteraan anak.

Penjatuhan pidana penjara kepada anak akan membawa dampak negatif yang berkepanjangan yang justru bersifat kontra-produktif apabila dilihat dari tujuan pokok pemidanaan itu sendiri. Tujuan pemidanaan khususnya bagi anak, dalam kenyataanya tidak dapat dipenuhi dengan penjatuhan pidana penjara kepada anak.

Pemidanaan bagi anak sering kali menempatkan anak dalam situasi yang bersifat merugikan anak karena berbagai dampak negatif penerapan pidana penjara.

Proses penegakan hukum pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang muaranya berupa putusan hakim dipengadilan sebagaimana terjadi saat ini, cenderung melupakan dan meninggalkan pandangan pengguna/pecandu sebagai korban peredaran gelap narkotika terutama anak sebagai pelaku tindak pidana pengguna narkotika. Para pihak terkait antara lain jaksa penuntut umum dan hakim melalui alat bukti yang cenderung berfokuskan pada pembuktian atas tuduhan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa. Proses peradilan lebih berkutat pada perbuatan terdakwa memenuhi rumusan pasal hukum pidana yang dilanggar atau tidak. Dalam proses seperti ini menunjukkan hukum acara pidana sebagai landasan beracara dengan tujuan untuk mencari kebenaran materiil sebagai kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan perlindungan hak asasi manusia tidak seluruhnya tercapai.

Pengadilan progresif mengikuti maksim,166 “hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya”. Bila rakyat adalah untuk hukum, apapun yang dipikirkan dan dirasakan rakyat akan ditepis karena yang dibaca adalah kata-kata undang-undang.

Dalam hubungan ini, pekerjaan hakim menjadi lebih kompleks. Seorang hakim bukan hanya teknisi undang-undang, tetapi juga makhluk sosial. Karena itu pekerjaan hakim sungguh mulia karena ia bukan hanya memeras otak, tetapi juga nuraninya.167

Menjadi makhluk sosial akan menempatkan hakim ditengah hiruk pikuk masyarakat, keluar dari gedung pengadilan. Malah ada yang mengatakan, seorang hakim sudah tidak ada bedanya dengan wakil rakyat. Bila ia berada ditengah masyarakat, berarti ia berbagi suka-duka, kecemasan, penderitaan, harapan, seperti yang ada dimasyarakat. Melalui putusan-putusannya, hakim sudah mewakili suara mereka (rakyat) yang terwakili dan kurang terwakili.168

Munculnya Hukum progresif adalah untuk menegaskan bahwa hukum adalah untuk manusia, dan bukan sebaliknya. “Hukum itu bukan hanya bangunan peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita.” Dalam satu dekade terakhir, Satjipto Rahardjo menekankan satu hal penting, bahwa “tujuan hukum adalah membahagiakan manusia”. Mengingatkan bahwa letak persoalan hukum adalah di manusianya. Menurut beliau bahwa pemikiran hukum perlu kembali pada filosofi dasarnya, yaitu : hukum untuk manusia. Dengan filosofi tersebut, maka manusia

166Maksim adalah pernyataan ringkas yang mengandung ajaran atau kebenaran umum tentang sifat-sifat manusia. Tanti Yuniar, Kamus Lengkap Bahasa indonesia, (PT. Agung Media Mulia), hlm.

389.

167Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2006), hlm. 56.

168Ibid.

menjadi penentu dan titik orientasi hukum. Hukum bertugas untuk melayani manusia, bukan sebaliknya. Oleh karena itu hukum itu bukan merupakan institusi yang lepas dari kepentingan manusia.169

Wewenang hakim dalam mengadili seorang anak terikat dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan yang sekarang telah digantikan oleh Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sehingga segala sesuatu yang dilakukan hakim dalam melakukan persidangan sampai kepada Kepentingan rakyat ( kesejahteraan dan kebahagiaanya) harus menjadi orientasi dan tujuan akhir penyelenggaraan hukum. Melihat pemaparan teori yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo tersebut, apabila dikaitkan dengan pembahasan tesis yang akan dibahas disini terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh anak maka dalam orientasi tersebut yaitu apabila suatu tatanan hukum khususnya menganai pengadilan anak apabila dikaji dalam konsep fakta yang ada serta dianggap kurang atau tidak memiliki tujuan baik secara universal (internasional) dan nasional maka pada hakekatnya diperlukan suatu pemikiran atau konsep bersifat progresif sehingga penanganan terhadap anak yang bermasalah dengan hukum khususnya terkait dengan proses peradilan pidana yang dilaluinya sehingga diharapkan sesuai dengan instrumen Internasional dan nasional mengenai konsep perlindungan anak sehingga tidak akan menimbulkan kerugian fisik ataupun mental bagi pelaku anak yang bermasalah dengan hukum.

169http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-396-1796740271-bab%20iv%20tesis.pdf, diakses Selasa, 11 September 2012

memutuskan perkaranya tidak boleh menyimpang dari aturan-aturan perundang-undangan tersebut.

Peran strategis hakim dalam melindungi anak yang berhadapan dengan hukum adalah merupakan tolok ukur bagi pemenuhan hak-hak atas anak dan perlindungan anak karena melalui putusan yang adil dan benar, hak-hak atas tersebut dapat terjamin dan mendapat kepastian hukum sebagaimana tujuan yang dikehendaki Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hal ini dapat terwujud apabila ada kerjasama yang baik antara lembaga-lembaga hukum yang terkait dalam penanganan anak tersebut.170

Aparat penegak hukumhanya berfikir secara normatif, memandang tindakan yang dilakukan anak dari titik akhir atau dampaknya saja, tanpa mau berfikir yang arif dan dewasa baik secara sosiologis, psikologis dan pedagogis maupun filisofis, terlebih jika pelakunya masih anak-anak dibawah umur. Aparat penegak hukum memandang tindak pidana tersebut dari titik awal yang mana secara kriminologis hakim harus memahami mengapa tindak pidana tersebut dilakukan oleh anak-anak?.

Untuk mencari jawaban ini, hakim berfikiran yang arif, berwawasan luas dan bijaksana dalam memahami fakta dan kebenaran sehingga pertimbangan hukum yang dimasukkan dalam putusan tersebut tidak merugikan perkembangan dan masa depan anak dan negara. Oleh karena itu teori yang paling tepat bagi anak yang melakukan

170Ibid.

tindak pidana adalah teori kebijaksanaan.171 Teori ini memang tidak dikenal dalam teori hukum pidana bahkan sejak masa Julius Caisar (100 SM-44 SM) sehingga era globalisasi saat ini, tetapi teori ini layak diterapkan karena tidak hanya untuk melindungi hak asasi anak, tetapi juga untuk melindungi perkembangan fisik, jiwa dan masa depan anak yang sesuai dengan jiwa dan nilai kemanusiaan yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945. Bertalian dengan teori ini, Made Sadhi Astuti menulis:172

“Tujuan pidana sebaiknya didasarkan atas kebijaksanaan karena fisik, mental dan spiritual anak sangat mempengaruhi dan menghambat pertumbuhan anak.”

Pemidanaan terhadap anak tidaklah cukup didasarkan pada pertimbangan yuridis saja, tetapi masih lebih bijaksana apabila pemidanaan tersebut didasarkan pada pertimbangan non yuridis, seperti pertumbuhan fisik, mental dan spiritual anak, karena kemampuan spiritual ini memang merupakan dasar bagi yuridis termasuk

171Menurut Hoogerwerf kebijakan dimana sebagian orang mengistilahkan dengan kebijaksanaan, pada hakekatnya adalah jawaban terhadap suatu masalah, merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah. Dimana pada teori kebijaksanaan terhadap anak yang telah melakukan tindak pidana hakim diharapkan dalam menjatuhkan putusan terhadap anak harus menggunakan pertimbangan yang proporsional baik secara yuridis maupun non yuridis, dengan demikian hak-hak perlindungan anak,

kemampuan fisik dan mental anak yang berdapan dengan hukum

dapatterpenuhi.http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/457/jbptunikompp-gdl-irfanharip-22823-4-babiit-a.pdf, diakses Rabu 24 Oktober 2012.

172Bunadi Hidayat, Op.Cit., hlm. 67.

hakim pidana anak dalam menjatuhkan pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) KUHP.

Selanjutnya, dihalaman yang lain, Made Sadhi Astuti mensitasi pendapat Moeljatno bahwa:173

“Pidana diharapkan untuk melindungi masyarakat dari perbuatan pidana dan menginsafkan pelaku tindak pidana bahwa apa yang dilakukan itu adalah keliru dan tidak akan mengulangi lagi. Pelaksanaan hukum yang mengandung asas kemasyarakatan dan perikemanusiaan adalah merupakan sendi-sendi Pancasila.”

Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat bukan menjerakan atau membalas dendam. Pemidanaan harus mencerminkan jiwa pancasila sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (LN Tahun 2009 Nomor 157), Tentang Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, pemidanaan harus memperhatikan hak-hak asasi manusia, mampu memberikan bimbingan, kesadaran dan pendidikan kepada terpidana, agar secara sadar tidak akan mengulangi perbuatannya.

Dihalaman yang lain, Made Sadhi Astuti menambahkan:174

1. Pemidanaan itu harus bisa melindungi masyarakat. Untuk pertumbuhan anak-anak harus benar-benar diteliti apakah benar tindak pidana dan telah merugikan orang lain.

2. Melindungi terdakwa dan kesewenangan hakim dan memperhatikan hak-haknya dan dapat menginsafkan perbuatan yang keliru, tidak akan mengulangi

173Ibid.

174Ibid.

lagi. Putusan harus melindungi terdakwa pada umumnya dan khususnya pada anak sesuai dengan asas kemasyarakatan dan perikemanusiaan.

Pemikiran Made Sadhi Astuti di atas, adalah tepat karena merupakan bagian dari masyarakat, apabila melakukan tindak pidana harus diteliti tentang latar belakang dan akibat perbuatan terpidana yang semuanya dituangkan dalam laporan penelitian kemasyarakatan. Hakim harus mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan ini secara arif agar hak-hak anak dan masyarakat tetap terlindungi, terbina, dan tidak mengulangi perbuatan yang keliru tersebut dengan penuh kesadaran.

Kebebasan hakim dalam menyelenggarakan peradilan termasuk menggunakan teori kebijaksanaan dalam pemidanaan anak dibawah umur, tidak lah terlalu menyimpang dengan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (LN Tahun 2009 Nomor 157), Tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah ditegaskan, bahwa:175

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna penegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.”

175Ibid.

BAB IV

PUTUSAN HAKIM TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA