• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.5 Ranah dan Modal

Dalam sebuah wawancara dengan Cheelan Mahar, Bourdieu menjelaskan lebih lanjut kontruksi teoritiknya tentang ranah. Mari kita lihat uraian Bourdieu dalam Fashri (2014, 107-111) yaitu: “mengenai bagaimana tindakan (praktik) merupakan produk sari relasi antara habitus (yang merupakan produk sejarah) dan ranah, yang juga merupakan produk sejarah. Habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada dalam masyarakat. Dalam suatu ranah, terdapat suatu pertaruhan, kekuatan-kekuatan, dan orang yang memiliki modal besar dan orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah. Dalam ranah intelektual, anda harus memiliki sebuah modal istimewa dan spesifik yaitu otoritas, prestise dan sebagainya. Ini semua adalah hal-hal yang tidak dapat anda beli, tapi seringkali dianugerahkan oleh modal ekonomi dalam ranah-ranah tertentu. Ranah ini merupakan ranah kekuatan, tapi pada saat yang sama ia adalah ranah dimana orang-orang berjuang untuk mengubah struktur. Misalnya, ketika melihat ranah, mereka memiliki opini-opini dan berkata ‘ia terkenal tapi ia tidak pantas mendapatkan itu’. Demikianlah ranah kekuatan pada saat yang sama adalah ranah perjuangan”.

Konsep ranah mengandaikan hadirnya berbagai macam potensi yang dimiliki oleh individu maupun kelompok dalam posisinya masing-masing. Tidak saja sebagai arena kekuatan-kekuatan, ranah juga merupakan domain perjuangan demi memperebutkan posisinya masing-masing di dalamnya. Posisi-posisi tersebut ditentukan oleh alokasi modal atas para pelaku yang mendiami suatu ranah. Dari sinilah kita memandang bahwa hierarki dalam ruang sosial bergantung pada mekanisme distribusi dan diferensiasi modal, yaitu seberapa besar modal yang dimiliki (volume modal) dan struktur modal mereka.

Memahami konsep ranah berarti mengaitkannya dengan modal. Istilah modal digunakan oleh Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Istilah modal memuat beberapa cirri penting, yaitu: (1) modal terakumulasi melalui investasi (2) modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan (3) modal dapat member keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya.

Merujuk Bourdieu, modal bisa digolongkan kedalam empat jenis yaitu:

pertama, modal ekonomi mencakup alat-alat produksi (mesin, buruh, tanah), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kedua, modal budaya adalah keseluruhan kualifikasi intelektual yang bisa diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Termasuk modal budaya antara lain kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar kesarjanaan). Ketiga, modal modal sosial menujuk jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungannya dengan pihak

lain yang memiliki kuasa. Dan keempat, segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi yang terakumulasi sebagai bentuk modal simbolik.

Dari semua bentuk modal yang ada, modal ekonomi dan budayalah yang memiliki daya besar untuk menetukan jenjang hierarkis dalam masyarakat maju. Mereka yang memiliki keempat modal tadi dalam jumlah yang besar akan memperoleh kekuasaan yang besar pula dan menepati posisi hierarki tertinggi. Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut memiliki daya-daya yang memberikan arti. Hubungan habitus, ranah, dan modal bertaut secara langsung dan bertujuan menerangkan praktik sosial. Karakteristik modal dihubungkan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi dan ranah selaku tempat beroperasinya modal. Sedangkan ranah senantiasa dikitari oleh relasi kekuasaan objektif berdasarkan pada jenis-jenis modal yang digabungkan dengan habitus.

2.6 Kekuasaan

Kekuasaan adalah konsep abstrak tapi sangat berpengaruh dalam kehidupan kita. Moore dan Hendry dalam Thomas dan Waering (2007:18) mendefinisikan kekuasaan sebagai kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan terjadi, sehingga dengan menelitinya kita bisa mengenali siapa yang mengendalikan apa dan demi kepentingan siapa. Salah satu cara memahami cara kerja dari kekuasaan dalam masyarakat adalah dengan melihat pada dunia politik. Kekuasaan (authority) merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemhaman. Pertama pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman kekuasaan (authority) secara

umum adalah berkenaan dengan pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan dan menerima tekanan pada sisi lain.

Kekuasaan menurut Foucault dalam Mudhoffir (2013: 81) tidak dipahami dalam lingkup kepemilikan oleh suatu kelompok lembaga sebagai suatu mekanisme yang memastikan ketundukan masyarakat terhadap negara. Kekuasaan juga bukan mekanisme dominasi sebagai bentuk kekuasaan terhadap yang lain dalam hubungan yang mendominasi dengan didominasi atau yang powerful dan powerless. Kekuasaan bukan seperti halnya bentuk kedaulatan suatu negara atau lembaga hukum yang mengandaikan dominasi atau penguasaan secara eksternal terhadap individu dan kelompok.

Kekuasaan mesti dipahami sebagai bentuk hubungan kekuatan yang tidak tetap dalam ruang dimana kekuasaan itu beroperasi. Kekuatan itu, yang membentuk rantai hubungan yang justru memisahkan dari yang lain dari hubungan suatu kekuatan. Persoalan kekuasaan bukanlah persoalan pemilikan, dalam lingkup menguasai dan yang dikuasai. Kekuasaan itu tersebar, berada dimana-mana terdapat dalam setiap hubungan sosial. Hal ini bukan karena kekuasaan itu memiliki kemampuan menggabungkan segala sesuatu di bawah kondisi ketidaknampakannya, tetapi karena kekuasaan selalu dihasilkan dalam setiap kejadian dan setiap hubungan. Kekuasaan itu ada dimana-mana bukan karena ia merengkuh segala sesuatu melainkan karena ia bisa berasal dari manapun. Foucault menunjukkan ada empat proposisi mengenai apa yang dimaksud dengan kekuasaan, yakni:

1. Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan sebagai sesuatu yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah tetapi kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari hubungan yang terus bergerak.

2. Hubungan kekuasaan bukanlah hubungan susunan hierarki yang mengandaikan ada yang menguasai dan yang dikuasai.

3. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.

4. Dimana ada kekuasaan, disitu pula ada anti kekuasaan. Resistensi tidak berada diluar hubungan kekuasaan, setiap orang berada dalam kekuasaan, tidak ada satu jalan pun untuk keluar darinya.

Didalam kehidupan kita sehari-hari maka kekuasaan itu terdapat dalam berbagai lini kehidupan kita, baik dalam kehidupan bersama sebagai masyarakat ataupun sebagai individu. Keabsahan atas kekuasaan merupakan suatu legitimasi untuk melakukan tindakan yang dalam tataran objektif tidak demikian. Artinya tanpa adanya legitimasi kekuasaan,kekuasaan seseorang baik secara pribadi apalagi secara kelembagaan tidak akan dapat dilakasanakan. Legitiamasi ini begitu penting maknanya sebagai dasar dari kekuasaan. Hal demikian berlaku dalam semua kehidupan masyarakat tidak terkecuali aktor calon Kepala Desa mereka harus memiliki legitimasi yang diserahkan masyarakat kepada sosok pemimpin yang akan pilih sehingga calon Kepala Desa dapat mempengaruhi masyarakat agar bisa memilihNYA dalam pertarungan pilkades tersebut. Hal demikianlah yang mendasari terbentuknya kepercayaan dan legitimasi yang bisa memenangkan calon Kepala Desa.

Demokrasi pada awalnya dalam pemikiran orang yunani merupakan bentuk politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh kekuasaan politik sehingga menjadikan suara rakyat adalah suara tuhan. Secara garis besar demokrasi sebagai sistem sosial politik modern yang paling baik dari sekian banyak sistem maupun ideologi yang ada sekarang ini. Menurut Mahfud MD dalam Riyanto (2010: 15) ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama, hampir semua Negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental sehingga menjadi pegangan bagi setiap individu dalam kehidupannya bernegara. Kedua, demokrasi sebagai harapan kenegaraan secara intin yang telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan Negara sebagai organisasi tertingginya.

Ruang lingkup demokrasi adalah kewarganegaraan, hal ini mencakup hak untuk mendapatkan perlakuan sama dengan orang lain berkenaan dengan pilihan-pilihan bersama dan kewajiban pihak yang berwenang melaksanakan pilihan-pilihan tersebut untuk bertanggung jawab serta membuka akses terhadap seluruh rakyat. Kebebasan dalam memilih inilah nantinya akan memberikan kelenturan bagi massa pendukung dalam memilih aktor yang benar-benar dianggap bisa memberikan pengaruh positip kepadanya karena para aktor yang bertarung dalam ranah politik desa ini tidak bisa melakukan pemaksaan agar memilihnya nanti di pemilihan Kepala Desa. ruang lingkup kebebasan memilih inilah yang harus dimanfaatkan oleh setiap aktor yang bertarung karena setiap aktor juga tidak bisa dihalangi oleh aktor lain untuk mendapatkan massa pendukungnya karena semua aktor memiliki hak dan kewajiban yang sama menurut konstitusi yang diakui di Negara ini.

Ada banyak defenisi tentang demokrasi yang banyak di artikan oleh banyak ahli politik, namun yang paling populer adalah defenisi demokrasi menurut Abraham Lincoln dalam Riyanto (2010: 19) bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pertama perlu kita melihat defenisi demokrasi dari beberapa sisi. Pertama, sisi substansial (nilai hakiki), dimana kalau demokrasi hanya bisa tegak kalau ada suatu nilai-nilai atau budaya yang memungkinkan rakyat bisa memiliki kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya. Misalnya adanya kebebasan, toleransi, pluralisme dan anti kekerasan. Kedua, sisi dimensi prosedural (aturan atau tata cara), dimana demokrasi hanya bisa tegak jika ada prosedural formal yang memungkinkan nilai dan budaya demokrasi ada dan berjalan.

Jelas sekali dalam pengertian demokrasi diatas dan berdasarkan sisi substansial dan prosedural maka jelas pemilihan Kepala Desa mengharuskan adanya kebebasan dalam memilih dan toleransi antar sesama massa pendukung maupun sesama aktor yang bertarung dalam ranah politik desa. Dalam sisi substansial demokrasi perlu adanya pembelajaran oleh setiap elit desa yang bertarung dalam pemilihan Kepala Desa agar tetap menjunjung nilai yang luhur yang telah lama dimiliki oleh Negara ini sehingga tidak ada lagi kecurangan maupun konflik setelah berahirnya pemilihan desa karena hal itu bisa menjadi contoh oleh bagi elit desa tingkat daerah maupun nasional. Begitu juga dengan sisi dimensi prosedural demokrasi maka akan bisa terinternalisasi dalam setiap indiviu aktor maupun massa pendukung kalau melihat lembaga resmi pemerintah menjalankan sistem demokrasi dengan adanya kebebasan bagi rakyat untuk berinspirasi dan aturan yang telah ditetapkan oleh konstitusi benar-benar berjalan semestinya oleh institusi resmi. Harapan dari masyarakat akan keindahan dari keikutsertaan dalam pesta politik

walaupun hanya dalam tingkat desa atau yang lebih besar benar-benar menjadi kegembiraan bersama yang pantas untuk dirayakan karena akan terpilih sosok pemimipin yang dinginkan rakyat.