BAB I PENDAHULUAN
F. Rancangan Sistematika Penelitian
Bagian ini adalah upaya untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi, oleh karena itu peneliti menyusun suatu sistematika penulisan seperti yang dijelaskan di bawah ini:
Bab satu, berisikan pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang dibahas. Meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian (review) studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini merupakan landasan dari sebuah penelitian yang berfungsi untuk menguraikan dan menjelaskan bab-bab berikutnya.
Bab dua, memaparkan tentang teori atau gambaran umum terkait pengertian cerai gugat dan alat bukti elektronik berdasar pada hukum islam dan hukum positif beserta dengan syarat, faktor, dan fungsinya.
Bab tiga, memuat gambaran umum tentang Pengadilan Agama Depok dengan meliputi sejarah singkat, letak geografis, organisasi, dan lain sebagainya.
Serta dalam bab ini terdapat ringkasan putusan cerai gugat dari Pengadilan Agama Depok yang di dalamnya terdapat penggunaan alat bukti elektronik.
Bab empat, memuat hasil penelitian yang akan dipaparkan dan dideskripsikan secara utuh, kemudian peneliti memberikan analisis terhadap hasil penelitian tersebut. Dalam bab ini membahas tentang jawaban dari rumusan masalah secara meluas sesuai dengan hasil penelitian yang sudah dilakukan.
Bab lima yakni bagian penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran.
BAB II
Cerai Gugat dan Alat Bukti A. Cerai Gugat
1. Cerai Gugat Dalam Hukum Islam
- Pengertian
Dalam hukum Islam, cerai gugat disebut khulu’. Secara etimologis, khulu’
)علخ( berarti menghilangkan (al-izalah) dan mencabut (an-naz’u). Oleh karena itu, dalam bahasa, khulu’ adalah melepaskan dan menghilangkan. Dikatakan bahwa khala'a fulan tsaubah, ketika dia menanggalkan pakaiannya, khala'a az-zauj azawwatuhu, ketika dia memutuskan hubungan suami istri. Namun, kata khulu' secara tradisional digunakan untuk menghilangkan hal-hal selain hubungan antara suami dan istri, dan kata khulu’ bertujuan untuk menghilangkan hubungan antara suami dan istri. Dalam terminologi fiqh, menurut aliran tertentu, khulu' memiliki makna ganda. Menurut aliran Syafi'i, khulu' adalah pemisahan antara suami dan istri, dan iwadh dengan lafazh talak atau khulu’. Sedangkan menurut aliran Maliki khulu' termasuk pemisahan dengan atau tanpa iwadh. Pada saat yang sama, menurut mazhab Hanafi khulu’ adalah pembatalan kepemilikan hubungan perkawinan tergantung pada penerimaan istri terhadap istilah khulu’.12
Dengan demikian secara rigkas penjelasan khulu’ adalah tuntutan cerai yang dilakukan pihak istri dengan membayar tebusan dan menggunakan lafazh khusus. Namun, biasanya kalau di Indonesia dalam perkara cerai gugat istri hanya dibebankan biaya perkara.
- Dasar Hukum khulu’ di antaranya:
Allah mensyariatkan khulu’ sebagaimana firman-Nya:
12 Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia, YASMI, Tangerang, 2018, hlm 139.
َح
“Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing- masing dari karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya), Maha Bijaksana.” (QS.
An-Nisa`:130) - Hukum Khulu’
Ada dua pendapat yang bertentangan tentang hukum khulu’ dalam Islam.
Pertama, berpendapat bahwa hukumnya makhruh bagi perempuan. Kedua, berpendapat bahwa hukumnya boleh. Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang kedua adalah pendapat yang paling banyak disetujui oleh para ulama. Pendapat kedua ini didasari bahwa dalam rumah tangga sudah tidak ada lagi kenyamanan atau ketentraman.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
ت
"Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum- hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim." (QS. Al-Baqarah:229)
Rasulullah SAW bersabda:
Ibnu Abbas menceritakan bahwa istri Tsabit bin Qais menemui Nabi SAW lalu berkata, “ya Rasulullah! Aku tidak mencela Tsabit bin Qais itu mengenai akhlak dan cara beragamanya, tetapi aku takut kafir dalam Islam”. Rasulullah SAW menjawab, “apakah engkau mau mengembalikan kebun kormanya (yang menjadi maskawinnya dahulu) kepadanya?“ dia menjawab: “ya”, kemudian Rasul memanggil Tsabit bin Qais dan menyarankan kepadanya. “Terimalah kembali kebunmu dan talaklah istrimu itu satu kali”. (H.R. Bukhari).13
- Syarat dan Rukun Khulu’
Syarat-syarat khulu’ ada 4 (empat), yakni:
a) Masing-masing pasangan rela;
b) Objek yang menjatuhkan thalaq adalah istri;
c) Menyatakan khulu’ dalam keadaan baligh, sehat, dan layak;
d) Lafazh yang digunakan adalah lafazh khulu’ atau sejenisnya yang memiliki arti dan maksud yang sama seperti kata khulu’.14
Rukun khulu’ antara lain: a) orang yang menerima, b) orang yang menjawab, c) iwadh, d) barang yang diiwadhkan, e) ucapan.15
- Lafazh Khulu’
Contoh lafazh khulu’: “aku meng-khulu’-mu dengan tebusan empat juta rupiah”
lalu sang istri menerimanya, “aku menjatuhkan khulu’”, “aku menebus diriku”, atau yang sejenisnya dengan maksud dan tujuan yang sama.16
2. Cerai Gugat Dalam Hukum Positif
Cerai gugat adalah gugatan yang diajukan oleh istri ke pengadilan dengan tujuan untuk menceraikan suaminya. Disebut cerai gugat karena pada dasarnya talak adalah hak suami, tetapi karena istri berkeyakinan tidak dapat lagi membina rumah
13 Imam Az-Zabidi, Ringkasan hadits shahih Al-Bukhari, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm 92.
14 Abdul Majid Mahmud, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Eraintermedia, Solo, 2005, hlm 409-410.
15 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani, Jakarta, Jilid 9, hlm 423.
tangga, maka istri berharap memperoleh hak cerai dengan menggugat ke pengadilan.
Hukum perkawinan tidak mengenal perbedaan antara cerai gugat dan khulu', tetapi KHI membedakan keduanya. Bedanya, cerai gugat tidak memaksa istri untuk membayar iwadh (tebusan) kepada suami dan khulu’ meminta istrinya untuk membayar iwadh. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan dan KHI menyamakan kedua hal tersebut dengan upaya cerai yang diajukan oleh pihak istri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perceraian mengacu pada masalah perpisahan antara suami dan istri, dan kata "cerai" itu sendiri berarti "meninggalkan perceraian atau menghancurkan hubungan antara suami dan istri." Menurut Pasal 207 KUH Perdata, perceraian didasarkan atas permintaan salah satu pihak dalam perkawinan dan atas dasar-dasar yang ditentukan oleh Undang-Undang, hakim memutuskan untuk menghapuskan perkawinan itu. Cerai gugat adalah tuntutan hak ke pengadilan (bisa dalam bentuk tulisan atau lisan) yang diajukan oleh seorang istri untuk bercerai dari suaminya. Penggugat adalah istri dan tergugat adalah suami.17
Dasar hukum proses perceraian di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Menurut undang-undang ini, salah satu pihak yaitu suami atau istri, dapat mengajukan gugatan cerai. Namun, dalam hal perceraian, ada perbedaan antara muslim dan non- muslim. Suami istri muslim dapat bercerai dengan mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama. Pasangan muslim yang hendak bercerai harus mematuhi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku, yang didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu, dalam proses perceraian berbasis KHI terdapat dua istilah, yaitu penuntutan cerai gugat dan cerai talak. Pasal 116 KHI menegaskan hal tersebut: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan
17https://pa-tutuyan.go.id/main/images/file_download/Formulir/PATty-Panduan-Mengajukan- Gugatan-Cerai.pdf diakses pada tanggal 15 Agustus 2021, pukul 14.03 WIB.
perceraian.” Adapun cerai gugat (gugatan cerai) hanya dapat diajukan oleh istri sebagaimana terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI:
“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atas kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.”
Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat (2) KHI). Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975 pada Bab V pasal 19 menjelasakan alasan-alasan perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Perbedaan cerai gugat dengan cerai talak adalah dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan PP 9/19/5 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah
gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi:
"Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami,"
Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI). Sedangkan, cerai karena talak terdapat pada Pasal 114 KHI yang berbunyi:
"Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian"
Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:
"Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Pasal 115 KHI mengatakan bahwa perceraian yang sah menurut hukum hanya dapat di lakukan dalam persidangan di Pengadilan Agama.
3. Faktor-Faktor Perceraian
Pada umumnya perceraian terjadi karena salah satu pihak sudah tidak lagi merasa nyaman, aman, dan tenteram. Dalam bahasa lainnya sudah tidak ada rasa dan suasana yang menjadi tujuan utama pernikahan, yakni tidak ada lagi sakinah,
mawaddah, warahmah dalam sebuah rumah tangga. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perceraian di antaranya adalah:
- Menikah di bawah umur
Menikah di bawah umur menjadi faktor utama yang menjadikan angka perceraian menjulang tinggi. Pada hakikatnya menikah bukan tentang usia, melainkan tentang kesiapan lahir batin. Jika banyak yang menikah di bawah umur, maka artinya banyak juga yang menikah namun tidak memahami tentang pernikahan. Ini juga menjadi bibit perusak rumah tangga, tidak siap lahir batin.
Sehingga jika dalam perjalanan bahtera rumah tangga ada kerikil atau bahkan badai antara suami dan istri saling bertentangan. Seharusnya saling melegkapi dan sebenarnya dengan pemahaman ilmu agama semua permasalahan bisa terselesaikan dengan syarat adanya kesabaran dan kemauan sama-sama belajar melalui jalan baru di kehidupan setelah menikah.
- Media sosial
Di zaman sekarang ketika melakukan segala sesuatu bisa dilakukan dari jarak jauh, maka tidak menutup kemungkinan bahwa media sosial menjadi salah satu pemicu pertengkaran antar suami istri. Bisa dengan perselingkuhan yang dapat dibuktikan atau tentang permasalahan lainnya. Dengan adanya alat elektronik seperti handphone, laptop, iPad, dan alat bukti elektronik lainnya menjadi salah satu penyebab berkurangnya keharmonisan keluarga, karena hal-hal tersebut menjadi pengubah kebiasaan saat kumpul keluarga, yakni anggota keluarga lebih memilih melihat trend sosial media di layar handphone daripada berbincang dengan keluarga. Hal ini juga bisa menjadi bibit dari sebabnya antar pasangan suami istri saling mengeluarkan emosi masing-masing, hingga akhirnya terjadilah pertengkaran-pertengkaran dalam rumah tangga. Bahkan sering terjadi perselisihan karena kesalahpahaman.
- Keuangan
Keuangan atau perekonomian keluarga menjadi faktor penting yang perlu ada dan cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Keuangan juga merupakan salah satu faktor perceraian karena salah satu pihak yakni istri merasa kekurangan, terkadang dalam rumah tangga memang terdapat banyak ujian kehidupan. Salah satunya dengan kekurangan dalam finansial. Apalagi semenjak adanya covid-19 yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaannya. Ini menjadi salah satu siklus kehidupan yang tidak bisa dihindari. Oleh karena itu sebenarnya sangat penting memahami ilmu-ilmu pernikahan sebelum menikah agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
- Perbedaan pendapat atau pemikiran
Perbedaan pendapat menjadi salah satu faktor perceraian, karena pada saat berucap kemudian saling memenangkan pemikiran atau pendapat masing-masing, maka akan terjadilah percikan api pertengkaran antar suami istri. Hal ini sebenarnya lumrah terjadi, namun tergantung pada para pihak untuk menyikapinya. Dengan perbedaan pendapat dan pemikiran ini, banyak yang lebih memilih untuk berpisah karena sudah tidak dapat bertahan lagi dalam ikatan yang dirasa tidak bisa diperjuangkan. Padahal jika pasangan suami istri mengalami perbedaan pendapat alangkah baiknya dibicarakan secara baik-baik kemudian bisa ambil kesimpulan sebagai jalan penengah bagi keduanya.
- Kekerasan
Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut dengan singkatan yaitu KDRT. Banyak yang mengartikan bahwa kekerasan hanya berupa perlakuan yang tidak semestinya pada fisik, namun kenyataannya tidak. 18 Menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa kekerasan dalam rumah
18 Nur Rofiah, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Islam, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Agama, Vol. 2, Nomor 1, 2017 https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jw/article/view/829/933 diakses pada tanggal 13 Desember 2021, pukul 15.16 WIB.
tangga tidak hanya berupa fisik, namun juga bisa berupa kekerasan seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk dengan ancaman.19 B. Alat Bukti
1. Pengertian
Alat bukti adalah segala sesuatu yang dapat dipakai untuk membuktikan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata ditentukan lima alat bukti yaitu bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Menurut hukum acara perdata, hakim terikat pada alat- alat bukti yang sah.20 Dalam proses penyelesaian sengketa perdata, para pihak yang bersengketa harus dapat membuktikan bahwa pokok sengketa adalah haknya sendiri, bukan hak pihak lain. Bukti dalam kasus perdata termasuk pemeriksaan setempat (HIR pasal 153), keterangan ahli (HIR pasal 154) dan bukti yang ditentukan dalam HIR pasal 164, termasuk bukti dokumenter, bukti saksi, tuduhan, pengakuan, dan sumpah. Kekuatan alat bukti ini bermacam-macam, misalnya akta otentik, pengakuan, dan sumpah pembuktian yang benar adalah sempurna, sedangkan alat bukti saksi adalah kekuatan pembuktiannya, dan kekuatan alat bukti yang disebutnya adalah kewenangan hakim.21
Dalam hadits Nabi SAW:
أ ن
رك من عىل نيم ي لاو يع عدملاىل لاة نب ي
"Bukti dibebankan atas penuduh, sedangkan sumpah dibebankan atas tertuduh"
(HR. Al-Baihaqi).
19 https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/24.pdf diakses pada tanggal 13 Desember 2021, pukul 16.59 WIB.
20https://www.pa-raha.go.id/peraturan-dan-kebijakan/berita/377-alat-bukti-elektronik-dan-
implikasinya-terhadap-pembuktian-perdata-di-pengadilan diakses pada tanggal 17 Agustus 2021, pukul 15.30 WIB.
21 Enju Juanda, Kekuatan Alat Bukti Dalam Perkara Perdata Menurut Hukum Positif Indonesia, Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol. 4, Nomor 1, 2016.
2. Macam-Macam Alat Bukti
Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu: surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah, persangkaan hakim. Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.22
Berikut penjelasan setiap alat bukti:
• Bukti Tertulis
Bukti tertulis atau surat adalah sesuatu yang berisi tanda-tanda membaca yang dirancang untuk menuangkan hati atau buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai bukti. Sudikno Mertokusumo mengatakan, akta adalah surat yang ditandatangani, berisi peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar hak- hak atau perjanjian-perjanjian yang memang disengaja sejak semula untuk membuktikan. Oleh karena itu, untuk dapat digolongkan sebagai suatu akta, surat tersebut harus ditandatangani, yang diatur dalam Pasal 1869 KUH Perdata.23 Dalam pasal 1868 KUH Perdata dijelaskan tentang akta otentik, yakni:
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta dibuat.”24
22 https://manplawyers.co/2019/10/07/mengenal-alat-alat-bukti-dalam-hukum-acara-perdata-i/
diakses pada tanggal 25 November 2021, pukul 00.34 WIB.
23 Enju Juanda, Kekuatan Alat Bukti Dalam Perkara Perdata Menurut Hukum Positif Indonesia, Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol. 4, Nomor 1, 2016.
24 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Balai Pustaka, Jakarta, 2017, hlm 521.
ٍ ٍ
ٍ
Tentang bukti tertulis ini juga telah diatur dalam Al-Qur`an:
م ٍ
”Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS.Al- Baqarah:282)
Dari ayat tersebut, Allah telah memerintahkan dalam kalimat faktubuuh yang artinya tuliskanlah. Maka bukti tertulis juga telah diatur dalam Al-Qur`an.
• Saksi
Saksi-saksi adalah orang yang mengalami, mendengar, merasakan dan melihat sendiri suatu peristiwa atau kejadian dalam perkara yang sedang dipersengketakan.25 Ketentuan saksi dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 145 dan 146 HIR / Pasal 172 Rbg, menjelaskan tentang saksi-saksi mana saja yang tidak dapat didengarkan keterangannya secara mutlak, dan saksi-saksi yang dapat mengundurkan diri untuk memberikan kesaksian. Terhadap ketentuan di dalam Pasal 145 ayat (1) HIR menjelaskan mengenai saksi yang tidak dapat didengar keterangannya, yaitu:
1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak dalam garis keturunan lurus;
2. Suami atau istri meskipun sudah cerai;
3. Anak belum berusia atau belum diketahui dengan pasti apa 15 tahun;
4. Orang gila walaupun sekali-kali mereka dapat menggunakan pikirannya yang sehat;26
Dalam KUH Perdata pasal 1902:
25 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2016, hlm 143.
26
“Dalam hal Undang-Undang memerintahkan pembuktian dengan tulisan, diperkenankan pembuktian dengan saksi...”27
Islam pun mengatur tentang kesaksian, sebagaimana dalam Al-Qur`an surah Al-Maidah ayat 8:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil " (QS. Al-Ma'idah: 8)
• Persangkaan
Dalam hukum acara perdata, persangkaan atau vermoedens adalah bukti pelengkap. Artinya, persangkaan itu bukan bukti independen. Persangkaan tersebut dapat dibuktikan dengan merujuk pada alat bukti lain.28 Dalam KUH Perdata pasal 1915:
“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh Undang-Undang atau oleh hakim ditarik dari saat peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.
Ada dua macam persangkaan, yaitu: persangkaan menurut Undang-Undang, dan persangkaan yang tidak berdasarkan Undang-Undang.”
• Pengakuan
Banyak ahli hukum yang mengatakan pengakuan itu bukan alat bukti, dengan alasan jika keterangan salah satu pihak telah diakui oleh pihak lainnya, maka pengakuan tidak lagi dibutuhkan.29 Undang-Undang tidak menjelaskan tentang pengertian pengakuan, dalam doktrin yang dikemukakan A. Pitlo
27 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Balai Pustaka, Jakarta, 2017, hlm 528.
28 Octavianus M. Momuat, Alat Bukti Tulisan Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata Di Pengadilan, Lex Privatum, Vol.II No. 1 Tahun 2014.
29 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm 80.
bahwa pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.30 Hukum acara perdata mengenal dua macam pengakuan, hal ini sesuai dengan pasal 1923 KUH Perdata. Yakni pengakuan yang dilakukan di depan sidang dan pengakuan yang dilakukan di luar sidang. Dalam KUH Perdata, pasal 1926 dan pasal 1927 dijelaskan mengenai pengakuan di depan sidang dan di luar sidang. Pengakuan di depan sidang tidak bisa dicabut kecuali pengakuan itu akibat dari kekeliruan peristiwa yang terjadi, sedangkan pengakuan lisan di luar sidang tidak dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan kecuali dijadikan pembuktian dengan saksi-saksi yang diizinkan.
• Sumpah
Sumpah merupakan pembuktian akhir, namun jika pembuktian sebelumnya masih bisa terpenuhi maka alangkah baiknya sumpah ini ditangguhkan dalam persidangan.
3. Alat Bukti Elektronik
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dijelaskan terkait pengertian dan bukti elektronik. Dalam Pasal 1 Ayat 1 dijelaskan tentang informasi elektronik sebagai berikut:
“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”
30 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hlm 83.
Kemudian di dalam Pasal 1 Ayat 4 yang memberi penjelasan tentang dokumen elektronik sebagai berikut:
Kemudian di dalam Pasal 1 Ayat 4 yang memberi penjelasan tentang dokumen elektronik sebagai berikut: