• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Depok"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

Keabsahan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Depok

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Maulida Khairunnisa 11180440000103

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2021

(2)
(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Maulida Khairunnisa

NIM 11180440000103

Prodi : Hukum Keluarga Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya, kecuali pada bagian-bagian yang merujuk pada sumbernya. Skripsi diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua narasumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan karya jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 11 Januari 2022

Maulida Khairunnisa

(4)
(5)

ABSTRAK

Maulida Khairunnisa NIM 11180440000103. Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Depok. Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1443 H/2021 M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk alat bukti elektronik yang sah dan diperbolehkan dalam pengadilan perceraian, khususnya cerai gugat.

Penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mengetahui pandangan hakim tentang keabsahan alat bukti elektronik dalam persidangan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni menggunakan pendekatan dengan penelitian hukum normatif-empiris. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan teknik triangulasi yang berupa wawancara, observasi, dan dokumentasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat bukti elektronik sah digunakan dalam persidangan cerai gugat di Pengadilan Agama Depok. Alat elektronik yang sah dijadikan alat bukti seperti foto, screenshot atau tangkapan layar, flashdisk, dan video/audio rekaman. Hakim Pengadilan Agama Depok memastikan kebenaran bukti- bukti yang digunakan penggugat sebagai alat bukti di persidangan cerai gugat. Hakim Pengadilan Agama Depok menyatakan bahwa alat bukti elektronik adalah alat bukti tambahan atau pelengkap setelah adanya pembuktian dari saksi-saksi yang dihadirkan.

Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan alat elektronik sebagai alat bukti yang sah digunakan dalam persidangan terutama dalam perkara cerai gugat adalah karena adanya kemajuan zaman dimana alat elektronik menjadi kebutuhan pokok. Tidak hanya itu, alat bukti elektronik digunakan sebagai kekuatan tambahan dari gugatan yang diajukan. Demikian juga keabsahan alat elektronik ini dapat memberi beberapa dampak. Dampak tersebut berupa dampak positif dan dampak negatif.

Kata Kunci: Cerai Gugat, Keabsahan Alat Bukti Elektronik, Putusan Nomor 1636/Pdt.G/2021/PA.Dpk.

Pembimbing: Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag

(6)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan karena dalam karya tulis menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup penggunaannya masih terbatas.

Berikut adalah daftar aksara Arab dan Padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا Tidak dilambangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts te dan es

ج J Je

ح H ha dengan garis bawah

خ Kh ka dan ha

د D De

ذ Dz de dan zet

ر R Er

ز Z Zet

س S Es

ش Sy Es dan ye

ص S Es dengan garis bawah

ض D De dengan garis bawah

ط T te dengan garis bawah

ظ Z zet dengan garis bawah

ع ‘ Koma terbalik di atas hadap

kanan

غ Gh ge dan ha

(7)

ف F Ef

ق Q Qo

ك K Ka

ل L El

م M Em

ن N En

و W We

ه

ـ H Ha

ء ` Apostrop

ي Y Ya

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal monoftong, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ ´ A Fathah

َ- -- ¸ --- I Kasrah

َ ˚ U Dammah

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

´ ي َ Ai a dan i

´و َ Au a dan u

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

(8)

dilambangkan dengan harakah dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ـ

َ ا Â a dengan topi di atas

يــ¸ Î i dengan topi di atas

ـ

َو ـ Û u dengan topi di atas

Kata sandang, dalam bahasa Arab dilambangkan dengan alif dan lam,

dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qomariyyah. Misalnya:

al-ijtihad

= اا ل ج هت ا د

ا ل ر خ ص

ة = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggunakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

شا ف ع

ة = al-syuf’ah tidak ditulis asy-syuf’ah

Dalam penulisan ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbutah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbutah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 ة ي عر ش syarî’ah

2 ة ي مال سل إاة ي ع رش syarî’ah al-islâmiyyah

(9)

3 به ذ م ل ا ة ن ر ق ام muqâranat al-madzâhib

Untuk huruf kapital tidak dikenal dalam tulisan Arab. Tetapi dalam transliterasi huruf ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diketahui bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Contoh: ي ر اخ بال = al-Bukhari tidak ditulis Al-Bukhari.

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nur al-Din al- Raniri.

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il) kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan- ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1 تا روظحمل ا ح ب ي ت ة رور ض ال al-darûrah tubîhu al- mahzûrât 2 ي م ا ل س ا لا د ا ص ت ق ء لاا al-iqtisâd al-islâmî 3 ه ق ل ف ا لو ص ا usûl al-fiqh 4 ة ح ا ب ءل ااءا يش ا ل ايف ل ص اا ل al-‘asl fî al-asyyaﹶ al-

ibâhah

5 ه ل س رم ل ا ة ل صم ا ل al-maslahah al-mursalah

(10)

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Judul yang penulis ajukan adalah Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Depok.

Dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari dukungan, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Ibu Prof. Dr. Amany B. Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta jajarannya.

2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Bapak Ahmad Chairul Hadi, M.A. Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga.

4. Ibu Dr. Hj. Azizah M. A. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan sejak saya menjadi mahasiswa baru sampai saat ini.

5. Bapak Dr. Moh. Ali Wafa, S.H., S.Ag., M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberi banyak saran dan kritik sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Drs. M. Rusli S. H., M. H. selaku Hakim Pengadilan Agama Depok Kelas 1A beserta staf pegawai Pengadilan Agama Depok yang telah membantu penulis dalam memberikan data dan wawancara.

(11)

7. Segenap Dosen, Staf Perpustakaan, Karyawan-karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu dan memfasilitasi dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak H. Mulyadi, SE. dan Umi Siti Sarofah selaku orang tua saya, serta Kayla Septiani Khairunnisa dan Syahira Nurul Khairunnisa selaku adik-adik kandung saya. Terima kasih atas segenap cinta serta kasih sayang, doa, restu, bimbingan, dan juga dukungan yang selalu diberikan kepada saya sehingga saya bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi negeri ini.

9. Haikal Arfian, Ramadhan, Firdaudza, Maina, Robania, dan Bella sebagai teman pendukung terbaik dan kesediaan terlibat selama penulisan skripsi ini, terima kasih telah memberi semangat, doa, dan saran sampai saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada seluruh teman-teman mahasiswa Hukum Keluarga 2018 yang sama- sama berjuang dalam pendidikan di Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta terima kasih atas semangat, canda, dan tawa yang penuh kesan selama perkuliahan. Semoga kita diberikan kesehatan dan sukses di masa depan.

11. Kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, bagi yang telah memotivasi serta menginspirasi saya baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Semoga selalu diberi keberkahan oleh Allah SWT.

Jakarta, 11 Januari 2022

Peneliti

(12)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

ABSTRAK ... iv

PEDOMAN TRANSLITASI ... v

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 6

E. Metode Penelitian ... 8

F. Rancangan Sistematika Penelitian ... 11

BAB II CERAI GUGAT DAN ALAT BUKTI ... 12

A. Cerai Gugat ... 12

1. Cerai Gugat Dalam Hukum Islam ... 12

2. Cerai Gugat Dalam Hukum Positif ... 14

3. Faktor-Faktor Perceraian ... 17

B. Alat Bukti ... 20

1. Pengertian ... 20

2. Macam-Macam Alat Bukti ... 20

3. Alat Bukti Elektronik ... 23

C. Media Sosial ... 25

1. Pengertian ... 25

2. Fungsi Media Sosial ... 26

3. Jenis-jenis Media Sosial ... 26

(13)

ELEKTRONIK ... 28

A. Profil pengadilan Agama Depok ... 28

1. Sejarah Pengadilan Agama Depok ... 28

2. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Depok ... 30

3. Wilayah Yuridiksi ... 31

4. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Depok ... 32

B. Deskripsi Putusan Nomor 1636/Pdt.G/2021/PA.Dpk ... 32

1. Duduk Perkara ... 32

2. Pembuktian ... 36

3. Proses Penyelesaian Perkara ... 37

4. Amar Putusan ... 39

BAB IV KEABSAHAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK ... 40

A. Bentuk Keabsahan Alat Bukti Elektronik ... 41

1. Fotokopi bukti foto tergugat dengan isteri siri tergugat. ... 42

2. Fotokopi Chat Via WhatsApp ... 43

3. Video Hasil Rekaman CCTV ... 45

B. Faktor-faktor Keabsahan Alat Bukti Elektonik ... 46

1. Untuk Memperkuat Bukti-Bukti ... 48

2. Untuk Menyinkronisasikan Bukti-Bukti Sebelumnya ... 49

3. Media Sosial Mempunyai Posisi Penting Untuk Melakukan Aktivitas Sehari-hari. ... 50

C. Implikasi Keabsahan Alat Bukti Elektronik Terhadap Pencari Keadilan ... 51

1. Dampak Positif ... 51

2. Dampak Negatif ... 53

BAB V PENUTUP ... 54

A. Kesimpulan ... 54

B. Saran ... 55

(14)
(15)

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi informasi yang kian pesat membawa pengaruh bagi aspek kehidupan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial maupun budaya. Teknologi informasi (Information Technology) biasa disebut IT, IT atau infotech. Menurut Williams dan Sawyer adalah teknologi yang menggabungkan komputasi (computer) dengan jalur komunikasi berkecepatan tinggi yang membawa data, suara, dan video. 1 Perkembangan zaman yang mempengaruhi perubahan gaya hidup dan juga mempengaruhi perubahan teknologi yang semakin canggih saat ini, termasuk juga dalam persidangan yang mengikuti perubahan Undang-Undang yang mengatur berjalannya persidangan. Terutama tentang alat bukti dalam persidangan. Seiring berjalannya waktu, maka segala bentuk komunikasi berpindah pada alat elektronik. Di zaman yang sudah maju ini, siapapun tidak akan bisa terlepas dari elektronik. Salah satunya handphone. Tempat di mana seluruh percakapan apapun terdapat di dalamnya, dan segala data yang bisa dijadikan alat bukti pun bisa direkam menggunakan handphone. Di antara banyaknya alat bukti yang bisa diajukan ke pengadilan, terdapat juga yang berupa rekaman, CD/DVD, CCTV, dan beberapa lainnya dari sosial media. Seperti bukti screenshot, rekaman video/audio, foto, dan lain sebagainya.

Informasi elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan di Pengadilan, di antara kedua alat bukti tersebut dokumen elektronik yang paling menarik. Hal ini disebabkan karena dokumen elektronik yang bersifat paperless (tanpa menggunakan kertas) semula bersifat

1 Ch. Triwahyuni, Terra dan Abdul kadir, Pengenalan Teknologi Informasi, Ed. I, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2003, hlm 2.

(16)

paperbased (menggunakan kertas). Maksudnya dahulu sebelum perkembangan teknologi yang begitu pesat seperti sekarang, dokumen dibuat dengan menggunakan kertas sehingga jika terjadi sengketa maka ia tergolong alat bukti tertulis atau surat. Dimana dalam perkara perdata bukti surat atau bukti tulisan merupakan bukti yang utama. Keutamaan ini disebabkan karena dalam surat dibuat untuk membuktikan keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh seseorang.2 Pembuktian di era teknologi saat ini merupakan tantangan besar yang perlu disikapi secara serius, terutama yang berkaitan dengan cybercrime. Hukum acara terbukti menjadi subsistem dari kebijakan kriminal dan ilmu respon yang mencakup berbagai disiplin ilmu. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi yang sangat luas pada saat ini.3

Internet telah membentuk masyarakat dengan budaya baru. Saat ini, hubungan antar manusia dalam dimensi global tidak lagi dibatasi oleh batas- batas wilayah negara (no border), seperti: elektronik email, obrolan video, panggilan konferensi video, situs web, facebook, dll., memungkinkan komunikasi global tanpa mengidentifikasi batas-batas negara. Fenomena ini merupakan bagian dari globalisasi yang melanda dunia. Melalui jaringan internet, kita semua dapat mengakses informasi yang dibutuhkan, transaksi, interaksi sosial dan banyak aspek lainnya. Namun, dengan semakin mudah diaksesnya media internet, tidak menutup kemungkinan juga untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum, seperti pencemaran nama baik, transaksi

2 Moh. Nafri, Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia, http://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/MLJ/article/viewFile/813/532 diakses pada 23 April 2021, pukul 13.12 WIB.

3 Anis Dewi Lestari, Cakupan Alat Bukti sebagai Upaya Pemberantasan Kejahatan Siber (Cyber Crime),

Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 3, Nomor 1, 201, 2018

https://ejournal.iainsurakarta.ac.id/index.php/al-ahkam/article/view/1341/0 diakses pada 23 April 2021, pukul 14.01 WIB.

(17)

Hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat turut berkembang seiring dengan lajunya perkembangan di segala bidang kehidupan.5 Dalam peradilan perdata, tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Dengan demikian menjadi tugas pokok hakim dalam perkara perdata adalah menerima, mengkaji, memutuskan dan menyelesaikan setiap kasus yang diajukan kepadanya. 6 Dalam hal pembuktian, penggugat tidak selalu harus membuktikan dasar gugatannya. Hakim yang memeriksa perkara itu akan menentukan pihak-pihak mana yang berperkara yang harus membuktikan, baik penggugat maupun tergugat.7 Hingga saat ini penggunaan alat bukti elektronik masih menemui kerancuan dan kesulitan dalam hal membuktikan keaslian alat bukti elektronik tersebut.8 Sistem hukum pembuktian yang dianut di Indonesia adalah sistem yang tertutup dan terbatas, dan para pihak tidak dapat dengan leluasa mengajukan jenis atau bentuk alat bukti selama penyelesaian perkara. Undang- undang telah menentukan secara tegas apa saja yang sah dan bernilai sebagai alat bukti.9 Studi ini bermaksud menganalisis seputar keefektifan alat bukti elektronik dan keabsahannya dalam persidangan di Pengadilan Agama dalam

4 Johan Wahyud, Dokumen elektronik Sebagai Alat Bukti pada Pembuktian di Pengadilan, Universitas Airlangga Surabaya, Volume XVII No. 2 Tahun 2012 http://jurnal- perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/101 diakses pada 23 April 2021, pukul 14.31 WIB.

5 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1986, hlm 3-6.

6 M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 11.

7 Syarif Hidayat, Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Perdata, wordpress, 2010 https://syarifhidayatadipura.wordpress.com/2010/12/19/alat-bukti-elektronik-dalam-perkara- perdata/

diakses pada 23 April 2021, pukul 13.17 WIB.

8 Mahkamah Agung, Meeting Zoom Alat Bukti elektronik dalam Hukum Perkara Pidana dan Perkara Perdata, 2020 http://pa-kangean.go.id/berita-seputar-peradilan/362-meeting-zoom-alat-bukti- elektronik-dalam-hukum-perkara-pidana-dan-perkara-perdata diakses pada 22 April 2021, pukul 00.01 WIB.

9 Soekanto S., Pengantar Penelitian Hukum. UI Perss. Jakarta, 2014, hlm 38.

(18)

perkara perdata. Seperti kasus perceraian salah satu ustad kondang yang berinisial AS dengan istrinya yang berinisial MJ, dalam kasus perceraian mereka AS mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama Bangkinang kemudian mereka resmi bercerai pada tanggal 3 Desember 2019.10 MJ sempat mengajukan bukti berupa dokumen elektronik yaitu screenshot yang isinya mengacu pada kedekatan berlebih antara AS dengan wanita lain yang tidak dikenalnya, tetapi bukti tersebut ditolak oleh hakim Pengadilan Agama Bangkinang dengan alasan belum diuji secara digital forensik oleh pihak berwenang. 11 Dari contoh kasus tersebut, maka dalam analisis ini peneliti membahas tentang alat bukti elektronik dan media sosial yang efektif dan sah digunakan dalam persidangan terutama di Pengadilan Agama.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan tema yang dibahas. Berikut peneliti paparkan:

a. Kebolehan alat bukti elektronik dan media sosial digunakan dalam persidangan di Pengadilan Agama.

b. Dalam bentuk seperti apa alat bukti yang diperbolehkan menjadi bukti dalam persidangan di Pengadilan Agama.

c. Syarat sahnya suatu bukti elektronik dan media sosial dalam persidangan di Pengadilan Agama.

d. Pandangan hakim menentukan sahnya alat bukti elektronik dalam persidangan di Pengadilan Agama.

10 https://m.merdeka.com/trending/penjelasan-lengkap-alasan-ustaz-abdul-somad-ceraikan-istrinya- mellya- juniarti.html?page=9 diakses pada tanggal 22 Juni 2021, pukul 14.38 WIB

11 https://m.merdeka.com/trending/penjelasan-lengkap-alasan-ustaz-abdul-somad-ceraikan-istrinya- mellya- juniarti.html?page=9 diakses pada tanggal 22 Juni 2021, pukul 14.50 WIB

(19)

2. Pembatasan Masalah

Dalam kasus cerai gugat dengan alasan apapun yang diajukan sang istri, baik karena kekerasan dalam rumah tangga, poligami tanpa izin, tidak diberi nafkah selama beberapa waktu, dll. Di sini peneliti melihat bagaimana hakim Pengadilan Agama Depok menilai keabsahan bukti elektronik yang diajukan dalam sidang cerai gugat di Pengadilan Agama Depok.

Untuk mempermudah dan memperjelas pembahasan dalam skripsi ini, maka peneliti membatasi masalah yang dibahas. Sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah agar sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, dalam skripsi ini peneliti hanya membahas mengenai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang mengatur sahnya alat bukti elektronik dalam persidangan, keabsahan alat bukti elektronik dan media sosial dalam persidangan cerai gugat di Pengadilan Agama Depok pada tahun 2019-2021, dan implikasi terkait bukti elektronik dalam persidangan perkara perdata.

3. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang telah peneliti pilih maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini sebagai berikut:

a. Apa saja bentuk keabsahan alat bukti elektronik dalam perkara cerai gugat?

b. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi keabsaan alat bukti elektronik dalam perkara cerai gugat?

c. Bagaimana implikasi keabsahan alat bukti elektronik terhadap pencari keadilan (khususnya dalam perkara cerai gugat)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui berbagai macam bentuk keabsahan alat bukti elektronik dalam perkara cerai gugat.

(20)

b. Untuk mengetahui faktor-faktor seperti apa yang dapat mempengaruhi keabsahan alat bukti elektronik dalam perkara cerai gugat.

c. Untuk mengetahui implikasi-implikasi keabsahan alat bukti elektronik terhadap pencari keadilan (khususnya dalam perkara cerai gugat).

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat sebagai berikut:

Pertama, untuk memberikan gambaran bagaimana alat bukti elektronik digunakan dalam sidang perceraian di Pengadilan Agama dan mengetahui dalam bentuk seperti apa keabsahannya. Kedua, memberikan referensi bagi perkembangan teori dan praktik hukum. Ketiga, diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dari semua lapisan masyarakat.

Keempat, peneliti berharap penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut tentang isu-isu terkait.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Saat melakukan penulisan skripsi ini, terkadang ada topik penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian yang dibahas. Peneliti menemukan karya ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini, antara lain sebagai berikut:

Pertama, artikel yang berjudul “Penemuan Hukum oleh Hakim Melalui Pembuktian Dengan Menggunakan Alat Bukti Elektronik Dalam Menilai dan Memutuskan Sengketa Perdata” ditulis oleh Efa Laela Fakhriah, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Dalam artikelnya, ia membahas tentang pengukuhan normatif hukum pembuktian dalam perkara perdata, yang diatur secara terbatas dan berkesinambungan dalam HIR/RBg. Artikel tersebut juga membahas perkembangan alat bukti dalam perkara perdata dan menyebutkan beberapa alat bukti yang tidak tunduk pada hukum. Artikel tersebut juga menganalisis putusan hakim untuk melaksanakan penemuan hukum melalui alat bukti elektronik.

(21)

Kedua, adalah skripsi yang berjudul “Kekuatan Tanda Tangan Pada Dokumen Elektronik Sebagai Akta Dalam Pembuktian Perkara Perdata”

ditulis oleh Mohammad Aditya Nugraha, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember. Skripsi ini membahas tentang kekuatan tanda tangan elektronik sebagai alat bukti, serta kekurangan dalam hukum acara perdata seperti pembuktian elektronik.

Ketiga, tesis yang ditulis oleh Siti Ainun Rachmawati mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini berjudul “Kekuatan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Pembuktian Dalam Sistem Pembuktian Hukum Indonesia”. Tesis ini membahas tentang keanekaragaman barang bukti elektronik dan sifat dari barang bukti elektronik. Tesis ini juga menjelaskan perbedaan persepsi penyerahan bukti elektronik ke pengadilan dalam menangani kejahatan e-commerce.

Keempat, jurnal yang berjudul”Legalitas Alat Bukti elektronik Dalam Sistem Peradilan Pidana” yang ditulis oleh Insan Pribadi. Dalam jurnal tersebut membahas tentang kejahatan yang terjadi di era kemajuan teknologi ini. Kemudian dalam jurnal tersebut juga membahas asas legalitas sebagai asas umum yang mengutamakan kualifikasi atas suatu tindak pidana.

Kelima, jurnal yang berjudul “Kekuatan Pembuktian Alat Bukti Informasi Elektronik Pada Dokumen Elektronik Serta Hasil Cetaknya Dalam Pembuktian Tindak Pidana” ditulis oleh Nur Laili Isma dan Arima Koyimatun yang diterbitkan pada 2014. Dalam jurnal tersebut menjelaskan beberapa Undang-Undang terkait hukum pidana yang menerangkan tentang alat bukti elektronik. Dalam jurnal itu juga menerangkan perbedaan kedudukan alat bukti elektronik menurut beberapa pandangan guru besar Universitas Gadjah Mada.

Dari kelima kajian terdahulu di atas dapat disimpulkan bahwa benar adanya kemajuan teknologi yang semakin mendorong majunya kecanggihan dalam persidangan dan pembaruan Undang-Undang terkait. Perbedaan dari

(22)

kelima kajian terdahulu tersebut dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah dalam penelitian ini peneliti melakukan fokus perkara pada persidangan perdata yaitu perkara cerai gugat yang menggunakan alat bukti elektronik dan media sosial. Dalam penelitian yang dilakukan juga mengungkapkan implikasi dari keabsahan alat bukti elektronik di Pengadilan Agama Depok, dan cara hakim menentukan keabsahan alat bukti elektronik serta media sosial dalam persidangan perceraian.

E. Metode Penelitian

Untuk membahas masalah yang terkait dengan pembahasan ini, diperlukan penelitian untuk mendapatkan data terkait dengan masalah yang dibahas. Oleh karena itu, diperlukan metode yang tepat saat melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang peneliti gunakan pada penelitian ini yaitu pendekatan normatif atau doktrinal. Dalam pendekatan ini, maka peneliti melakukan case approach (pendekatan melalui kasus yang diputus di pengadilan). Melalui pendekatan kasus yang diputus di Pengadilan Agama Depok yang melibatkan alat bukti elektronik dalam perkara cerai gugat maka peneliti pun melakukan wawancara hakim sebagai sumber informasi lebih terkait penelitian ini.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan penelitian putusan (content analysis) dengan teknik pengumpulan data berupa studi putusan, wawancara, dan dokumentasi pada institusi yang terkait. Data rekaman yang peneliti dapatkan akan diubah menjadi data tertulis yang berbentuk transkip wawancara. Penelitian lapangan didukung dengan penelitian kepustakaan meliputi membaca, meneliti,

(23)

menafsirkan dan menganalisis peraturan perundang-undangan. Penelitian lapangan didukung dengan penelitian kepustakaan (library research), termasuk dokumen hukum yang diterbitkan melalui media cetak dan elektronik, dan penelitian catatan hukum dalam bentuk buku literatur hukum atau bahan tertulis lainnya yang terkait.

3. Sumber Data

a. Data primer, yaitu data utama atau data mentah yang langsung didapatkan ketika penelitian lapangan. Seperti salinan putusan cerai gugat Nomor 1636/Pdt.G/2021/PA.Dpk dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti kepada hakim Pengadilan Agama Depok yang memutus perkara cerai gugat dimana dalam putusan tersebut terdapat penggunaan alat bukti elektronik dan media sosial.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dan merupakan jenis data tambahan dari data primer. Seperti peraturan perundang-undangan, data-data resmi dari instansi pemerintahan dan peradilan, buku-buku literatur, karangan ilmiah, makalah umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan permasalahan yang menjadi pokok bahasan dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara untuk mengumpulkan data atau informasi serta fakta pendukung yang dibutuhkan peneliti untuk jawaban dari rumusan masalah yang akan peneliti teliti. Berikut teknik pengumpulan data yang peneliti laksanakan saat penelitian:

a. Wawancara (interview), metode ini seringkali dipakai sebagai data primer.

Peneliti mewawancari hakim Pengadilan Agama Depok terkait analisis keabsahan alat bukti elektronik dan media sosial dalam persidangan perkara cerai gugat di Pengadilan Agama Depok.

(24)

b. Dokumentasi, metode ini termasuk bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini. Selain itu, ada data yang diperoleh dari referensi atau literatur yang berkaitan dengan subjek penelitian ini. Penelitian kepustakaan adalah suatu metode pengumpulan data kualitatif dengan cara melihat dan menganalisis dokumen tentang subyek yang dibuat oleh subyek atau orang lain.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang menggambarkan atau memberikan gambaran tentang objek penelitian melalui data atau sampel yang terkumpul. Kemudian disusun secara sistematis untuk analisis kualitatif dalam bentuk deskripsi untuk menarik kesimpulan tentang masalah yang diteliti.

6. Teknik Penulisan

Teknik penulisan penelitian ini merujuk pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2017.

F. Rancangan Sistematika Penelitian

Bagian ini adalah upaya untuk mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi, oleh karena itu peneliti menyusun suatu sistematika penulisan seperti yang dijelaskan di bawah ini:

Bab satu, berisikan pendahuluan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang dibahas. Meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian (review) studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab ini merupakan landasan dari sebuah penelitian yang berfungsi untuk menguraikan dan menjelaskan bab-bab berikutnya.

(25)

Bab dua, memaparkan tentang teori atau gambaran umum terkait pengertian cerai gugat dan alat bukti elektronik berdasar pada hukum islam dan hukum positif beserta dengan syarat, faktor, dan fungsinya.

Bab tiga, memuat gambaran umum tentang Pengadilan Agama Depok dengan meliputi sejarah singkat, letak geografis, organisasi, dan lain sebagainya.

Serta dalam bab ini terdapat ringkasan putusan cerai gugat dari Pengadilan Agama Depok yang di dalamnya terdapat penggunaan alat bukti elektronik.

Bab empat, memuat hasil penelitian yang akan dipaparkan dan dideskripsikan secara utuh, kemudian peneliti memberikan analisis terhadap hasil penelitian tersebut. Dalam bab ini membahas tentang jawaban dari rumusan masalah secara meluas sesuai dengan hasil penelitian yang sudah dilakukan.

Bab lima yakni bagian penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran.

(26)

BAB II

Cerai Gugat dan Alat Bukti A. Cerai Gugat

1. Cerai Gugat Dalam Hukum Islam

- Pengertian

Dalam hukum Islam, cerai gugat disebut khulu’. Secara etimologis, khulu’

)علخ( berarti menghilangkan (al-izalah) dan mencabut (an-naz’u). Oleh karena itu, dalam bahasa, khulu’ adalah melepaskan dan menghilangkan. Dikatakan bahwa khala'a fulan tsaubah, ketika dia menanggalkan pakaiannya, khala'a az-zauj azawwatuhu, ketika dia memutuskan hubungan suami istri. Namun, kata khulu' secara tradisional digunakan untuk menghilangkan hal-hal selain hubungan antara suami dan istri, dan kata khulu’ bertujuan untuk menghilangkan hubungan antara suami dan istri. Dalam terminologi fiqh, menurut aliran tertentu, khulu' memiliki makna ganda. Menurut aliran Syafi'i, khulu' adalah pemisahan antara suami dan istri, dan iwadh dengan lafazh talak atau khulu’. Sedangkan menurut aliran Maliki khulu' termasuk pemisahan dengan atau tanpa iwadh. Pada saat yang sama, menurut mazhab Hanafi khulu’ adalah pembatalan kepemilikan hubungan perkawinan tergantung pada penerimaan istri terhadap istilah khulu’.12

Dengan demikian secara rigkas penjelasan khulu’ adalah tuntutan cerai yang dilakukan pihak istri dengan membayar tebusan dan menggunakan lafazh khusus. Namun, biasanya kalau di Indonesia dalam perkara cerai gugat istri hanya dibebankan biaya perkara.

- Dasar Hukum khulu’ di antaranya:

Allah mensyariatkan khulu’ sebagaimana firman-Nya:

12 Moh. Ali Wafa, Hukum Perkawinan di Indonesia, YASMI, Tangerang, 2018, hlm 139.

(27)

َح ك َ ي

ما َ اع ساو ل َ ل

ے و ناك ت َ ع

َ ه س

ن م ه

ك ا ل ل َ

ال

َ َ ر ق ا ي اَ

غ َ ن ت

ف ن و إ

“Dan jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing- masing dari karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya), Maha Bijaksana.” (QS.

An-Nisa`:130) - Hukum Khulu’

Ada dua pendapat yang bertentangan tentang hukum khulu’ dalam Islam.

Pertama, berpendapat bahwa hukumnya makhruh bagi perempuan. Kedua, berpendapat bahwa hukumnya boleh. Dari dua pendapat tersebut, pendapat yang kedua adalah pendapat yang paling banyak disetujui oleh para ulama. Pendapat kedua ini didasari bahwa dalam rumah tangga sudah tidak ada lagi kenyamanan atau ketentraman.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ت ع د َ

َ َو م ن

ف ل َ َ ت ع ت َ د اَ

َ و ه َ ا لل َ

ادو

ا دح

َ ل

ك ت ه ب دف ت ا م ا ي َ ف م ا ع ل َ ي ه َ

ج ن ا ح ل َ َ

ف

َ َ ل

َ ل

و َ د

ادح

ا َ َ ل َ َ اَي

َ ق ي َ م ا خ

َ ف ت اَ

م َ

ف ...

َ ا

ن َ ظ

ل م اَ

َ و

ن اَ ه م ا اَ

ل

ك َ َ لئ َ لل َ َ ف

ااو

ح د اَ

َ و د

"Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum- hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim." (QS. Al-Baqarah:229)

Rasulullah SAW bersabda:

ع ن ا ب ن ع ب ا س ا ن ا م أر ة ث ا ب ت ب ن ق سي ا ت ت لا ن يب ص ل ى لله لع ي ه لسو م ف ق لا ت : راي وس ل

،لله ث ا ب ت ب ن

ق ي ،س م أا ع ت ب لع ي ه ف ى خ ل ق و َ ل َ د ي ن ، و ل ك ن ي أ ك هر لا ك ف ر ف ى ا َ ل سل َ

،م ف اق ر ل وس ل لله ص ل ى لله ع لي ه

(28)

Ibnu Abbas menceritakan bahwa istri Tsabit bin Qais menemui Nabi SAW lalu berkata, “ya Rasulullah! Aku tidak mencela Tsabit bin Qais itu mengenai akhlak dan cara beragamanya, tetapi aku takut kafir dalam Islam”. Rasulullah SAW menjawab, “apakah engkau mau mengembalikan kebun kormanya (yang menjadi maskawinnya dahulu) kepadanya?“ dia menjawab: “ya”, kemudian Rasul memanggil Tsabit bin Qais dan menyarankan kepadanya. “Terimalah kembali kebunmu dan talaklah istrimu itu satu kali”. (H.R. Bukhari).13

- Syarat dan Rukun Khulu’

Syarat-syarat khulu’ ada 4 (empat), yakni:

a) Masing-masing pasangan rela;

b) Objek yang menjatuhkan thalaq adalah istri;

c) Menyatakan khulu’ dalam keadaan baligh, sehat, dan layak;

d) Lafazh yang digunakan adalah lafazh khulu’ atau sejenisnya yang memiliki arti dan maksud yang sama seperti kata khulu’.14

Rukun khulu’ antara lain: a) orang yang menerima, b) orang yang menjawab, c) iwadh, d) barang yang diiwadhkan, e) ucapan.15

- Lafazh Khulu’

Contoh lafazh khulu’: “aku meng-khulu’-mu dengan tebusan empat juta rupiah”

lalu sang istri menerimanya, “aku menjatuhkan khulu’”, “aku menebus diriku”, atau yang sejenisnya dengan maksud dan tujuan yang sama.16

2. Cerai Gugat Dalam Hukum Positif

Cerai gugat adalah gugatan yang diajukan oleh istri ke pengadilan dengan tujuan untuk menceraikan suaminya. Disebut cerai gugat karena pada dasarnya talak adalah hak suami, tetapi karena istri berkeyakinan tidak dapat lagi membina rumah

13 Imam Az-Zabidi, Ringkasan hadits shahih Al-Bukhari, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hlm 92.

14 Abdul Majid Mahmud, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Eraintermedia, Solo, 2005, hlm 409-410.

15 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Gema Insani, Jakarta, Jilid 9, hlm 423.

(29)

tangga, maka istri berharap memperoleh hak cerai dengan menggugat ke pengadilan.

Hukum perkawinan tidak mengenal perbedaan antara cerai gugat dan khulu', tetapi KHI membedakan keduanya. Bedanya, cerai gugat tidak memaksa istri untuk membayar iwadh (tebusan) kepada suami dan khulu’ meminta istrinya untuk membayar iwadh. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan dan KHI menyamakan kedua hal tersebut dengan upaya cerai yang diajukan oleh pihak istri.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perceraian mengacu pada masalah perpisahan antara suami dan istri, dan kata "cerai" itu sendiri berarti "meninggalkan perceraian atau menghancurkan hubungan antara suami dan istri." Menurut Pasal 207 KUH Perdata, perceraian didasarkan atas permintaan salah satu pihak dalam perkawinan dan atas dasar-dasar yang ditentukan oleh Undang-Undang, hakim memutuskan untuk menghapuskan perkawinan itu. Cerai gugat adalah tuntutan hak ke pengadilan (bisa dalam bentuk tulisan atau lisan) yang diajukan oleh seorang istri untuk bercerai dari suaminya. Penggugat adalah istri dan tergugat adalah suami.17

Dasar hukum proses perceraian di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Menurut undang-undang ini, salah satu pihak yaitu suami atau istri, dapat mengajukan gugatan cerai. Namun, dalam hal perceraian, ada perbedaan antara muslim dan non- muslim. Suami istri muslim dapat bercerai dengan mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama. Pasangan muslim yang hendak bercerai harus mematuhi Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berlaku, yang didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Oleh karena itu, dalam proses perceraian berbasis KHI terdapat dua istilah, yaitu penuntutan cerai gugat dan cerai talak. Pasal 116 KHI menegaskan hal tersebut: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan

17https://pa-tutuyan.go.id/main/images/file_download/Formulir/PATty-Panduan-Mengajukan- Gugatan-Cerai.pdf diakses pada tanggal 15 Agustus 2021, pukul 14.03 WIB.

(30)

perceraian.” Adapun cerai gugat (gugatan cerai) hanya dapat diajukan oleh istri sebagaimana terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI:

“Gugatan perceraian diajukan oleh istri atas kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.”

Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat (2) KHI). Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1975 pada Bab V pasal 19 menjelasakan alasan-alasan perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Perbedaan cerai gugat dengan cerai talak adalah dalam konteks hukum Islam (yang terdapat dalam KHI), istilah cerai gugat berbeda dengan yang terdapat dalam UUP maupun PP 9/1975. Jika dalam UUP dan PP 9/19/5 dikatakan bahwa gugatan cerai dapat diajukan oleh suami atau istri, mengenai gugatan cerai menurut KHI adalah

(31)

gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi:

"Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami,"

Gugatan perceraian itu dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 132 ayat [2] KHI). Sedangkan, cerai karena talak terdapat pada Pasal 114 KHI yang berbunyi:

"Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian"

Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 KHI adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Hal ini diatur dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:

"Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”

Pasal 115 KHI mengatakan bahwa perceraian yang sah menurut hukum hanya dapat di lakukan dalam persidangan di Pengadilan Agama.

3. Faktor-Faktor Perceraian

Pada umumnya perceraian terjadi karena salah satu pihak sudah tidak lagi merasa nyaman, aman, dan tenteram. Dalam bahasa lainnya sudah tidak ada rasa dan suasana yang menjadi tujuan utama pernikahan, yakni tidak ada lagi sakinah,

(32)

mawaddah, warahmah dalam sebuah rumah tangga. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan perceraian di antaranya adalah:

- Menikah di bawah umur

Menikah di bawah umur menjadi faktor utama yang menjadikan angka perceraian menjulang tinggi. Pada hakikatnya menikah bukan tentang usia, melainkan tentang kesiapan lahir batin. Jika banyak yang menikah di bawah umur, maka artinya banyak juga yang menikah namun tidak memahami tentang pernikahan. Ini juga menjadi bibit perusak rumah tangga, tidak siap lahir batin.

Sehingga jika dalam perjalanan bahtera rumah tangga ada kerikil atau bahkan badai antara suami dan istri saling bertentangan. Seharusnya saling melegkapi dan sebenarnya dengan pemahaman ilmu agama semua permasalahan bisa terselesaikan dengan syarat adanya kesabaran dan kemauan sama-sama belajar melalui jalan baru di kehidupan setelah menikah.

- Media sosial

Di zaman sekarang ketika melakukan segala sesuatu bisa dilakukan dari jarak jauh, maka tidak menutup kemungkinan bahwa media sosial menjadi salah satu pemicu pertengkaran antar suami istri. Bisa dengan perselingkuhan yang dapat dibuktikan atau tentang permasalahan lainnya. Dengan adanya alat elektronik seperti handphone, laptop, iPad, dan alat bukti elektronik lainnya menjadi salah satu penyebab berkurangnya keharmonisan keluarga, karena hal-hal tersebut menjadi pengubah kebiasaan saat kumpul keluarga, yakni anggota keluarga lebih memilih melihat trend sosial media di layar handphone daripada berbincang dengan keluarga. Hal ini juga bisa menjadi bibit dari sebabnya antar pasangan suami istri saling mengeluarkan emosi masing-masing, hingga akhirnya terjadilah pertengkaran-pertengkaran dalam rumah tangga. Bahkan sering terjadi perselisihan karena kesalahpahaman.

(33)

- Keuangan

Keuangan atau perekonomian keluarga menjadi faktor penting yang perlu ada dan cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Keuangan juga merupakan salah satu faktor perceraian karena salah satu pihak yakni istri merasa kekurangan, terkadang dalam rumah tangga memang terdapat banyak ujian kehidupan. Salah satunya dengan kekurangan dalam finansial. Apalagi semenjak adanya covid-19 yang menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaannya. Ini menjadi salah satu siklus kehidupan yang tidak bisa dihindari. Oleh karena itu sebenarnya sangat penting memahami ilmu-ilmu pernikahan sebelum menikah agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.

- Perbedaan pendapat atau pemikiran

Perbedaan pendapat menjadi salah satu faktor perceraian, karena pada saat berucap kemudian saling memenangkan pemikiran atau pendapat masing-masing, maka akan terjadilah percikan api pertengkaran antar suami istri. Hal ini sebenarnya lumrah terjadi, namun tergantung pada para pihak untuk menyikapinya. Dengan perbedaan pendapat dan pemikiran ini, banyak yang lebih memilih untuk berpisah karena sudah tidak dapat bertahan lagi dalam ikatan yang dirasa tidak bisa diperjuangkan. Padahal jika pasangan suami istri mengalami perbedaan pendapat alangkah baiknya dibicarakan secara baik-baik kemudian bisa ambil kesimpulan sebagai jalan penengah bagi keduanya.

- Kekerasan

Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut dengan singkatan yaitu KDRT. Banyak yang mengartikan bahwa kekerasan hanya berupa perlakuan yang tidak semestinya pada fisik, namun kenyataannya tidak. 18 Menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 dapat diketahui bahwa kekerasan dalam rumah

18 Nur Rofiah, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Islam, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Agama, Vol. 2, Nomor 1, 2017 https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jw/article/view/829/933 diakses pada tanggal 13 Desember 2021, pukul 15.16 WIB.

(34)

tangga tidak hanya berupa fisik, namun juga bisa berupa kekerasan seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk dengan ancaman.19 B. Alat Bukti

1. Pengertian

Alat bukti adalah segala sesuatu yang dapat dipakai untuk membuktikan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata ditentukan lima alat bukti yaitu bukti surat, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Menurut hukum acara perdata, hakim terikat pada alat- alat bukti yang sah.20 Dalam proses penyelesaian sengketa perdata, para pihak yang bersengketa harus dapat membuktikan bahwa pokok sengketa adalah haknya sendiri, bukan hak pihak lain. Bukti dalam kasus perdata termasuk pemeriksaan setempat (HIR pasal 153), keterangan ahli (HIR pasal 154) dan bukti yang ditentukan dalam HIR pasal 164, termasuk bukti dokumenter, bukti saksi, tuduhan, pengakuan, dan sumpah. Kekuatan alat bukti ini bermacam-macam, misalnya akta otentik, pengakuan, dan sumpah pembuktian yang benar adalah sempurna, sedangkan alat bukti saksi adalah kekuatan pembuktiannya, dan kekuatan alat bukti yang disebutnya adalah kewenangan hakim.21

Dalam hadits Nabi SAW:

أ ن

رك من عىل نيم ي لاو يع عدملاىل لاة نب ي

"Bukti dibebankan atas penuduh, sedangkan sumpah dibebankan atas tertuduh"

(HR. Al-Baihaqi).

19 https://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/24.pdf diakses pada tanggal 13 Desember 2021, pukul 16.59 WIB.

20https://www.pa-raha.go.id/peraturan-dan-kebijakan/berita/377-alat-bukti-elektronik-dan-

implikasinya-terhadap-pembuktian-perdata-di-pengadilan diakses pada tanggal 17 Agustus 2021, pukul 15.30 WIB.

21 Enju Juanda, Kekuatan Alat Bukti Dalam Perkara Perdata Menurut Hukum Positif Indonesia, Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol. 4, Nomor 1, 2016.

(35)

2. Macam-Macam Alat Bukti

Alat-alat bukti yang sah menurut hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam pasal 164 HIR/284 RBG, yaitu: surat-surat, saksi-saksi, pengakuan, sumpah, persangkaan hakim. Pada prinsipnya dalam persidangan perkara perdata hakim cukup membuktikan dengan preponderance of evidence (memutus berdasarkan bukti yang cukup). Alat-alat bukti yang cukup tersebut tentunya memiliki beberapa kualifikasi agar memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat.22

Berikut penjelasan setiap alat bukti:

• Bukti Tertulis

Bukti tertulis atau surat adalah sesuatu yang berisi tanda-tanda membaca yang dirancang untuk menuangkan hati atau buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai bukti. Sudikno Mertokusumo mengatakan, akta adalah surat yang ditandatangani, berisi peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar hak- hak atau perjanjian-perjanjian yang memang disengaja sejak semula untuk membuktikan. Oleh karena itu, untuk dapat digolongkan sebagai suatu akta, surat tersebut harus ditandatangani, yang diatur dalam Pasal 1869 KUH Perdata.23 Dalam pasal 1868 KUH Perdata dijelaskan tentang akta otentik, yakni:

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta dibuat.”24

22 https://manplawyers.co/2019/10/07/mengenal-alat-alat-bukti-dalam-hukum-acara-perdata-i/

diakses pada tanggal 25 November 2021, pukul 00.34 WIB.

23 Enju Juanda, Kekuatan Alat Bukti Dalam Perkara Perdata Menurut Hukum Positif Indonesia, Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, Vol. 4, Nomor 1, 2016.

24 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Balai Pustaka, Jakarta, 2017, hlm 521.

(36)

ٍ ٍ

ٍ

Tentang bukti tertulis ini juga telah diatur dalam Al-Qur`an:

م ٍ

ٍ ب

ٍد ي ن

ٍ ا ل ٍى ا ٍ جٍ ل

ٍم ىس م ٍ ٍ ف اٍ كٍ ت ٍ بٍ وٍ ه ٍ

ه اٍ

ٍ ٍ ا ل

ٍذ

ٍ ي

ٍن

ٍ ا

ٍم

ٍ ن

ٍ ٍ و ا

ٍ ا

ٍذ ا

ٍ ت

ٍد ا

ٍ ي

ٍ ن ي ت ا ٍ

ٍ ٍ

ي ٍ ٍ ٍ

”Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS.Al- Baqarah:282)

Dari ayat tersebut, Allah telah memerintahkan dalam kalimat faktubuuh yang artinya tuliskanlah. Maka bukti tertulis juga telah diatur dalam Al-Qur`an.

• Saksi

Saksi-saksi adalah orang yang mengalami, mendengar, merasakan dan melihat sendiri suatu peristiwa atau kejadian dalam perkara yang sedang dipersengketakan.25 Ketentuan saksi dalam perkara perdata diatur dalam Pasal 145 dan 146 HIR / Pasal 172 Rbg, menjelaskan tentang saksi-saksi mana saja yang tidak dapat didengarkan keterangannya secara mutlak, dan saksi-saksi yang dapat mengundurkan diri untuk memberikan kesaksian. Terhadap ketentuan di dalam Pasal 145 ayat (1) HIR menjelaskan mengenai saksi yang tidak dapat didengar keterangannya, yaitu:

1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak dalam garis keturunan lurus;

2. Suami atau istri meskipun sudah cerai;

3. Anak belum berusia atau belum diketahui dengan pasti apa 15 tahun;

4. Orang gila walaupun sekali-kali mereka dapat menggunakan pikirannya yang sehat;26

Dalam KUH Perdata pasal 1902:

25 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2016, hlm 143.

26

(37)

“Dalam hal Undang-Undang memerintahkan pembuktian dengan tulisan, diperkenankan pembuktian dengan saksi...”27

Islam pun mengatur tentang kesaksian, sebagaimana dalam Al-Qur`an surah Al-Maidah ayat 8:

س ط

َ ل ا ق َ ا ء

ش ده

َ َ ل ل َ

م َ ي ن

و ن ا َ

َ و َ ا ق

وا

ك اَم ن ا وا َ ن

َ اَ

ي ه ا

َ َا ل َ ذ

َ ي ي ـ ا

"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil " (QS. Al-Ma'idah: 8)

• Persangkaan

Dalam hukum acara perdata, persangkaan atau vermoedens adalah bukti pelengkap. Artinya, persangkaan itu bukan bukti independen. Persangkaan tersebut dapat dibuktikan dengan merujuk pada alat bukti lain.28 Dalam KUH Perdata pasal 1915:

“Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh Undang-Undang atau oleh hakim ditarik dari saat peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal.

Ada dua macam persangkaan, yaitu: persangkaan menurut Undang-Undang, dan persangkaan yang tidak berdasarkan Undang-Undang.”

• Pengakuan

Banyak ahli hukum yang mengatakan pengakuan itu bukan alat bukti, dengan alasan jika keterangan salah satu pihak telah diakui oleh pihak lainnya, maka pengakuan tidak lagi dibutuhkan.29 Undang-Undang tidak menjelaskan tentang pengertian pengakuan, dalam doktrin yang dikemukakan A. Pitlo

27 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Balai Pustaka, Jakarta, 2017, hlm 528.

28 Octavianus M. Momuat, Alat Bukti Tulisan Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata Di Pengadilan, Lex Privatum, Vol.II No. 1 Tahun 2014.

29 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm 80.

(38)

bahwa pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.30 Hukum acara perdata mengenal dua macam pengakuan, hal ini sesuai dengan pasal 1923 KUH Perdata. Yakni pengakuan yang dilakukan di depan sidang dan pengakuan yang dilakukan di luar sidang. Dalam KUH Perdata, pasal 1926 dan pasal 1927 dijelaskan mengenai pengakuan di depan sidang dan di luar sidang. Pengakuan di depan sidang tidak bisa dicabut kecuali pengakuan itu akibat dari kekeliruan peristiwa yang terjadi, sedangkan pengakuan lisan di luar sidang tidak dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan kecuali dijadikan pembuktian dengan saksi-saksi yang diizinkan.

• Sumpah

Sumpah merupakan pembuktian akhir, namun jika pembuktian sebelumnya masih bisa terpenuhi maka alangkah baiknya sumpah ini ditangguhkan dalam persidangan.

3. Alat Bukti Elektronik

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dijelaskan terkait pengertian dan bukti elektronik. Dalam Pasal 1 Ayat 1 dijelaskan tentang informasi elektronik sebagai berikut:

“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

30 Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hlm 83.

(39)

Kemudian di dalam Pasal 1 Ayat 4 yang memberi penjelasan tentang dokumen elektronik sebagai berikut:

“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

Alat bukti elektronik termasuk alat bukti yang sah menurut Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008. Tertera dalam Pasal 5 yakni sebagai berikut:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;

dan

b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Dari alat elektronik dapat menghasilkan sesuatu yakni bisa berupa gambar, rekaman, dll. Berikut pengertian beberapa hasil dari alat elektronik yang bisa dijadikan sebagai alat bukti:

(40)

a. Foto

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) foto disebut juga potret yang artinya gambaran, bayangan, pantulan.

b. Rekaman Video/Audio

Video adalah teknologi untuk menangkap, merekam, memproses, mentransmisikan, dan mengatur ulang gambar bergerak.31 Audio merupakan alat peraga yang bersifat dapat didengar.32

c. Tangkapan Layar

Tangkapan layar atau biasa disebut dengan screenshot adalah menangkap gambar layar handphone sesuai dengan yang sedang ditampilkan.

C. Media Sosial 1. Pengertian

Media sosial adalah media online di mana pengguna dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan membuat konten, termasuk blog, jejaring sosial, wiki, forum, dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial, dan wiki adalah bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh orang-orang di seluruh dunia. Pandangan lain adalah bahwa media sosial adalah media online yang mendukung interaksi sosial.

Media sosial menggunakan teknologi berbasis web untuk mengubah komunikasi menjadi dialog interaktif. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai "satu set aplikasi berbasis Internet yang didasarkan pada ideologi dan teknologi Web 2.0, yang mampu menciptakan dan bertukar konten yang dibuat pengguna." Jejaring sosial adalah situs di mana setiap orang dapat membuat halaman web pribadi dan kemudian terhubung dengan teman-teman

31 Fahryza Putri, Penggunaan Video, Audio, dan Pengaruhnya Bagi Pengguna HandPhone, WordPress, Jakarta, 2008.

32 Setiana, ”Pengaruh Penggunaan Media Audio Terhadap Hasil Belajar KompetensiI Mendengarkan Pada Peserta Didik Kelas 5 Sekolah Dasar Se- Gugus Darma Wiyata”. (Skripsi S-1 Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012). H.7.

(41)

untuk berbagi informasi dan berkomunikasi. Jejaring sosial terbesar termasuk Facebook, Myspace dan Twitter.33

Singkatnya, media sosial adalah wadah untuk para penggunanya berkomunikasi sesama teman, saudara, dll. Media sosial juga bukan hanya untuk berkomunikasi, banyak yang menjadikan media sosial sebagai tempat mengabadikan moment. Dengan alasan yang bermacam-macam, media sosial sudah seperti kebutuhan yang utama dalam hidup di zaman yang semakin canggih ini. Media sosial merupakan salah satu tempat bagi para penggunanya untuk melakukan hal-hal yang dilarang atau melanggar aturan.

Islam telah mengajarkan seluruh umatnya untuk saling mengingatkan dan membantu dalam kebaikan, maka dalam menggunakan sosial media juga seharusnya dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan dengan hal-hal baik.

Sebagaima adalam Firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 2:

َش د َ ي د اَ

ا َ ل ع ق َ ا

ب لل َ لل َ ن ا َ ن وا وا َ ت ق َ و اَ

ا و ا

َ ل ع ا

َ

َد

ى َا

َ ل َ َ ث َ م َ ع ل

ت ع ا و ن اَ

َ وا و ل

و ا ل ت َ َ َ ق

و ى

َا َ ل ب

ه َ ر ع ل ى

و ت ع ا و ن اَ

َ و ا

“...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.”

2. Fungsi Media Sosial

Media sosial memiliki fungsi sebagai berikut:

- Media sosial adalah media yang bertujuan untuk memanfaatkan teknologi internet dan jaringan untuk memperluas interaksi sosial manusia.

- Media sosial telah berhasil mengubah komunikasi satu arah media penyiaran dari satu organisasi media ke banyak audiens ("satu-ke-banyak") menjadi praktik komunikasi dialog antara banyak audiens ("banyak-ke-banyak").

Gambar

Foto  adalah  gambar  yang  bisa  diambil  dari  handphone,  iPad,  kamera  digital, ataupun laptop
Foto 1  Foto 2  Foto 3
Foto peneliti saat wawancara dengan bapak Drs. M. Rusli, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Agama  Depok, di ruang rapat Pengadilan Agama Depok, tanggal 17 November 2021, pukul 10.05 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi seandainyapun tidak ada peraturan materil yang mengatur tentang bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah dipersidangan, atau hakim tidak mau

elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana umum... pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

b. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik secara tegas, telah menyebutkan bahwa dokumen elektronik adalah sah atau dapat digunakan sebagai alat bukti

Kedudukan surat elektronik dalam bentuk informasi elektronik dan atau dokumen elektronik sebagai salah satu jenis alat bukti dalam pembuktian perkara pidana

Perbedaan yang paling mendasar yaitu dari objek penelitian, penulis dalam penelitian ini memfokuskan objek penelitian terhadap Pembuktian pada Alat Bukti Dokumen

Ketika di dalam persidangan terdapat alat bukti berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang didalilkan telah melalui tahapan digital forensic namun

Apabila pencabutan tersebut diterima oleh hakim, maka konsekuensi yuridisnya adalah keterangan terdakwa dalam persidangan pengadilan dapat digunakan sebagai alat bukti

Kekuatan Surat Elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan perkara perdata telah diatur dengan jelas dalam undang-undang no 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik,