• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.2 Teori Ketidaksantunan Berbahasa

2.2.6 Rangkuman

Berdasarkan sejumlah teori ketidaksantunan yang disampaikan di bagian

1. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Miriam A. Locher sebagai

tindak berbahasa yang melecehkan dan memain-mainkan muka

2. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Bousfield adalah perilaku

berbahasa yang mengancam muka dilakukan secara sembrono

(gratuitous), hingga mendatangkan konflik

3. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Culpeper adalah perilaku

berbahasa untuk membuat orang benar-benar kehilangan muka (face

loss), atau setidaknya orang tersebut „merasa‟ kehilangan muka

4. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Terkourafi adalah perilaku

berbahasa yang bilamana mitra tutur merasakan ancaman terhadap

kehilangan muka, dan penutur tidak mendapatkan maksud ancaman muka

itu dari mitra tuturnya

5. ketidaksantunan berbahasa dalam pandangan Locher and Watts adalah

perilaku berbahasa yang secara normatif dianggap negatif, lantaran

melanggar norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Kelima teori ketidaksantunan berbahasa itu, semuanya akan digunakan

sebagai kacamata untuk melihat praktik berbahasa yang tidak santun

antarmahasiswa Progam Studi PBSID Angkatan 2009--2011 di Universitas

Sanata Dharma.

2.3 Tindak Tutur

Yule (1996:81) menjelaskan bahwa dalam usaha untuk

mengandung kata-kata dan struktur-struktur gramatikal saja, tetapi penutur

juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan-tuturan itu. Tindakan-

tindakan yang ditampilkan lewat tuturan itu biasanya disebut tindak tutur.

Austin (1962) membedakan tiga jenis tindakan yang bekaitan dengan ujaran.

Ketiganya adalah tindak lokusioner, tindak ilokusioner, dan tindak

perlokusioner atau singkatnya lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Searle melalui

bukunya Speech Acts An Essay in The Philosophy of Language (dalam

Wijana, 2011:21) mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya

ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni

tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak

perlokusi (perlocutionary act).

2.3.1 Tindak Lokusi

Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu

(Wijana, 2011:21). Tindak tutur ini dinamakan the act of saying

something. Konsep lokusi sendiri berkenaan dengan proposisi kalimat.

Kalimat di sini dipandang sebagai suatu satuan yang terdiri dari dua

unsur, yakni subjek/topik dan predikat/comment (Nababan, 1987:4

dalam Wijana:22). Sebagai satuan kalimat, pengidentifikasian tindak

lokusi cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan

yang tercakup dalam situasi tutur. Jadi, tindak tutur lokusioner adalah

tindak tutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang

atau menurut Yule (1996:83) tindak dasar tuturan atau yang

menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna.

Perhatikan contoh berikut.

(1) Aku pulang dulu ya. (2) Kamu cantik hari ini.

(3) Yogyakarta diguyur hujan malam tadi.

Kalimat (1) dan (2) dituturkan oleh penuturnya semata-mata

untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan

sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Pada kalimat

(1), informasi yang dituturkan adalah penutur pulang lebih dulu, dan

kalimat (2) mitra tutur cantik. Kalimat (3) juga berfungsi untuk

mengutarakan informasi, yaitu memberitahukan bahwa kota

Yogyakarta hujan tadi malam.

Berdasarkan contoh-contoh itu, dapatlah dilihat bahwa ihwal maksud

tuturan yang disampaikan oleh penutur tidak dipermasalahkan sama sekali.

Dengan demikian, tindak tutur lokusioner adalah tindak menyampaikan

informasi yang disampaikan oleh penutur.

2.3.2 Tindak Ilokusi

Sebuah tuturan berfungsi untuk mengatakan atau menyampaikan

sesuatu dan untuk melakukan sesuatu. Tuturan yang berfungsi untuk

menyampaikan sesuatu disebut tindak lokusi, sedangkan tuturan yang

2011:23). Tindak tutur ini disebut the act of doing something. Tindak tutur

ilokusioner merupakan tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan

fungsi tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya. Tindak tutur

ilokusioner cenderung tidak hanya digunakan untuk menginformasikan

sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu sejauh situasi tuturnya

dipertimbangkan dengan seksama. Perhatikan contoh-contoh berikut ini.

(4) Di sini dingin sekali ya. (5) Pemulung dilarang masuk.

(6) Baju kotormu sudah menumpuk di sana.

Kalimat (4) s.d (6) ini tidak saja memberi informasi tertentu

(sesuai isi kalimat itu) tetapi juga untuk melakukan sesuatu jika

dipertimbangkan situasi tuturnya berikut ini. Kalimat (4) bila

diutarakan oleh mahasiswa kepada temannya yang berada di ruang

ber-AC, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk

melakukan sesuatu, yakni bisa saja meminta untuk mengecilkan

ACnya. Informasi keinginan penutur dalam hal ini kurang begitu

penting karena besar kemungkinan mitra tutur sudah mengetahui hal

itu. Kalimat (5) yang biasa ditemui di bagian depan gang perumahan

tidak hanya berfungsi untuk membawa informasi, tetapi untuk

memberi peringatan kepada pemulung. Kalimat (6) bila diucapkan

oleh ibu kepada anaknya, mungkin berfungsi untuk menyatakan

Gambaran contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa tindak

ilokusi sangat sukar diidentifikasi karena terlebih dahulu harus

mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan di mana

tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Selain itu, tindak ilokusi

ditampilkan melalui penekanan komunikatif suatu tuturan. Itulah

sebabnya tindak ilokusi menjadi bagian yang sentral untuk memahami

tindak tutur.

Tindak tutur ilokusi sering menjadi kajian utama dalam bidang

pragmatik (Rahardi, 2009:17). Searle (1983, dalam Rahardi: Ibid. dan

Rahardi: 2005:36-37) menggolongkan tindak tutur ilokusi dalam lima

macam bentuk tuturan, yakni

(1) Asertif (assertives) atau representatif, yaitu bentuk tutur yang

mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan,

misalnya menyatakan (stating), menyarankan (suggeting),

membual (boasting), mengeluh (complaining), dan mengklaim

(claiming).

(2) Direktif (direcitives) yakni bentuk tutur yang dimaksudkan

penuturnya untuk membuat pengaruh agar si mitra tutur

melakukan tindakan, misalnya memesan (ordering), memerintah

(commanding), memohon (requesting), menasihati (advising), dan

(3) Ekspresif (expressives) yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk

menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap

suatu keadaan, misalnya berterima kasih (thinking), memberi

selamat (congrangtulating), meminta maaf (pardoning),

menyalahkan (blaming), memuji (praising), dan berbelasungkawa

(condoling).

(4) Komisif (cummissives) yaitu bentuk tutur yang berfungsi untuk

menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji (promosing),

bersumpah (vowing), dan menawarkan sesuatu (offering).

(5) Deklarasi (declarations) yaitu bentuk tutur yang menghubungkan

isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah (resigning),

memecat (dismissing), membaptis (christening), memberi nama

(naming), mengangkat (appointing), mengucilkan

(excommuningcating), dan menghukum (sentencing)

Kelima fungsi umum tindak tutur beserta sifat-sifat kuncinya ini

Tabel : Lima Fungsi umum tindak tutur (menurut Searle, dalam Yule, 1996:95)

Tipe tindak tutur Arah penyesuaian P = penutur; X = situasi

Deklarasi Kata mengubah dunia P menyebabkan X

Representatif Kata disesuaikan dengan dunia P meyakini X

Ekspresif Kata disesuaikan dengan dunia P merasakan X

Direktif Dunia disesuaikan dengan kata P menginginkan X

Komisif Dunia disesuaikan dengan kata P memaksudkan X

2.3.3 Tindak Perlokusi

Tuturan juga seringkali mempunyai daya pengaruh

(perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau

daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan

oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk

mempengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi (Wijana,

2011:24). Tindak tutur ini disebut the act of affecting something.

Perhatikan beberapa contoh berikut.

(7) Saya lapar, tapi uang saya habis. (8) Gelap sekali ruangan ini.

(9) Charger laptopku hilang.

Kalimat (7), (8), dan (9) mengandung lokusi dan ilokusi bila

dipertimbangkan konteks situasi tuturnya, serta perlokusi jika penutur

kalimat (7) diutarakan oleh seorang mahasiswa kepada teman

mahasiswanya, maka ilokusinya adalah secara tidak langsung meminta

uang kepada temannya itu. Adapun efek perlokusi yang mungkin

diharapkan agar mitra tutur meminjamkan uang atau mentraktir si

penutur. Bila kalimat (8) diutarakan oleh seorang dosen kepada

mahasiswanya yang baru saja masuk ke ruang kelas yang gelap,

kalimat ini merupakan tindak ilokusi untuk meminta menyalakan

lampu di ruangan tersebut, dan perlokusi (efeknya) yang diharapkan

adalah mitra tutur menyalakan lampu. Bila kalimat (9) diutarakan oleh

seseorang kepada temannya ketika di perpustakaan, kalimat ini tidak

hanya mengandung lokusi, tetapi juga ilokusi yang berupa permintaan

untuk membantu menemukan chargernya yang hilang, dengan

perlokusi mitra tutur membantu mencari chargernya.

Tindak tutur perlokusioner mengandung daya pengaruh bagi

lawan tutur. Contoh lain yang dikemukakan Wijana (2011:25) adalah

(10) Baru-baru ini Walikota telah membuka Kurnia Department Store yang terletak di pusat perbelanjaan dengan tempat parkir yang cukup luas.

Kalimat (10) selain memberikan informasi, juga secara tidak langsung

merupakan undangan atau ajakan untuk berbelanja ke department

store bersangkutan. Letak department store yang strategis dengan

para pembacanya. Wacana seperti ini seringkali dijumpai pada bentuk

wacana iklan. Secara sepintas, wacana iklan seperti ini merupakan

berita, tetapi daya ilokusi dan perlokusinya sangat besar terlihat.

2.3.4 Rangkuman

Seperti yang telah dipaparkan oleh Searle (1983), tindak tutur dapat

dikategorikan menjadi tiga macam yang meliputi (1) tindak lokusi

dinamakan the act of saying something atau tindak tutur untuk

menyatakan sesuatu, (2) tindak ilokusi disebut the act of doing

something atau tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi

tertentu di dalam kegiatan bertutur yang sesungguhnya, dan (3) tindak

perlokusi disebut the act of affecting something atau tindak tutur untuk

mempengaruhi lawan tutur. Selanjutnya Searle (1983) juga

menggolongkan tindak tutur ilokusi menjadi lima macam yang meliputi

asertif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi yang kelima macam itu

memiliki fungsi komunikatif tersendiri.

2.4 Konteks Tuturan

Pada dasarnya di dalam penggunaan bahasa sehari-hari terdapat

unsur penting yang memengaruhi pemakaian bahasa itu. Unsur penting

yang dimaksud adalah konteks. Konteks sangat memengaruhi bentuk

bahasa yang digunakan oleh seorang penutur. Adanya teori mengenai

konteks merupakan angin segar bagi para peneliti bahasa karena konteks

dan bagaimana sebuah tuturan atau kalimat itu muncul. Seperti yang

diketahui, dahulu konteks belum terlalu diperhatikan oleh ahli bahasa

sehingga penelitian mereka hanya mengkaji bahasa dari segi fonologi,

morfologi, sintaksis, dan semantik. Hasil penelitian tersebut lazimnya

berupa sistem bahasa yang bentuknya gramatikal saja. Oleh karena itu,

sejak permulaan tahun 1970-an para ahli linguistik menyadari

pentingnya konteks dalam penafsirkan kalimat atau tuturan itu.

Jauh sebelum para pakar linguistik dan pragmatik lain, Malinowsky

pada tahun 1923, berbicara tentang konteks itu sendiri, khususnya

konteks yang berdimensi situasi atau ‗context of situation‟. Secara khusus Malinowsky mengatakan, seperti yang dikutip di dalam

Vershueren (1998:75), „Exactly as in the reality of spoken or written

languages, a word without linguistics context is a mere figment and stands for nothing by itself, so in the reality of a spoken living tongue, the utterance has no meaning except in the context of situation.‟ Dengan demikian, di dalam pandangannya sesungguhnya dinyatakan bahwa

kehadiran konteks situasi menjadi penting dan mutlak untuk menjadikan

sebuah tuturan benar-benar bermakna.

Hymes (1974) berpendapat bahwa konteks terdiri dari latar fisik dan

psikologis (setting and scene), peserta tutur (participants), tujuan tutur

(ends), urutan tindak (acts), nada tutur (keys), saluran tutur

Nugroho, 2009:119). Kedelapan komponen tutur dalam situasi tutur

tersebut sering disingkat menjadi SPEAKING yang semuanya itu dapat

memengaruhi tuturan seseorang.

Penjelasan agak panjang terkait konteks juga dikemukan Levinson.

Levison (1983:5) mengemukakan konteks dari definisi Carnap, yaitu

istilah yang dipahami yang mencakup identitas partisipan, parameter,

ruang dan waktu dalam situasi tutur, dan kepercayaan, pengetahuan,

serta maksud partisipan di dalam situasi tutur. Selanjutnya Levinson

(1983:22-23) menjelaskan bahwa untuk mengetahui sebuah konteks,

seseorang harus membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dalam

semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka, dan pemilihan ciri-ciri

tuturan tersebut secara budaya dan linguistik yang berhubungan dengan

produksi dan penafsiran tuturan. Untuk mengetahui konteks, Levinson

mengambil pendapat Lyons yang membuat daftar prinsip-prinsip

universal logika dan pemakaian bahasa, yaitu seperti di bawah ini:

(1) Pengetahuan ihwal aturan dan status (aturan meliputi aturan dalam

situasi tutur seperti penutur atau petutur, dan aturan sosial,

sedangkan status meliputi nosi kerelativan kedudukan sosial);

(2) Pengetahuan ihwal lokasi spasial dan temporal;

(3) Pengetahuan ihwal tingkat formalitas;

(4) Pengetahuan ihwal medium; kira-kira kode atau gaya pada sebuah

(5) Pengetahuan ihwal ketepatan sesuatu yang dibahas; dan

(6) Pengetahuan ihwal ketepatan bidang wewenang (atau penentuan

domain register sebuah bahasa). (melalui Nugroho, 2009:119-

120).

Mey (dalam Kunjana 1994:39), „… context is more than a matter of reference and of understanding what things are about, practically speaking. Context is also what gives our utterances their deeper meaning.‟ Pada bagian lain Mey (1994:40) menegaskan „the context is

also of paramaount importance in assigning a proper value to such phenomena as propositions, implicature, and the whole sets of context- oriented features …‟ Adanya kehadiran konteks itu, sebagaimana yang dimaksudkan Mey di atas, sangat dimungkinkan dipahami entitas

kebahasaan secara lebih komprehensif dan mendalam, bukan sekadar

menunjuk pada hal-hal yang sifatnya referensial. Memang secara

referensial sudah terlihat jelas penuturnya dan mitra tutur siapa, di mana

dan kapan peristiwa tutur itu terjadi tetapi lebih dari itu terdapat

pernyataan yang terkandung dalam sebuah tuturan, ada pula implikatur

dan segala hal yang melingkupi tuturan itu.

Yule (melalui Nugroho, 2009:120) membahas konteks dalam

kaitannya dengan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi

referen-referan yang bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang

Yule membedakan konteks dan koteks. Konteks ia definisikan sebagai

lingkungan fisik di mana sebuah kata dipergunakan. Koteks menurut

Yule adalah bahan linguistik yang membantu memahami sebuah

ekspresi atau ungkapan. Koteks adalah bagian linguistik dalam

lingkungan tempat sebuah ekspresi dipergunakan.

Menurut Rahardi (2006:20), konteks tuturan diartikan sebagai

semua latar belakang (background knowledge) yang diasumsikan sama-

sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta

yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan

oleh si penutur dalam keseluruhan proses bertutur.

Pemaparan berikutnya terkait konteks, dipaparkan secara lebih

mendalam oleh Leech (1983). Leech menyebut konteks tuturan dengan

sebutan aspek-aspek situasi ujar. Berikut pemaparan Leech (1993:19)

mengenai aspek-aspek situasi ujar yang meliputi lima hal.

Dokumen terkait