• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Faktor Resiko Ergonomi

1. Rapid Upper Limb Assesment (RULA)

a. Definisi RULA (Rapid Upper Limb Assesment)

RULA atau Rapid Upper Limb Assesment dikembangkan oleh Dr.Lynn Mc Attamney dan Dr. Nigel Corlett yang merupakan ergonomi dari universitas di Nottingham (University’s NottinghamInstitute of Occupational ergonomics). Pertama kali dijelaskan dalam bentuk jurnal aplikasi ergonomi pada tahun 1993 (Lueder, 1996).

Rapid Upper Limb Assesment adalah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomi yang menginvestigasikan dan menilai posisi kerja yang dialakukan oleh tubuh bagian atas. Peralatan ini tidak melakukan piranti khusus dalam memberikan pengukuran postur leher, punggung, dan tubuh bagian atas sejalan dengan fungsi otot dan beban eksternal yang ditopang oleh tubuh. Penilaian dengan menggunakan metode RULA membutuhkkan waktu sedikit untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan

pengangkatan fisik yang dilakukan operator. RULA diperuntukkan dan dipakai pada bidang ergonomi dengan bidang cakupan yang luas (McAtamney, 1993).

Teknologi ergonomi tersebut mengevaluasi postur atau sikap, kekuatan dan aktivitas otot yang menimbulkan cidera akibat aktivitas berulang (repetitive starain injuries). Ergonomi diterapkan untuk mengevaluasi hasil pendekatan yang berupa skor resiko antara satu sampai tujuh, yang mana skor tertinggi menandakan level yang mengakibatkan resiko yang besar (berbahaya) untuk dilakukan dalam bekerja. Hal ini bukan berarti bahwa skor terendah akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas dari ergonomic hazard. Oleh sebab itu metode RULA dikembangkan untuk mendeteksi postur kerja yang berisiko dan dilakukan perbaikan sesegera mungkin (Lueder, 1996).

RULA disediakan untuk menangani kasus yang menimbulkan resiko pada muskuloskeletal saat pekerja melakukan aktivitas. Alat tersebut memberikan penilaian resiko yang objektif pada sikap, kekuatan dan aktivitas yang dilakukan pekerja. RULA telah digunakan di dunia internasional beberapa tahun ini untuk menilai resiko yang dihubungkan dengan Work Related Upper

Linb Disorders (WRULD) (Mardiyanto, 2008).

Pengukuraan dengan metode RULA dilakukan dengan cara observasi secara langsung pekerja atau operator saat bekerja selama beberapa siklus tugas untuk memilih tugas (task) dan postur untuk pengukuran. Alat ini memasukan skor tunggal sebagai gambaran foto dari sebuah pekerjaan, yang mana rating dari postur, besarnya gaya atau beban dan pergerakan yang diharapkan. Risiko adalah hasil perhitungan menjadi suatu nilai atau skor 1 (rendah) sampai skor tinggi (7),

skor tersebut adalah dengan menggolongkan menjadi 4 level gerakan atau aksi itu memberikan sebuah indikasi dari kerangka waktu yang mana layak untuk mengekspektasi pengendalian risiko yang akan diajukan (Staton dkk dalam Ikrimah 2010).

Langkah penilaian skor RULA adalah sebagai berikut: 1.Langkah pertama:

a. +1 Untuk 20° extension hingga 20° flexion

b. +2 Untuk extension lebih dari 20° atau 20° - 45° flexion

c. +3 Untuk 45° - 90° flexion d. +4 Untuk 90° flexion atau lebih Keterangan:

a. + 1 jika pundak/bahu ditinggikan b. + 1 jika lengan atas abducted

c. -1 jika operator bersndar atau bobot lengan ditopang

Gambar 2.9: Postur Bagian Lengan Atas (Staton, 2005). 2. Langkah kedua :

Skor tersebut yaitu:

a. + 1 untuk 60° - 100° flexion

Keterangan:

a. + 1 jika lengan bekerja melintasi garis tengah badan atau keluar dari sisi

Gambar 2.10 : Postur Bagian Lengan Bawah(Staton, 2005) 3. Langkah ketiga :

Panduan untuk pergelangan tangan dikembangkan dari penelitian Health and Safety Executive, digunakan untuk menghasilkan skor postur sebagai berikut:

a. + 1 untuk berada pada posisi netral

b. + 2 untuk 0 - 15° flexion maupun extension

c. + 3 untuk 15° atau lebih flexion maupun extension

Keterangan:

a. +1 jika pergelangan tangan berada pada deviasi radial maupun ulnar

Gambar 2.11: Postur Pergelangan Tangan (Staton, 2005) 4. Langkah keempat :

Putaran pergerakan tangan (pronation dan supination) yang dikeluarkan oleh

Health and Safety Executive pada postur netral berdasar pada Tichauer. Skor tersebut adalah:

b. +1 jika pergelangan tangan berada pada rentang menengah putaran

c. +2 jika pergelangan tangan pada atau hampir berada pada akhir rentang putaran.

Gambar 2.12: Postur Putaran Pergelangan Tangan (Staton, 2005) 5. Langkah kelima :

Gambar sikap kerja yang dihasilkan dari postur kelompok A yang meliputi lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan putaran pergelangan tangan diamati dan ditentukan skor unutk masing-masing postur. Kemudian skor tersebut dimasukkan dalam tabel A untuk memperoleh skor A.

Tabel 2.2 Skor Grup A

6. Langkah keenam :

Skor penggunaan otot

Tambahkan nilai +1, apabila terjadi :

a. Postur statis, berlangsung selama 10 menit atau lebih. b. Gerakan berulang 4 kali atau lebih dalam 1 menit. 7. Langkah ketujuh :

Skor untuk penggunaan tenaga atau beban

Tabel 2.3 Berat Beban

Sumber: Staton, 2005 8. Langkah kedelapan :

Tetapkan lajur pada table C

Tabel 2.4 Grand Total Score Table

Sumber: Staton, 2005 9. Langkah kesembilan :

Kelompok B, rentang postur untuk leher didasarkan pada studi yang dilakukan oleh Chaffin dan Kilbom et al. Skor dan kisaran tersebut adalah:

a. +1 untuk 0 - 10° flexion

b. +2 untuk 10 - 20° flexion

c. +3 untuk 20° atau lebih flexion

d. +4 jika dalam extention

Apabila leher diputar atau dibengkokkan Keterangan :

a. +1 jika leher diputar atau posisi miring, dibengkokkan ke kanan atau kiri.

Gambar 2.13 : Postur Leher (Staton, 2005) 10. Langkah kesepuluh :

Kisaran untuk punggung dikembangkan oleh Druy, Grandjean dan Grandjean et al : a. +1 ketika duduk dan ditopang dengan baik dengan sudut paha tubuh 90°atau lebih

b. +2 untuk 0 - 20° flexion

c. +3 untuk 20° - 60° flexion

d. +4 untuk 60° atau lebih flexion

Punggung diputar atau dibengkokkan Keterangan:

a. +1 jika tubuh diputar

b. +1 jika tubuh miring kesamping

Gambar 2.14: Postur Punggung (Staton, 2005) 11. Langkah kesebelas :

Kisaran untuk kaki dengan skor postur kaki ditetapkan sebagai berikut: a. +1 jika kaki tertopang ketika duduk dengan bobot seimbang rata.

b. +1 jika berdiri dimana bobot tubuh tersebar merata pada kaki dimana terdapat ruang untuk berubah posisi.

a. +2 jika kaki tidak tertopang atau bobot tubuh tidak tersebar merata.

Gambar 2.15 : Postur Kaki (Staton, 2005) 12. Langkah kedua belas :

Gambar sikap kerja yang dihasilkan dari postur kelompok B yaitu leher, punggung (badan) dan kaki diamati dan ditentukan skor untuk masing-masing postur. Kemudian skor tersebut dimasukkan ke dalam tabel B untuk memperoleh skor B.

Tabel 2.5 Skor Grup B

Sumber: Staton, 2005 13. Langkah ketiga belas :

Skor penggunaan otot

Tambahkan nilai +1, apabila terjadi :

a. Postur statis, berlangsung selama 10 menit atau lebih. b. Gerakan berulang 4 kali atau lebih dalam 1 menit. 14. Langkah keempat belas :

Skor untuk penggunan tenaga atau beban.

Tabel 2.6: Berat Beban

15. Langkah kelima belas :

Tetapkan lajur pada table C

Tabel 2.5 Neck, trunk and leg score

Sumber: Staton, 2005

Penetapan skor final yaitu dengan memasukkan nilai postur kelompok A (arm and wrist analysis) kedalam kolom vertikal tabel C, lalu memasukkan nilai postur kelompok B (neck, trunk, and leg analysis) ke dalam kolom horizontal tabel C. Setelah diperoleh grand score, yang bernilai 1 sampai 7 menunjukkan level tindakan (action level) sebagai berikut:

a. Action Level 1: Skor 1 atau 2 menunjukkan bahwa postur dapat diterima selama tidak dijaga atau berulang untuk waktu yang lama.

b. Action Level 2: Skor 3 atau 4 menunjukkan bahwa penyelidikan lebih jauh dibutuhkan dan mungkin saja perubahan diperlukan.

c. Action Level 3: Skor 5 atau 6 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan dibutuhkan segera.

d. Action Level 4: Skor 7 menunjukkan bahwa penyelidikan dan perubahan dibutuhkan sesegera mungkin (mendesak).

Metode ini memiliki keterbatasan dalam pengukurannya, diantaranya (Corlett, 1998) :

a. Tangan : metode ini tidak bisa mengukur gerakan tangan menggenggam, meluruskan, memutar, memerlukan tekanan pada telapak tangan.

b. Tempat kerja : metode ini tidak mengukur antropometri tempat kerja yang dapat menyebabkan terjadinya postur janggal.

c. Ketidaknyamanan : metode ini tidak mengukur derajat ketidaknyamanan akibat dimensi fisik tempat kerja.

Meskipun begitu, metode ini juga memiliki banyak keuntungan yaitu mudah digunakan, cepat, praktis, dapat dikombinasikan dengan metode lainnya dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan investigasi lebih lanjut tindakan perbaikan dalam Maijunidah (2010).