• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TOKOH PROFEMINIS DAN TOKOH KONTRAFEMINIS

2.2 Sinopsis

2.3.2 Tokoh Kontrafeminis

2.3.2.1 Ratna Sari

Secara fisik ia cantik seperti yang dikatakan oleh Lastri dalam kutipan berikut.

“Ratna Sari! Ah, masih cantik saja. Lihat aku, sudah karatan begini,” kata Lastri, begitu melihat Sari. Sari tersenyum dengan wajah berseri-seri. “Ah, Kak Lastri bisa saja. Kata siapa aku masih cantik?” Lastri memicingkan mata dan melihat dari atas ke bawah dengan pandangan menilai. “Dalam pandanganku nilaimu masih sembilan puluh.”

“Kenapa tidak seratus?”

“Seratus untuk anakmu.” (hlm. 167—168).

Secara psikis, Sari merupakan seorang yang tidak disukai banyak orang karena sikapnya yang buruk dan kata-katanya tidak bagus. Ia juga seorang yang munafik dan pendendam. Hal itu tampak dari kutipan berikut.

Ibu tirinya tidak terpelajar dan berperangai buruk. Kata-katanya tidak pernah halus, hanya di depan ayahnyalah sikapnya berubah baik. Sedapat mungkin Rani selalu mendapatinya. Kalau tidak, ia khawatir akan bersikap tidak hormat (hlm. 12).

“Apa? Kurang ajar! Kata-kataku benar, kan? Kau sudah menuntut bagian warisan, padahal aku masih hidup.” Ia bangun dari tempat duduknya dan menghampiri Arik, lalu mendorong kepala pemuda itu dengan telunjuknya. Walaupun sudah remaja, tubuh Arik yang kurus menjadi limbung ke belakang (hlm. 59).

Serta-merta Sari bangkit dari kursinya. “Apa? Dasar dokter tolol! Kau tak pernah bicara masalah rumah sakit? Apa kau mau menjebloskanku ke penjara? Siapa yang membayarmu kali ini? Apa Maharani busuk itu? (hlm. 191).

Selama ini menyadari bahwa itulah cara Sari membalas dendam padanya, walaupun dia tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan sehingga ibu tirinya itu begitu membencinya. Semua tamu, baik teman ayahnya yang

sengaja berkunjung maupun teman ibu tirinya, melihatnya sebagai gadis malang yang kini turun derajat menjadi seorang pelayan. Rani tak pernah mengeluh karena ia tahu hal itu lebih banyak mengundang iba dan simpati padanya dibanding pada ibu tirinya. Tentu saja tak terlalu banyak membantu karena tidak ada perubahan nasib yang dialaminya (hlm. 65— 66).

Sari pun termasuk orang yang senang berfoya-foya dengan harta dari peninggalan Jenderal Van Houten dan suka berbohong terhadap harta benda yang dimilikinya meskipun itu bukanlah barang asli. Berikut kutipannya.

“Lihat saja, baru minggu lalu ia menyelenggarakan pesta dansa yang diadakan untuk pertama kalinya di rumah kita sejak ibu meninggal. Apakah kau sudah mendengar kabar? Dua minggu lagi adalah hari ulang tahunnya dan ia ingin mengadakan pesta lagi. Rani! Rani! Kau harus melakukan sesuatu! Jangan membiarkan ibu tirimu begini terus! Dia akan menghabiskan harta Ayah!” (hlm. 55—56).

Lastri bangkit dan memandang sekeliling ruangan. Ia senang melihat rumah yang ditata indah. Kalau diingat, kehidupannya dulu juga mewah seperti ini, sayang masih bersikap kurang ramah padanya.

“Rumahmu besar. Barang-barang pajangannya juga bagus-bagus.”

“Itu kami beli di berbagai tempat di luar negeri. Ada yang di Belanda, Eropa, Cina, dan Jepang,” kata Sari menyombong. Ia menyebutkan semua nama negara yang diketahuinya, padahal hal itu dusta belaka.

“Oh ya?” Ujar Lastri sambil mengangkat sebuah pot kecil dan melihat bagian bawah pot itu. “Buatan Semarang?” katanya, membuat Sari agak malu sedikit (hlm. 168—169).

Sari tidak menyetujui Rani bersekolah tinggi karena baginya perempuan seusia Rani seharusnya sudah dipingit dan dinikahkan, tidak ada gunanya jika perempuan bersekolah tinggi.

Aku sudah memutuskan tidak akan mengirim kalian ke sekolah mana pun. Alasannya, kalian sudah sekolah terlalu tinggi. Mau jadi apa perempuan sekolah tinggi-tinggi? Lihat Moetiara, ia hanya mengikuti kursus-kursus saja. Sekarang ia bahkan semakin anggun karena berkepribadian layaknya wanita terhormat... (hlm. 58—59).

“Itu maksudku. Kau dan Rani tidak pantas bersama-sama terus. Kalian berlawanan jenis. Kalian harus dipisahkan. Rani sudah harus dipingit seperti gadis-gadis remaja umumnya sebelum ia dinikahkan, sedangkan

kau...sebagai seorang pemuda remaja seharusnya kau mulai belajar bekerja atau magang di toko-toko untuk keperluan masa depanmu.” (hlm. 62).

Selain itu, Sari termasuk orang yang kejam karena pertama, ia menyerahkan Rani dengan paksa kepada pemerintah Jepang yang kemudian menjadikan Rani sebagai jugun ianfu. Kedua, ia terbukti telah membunuh suaminya, Jenderal Van Houten dengan cara meracuni makanan yang dimakan Van Houten. Ia tega membunuh suaminya hanya karena ingin menguasai hartanya. Berikut kutipannya.

Sari duduk di tempat Moetiara biasa duduk, lalu berpikir sejenak dan dengan hati-hati kemudian berkata,”Jepang telah menguasai Batavia. Sekarang aku akan menyerahkan kedudukan sebagai putri dan pewaris harta ayahmu kembali padamu,” katanya datar.

Rani berpikir cepat. Ia merasa sesuatu yang tidak beres sedang berlangsung saat ini. “Tidak. Biarkan saya kembali berada di dalam dapur. Ibu harus menyelamatkan saya. Mereka pasti akan menangkap saya karena saya orang Belanda, Bu!”

Ia ingin melepaskan baju Moetiara, tapi Sari menampar pipinya sekuat tenaga hingga ia tersungkur di lantai. “Anak-anak bodoh! Lakukan saja apa yang kukatakan atau aku akan membunuhmu!” desisnya. Rani memegang pipinya yang terasa pedas.

“Jangan katakan bahwa aku ibu tirimu. Aku dan Moetiara di sini adalah pelayan dan kau adalah pemilik satu-satunya rumah ini, mengerti?! Kalau kau berkata sepatah kata pun tentang aku dan Moetiara aku akan membunuhmu!” (hlm. 73—74).

Sidang selesai. Hakim memutuskan Sari bersalah dan dihukum sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan (hlm. 192).

Selain itu, sebagai seorang ibu—walaupun ibu tiri—Sari tidak memiliki sifat layaknya seorang ibu pada umumnya. Ia memperlakukan anaknya, Rani dengan tidak baik.

Ia ingin melepaskan baju Moetiara, tapi Sari menampar pipinya sekuat tenaga hingga ia tersungkur di lantai. “Anak-anak bodoh! Lakukan saja apa yang kukatakan atau aku akan membunuhmu!” desisnya. Rani memegang pipinya yang terasa pedas (hlm.73).

Secara sosiologis, Sari merupakan seorang janda beranak satu asli Batavia tepatnya berasal dari Desa Condet. Anaknya bernama Moetiara. Kemudian ia menikah dengan Jenderal Van Houten.

Pada saat Arik dan Rani masuk HBS, ayah Rani menikah untuk kedua kalinya dengan seorang janda beranak satu, penduduk asli Batavia (hlm. 11).

Sari pernah menjadi anak buah Lastri, seorang mucikari setelah suami pertamanya meninggal dan Tiar masih berusia sepuluh tahun. Berikut kutipannya.

Dengan berbantalkan kedua tangannya, Tiar menatap langit-langit. Ia menghela napas panjang. Ia sedang memikirkan sesuatu. Hari ini ia bertemu dengan kawan lama ibunya, Bibi Lastri. Wanita itu bekas mucikari di Desa Condet. Ia mengenalnya karena... ia sangat malu mengakui hal ini... ibunya sempat menjadi anak buah Lastri ketika suami pertamanya dan Tiar masih berumur sekitar sepuluh tahun waktu itu (hlm. 162).

Di akhir cerita, Sari pun harus mempertanggungjawabkan perbuatannya yang telah membunuh Jenderal Van Houten. Setelah ia dipenjara, Sari mulai terlihat seperti orang gila bahkan ia akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa.

“Ibu Anda sudah seperti ini sejak divonis hakim. Ia tidak mau makan, tidak mau bergaul dengan yang lain dan hidup dalam dunianya sendiri. Kami terpaksa harus menyuapinya setiap hari. Kelihatannya jiwanya terganggu, kata dokter yang memeriksanya kalau bulan depan masih seperti ini, ia akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa.”(hlm. 249).

Berdasarkan penggambaran di atas, tokoh Sari dapat dikelompokkan dalam kategori tokoh kontrafeminis. Tokoh kontrafeminis merupakan tokoh yang

menentang emansipasi perempuan. Tindakan Sari yang menunjukkan kekontrafeminisan terlihat dari sikapnya yang menentang Rani untuk melanjutkan pendidikannya. Bahkan Sari beranggapan bahwa perempuan tidak pantas untuk bersekolah tinggi-tinggi. Sari pun berpandangan, perempuan seumuran Rani pada zaman itu seharusnya sudah dipingit dan dinikahkan. Hal itu sangat bertentangan dengan Rani yang justru ingin melanjutkan pendidikannya.

Selain itu, Sari termasuk kontrafeminis karena sebagai seorang ibu— meskipun ibu tiri—Sari tidak bersikap layaknya seorang ibu pada umumnya yang menjaga dan merawat anaknya. Sari memperlakukan Rani dengan tidak baik bahkan Sari tega membunuh suaminya dan menyerahkan Rani secara paksa kepada tentara Jepang yang selanjutnya membawa Rani pada dunia jugun ianfu.

Dokumen terkait