• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4 Refleksi

Program JKN yang secara efektif diberlakukan sejak 1 Januari 2014

merupakan amanat konstitusi, yaitu UUD 1945 Pasal 28 H Ayat 3, disebutkan

bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial. Sebagai sebuah kebijakan

pemerintah, program JKN ini akan menggantikan secara bertahap jaminan sosial

yang telah ada sebelumnya seperti Askes, Jamsostek, Taspen dan Asabri. Dengan

adanya program JKN ini, maka seluruh masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan

dasar hidupnya untuk hidup sehat tanpa menderita suatu penyakit, termasuk juga

masalah kehamilan dan persalinan yang memerlukan biaya besar.

Sejak diberlakukan Januari 2014 yang lalu, implementasi kebijakan JKN

pada pelayanan kebidanan dan neonatal sarat dengan berbagai permasalahan,

diantaranya pertama, masih belum meratanya sosialisasi tentang JKN pada

bidan-bidan. Kedua, komitmen antara BPM dan BPJS Kesehatan dalam hal pelayanan

kebidanan dan neonatal dengan masyarakat masih kurang jelas sehingga

memunculkan perbedaan pendapat terkait mekanisme prosedur kerjasama dan

klaim pada program JKN. Ketiga, masih banyak BPM yang belum bergabung

pada BPJS Kesehatan terutama di Kabupaten Tabanan. Keempat, kurangnya BPM

yang bergabung mengakibatkan banyak peserta yang mengantri dan menumpuk di

Puskesmas sehingga mengakibatkan kurang optimalnya sistem pelayanan dan

rujukan. Kelima, masih adanya kesenjangan antar fasilitas kesehatan seperti:

Dilihat dari lokasi penelitian Kabupaten Tabanan merupakan kabupaten

agraris dan dekat dengan ibukota Propinsi Bali. Berdasarkan kriteria dari BKKBN

jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tabanan tahun 2013 sebanyak 23,50 %

dari jumlah penduduk, sehingga program JKN ini akan sangat membantu

masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Bidan merupakan tenaga

kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat pedesaan sehingga diharapkan

mampu menjadi ujung tombak dalam memberikan pelayanan kebidanan dan

neonatal. Usaha pemerintah untuk menurunkan AKI dan AKB sudah dimulai

sejak tahun 2011 dengan program Jampersal dan program JKBM, tetapi pada saat

itu bidan dapat bekerjasama secara langsung dengan pemerintah (Dinas Kesehatan

Kabupaten).

Kerjasama antara BPM dengan program JKN dimulai sejak awal Januari

2015, dimana sebelumnya BPJS Kesehatan hanya bekerjasama dengan dokter

keluarga. Saat ini dokter keluarga diwajibkan untuk mengajak BPM sebagai

jejaring agar dapat melayani pasien dengan kasus kebidanan seperti pemeriksaan

hamil, pertolongan persalinan, perawatan nifas dan bayi baru lahir serta pelayanan

KB. Rendahnya partisipasi BPM di Kabupaten Tabanan pada program JKN ini

berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa hal, antara lain disebabkan

karena kurangnya pengetahuan BPM tentang program JKN terkait pelayanan

kebidanan dan neonatal.

Banyaknya partisipan yang tidak memahami tentang program JKN terkait

pelayanan kebidanan dan neonatal walaupun bidan tersebut sudah mengikuti

tujuan, manfaat, cakupan pelayanan pada program JKN, mekanisme kerjasama,

jumlah klaim dan prosedur klaim sangat kurang. BPM mengikuti program JKN

hanya untuk mengikuti program yang sudah ada sebelumnya seperti Jampersal,

Jamkesmas dan JKBM. Bidan ikut program JKN bersifat ikut-ikutan saja karena

ajakan dari dokter keluarga atau kepala puskesmas tempat bidan bekerja dan

merasa kasihan pada dokter yang mengajak karena dokter keluarga juga ingin

mempromosikan tempat prakteknya.

Sebagai pemberi layanan kesehatan, bidan seharusnya sudah siap dengan

informasi tentang pelayanan kesehatan dalam program JKN. Namun

kenyataannya, informasi yang diterima oleh bidan tidak seragam. Bidan

memperoleh informasi dari berbagai sumber yang berbeda seperti informasi

langsung dari dokter yang mengajaknya kerjasama, mendengar langsung dari

teman – teman bidan dengan JKN serta informasi dari dokter puskesmas saat rapat

yang di gabung dengan rapat-rapat yang lain, sehingga terjadi persepsi yang

berbeda-beda antara sesama BPM. Tidak ada pertemuan khusus yang dilakukan di

puskesmas atau di rumah sakit untuk menyosialisasikan program JKN terkait

pelayanan kebidanan dan neonatal. Proses penyampaian informasi tidak semua

BPM mengetahui tentang pelayanan kebidanan dan neonatal yang ditanggung

oleh JKN seperti: ANC, pertolongan persalinan, PNC dan pelayanan KB termasuk

jumlah klaim yang akan diberikan.

Seorang partisipan menyatakan bahwa tujuan dari program JKN adalah

meningkatkan citra pemerintah di mata masyarakat terutama secara politik.

pemerintah secara tidak langsung bersamaan dengan pergantian kepala negara

(Presiden) sehingga kemungkinan program tersebut diluncurkan memang untuk

mengambil hati rakyat, dalam hal ini secara tidak langsung tenaga kesehatan

secara finansial akan merasa dirugikan karena pemerintah telah mengeluarkan

sistem pelayanan gratis untuk masyarakat.

Manfaat JKN mungkin sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat tapi

tidak untuk tenaga kesehatan termasuk bidan. Sebagian bidan yang melaksanakan

praktek mandiri akan merasa kehilangan atau berkurang pasiennya, karena pasien

lebih memilih pengobatan yang gratis ketimbang membayar ke BPM. Tapi bila

masyarakat jeli melihat, maka lebih banyak masyarakat yang ingin mendapatkan

pelayanan yang lebih privasi terutama pelayanan kebidanan dan neonatal.

Cakupan pelayanan kebidanan dan neonatal diharapkan sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan oleh IBI yaitu: ANC sebanyak 4 kali, persalinan,

PNC sebanyak 3 kali, kunjungan neonatus sebanyak 3 kali dan pelayanan KB.

Pada Permenkes Nomor 59 tahun 2015 dinyatakan bahwa klaim dapat dibayarkan

apabila pasien hamil memenuhi standar yang telah ditentukan, apabila tidak maka

klaim tidak dapat ditagihkan. Peraturan ini dibuat dengan harapan pasien akan

menjaga kehamilannya dengan memeriksa kehamilannya secara teratur pada satu

tempat sehingga secara administrasi akan berkesinambungan.

Hal tersebut tentunya sangat merugikan BPM yang bekerjasama dengan

JKN karena tidak semua pelayanan dapat di klaim apabila pasien periksa

berpindah-pindah tempat. Pada kenyataannya pasien lebih sering periksa sesuai

saat program Jampersal atau JKBM pasien kemanapun periksa tetap ditanggung

walaupun tidak pada satu tempat. Pemerintah diharapkan untuk lebih

memperhatikan sistem paket klaim pada pasien ANC untuk mempertahankan

kesejahteraan bidan.

Motivasi BPM untuk mengikuti program JKN untuk ikut menyukseskan

program pemerintah, sebagai media promosi tempat praktek dan sebagai tempat

mengabdi pada profesi perlu mendapat dukungan dari pemerintah dan organisasi

IBI. Beberapa BPM menyatakan mengikuti program JKN adalah untuk

mempertahankan jumlah kunjungan pasiennya, karena dengan adanya JKN

masyarakat lebih banyak mengunjungi puskesmas daripada datang ke BPM.

Bidan-bidan yang sebelumnya telah mengikuti program Jamkesmas, Jampersal

dan JKBM masih tetap ingin melanjutkan kerjasama dengan pemerintah melalui

program JKN, namun ada juga bidan yang mengikuti JKN karena di minta oleh

dokter keluarga/dokter puskesmas. Adanya sistem jejaring dokter keluarga secara

langsung mencari dan mendatangi BPM untuk mengajak menjadi jejaring, tapi

ada juga BPM yang memiliki keinginan untuk bergabung dengan JKN sedangkan

di daerahnya tidak ada dokter keluarga yang ikut program JKN sehingga BPM

tersebut tidak bisa menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Program JKN ini juga dijadikan sebagai media promosi untuk praktek

BPM, selain melayani pasien-pasien kebidanan juga mengembangkan suatu usaha

untuk menunjang pelayanan seperti: pijat bayi, senam hamil, perawatan

kewanitaan seperti Spa vagina dan ratus vagina. Mengikuti program JKN menurut

merupakan pelayanan pengembangan. Jadi dengan bekerjasama dengan JKN

bidan berharap selain ikut membantu menyukseskan program pemerintah juga

dapat meningkatkan program pelayanan pengembangan yang sedang digalakkan.

Dengan demikian menurut BPM walaupun klaim yang diberikan oleh BPJS

Kesehatan sangat kecil maka akan terbantu dengan program pengembangan yang

diberikan. Bidanpun dapat menarik biaya perawatan sesuai dengan pelayanan

yang telah diberikan sehingga jumlah pasien dan pendapatan akan tetap bisa

dipertahankan.

Bidan yang sudah membuka praktek lebih dari 20 tahun mengatakan ikut

JKN adalah untuk mengabdikan diri kepada profesi, karena selama ini untuk

kebutuhan finansialnya sudah lebih dari cukup. Apabila ada pasien dengan

keadaan yang kurang mampu maka bidan tersebut akan membebaskan biaya

perawatannya karena sudah mendapatkan klaim dari BPJS Kesehatan, tapi kalau

ada pasien yang mampu dan menggunakan JKN maka akan disarankan untuk naik

kelas perawatan sehingga akan terjadi subsidi silang antara yang mampu dengan

yang tidak mampu.

Harapan BPM pada program JKN adalah adanya perbaikan sistem dan

infrastruktur termasuk peningkatan jumlah klaim, sehingga tidak menyulitkan

pekerjaan bidan. Selama ini pemerintah menuntut agar BPM dapat memberikan

pelayanan yang terbaik dan sesuai dengan standar pelayanan kebidanan namun

tidak ditunjang oleh sarana dan prasarana serta biaya yang mencukupi. Kejadian

di lapangan pada akhirnya akan terjadi ketimpangan, dimana bidan memberikan

oleh organisasi. Kalau saja sarana dan prasarana, obat-obatan serta bahan habis

pakai di lengkapi oleh pemerintah maka dengan klaim yang sedikit tidak akan

menjadi penghalang bagi BPM untuk melakukan asuhan yang sesuai dengan

standar. Jumlah klaim yang sedikit sudah termasuk obat, alat dan bahan habis

pakai, belum lagi BPM setiap menolong persalinan diwajibkan untuk berpartner

dengan teman sejawatnya, sudah tentu BPM tersebut akan membayar jasa bidan

yang lain sehingga klaim yang diberikan oleh BPJS Kesehatan untuk saat ini

tidaklah sesuai dengan kondisi di Kabupaten Tabanan. Apalagi di Kabupaten

Tabanan sudah mempunyai suatu kesepakatan organisasi IBI tentang tarif

pelayanan kebidanan di BPM yang sudah berjalan sejak 2013 sebelum adanya

program JKN.

Mekanisme kerjasama antara BPM dengan program JKN sesuai

Permenkes 59 tahun 2014 menyatakan bahwa BPM yang akan bekerjasama

dengan BPJS Kesehatan haruslah melalui sistem jejaring dengan dokter keluarga.

Bidan-bidan merasa sangat keberatan dengan hal tersebut karena secara

Internasional bidan telah diakui sebagai suatu profesi yang mandiri, jadi tidak

perlu berada di bawah profesi lain termasuk dokter. Pada saat program Jampersal

dan JKBM berlangsung bidan dapat bekerjasama langsung dengan dinas

kesehatan. Secara administrasi bidan melakukan asuhan dan pendokumentasian

sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan langsung melaporkan ke dinas

kesehatan, tetapi dengan adanya sistem jejaring BPM diharuskan untuk

melaporkan semua pelayanan kebidanan dan KB kepada dokter keluarganya

Sistem jejaring menjadi lebih rumit dari program sebelumnya karena

pengklaiman dilakukan pada rekening dokter keluarga dan adanya sistem

pemotongan administrasi sebesar 10% dari total klaim yang diajukan sebagai

administrasi atau pembinaan. Dokter keluarga sebenarnya juga merasa sangat

keberatan dengan adanya sistem jejaring ini. Menurut dokter keluarga sebenarnya

beliau juga dapat melakukan pemeriksaan hamil dan pelayanan KB secara

mandiri, termasuk juga persalinan. Hanya saja pasien-pasien kebidanan sudah

lebih mandiri mengambil keputusan untuk melahirkan, walaupun pasien telah

diarahkan ke BPM tetapi pasien lebih banyak yang minta dirujuk ke rumah sakit

atau ke dokter spesialis saja. Sistem jejaring sebenarnya dimaksudkan agar ada

kolaborasi antara dokter dengan bidan sehingga tidak terjadi persaingan dalam

memberikan pelayanan kebidanan dan KB pada masyarakat dalam memberikan

asuhan yang akan diberikan.

Keikutsertaan BPM pada program JKN sangat memerlukan dukungan dari

pemerintah seperti dinas kesehatan dan juga organisasi IBI. Program JKN baru

diluncurkan pada tahun 2014, menurut pemegang kebijakan program ini masih

baru dan hanya perlu himbauan saja pada bidan-bidan. Tujuan dari program JKN

salah satunya adalah untuk membantu pemerintah dalam menurunkan AKI dan

AKB dimana tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak pelayanan kepada

masyarakat adalah bidan termasuk BPM. Pemerintah daerah seharusnya

benar-benar mendukung program JKN karena merupakan program pemerintah pusat

dengan cara memberikan informasi melalui sosialisasi yang lebih intensif kepada

berpartisipasi pada program JKN. Dukungan yang diharapkan oleh bidan berupa

bantuan perlengkapan sarana dan prasarana serta obat-obatan untuk menunjang

pelayanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Sistem administrasi yang ribet

dan berbelit-belit juga mengakibatkan bidan enggan untuk ikutserta dalam

program JKN, pemerintah hendaknya menyiapkan suatu sistem administrasi yang

sudah sistematis dan sederhana sehingga bidan tidak merasa terbebani oleh

masalah tersebut.

Kebijakan dari dinas kesehatan dan organisasi IBI pada program JKN

berupa kebijakan daerah sangat diperlukan oleh bidan. Mekanisme kerjasama

antara BPM dengan JKN sebenarnya tidaklah sulit seperti yang dibayangkan oleh

bidan. Hendaknya dinas kesehatan dan BPJS mengatur dokter keluarga yang ikut

program JKN untuk mengajak jejaring BPM. Selama ini dokter memilih sendiri

BPM yang hendak dijadikan jejaring dengan alasan mencari BPM yang dekat dan

mudah untuk berkomunikasi. Hal ini mengakibatkan ada beberapa bidan yang

ingin bekerjasama dengan BPJS terhalang karena tidak ada dokter keluarga yang

mengajak untuk bekerjasama. Bila sudah diatur kerjasama antara dokter dengan

bidan akan lebih mudah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Kebijakan tentang tambahan penarikan iuran sesuai dengan perjanjian

kerjasama dengan BPJS tidak dibenarkan. Karena sesuai Undang-Undang Nomor

40 tahun 2004, fasilitas kesehatan termasuk bidan tidak boleh menarik biaya

diluar dari yang telah ditetapkan. Pemegang kebijakan di Kabupaten Tabanan

melalui organisasi IBI memberikan pernyataan memperbolehkan kalau BPM

asalkan ada surat perjanjian antara pasien dengan bidan. Secara hukum tetap tidak

dibenarkan, sebaiknya pemerintah daerah mengajukan kepada pemerintah pusat

tentang penyesuaian klaim antar daerah atau pemerintah daerah ikut

menanggulangi atau menambah jumlah klaim pelayanan dari APBD masing-

masing sehingga tenaga kesehatan (bidan) tidak akan merasa dirugikan.

Kebijakan pemotongan administrasi untuk BPM yang bekerjasama dengan

JKN diharapkan pemerintah daerah meniadakan pemotongan tersebut. BPM

dipacu untuk bekerjasama dengan JKN agar dapat memberikan pelayanan yang

merata kepada semua lapisan masyarakat dan jangan sampai memotong honor

bidan tersebut. Dibuatkan suatu acuan berapa jumlah total klaim yang dapat

dipotong sebagai biaya administrasi tidak semuanya harus dipotong 10%. Jumlah

klaimnya saja sudah sedikit apalagi tambah potongan maka dapat mengurangi

kinerja dari bidan. Kurangnya klaim yang diterima oleh bidan akan sangat

mempengaruhi kinerja bidan selanjutnya.

Pada situasi dan kondisi yang telah dipaparkan diatas peneliti menyadari

dan merasakan bahwa kurangnya informasi tentang kerjasama BPM dengan

program JKN secara tidak langsung akan menghambat keinginan untuk

berpartisipasi dengan program JKN. Untuk sistem jejaring dari pandangan peneliti

sebenarnya tepat karena bidan juga perlu melakukan kolaborasi dengan dokter

bila berhadapan dengan pencegahan dan pengobatan suatu penyakit, namun bila

dihadapkan dengan permasalahan kebidanan seharusnya bidan memang bisa

mandiri melakukan tindakan. Jumlah klaim yang ditetapkan oleh pusat tidaklah

dilakukan pengkajian ulang mengenai hal tersebut. Kebijakan dari dinas kesehatan

dan IBI semua tergantung dari peraturan yang berlaku dari pusat kecuali kebijakan

itu mendapatkan persetujuan otonomi dari pemerintah daerah.

Dokumen terkait