• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFLEKSI PERJALANAN PASTORAL DI KOMISI KEPEMUDAAN KEUSKUPAN SURABAYA PERIODE 2017-2020

Dalam dokumen JUBILEUM NOVEMBER 2020 (Halaman 44-47)

di Wisma Betlehem Puhsarang; penyusunan Modul Kewirausahaan untuk OMK bekerjasama dengan tim pengajar dari Fakultas Kewirausahaan Universitas Widya Mandala Surabaya; perumusan ide dasar Sekolah Pendamping dan Pendampingan bagi OMK di Keuskupan Surabaya; dan beberapa program lain.

Namun setiap awal akan selalu ada akhir, dan di setiap akhir akan bijaksana bila diberi tanda dengan merenungkan perjalanannya. Itulah sebabnya pada 10-11 Oktober 2020 lalu, para pengurus Komkep Surabaya memilih meluangkan waktu untuk berjumpa dan merenungkan bersama

perjalanan pastoral di Komkep selama tiga tahun tersebut. Bertempat di Resi Aloysii 1, Claket, Pacet, Mojokerto. Kami sekitar 16 orang yang berjumpa langsung dan 6 orang yang berjumpa melalui daring, memilih untuk merenungkan perjalanan tersebut.

Beberapa pengurus memilih berangkat bersama dari Jl. Mojopahit 17 tepat pukul 14.00. Namun karena cuaca yang buruk menyebabkan lalu lintas sedikit padat, maka kami baru tiba di Resi Aloysii pada pukul 16.45. Tepat pukul 17.00 beberapa dari pengurus Komkep Surabaya yang menghelat kelas daring OMK Academy berpisah sejenak untuk melaksanakan kelas pertemuan kedua yang dimulai pukul 17.00 dan berakhir pada 19.00. Sedangkan pengurus yang lain menghelat Doa Rosario bersama lewat daring pada pukul 18.00.

Serampungnya kelas daring

OMK Academy dan Doa Rosario daring

tersebut, kami menikmati makan malam bersama. Tepat pada pukul 20.00 barulah kami memulai rekoleksi pengurus Komkep Surabaya. Romo Aloysius Widya Yanuar Nugraha (Romo Luis) selaku Ketua Komkep Surabaya membuka dengan menyampaikan maksud dari judul rekoleksi ini “Menghapus Jejak?!”. Romo Luis mengajak kita untuk benar-benar merenungkan apakah kita benar-benar hendak menghapus jejak perjalanan kita atau hendak meneruskan jejak perjalanan itu, meskipun memang bukan dengan pelayanan di Komkep Surabaya.

Kemudian dipandu Margaretha Brigita, pengurus Komkep Surabaya, peserta rekoleksi diajak untuk menyelami pengalaman berjumpa

dengan sesama pengurus, menemukan cerminan diri dari perjumpaan dengan masing-masing individu di Komkep Surabaya, serta menemukan kira-kira apa yang jadi kehendak Tuhan atas perjumpaan itu. Proses ini diberi tajuk “Mencari Jejak”. Malam itu benar-benar menjadi proses berjumpa dengan diri dan individu-individu di Komkep Surabaya. Proses ini berlangsung dari pukul 20.00 sampai dengan 22.00.

Selepas proses “Mencari Jejak” kami menikmati malam di Claket yang dihembus angin kencang itu dengan hidangan bakso hangat dan jagung bakar. Obrolan santai pun menemani angin kencang Claket malam itu, beberapa dari kami pun berbincang mengenai nilai-nilai yang dipelajari selama aktif di Komkep yang kemudian relevan dengan kehidupannya di dunia kerja. Malam pun kami tutup dengan berbagi cerita dan saling menginspirasi.

Esok pagi pukul 07.00, sesuai arahan dari Margaretha Brigita, kami masing-masing berpasangan untuk kemudian memilih tempat untuk merenung, mengamati alam sekitar entah dengan memandang, menghirup atau mendengar. Ada pun setelah proses mengamati alam sekitar tersebut, kami diajak untuk saling bertanya tentang hal-hal yang paling kami takuti, paling kami hindari dan hal yang tidak ingin kami lepaskan. Proses tersebut diberi judul “Mengusut Jejak”. Dalam proses tersebut kami diajak untuk merasakan betul karunia Tuhan melalui alam semesta, mengamati yang mungkin selama ini luput dari pengamatan kami dan diajak untuk berani bertanya lebih dalam kepada diri sendiri.

Selepas proses “Mengusut Jejak” kami bersih diri dan menikmati sarapan. Tandas sarapan di piring kami masing-masing, kami melanjutkan proses berikutnya yang bertajuk “Menghapus Jejak?!” Di proses ini, kami diajak untuk berjumpa dengan Tuhan yang ada di dalam diri kami masing-masing, yang dalam bahasa Jawa disebut ‘Ingsun’, untuk kemudian kami bercengkerama dengan Tuhan yang ada dalam diri kami masing-masing. Dalam dialog antara kami masing-masing dengan Tuhan tersebut, kami diajak untuk menemukan satu pengalaman selama berkarya di Komkep Surabaya yang hendak kami jadikan bekal masing-masing dalam hidup kami, menemukan jejak langkah selama di Komkep Surabaya yang paling membekas. Setelah menemukan jejak langkah tersebut, kami diajak untuk menentukan jejak langkah apa yang hendak kami ukir di kehidupan kami masing-masing setelah itu.

Usai menjalankan proses “Menghapus Jejak?!”, kami menutup rangkaian Rekoleksi Komkep tersebut dengan perayaan Ekaristi di kapel Resi Aloysii. Kemudian bersiap pulang ke Surabaya.

Begitulah upaya kami, pengurus Komkep Surabaya periode 2017-2020 untuk merenungkan dan menandai proses perjalanan hidup kami selama berkarya di Komisi Kepemudaan Keuskupan Surabaya. Semoga pelayanan ini senantiasa berkenan di hati Tuhan. Amin

“Sekali lagi soal solidaritas!” Itulah kata yang sering diulang oleh para pemimpin, tokoh moral, pendidik dan para agamawan. Itu pula yang selama berbulan-bulan terakhir terus disuarakan oleh para pemikir ketika merefleksikan situasi pandemi.

Solidaritas sebagai kesukarelaan untuk menanggung beban hidup dalam kebersamaan, konon merupakan kunci agar kita dapat melalui masa suram akibat pandemi. Yang menarik, kebersamaan di masa pandemi harus dilakukan secara berbeda: kita harus saling membantu, tapi tidak dilakukan bersama dalam arti menempati ruang yang sama. Jarak harus dijaga. Protokol kesehatan sangat ketat berbicara tentang manajemen ruang. Bila mengingat aspek ruang, solidaritas dalam arti umumnya dapat kita maknai sebagai hidup dalam ruang yang sama, menghirup udara yang sama, sama sehat atau sama tercemarnya. Akan tetapi, adakah solidaritas yang bertujuan akhir menderita dan bahkan mati bersama? Bukankah solidaritas dijalani justru untuk mencapai keselamatan bersama?

Berhadapan dengan situasi minimnya sekat antar negara, siapapun bisa memulai wabah bagi siapa saja. Oleh karena itu, kritik Sekretaris Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus terhadap pemimpin negara yang ingin mendistribusikan vaksin hanya di negaranya sendiri menjadi relevan. Berhadapan dengan wabah, “kita harus pulih bersama”. Untuk itu, solidaritas adalah salah satu obat paling mujarab untuk sekurang-kurangnya bertahan hidup lebih lama di masa pandemi.

Untara Simon, SS., M.Hum

Dosen Fakultas Filsafat

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kolom

Filsafat

Dalam dokumen JUBILEUM NOVEMBER 2020 (Halaman 44-47)