• Tidak ada hasil yang ditemukan

REINTERPRETASI SOLIDARITAS

Dalam dokumen JUBILEUM NOVEMBER 2020 (Halaman 47-51)

Solidaritas dan berbagai gerakannya bukanlah hal baru. Bahkan jauh sebelum pergumulan gagasan para teolog Kristen tentang solidaritas teologis sebagaimana nampak dalam kajian-kajian Kristologi yang merefleksikan inkarnasi sebagai bentuk solidaritas Yang Ilahi, tradisi Romawi telah mengenal kewajiban bernama obligatio in solidum (Kurt Bayertz, 1999). Dalam tradisi keluarga besar, utang (obligatio) salah satu anggota keluarga harus juga ditanggung oleh seluruh anggota keluarga. Dengan demikian, bila si pengutang tidak mau membayar, yang akan dihukum karena dia lari dari tanggung jawab itu adalah keluarganya, tempat ia ‘diikat’ dalam ikatan moral-emosional. Apa salah anggota keluarganya? Tidak ada kesalahan melekat pada mereka tapi bahwa mereka terikat secara moral-emosional satu sama lain, siapapun harus juga mau menanggung beban sesama anggota keluarganya. Karena itulah, hukuman terhadap satu orang harus ditanggung bersama. Tradisi ini pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan tradisi nusantara yang kental dengan nuansa kegotongroyongan. Secara satir sering disebut: jika orang tidak mau hadir dalam kerja bersama ini, barangkali, nanti saat meninggal dunia, dia juga menggali kubur dan berjalan sendiri di liang lahat; tidak butuh tetangganya. Bentuknya berbeda, tapi prinsipnya sama, ikatan hidup bersama mengharuskan kita menanggung beban yang kurang lebih sama.

Dalam tradisi yang lebih baru pasca revolusi industri di Eropa, nuansa untuk menanggung beban secara bersama nampak dalam gerakan kebersamaan para buruh. Buruh pada masa revolusi industri adalah orang-orang yang mengandalkan otot dan tenaga mereka untuk “dijual” pada pemilik modal (terutama tuan tanah dan pemilik pabrik industri). Para buruh tidak memiliki modal untuk menyediakan bahan baku dan tidak memiliki peralatan untuk mengubah bahan mentah menjadi komoditas (barang produksi). Hasil kerja mereka pun tidak mereka miliki sebab mereka hanya bekerja pada pemilik modal yang memiliki semuanya, termasuk tenaga mereka yang dibeli senilai upah yang disepakati. Sadar bahwa jumlah mereka banyak, para buruh paham bahwa selain tenaga yang telah mereka jual, jumlah dan ikatan persaudaraan atas dasar kesamaan nasib dan beban hidup yang berat merupakan modal yang bisa mengubah takdir mereka. Dari sana muncul kesukarelaan untuk membela satu sama lain sebab tanpa sikap itu, jumlah mereka yang banyak menjadi tidak berarti di hadapan pemilik modal yang jumlahnya sedikit namun sedemikian berkuasa atas mereka. Muncullah berbagai bentuk baru dari upaya menanggung beban bersama. Dalam kebersamaan, mereka mampu meningkatkan daya tawar mereka di hadapan pemilik modal, sehingga mulailah terbentuk berbagai kesepakatan baru yang mengupayakan perbaikan nasib buruh. Hingga kini, kisah-kisah perjuangan para buruh industri untuk mengupayakan perbaikan nasib terus berkembang di seluruh dunia dengan cara yang berbeda-beda namun dengan tujuan yang kurang lebih sama. Wujudnya adalah daya tawar yang cukup kuat di tempat-tempat kerja yang ikatan solidaritas pekerjanya tinggi dan gerakannya tersistematisasi.

Secara politik, solidaritas terwujud dalam sikap penuh kesukarelaan untuk menanggung beban bersama menjadi energi bagi mobilisasi massa. Khususnya pada masa demokrasi ini, semakin nampak bahwa solidaritas pada dasarnya tidak

pernah lepas dari ciri politis masyarakat demokratis. Atas nama perbaikan situasi masyarakat, solidaritas disuarakan untuk menggalang massa dan memenangkan pertarungan kekuasaan. Di sini, analisis-analisis tentang kesamaan nasib bisa dibuat sedemikian rupa agar solidaritas dan berbagai jargonnya bisa efektif menggalang massa di saat pilkada, pilpres atau momen-momen demokrasi lainnya. Bahkan hal ini bisa juga terjadi saat pandemi ketika pandemi melulu dilihat sebagai momen politik praktis demi perebutan pengaruh dan kekuasaan publik.

Tapi betulkah ide solidaritas yang berujung kebersamaan aktivitas itu harus dimaknai sebagai pergerakan dalam kebersamaan? Pandemi ini memaksa kita untuk merenungkan lagi makna solidaritas. Suka atau tidak, masa pandemi ini adalah masa ketika kita tidak bisa percaya pada siapapun di sekitar kita, sebab siapapun dalam kondisi apapun bisa menjadi pembawa petaka dalam kehidupan kita. Zizek, seorang filsuf Eropa Timur, menyebut bahwa “tiap orang harus dilindungi, tapi mereka tidak boleh dipercaya” (2020). Bila kita mau selamat, kita sendiri bahkan tidak boleh percaya pada bagian-bagian tubuh kita sebab sangat mungkin tiap sentuhan terhadap tubuh kita akan membawa petaka bagi kesehatan dan keselamatan kita. Maka makna solidaritas yang berujung pada kebersamaan yang saling percaya satu sama lain harus ditafsir ulang. Kita boleh percaya apa yang dikatakan orang terdekat kita tentang kondisi kesehatannya, tapi boleh pula kita meragukan kompetensinya untuk menilai kesehatannya sendiri. Sehingga protokol kesehatan harus tetap dijalankan dan jarak tetap harus dijaga. Menariknya ini juga dilakukan atas nama solidaritas agar tidak ada kluster penularan baru di sekitar kita. Atas nama solidaritas, kita bisa melakukan apapun bersama tapi tidak untuk berbagi ruang fisik yang sama. Sekurang-kurangnya, keringat kita, air liur kita dan berbagai zat penular penyakit yang mungkin muncul dari tubuh kita tidak boleh

terakses orang-orang di sekitar kita. Ini adalah egoisme spasial yang ternyata harus dijalani agar selamat bersama. Dalam pemikiran ini, hadir sebuah paradoks: orang yang nampaknya egois justru bisa berbagi keselamatan pada orang lain yang ada di sekitarnya. Di masa pandemi, pola pikir ini mendominasi gagasan tentang solidaritas. Solidaritas harus diwujudkan dengan menjaga jarak sosial, menjaga kesehatan pribadi dan sebisa mungkin tetap tinggal di rumah saja. Dengan memikirkan keselamatan diri, kita menjaga keselamatan sesama.

Persoalannya, sepanjang sejarah, gagasan tentang solidaritas selalu memperoleh energi dari ikatan moral, sosial dan emosional dari para pelakunya. Sejauh ini, ikatan tersebut dapat terwujud dan dapat menjadi semakin kuat bila didukung oleh kebersamaan yang melibatkan sentuhan fisik dan berbagai tanda kehadiran lainnya. Dari sanalah solidaritas semakin mampu memberi dorongan untuk terlibat dalam hidup orang lain dan dengan demikian solidaritas itu sendiri semakin bertambah kuat. Oleh karena itu, meski pandemi mampu memaksa kita mengubah tafsir atas solidaritas demi keselamatan bersama, penting bagi kita untuk selalu memperhitungkan bahwa akan ada yang hilang dalam kehidupan bersama, yaitu tanda-tanda kehadiran, rasa senasib-sepenanggungan dan berbagai elemen pendorong keterlibatan dalam hidup bersama. Bagaimanapun secara hakiki, orang-orang di sekitar kita memerlukan tanda bahwa kita masih bersama mereka sebagai sesama yang baik hati meski dengan cara yang terbatas dan berbeda intensitasnya daripada perjumpaan fisik biasa. Di sini, dunia virtual hanyalah salah satu varian caranya. Lebih dari itu, upaya yang lebih kreatif untuk membuat kehadiran kita dirasakan oleh orang-orang yang ada di sekitar kita perlu terus diupayakan. Jangan sampai paradoks dalam solidaritas di masa pandemi ini berubah menjadi ironi: demi keselamatan bersama, kita benar-benar kehilangan persaudaraan dan rasa kebersamaan dengan orang-orang di sekitar kita.

Serba

Serbi

Dalam dokumen JUBILEUM NOVEMBER 2020 (Halaman 47-51)