• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.2. Remaja

Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere

yang artinya tumbuh ke arah kematangan. Kematangan di sini tidak hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis.

Masa remaja dianggap sebagai topan-badai dan stres (storm and stress), karena mereka telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Kalau terarah dengan baik, maka ia akan menjadi seorang individu yang memiliki rasa tanggung jawab. Tetapi kalau tidak terbimbing, maka bisa menjadi seorang yang tak memiliki masa depan dengan baik.

Jadi, remaja (adolescence) adalah masa transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial. Secara kronologis yang tergolong remaja ini berkisar antara usia 11 – 20 tahun (Aaro, 1997 : 65). Untuk menjadi orang dewasa, maka remaja akan melalui masa krisis di mana remaja berusaha untuk mencari identitas diri (search for self-identity).

Masa remaja merupakan suatu masa di mana individu berjuang untuk tumbuh dan menjadi “sesuatu”, menggali serta memahami arti dan makna dari segala sesuatu yang ada (Sulaeman, 1995 : 2). Pada fase remaja banyak terjadi

perubahan dalam diri seseorang, di mana terjadi proses pencarian identitas. Dalam proses ini remaja bersifat aktif dan mempuyai rasa keingintahuan yang besar serta mempunyai kecenderungan untuk meniru hal-hal yang dianggapnya dapat menjadi identitas diri mereka, misalnya meniru dandanan idola mereka (Haditono, 2001 : 262). Pada masa tersebut status remaja menimbulkan dilema yang menyebabkan krisis identitas. Sehingga pada masa pencarian identitas ini remaja membutuhkan informasi dan bimbingan dalam pencapaian identitas, serta wadah untuk mengekspresikan diri mereka. Selain itu, usia remaja adalah usia di mana mereka menempuh pendidikan tingkat pertama, menengah, dan tinggi, yaitu SMP, SMA/SMK, dan perguruan tinggi. Di mana jenjang pendidikan juga mencoba untuk membentuk nilai-nilai yang sesuai dengan nilai-nilai dewasa, dan juga menekankan perkembangan keterampilan intelektual dan konsep yang penting bagi kecakapan sosial.

Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa ciri-ciri yang terjadi selama masa remaja :

1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan

tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.

2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.

3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.

4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.

5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.

Menurut Elkind, seorang psikolog Amerika Serikat (dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 1998) ada beberapa aspek pemikiran yang dialami remaja, yakni : 1. Remaja dituntut untuk bersikap mandiri dalam tindakannya di masyarakat

Kalau ada sesuatu yang mengganjal/menjadi pertanyaan, diharapkan langsung ditanyakan pada yang bersangkutan secara bertanggung jawab. Demikian pula dalam melakukan sesuatu, ia harus mengerjakan dengan kemampuan diri sendiri, tanpa harus merepotkan urusan orang lain.

2. Remaja bersikap kritis

Remaja biasanya tidak langsung menerima suatu informasi secara mentah-mentah. Ia akan mengkritisi terlebih dahulu nilai kebenaran, validasi maupun reliabilitasnya.

3. Remaja sering mengajukan argumentasi (argumentativeness)

Biasanya ketika remaja memiliki suatu pendapat, ide, dugaan, atau pemikiran yang diyakini kebenarannya, maka remaja seringkali mengajukan alasan-alasan yang melatarbelakangi pemikiran tersebut.

4. Remaja bersikap ragu-ragu dalam bertindak (indivieveness)

Walaupun kemampuan intelektual mulai berkembang dengan baik, namun seorang remaja seringkali masih dihinggapi oleh perasaan ragu-ragu, terutama dalam pengambilan suatu keputusan.

5. Remaja sering bersikap munafik (hypocrisy)

Remaja seringkali bersikap munafik. Ia tidak menyadari perbedaan antara kenyataan hidup dengan keinginan-keinginan yang bersifat ideal. Jadi antara sikap, ucapan, dan tindakan tidak sama atau tidak konsisten.

6. Remaja memiliki kesadaran diri (self-counsciousness)

Seiring dengan pertambahan usianya, remaja mulai menyadari bahwa orang lain pun juga memiliki pemikiran, perasaan, kehendak sendiri. Sehingga ketika ia akan melakukan suatu tindakan atau mengambil suatu keputusan, ia akan memikirkan akibat-akibat yang dirasakan oleh orang lain maupun dirinya sendiri.

7. Remaja menganggap dirinya kebal terhadap segala sesuatu (assumption of invulnerability)

Hal yang kadang masih menjadi sifat egois pada diri remaja ialah adanya anggapan kalau dirinya mempunyai kekebalan terhadap hal-hal yang bersifat negatif dan cenderung merugikan. Bahwa segala peristiwa, kejadian, atau pengalaman buruk boleh terjadi pada diri orang lain, tetapi hal itu tidak mungkin terjadi pada dirinya.

Dalam kaitannya dengan pola pemikiran remaja yang dikemukakan oleh Elkind, maka Santrock (1999) mengemukakan ciri pemikiran remaja masih bersifat egosentris. Keegoisan remaja Nampak bahwa mereka menganggap dirinya sebagai individu yang unik dan berbeda dengan orang lain. Mereka memiliki gaya hidup, sikap, minat, dan perilaku yang tidak ada duanya dengan orang lain. Bahkan tidak ada orang lain yang mampu menyamainya. Keunikan ini justru menumbuhkan perasaan bangga. Apalagi bila diperhatikan oleh orang lain, sehingga membuat remaja semakin merasa berharga di mata orang lain.

Tanda keegoisan pemikiran remaja ada dua macam, yakni imaginary audience dan a personal fable. Imaginary audience yakni keyakinan diri remaja bahwa semua orang lain memperhatikan dirinya. Sedangkan a personal fable

yakni anggapan diri remaja bahwa mereka adalah memiliki pribadi yang unik, yang berbeda dengan orang lain.

Keuntungan dari a personal fable adalah member dorongan remaja untuk menunjukkan prestasi terbaik di mata masyarakat umum. Misalnya, membuat karya penelitian ilmiah remaja, ikut dalam kegiatan palang merah remaja, membuat karya sastra, dan sebagainya. Bila tidak tercapai harapan tersebut, justru akan membuat remaja hidup dalam dunia khayalan yang tidak sesuai dengan realitas, akibatnya membuat kurang sehat, mentalnya. (Dariyo, 2004 : 60 – 61)

Tugas-tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Dariyo, 2004), antara lain :

1. Menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis-psikologis 2. Belajar bersosialisasi sebagai seorang laki-laki maupun wanita

3. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua dan orang dewasa lain 4. Remaja bertugas untuk menjadi warga Negara yang bertanggung jawab

5. Memperoleh kemandirian dan kepastian secara ekonomis

Setiap individu pada dasarnya dihadapkan pada suatu krisis. Krisis itulah yang menjadi tugas bagi seseorang untuk dapat dilaluinya dengan baik. Pada diri remaja yang mengalami krisis, menurut Erik Erikson (Hall, Lindzey, dan Champbell, 1998), berarti menunjukkan bahwa dirinya sedang berusaha mencari jati dirinya.

Yang dimaksud dengan krisis (crisis) ialah suatu masalah yang berkaitan dengan tugas perkembangan yang harus dilalui oleh setiap individu, termasuk remaja. Keberhasilan menghadapi krisis akan meningkatkan dan mengembangkan kepercayaan dirinya, berarti mampu mewujudkan jati dirinya (self-identity) sehingga ia merasa siap untuk menghadapi tugas perkembangan berikutnya

dengan baik, dan sebaliknya, individu yang gagal dalam menghadapi suatu krisis cenderung akan memiliki kebingungan identitas (identity diffussion). Orang yang memiliki kebingungan ini ditandai dengan adanya perasaan tidak mampu, tidak berdaya, penurunan harga diri, tidak percaya diri, akibatnya ia pesimis menghadapi masa depannya.

Ciri-ciri individu yang memiliki identitas diri yakni individu tersebut memiliki karakteristik seperti :

1. Konsep diri (self-concept) 2. Evaluasi diri (self-evaluation) 3. Harga diri (self-esteem) 4. Efikasi-diri (self-efficacy) 5. Percaya diri (self-confidence) 6. Tanggung jawab (responsibility) 7. Komitmen Pribadi (commitment) 8. Ketekunan (endurance)

9. Kemandirian (independence)

Dokumen terkait