• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adaptasi terhadap kadar garam (salinitas) merupakan salah satu faktor pembatas terhadap pertumbuhan ekosistem mangrove. Supriharyono, (2000) mengatakan walaupun tumbuhan mangrove dapat berkembang pada kondisi lingkungan yang buruk, akan tetapi setiap tumbuhan mangrove mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mempertahankan diri terhadap kondisi lingkungan fisika-kimia di lingkungannya salah satunya berupa salinitas tanah. Tinggi dan waktu penggenangan air pasang yang cukup lama akan sangat menentukan salinitas tanah, yang mana selanjutnya salinitas ini akan menentukan kehidupan jenis tumbuhan mangrove.

Mangrove sangat rentan terhadap kadar garam yang rendah dan tinggi. Untuk mensiasati setiap kondisi ekstrim yang terjadi mangrove memiliki pola adaptasi khusus, salah satunya yakni mangrove memiliki sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam. Dengan kata lain pola adaptasi terhadap kadar garam tinggi dilakukan dengan bentuk daun yang tebal dan kuat yang banyak mengandung air untuk mengatur keseimbangan garam. Selain itu daunnya juga memiliki struktur stomata khusus untuk mengurangi terjadinya penguapan. Penguapan yang tinggi akan menyebabkan berkurangnya kandungan air pada daun, sehingga salinitas yang tinggi akan berdampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan mangrove. Sementara itu, mangrove juga rentang terhadap kondisi kadar garam yang rendah. Mangrove membutuhkan

garam untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Hasil pengukuran kualitas air genangan Desa Binalatung, disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16 Kualitas Air Genangan di Daerah Sekitar Mangrove Desa Binalatung Pengamatan

No Keterangan

Stasiun 1 Stasiun II Stasiun III

1. pH 6,34 6,27 6,04

2. Suhu (OC) 33,2 32,4 32,5

3. Salinitas (ppm) 5,3 3,7 1,8

4. Oksigen (mg/lt) 4,19 3,6 3,9

Sumber : Data Pengukuran,Juli 2007

Berdasarkan hasil pengukuran pada tiga stasiun diperoleh kandungan kadar garam bervariasi antara 1,8-5,3 ppm. Nilai kadar garam tersebut terbilang rendah dan tergolong genangan air tawar. Kandungan kadar garam yang rendah tersebut disebabkan oleh limpahan air hujan dan aktivitas di sepanjang daerah aliran sungai yang tinggi, serta akibat terjadinya sedimentasi daerah muara yang menyebabkan suplai air laut tidak bisa masuk ke dalam badan sungai, sehingga perairan kemudian didominasi oleh suplai air tawar yang sangat tinggi. Tidak adanya suplai air laut akibat terhalangnya muara sungai, menyebabkan kadar perairan menjadi tawar dan minim akan kandungan garam. Kondisi ini menyebabkan mangrove secara perlahan-lahan mengalami dehidrasi kandungan garam yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga lambat laun, mangrove menjadi mati. Pengamatan yang dilakukan secara visual menunjukkan bahwa vegetasi nipah (Nypa fruticans) mendominasi kawasan genangan air tersebut. Jenis vegetasi nipah juga merupakan salah satu indikator perairan dengan kadar salinitas rendah dan tergolong rendah.

Menurut de Hann (1931) dalam Kusmana (2005) bahwa penyebaran jenis- jenis vegetasi mangrove berdasarkan salinitas dan genangan air laut terdiri atas: 1) zona air payau hingga air laut dengan salinitas berkisar antara 10-30 ppm dengan frekuensi penggenangan (a) 1-2 kali/hari genangan pasang dengan dominan jenis

pohon Avicennia spp dan Sonneratia spp, (b) 10-19 hr/bulan genangan pasang

dengan dominan jenis pohon Rhizophora spp dan Bruguiera spp, (c) 9 hari/bulan genangan pasang dengan dominan jenis pohon Xylocarpus spp dan Heritiera spp, (d) beberapa hari/bulan genangan pasang dengan dominan jenis pohon Lumnitzera

spp, Bruguiera spp dan Scyphyphora spp; dan 2) zona air tawar hingga air payau, dimana salinitas berkisar antara 0-10 ppm dengan jenis ‘marginal’ halophyla, Nypa fruticans dan Oncosperma, Cerbera.

Potensi Hutan dan Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove

Potensi Hutan Mangrove

Berdasarkan hasil pengamatan serta pengukuran di lapangan diperoleh data luas hutan mangrove sekitar 5,123 ha dengan jenis vegetasi api-api (Avicennia spp) dan jenis prepat (Sonneratia spp). Potensi keberadaan vegetasi hutan mangrove penyusun pesisir Desa Binalatung terdiri atas: jumlah individu pohon, diameter batang pohon setinggi dada dan tipe substrat (Tabel 17).

Tabel 17 Jumlah Individu, Diameter Batang dan Tipe Substrat Pohon (Diameter > 4cm) Avicennia sp Sonneratia sp No. Transek Ind db (cm) Ind db (cm) ∑ Total Ind/transek (L= 900m2) Tipe substrat 1 32 9,8 27 10,0 59 Pasir Berlumpur 2 19 10,0 22 9,5 41 Pasir Berlumpur 3 24 9,0 22 9,4 46 Pasir Berlumpur ∑ Total Ind/Jenis 75 - 71 - 146 -

Sumber: Data Olah, 2005

Tabel 17 menujukkan jenis dominan yang terdapat di kawasan pesisir utara Desa Binalatung yakni jenis Api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp). Berdasarkan hasil identifikasi diperoleh bahwa jumlah tegakan individu per jenis yaitu 19-32 pohon untuk jenis Api-api (Avicennia spp) dan 22-27 pohon

untuk jenis (Sonneratia spp). Dalam artian bahwa dalam ukuran transek 900 m2,

maka dijumpai rata-rata 25 pohon untuk jenis api-api dan 24 pohon untuk jenis prepat. Sementara ukuran diameter batang dari kedua jenis mangrove tersebut berkisar antara 9,4-10,0 cm. Ukuran ini menunjukkan ukuran pohon yakni >4 cm (Bengen, 2004). Vegetasi hutan mangrove Desa Binalatung yang didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), memungkinkan terjadi karena didasarkan pada jenis substrat yakni pasir berlumpur. Pada substrat jenis ini sering ditumbuhi oleh kedua jenis mangrove tersebut. Pada substrat berpasir sering ditumbuhi oleh Avicennia spp dan umumnya berhadapan dengan laut,

sehingga jenis ini dikenal pula sebagai vegetasi pioner, sementara pada substrat yang agak berlumpur dijumpai jenis Sonneratia spp, dimana pada substrat ini kaya akan bahan organik.

Selanjutnya dari hasil tersebut diperoleh pula nilai kerapatan relatif jenis (RDi) api-api (Avicennia spp) sebesar 51,37% dan prepat (Sonneratia spp) sebesar 48,63%, nilai frekuensi relati jenis (RFi) api-api (Avicennia spp) sebesar 50% dan prepat (Sonneratia spp) sebesar 50%, nilai penutupan relatif jenis (RCi) api-api (Avicennia spp) sebesar 49,86% dan prepat (Sonneratia spp) sebesar 50,14%. Secara rinci nilai komponen-komponen tersebut dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Nilai Kerapatan Relatif Jenis (RDi), Frekuensi Relatif Jenis (RFi),

Penutupan Relatif Jenis (RCi), dan Indeks Nilai Penting (IV)

Jenis Di RDi Fi RFi Ci RCi IV

Api-api (Avicennia sp) 0,0833 51,37 1,00 50 2,39 49,86 151,23

Prepat (Sonneratia sp) 0,0789 48,63 1,00 50 2,40 50,14 148,77

Sumber: Data Olah, 2006

Nilai kerapatan relatif jenis Avicennia spp yaitu 51,37%, lebih besar bila dibanding dengan jenis Sonneratia spp yaitu 48,63%. Nilai ini menunjukkan tingkat kerapatan relatif dari masing-masing jenis dalam vegetasi. Besarnya nilai

kerapatan relatif jenis dari api-api (Avicennia spp) disebabkan karena jenis ini

lebih mampu untuk beradaptasi bila dibanding dengan jenis Sonneratia spp ataupun yang lainnya. Kondisi ini, memungkinkan disebabkan tipe substrat yakni pasir berlumpur, serta topografi pantai yang terbuka (berhadapan langsung dengan laut bebas), dimana pengaruh oseanograpi sangat besar, seperti pasang surut, gelombang dan arus pantai. Sementara nilai frekuensi dari kedua jenis mangrove yakni 50%. Nilai ini menujukkan bahwa kedua jenis memiliki frekuensi kemunculan yang sama, atau dapat dijumpai dengan peluang yang sama besar.

Berdasarkan nilai penutupan relatif jenis (RCi) untuk kedua jenis mangrove api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), diperoleh bahwa ekosistem mangrove Desa Binalatung tergolong rusak. Tingkat penutupan relatif jenis yang sekitar 49,86%-50,14%, nilai ini merupakan salah satu indikator rusaknya ekosistem mangrove tersebut. Kondisi ini, disebabkan oleh besarnya tekanan dari aktivitas manusia di daerah hulu (upland) seperti penebangan hutan

lindung, penambangan pasir darat di sepanjang belantaran sungai, aktivitas pembangunan, konversi lahan pemukiman, pembukaan lahan tambak tradisional, serta limbah buangan rumah tangga atau industri. Aktivitas-aktivitas tersebut mengakibatkan semakin besarnya tekanan terhadap ekosistem mangrove sehingga sebagai ekosistem yang memiliki kemampuan sebagai filter terhadap lingkungan dinamisnya sendiri tidak dapat dioptimalkan lagi.

Indeks nilai penting memiliki kisaran nilai antara 0-300, indeks ini menunjukkan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan (vegetasi) dalam komunitas. Semakin tinggi INP suatu jenis vegetasi maka peranannya dalam komunitas semakin baik. Secara grafis indeks nilai penting dari kedua jenis mangrove terlihat pada Gambar 27.

151.23 148.77

1

Indeks Nilai Penting

Sonneratia spp Avicennia spp

Gambar 27 Indeks Nilai Penting Ekosistem Mangrove Desa Binalatung Berdasarkan Gambar 27 terlihat bahwa indeks nilai penting dari jenis api- api (Avicennia spp) lebih besar dibanding dengan jenis prepat (Sonneratia spp). Indeks nilai penting untuk jenis api-api (Avicennia spp) yaitu 151,23 dan jenis prepat (Sonneratia spp) yaitu 148,77. Nilai ini menunjukkan bahwa peranan atau pengaruh dari jenis Api-api (Avicennia spp), lebih baik bila dibanding dengan jenis prepat (Sonneratia spp). Meskipun sesungguhnya nilai tersebut tidak terlalu jauh berbeda. Hal ini dapat terlihat dengan nilai-nilai yang diperoleh seperti nilai kerapatan relatif jenis, nilai penutupan relatif jenis dan nilai frekuensi relatif jenis yang kesemuanya tidak terlalu berbeda.

Nilai Manfaat Ekonomi Ekosistem

Nilai ekonomi ekosistem mangrove dalam penelitian ini, terdiri dari nilai manfaat langsung (ML), nilai manfaat tidak langsung (MTL), manfaat pilihan (MP) dan manfaat keberadaan (MK). Identifikasi nilai manfaat dan pendekatan nilai valuasi dari keberadaan ekosistem mangrove Desa Binalatung dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Identifikasi Nilai Manfaat Ekosistem Mangrove Desa Binalatung

No Kategori

Manfaat Pemanfaatan Pendekatan Nilai Valuasi

Perikanan Kepiting Actual Price (market price)

1

Manfaat Langsung

Daun Nipah Opportunity Cost

Panahan Abrasi (Break Water 6,5 km)

Biaya pengganti (Replacement Cost) Penyedia Sumberdaya

Perikanan (Naamin dan Martosubroto, 1984)

Benefit transfer

Bibit Mangrove Biaya Reboisasi MCRMP

2 Manfaat Tidak Langsung

Kayu Mangrove Actual Price (market price)

3 Manfaat Pilihan Nilai Biodeversity

(Ruitenbeek, 1991)

Benefit transfer 4 Manfaat

Keberadaan

Dampak Abrasi Willingness to Pay

Sumber : Data primer, 2006

Manfaat Langsung (ML)

Manfaat langsung dari ekosistem mangrove Desa Binalatung yang diperoleh berupa pemanfaatan hasil hutan (daun nipah) dan pemanfaatan sumberdaya perikanan (kepiting). Pemanfaatan hasil hutan berupa daun nipah untuk atap, sedang pemanfaatan sumberdaya perikanan berupa kegiatan penangkapan kepiting.

a. Manfaat Kepiting

Penangkapan kepiting oleh masyarakat setempat umumnya menggunakan alat tangkap berupa jaring/perangkap (ambau). Perangkap ini sifatnya pasif yang dioperasikan pada saat air surut dengan cara meletakkannya di dekat akar-akar mangrove lalu diikat dan di beri umpan berupa insang ikan. Hal tersebut dilakukan dengan harapan target tangkapan (kepiting) dengan cepat dan mudah tertangkap. Selama ini kepiting merupakan hasil tangkapan sampingan oleh nelayan dan dimanfaatkan hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah

tangga nelayan itu sendiri. Hasil wawancara menyebutkan bahwa jika hasil tangkapan didistribusikan keluar dari Desa Binalatung maka akan membutuhkan biaya transportasi yang cukup mahal karena keterbatasan prasarana jalan yang menghubungkan desa dengan pasar-pasar tradisional Kota Tarakan masih dalam kondisi perbaikan. Hingga saat ini sarana transportasi yang dapat digunakan warga desa untuk pergi ke Kota Tarakan ialah kendaraan roda dua (motor).

Selanjutnya dalam melakukan pendekatan untuk mengestimasi nilai manfaat langsung dari ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan hasil tangkapan perikanan berupa kepiting. Pendekatan ini menggunakan harga pasar- pasar tradisional (market price). Pada saat penelitian harga jual kepiting sebesar Rp.8.000 per kg. Rata-rata nilai manfaat langsung yang diperoleh dari komoditas perikanan berupa kepiting per hektar berjumlah Rp.2.621.901 per tahun dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.102.460 per tahun. (Lampiran 4)

b. Manfaat Daun Nipah

Daun nipah dimanfaatkan warga sebagai bahan atap togo (alat penangkap ikan) selain bahan bakunya mudah diperoleh juga lebih ekonomis karena daya tahannya bisa mencapai dua hingga tiga tahun pemakaian jika dibandingkan dengan atap yang terbuat dari bahan baku lainnya seperti seng atau genteng.

Pemanfaatan daun-daun yang telah diolah ini tidak untuk memenuhi kebutuhan pasar tradisional melainkan digunakan untuk kebutuhan sendiri. Hal ini terjadi karena tidak ada permintaan pasar Kota Tarakan. Selanjutnya dalam pemanfaatannya warga biasa melakukannya secara berkelompok 2 hingga 3 orang dengan menggunakan alat mandau (parang) dan tali. Frekuensi rata-rata pengumpulan daun nipah untuk setiap rumah tangga adalah 2,4 kali per bulan atau 28 kali dalam setahun. Setiap trip keberangkatan warga membutuhkan waktu sekitar 4 jam (pukul 06.00 s/d pukul 09.00) sampai tiba kembali di rumah karena jarak yang ditempuh sekitar 1km dari pemukiman warga desa. Dalam pemanfatannya warga tidak memerlukan biaya operasional karena lokasi pengambilan yang dekat membuat tidak adanya biaya bahan bakar. Karena tidak ditemukan adanya biaya secara langsung yang digunakan dalam mengestimasi kegiatan ini maka pendugaan nilai manfaat daun nipah adalah pendekatan biaya oppurtunitas (frekuensi hari pengumpulan). Kusumastanto (2000) menyatakan

bahwa biaya oppurtunitas adalah hasil atau keuntungan yang diperoleh dari alternatif investasi yang diabaikan. Selanjutnya dikatakan juga bahwa metode ini dapat dipakai untuk menghitung nilai ekonomi suatu proyek pemanfaatan lahan pesisir yang tidak dapat diukur dengan menggunakan nilai pasar.

Untuk itu metode ini di gunakan untuk memperoleh manfaat langsung dari kegiatan memanfaatkan daun nipah dengan asumsi bahwa frekuensi pengumpulan (hari) merupakan biaya investasi yang diabaikan. Kemudian frekunsi hari pengumpulan tersebut dikonversi dengan besarnya upah buruh yang berlaku untuk Kota Tarakan yakni sebesar Rp.50.000 per hari. Jika frekuensi rata-rata pengumpulan yang digunakan dalam pemanfaatan adalah 2,4 kali per bulan atau 28 kali dalam setahun maka nilai manfaat rata-rata per hektar yang diperoleh sebesar Rp.1.420.000 per tahun dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp.256.150 per tahun. (Lampiran 4)

Berdasarkan dari data komponen manfaat langsung hasil hutan maupun hasil perikanan, maka nilai manfaat langsung ekosistem mangrove di Desa Binalatung dapat diestimasi. Selanjutnya hasil perhitungan total nilai manfaat langsung ekosistem mangrove dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Total Nilai Manfaat Langsung Ekosistem Mangrove Pesisir Utara, Desa Binalatung tahun 2006.

No Jenis Manfaat Nilai Manfaat (Rp/th) Persentase (%)

1 Perikanan Kepiting Rp 2.621.901 64,9

2 Daun Nipah Rp 1.420.000 35,1

Total Nilai Manfaat Rp 4.041.901 100

Sumber: Data olah, 2006

Manfaat Tidak Langsung (MTL)

Manfaat tidak langsung yang dapat diidentifikasi dari ekosistem mangrove Desa Binalatung berupa manfaat fisik, manfaat biologi dan manfaat sebagai penyedia bibit mangrove. Manfaat fisik seperti fungsi mangrove sebagai penahan abrasi pantai dari serangan gelombang dan juga manfaat biologi yang disediakan dari ekosistem mangrove yakni sebagai nursery ground.

a. Manfaat Fisik

Pendugaan nilai manfaat fisik dari hutan mangrove yaitu fungsinya sebagai penahan abrasi pantai yang didekati dengan penilaian biaya bangunan pantai (breaks water). Nilai ini merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan Aprilwati (2000) dimana biaya yang dikeluarkan untuk membuat breaks water dengan ukuran 1m x 11m x 2,5m (panjang x lebar x dalam) dengan daya tahan bangunan 10 tahun sebesar Rp.4.163.880.

Untuk mendapatkan estimasi nilai sekarang maka nilai tersebut dikonversi dengan nilai inflasi yang terjadi pada saat penelitian yakni bulan mei 2006 sebesar 15,60% (www.bi.go.id). Selanjutnya hasil konversi dikalikan dengan panjang Pantai Amal sampai Tanjung Binalatung 6,5 km. Jadi biaya yang diperlukan untuk membuat bangunan pantai bagi kawasan pantai timur Kota Tarakan seluruhnya adalah sebesar Rp.3.121.225.432 dan per ha luasan hutan mangrove adalah sebesar Rp.135.705.454. Asumsi yang digunakan dalam pembuatan breaks water daerah penelitian adalah biaya yang dikeluarkan untuk pembelian material pembuatan beton penahan pantai dianggap sama dengan biaya material yang tersedia di kawasan Batu Ampar, Pontianak.

- Penyedia Kayu Mangrove

Hasil wawancara menyebutkan bahwa pemanfaatan terhadap kayu mangrove tidak dilakukan oleh warga, karena bentuk batang pohon dari jenis mangrove api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp) tidak dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan warga seperti pembuatan tiang pancang rumah, kayu bakar dan pembuatan kapal. Selain karena bentuk batang yang tidak sesuai untuk kebutuhan rumah dan pembuatan kapal juga daya bakar kedua jenis ini tidak sekuat jenis mangrove (Rhizophora spp).

Keberadaan potensi kayu yang disediakan oleh ekosistem mangrove Desa Binalatung tidak dapat ditiadakan meskipun pemanfaatan secara langsung tidak dilakukan oleh warga setempat namun secara ekologi potensi kayu sangat besar kontribusinya terhadap siklus daur hidup sumberdaya perikanan yang berasosiasi dengannya. Untuk itu secara ekonomi nilai manfaat ini memberikan sumbangan tersendiri dalam penilaian manfaat tidak langsung dari keberadaan ekosistem tersebut.

Potensi kayu yang disediakan oleh ekosistem mangrove Desa Binalatung berkisar 553 pohon per ha (>4cm) dengan tinggi rata-rata kurang lebih 10 meter. Jika harga pasar (market price) yang tersedia khususnya Kota Tarakan untuk kayu mangrove sebesar Rp.14.000 per 5meter, maka nilai manfaat yang tersedia dari keberadaan potensi kayu mangrove sebesar Rp.15.484.000 ha per tahun.

b. Manfaat Biologi

Manfaat biologi dilakukan dengan pendekatan fungsi dari ekosistem mangrove sebagai daerah feeding ground bagi komoditas udang. Pendekatan ini

merujuk pada persamaan regresi Naamin (1984) dalam Fachrudin (1996) yang

menggambarkan fungsi luasan hutan mangrove terhadap kelimpahan biota perairan mangrove tersebut. Selanjutnya dari hasil formula tersebut diperoleh bahwa manfaat biologi dari ekosistem mangrove Desa Binalatung seluas 23 ha sebesar Rp.81.470.664.

c. Manfaat Penyedia Bibit Mangrove

Manfaat sebagai penyedia bibit mangrove ini didekati dengan biaya yang dikeluarkan oleh kegiatan MCRMP tahun 2000 khususnya untuk program pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Binalatung. Biaya yang dikeluarkan oleh kegiatan MCRMP khususnya untuk penanaman bibit mangrove sebanyak 14000 anakan dengan Rp.5.000 per anakan jadi total biaya sebesar Rp.70.000.000.

Berdasarkan dari tiga komponen nilai manfaat tidak langsung yang telah diperoleh, maka selanjutnya dihitung total nilai manfaat tidak langsung dari ekosistem mangrove Desa Binalatung. Total nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21 Total Nilai Manfaat Tidak Langsung Ekosistem Mangrove Pesisir Utara Desa Binalatung Tahun 2006

No Jenis Manfaat Nilai Manfaat Persentase (%)

1 Penahan Gelombang Rp 3.121.225.432 95,7

2 Penyedia Kayu Rp 14.980.000 0,5

3 Penyedia sda perikanan Rp 54.406.109 1,7

4 Bibit Mangrove Rp 70.000.000 2,1

Total Nilai Manfaat Rp 3.260.611.541 100

Manfaat Pilihan (MP)

Nilai manfaat pilihan dari suatu ekosistem mangrove didekati dengan nilai keanekaragaman hayati (biodeversity). Manfaat pilihan ini diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ruitenbeek (1991). Dari formula tersebut diperoleh nilai manfaat pilihan dari ekosistem mangrove Desa Binalatung

Rp.2.559.900 per tahun setelah dikonversi dari kurs mata uang dolar (US$) ke

rupiah (Rp.) pada bulan mei 2006 yaitu sebesar Rp.7.420 (www.bi.go.id). Manfaat Keberadaan (MK)

Suatu ekosistem akan sangat bermanfaat jika telah diketahui kerusakannya, seperti halnya ekosistem mangrove di Desa Binalatung. Kerusakan ekosistem hutan mangrove Desa Binalatung telah menurunkan fungsi fisik dan fungsi biologi secara signifikan. Fungsi fisik dari ekosistem mangrove yakni sebagai penahan abrasi pantai dan penyedia kayu sementara fungsi biologi sebagai daerah asuhan.

Manfaat keberadaan yang diberikan oleh warga setempat cukup bervariasi. Hal ini didasarkan pada letak atau posisi tempat tinggal warga. Sebagian warga yang tinggal di daerah pinggiran pantai akan memberikan nilai keberadaan yang tinggi dibandingkan dengan warga yang tinggal jauh dari pantai. Secara keseluruhan nilai manfaat yang diberikan oleh warga Desa Binalatung terhadap keberadaan suatu ekosistem mangrove sebesar Rp.329.783 per tahun.

Nilai Ekonomi Total (TEV)

Nilai Ekonomi Total (NET) ekosistem mangrove Desa Binalatung diperoleh dari penjumlahan nilai manfaat langsung (NML), manfaat tidak langsung (NMTL), manfaat pilihan (MP) dan manfaat keberadaan (NK). Total nilai manfaat tersebut yang diberikan terhadap ekosistem mangrove Desa Binalatung sebesar Rp.3.267.583.125 per tahun. Secara rinci nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22 Nilai Ekonomi Total Ekosistem Mangrove Desa Binalatung tahun 2006.

No Kategori Nilai Manfaat Persentase (%)

1 Nilai Manfaat Langsung Rp 4.041.901 0,12

2 Nilai Manfaat Tidak Langsung Rp 3.260.611.541 99,79

3 Nilai Manfat Pilihan Rp 2.599.900 0,08

4 Nilai Manfaat Keberadaan Rp 329.783 0,01

Nilai Manfaat Total Rp 3.267.583.125 100

Sumber : Data olah, 2006

Berdasarkan Tabel 22 di atas, diperoleh bahwa nilai manfaat total (TEV) yang dimiliki ekosistem mangrove pesisir utara Desa Binalatung seluas 23 hektar sebesar 3 milyar rupiah per tahun. Dengan komponen nilai-nilai manfaat penyusun terdiri atas: 1) nilai manfaat tidak langsung ekosistem mangrove sebesar 99.33% atau sebesar 3 milyar rupiah, selanjutnya nilai manfaat tidak langsung sebesar 0.58% atau sebesar 19 juta rupiah, nilai manfaat pilihan sebesar 0.08% atau sebesar 2 juta rupiah dan nilai manfaat keberadaan dari ekosistem tersebut yakni 0.01% atau sebesar 329 ribu rupiah.

Hasil Penelitian Terdahulu

Nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam sumberdaya khususnya ekosistem mangrove di suatu kawasan sangat berperan dalam penentuan pengelolaan yang berkelanjutan bagi kawasan tersebut. Sehingga alokasi dan aternatif pengelolaannya dapat efisien dan berkelanjutan. Kerangka nilai ekonomi yang sering digunakan dalam evaluasi sumbedaya ini adalah konsep nilai ekonomi total (NET) (Adrianto, 2004). Hasil perolehan nilai ekonomi total (NET) pada suatu kawasan berbeda dengan kawasan lainnya hal ini bisa terjadi karena input dari nilai-nilai penyusun NET yang tergantung pada kondisi wilayah masing- masing. Nilai penyusun yang dimaksud terdiri dari nilai pakai langsung (direct use value), nilai pakai tak langsung (indirect use value) dan nilai non pakai (non use value).

Salah satu contoh penggunaan nilai manfaat tidak langsung seperti jasa yang disediakan oleh suatu ekosistem mangrove sebagai penahan abrasi (manfaat fisik) di kawasan Batu Ampar, Pontianak, Kalimantan Barat bernilai 4 juta rupiah dengan daya tahan 10 tahun. Nilai tersebut diestimasi dari konstruksi bangunan

beton yang berfungsi sebagai pemecah ombak (breaks water). Jika ditinjau kembali bahwa perolehan nilai tersebut dapat dikatakan sesuai berdasarkan kondisi wilayah Batu Ampar yang posisi geografis berada pada perairan teluk Padang Tikar dimana secara alami kondisi dinamika perairan pesisir tidak terlalu ekstrim perubahannya. Hal tersebut tentunya akan jauh berbeda dengan kondisi pesisir utara Desa Binalatung yang perubahan kondisi dinamika pesisir cukup besar pengaruhnya dari perairan Laut Sulawesi.

Secara tegas dikatakan Bengen, et.al (2006) bahwa kondisi arus di perairan sekitar pulau-pulau kecil akan sangat ditentukan oleh dimana lokasi pulau tersebut berada. Jika pulau kecil itu berada pada perairan yang semi tertutup, maka arusnya akan cenderung lemah, sedangkan jika pulau tersebut berada pada perairan yang terbuka (di laut lepas), arusnya cenderung kuat. Sehingga dapat diduga bahwa nilai bahan bangunan pemecah ombak (breaks water) untuk pesisir Desa Binalatung lebih kuat beberapa kali lipat dibanding dengan konstruksi bangun pemecah ombak perairan Batu Ampar. Secara jelas gambaran kondisi tersebut dapat dilihat pada peta lokasi berikut.

Penentuan Prioritas Pengelolaan

Penentuan prioritas pengelolaan ekosistem mangrove Desa Binalatung didasarkan pada kajian terhadap kondisi lingkungan habitat mangrove, kondisi sosial masyarakat dan juga pertimbangan dari prangkat kebijakan berupa PERDA yang diberlakukan di Kota Tarakan. Selanjutnya dalam pelaksanaan penentuan prioritas dilakukan pembobotan. Nilai pembobotan dapat dilihat pada Tabel 23.

Dokumen terkait