• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. Residivis dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif 1.Residivis dalam Perspektif Hukum Islam 1.Residivis dalam Perspektif Hukum Islam

B.1. Residivis dalam Perspektif Hukum Positif a. Pengertian Residivis

Residivis adalah seseorang yang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran dan telah dijatuhi hukuman (vonis) dan hukuman itu telah dijalankan, kemudian ia melakukan kejahatan kembali.48

Menurut Adeng H. Suadarsa, seperti dikutip Ninik Widianti dan Pujanuraga residivis ialah orang yang pernah melakukan suatu perbuatan kriminal atau tindak pidana, kemudian dijatuhkan hukuman dan setelah selesai menjalankan hukumannya itu ia masih juga melakukan tindak pidana ulangan.49

Sementara S.R Sianturi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan residivis secara umum adalah apabila seseorang melakukan tindak pidana dan untuk itu dijatuhkan pidana padanya, akan tetapi pada jangka waktu tertentu (mis, 5 tahun):

a. Sejak setelah tindak pidana tersebut dilakukan seluruhnya atau sebagian atau b. Sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan atau

47

Abdul Qodir Audah, op.cit, h. 768 48

Samidjo, Pengantar Pengulangan Indonesia, (Bandung : Armico, 1985), h. 166 49

Ninik Widianti dan Pujanuraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalah Kejahatan ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, (Jakarta : PT. Pradnya Pramita, 1989), Cet. ke-1, h. 82

c. Apabila kewajiban menjalankan pidana itu belum kadaluarsa. Pelaku yang sama itu kemudian melakukan tindak pidana lagi.50

Hal residivis ini diatur dalam KUHP buku II titel XXXI. Pasal.486 :

(stbld. 26/359. 429-34/172, 337). Hukuman penjara yang ditentukan pada pasal 127, 204 – ayat pertama, 244-248, 253-260 bis. 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua, sekedar ditunjukan di situ pada ayat kedua dan ketiga, pasal 365, pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432, ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitu juga hukuman penjara sementara yang akan dijatuhkan menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua, sekedar ditunjukan di situ kepada ayat keempat. Pasal 365, dapat ditambah sepertiganya, jika yang bersalah melakukan kejahatan itu belum lewat lima tahun sejak ia lepas dari menjalani seluruh atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Pada salah satu pasal 140-143 dan 145-149 atau sejak ia dibebaskan sama sekali dari hukuman itu atau bila pada waktu membuat kejahatan itu hak menjalankan hukuman itu belum hilang karena lewat waktunya.

Pasal.487 :

Hukuman penjara ditentukan pada pasal 131, 140, ayat pertama, 141, 170, 213, 214,338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353, 355, 438-443, 459 dan 460 begitu pula hukuman penjara sementara yang akan dijatuhkan menurut pasal 104, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340, 344 dapat sepertiganya, jika pada waktu bersalah itu belum lewat waktu lima tahun sejak ia lepas dari menjalani seluruh atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan padanya baik pada salah satu kejahatan maupun yang diterangkan pada pasal-pasal itu karena salah satu kejahatan yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer pada salah satu pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109 sekedar kejahatan yang dibuat itu atau perbuatan yang beserta dilakukan pada waktu itu menyebabkan suatu luka atau menyebabkan matinya orang, 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 atau sejak ia dibebaskan sama sekali dari hukuman itu atau pada waktu melakukan kejahatan, hak menjalankan hukuman itu belum hilang karena lewat waktunya.

Pasal 488 :

50

S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya I, (Jakarta : Alumni Ahaem, 1996), h.401

Hukuman yang ditentukan pada pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321 dan 484 dapat ditambah sepertiganya, jika pada waktu yang bersalah melakukan kejahatan itu belum lewat waktu lima tahun, sejak ia lepas dari menjalani sama sekali atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum kadaluarsa.51

Contoh :

A melakukan pencurian, maka dari itu ia diadili untuk diberi keputusan dan hakim menjatuhkan hukuman misalnya 5 tahun. Setelah A menjalankan hukuman dan dibebaskan kemudian ia mengulangi perbuatannya lagi dan melakukan pencurian untuk yang kedua kalinya.

Pencurian yang kedua kalinya dilakukan di dalam jangka 5 tahun, setelah ia menjalani hukuman dan kembali lagi ke dalam masyarakat. Untuk perbuatan pencurian yang kedua kalinya hukuman yang dapat dijatuhkan adalah 5 tahun + 1/3 x 5 tahun = 6 tahun 8 bulan, walaupun ternyata dalam prakteknya hakim jarang sekali menjatuhkan hukuman yang berat.

Adapun yang menjadi dasar diperberatnya hukuman bagi residivis adalah bahwa orang yang demikian itu membuktikan telah mempunyai tabiat yang jahat dan oleh sebab itu dianggap merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi residivis/pengulangan jarimah dalam hukum Islam pada kenyataannya adalah sama dengan definisi residivis yang dikemukakan hukum positif, yaitu melakukan kejahatan dan telah dijatuhi hukuman dan hukuman tersebut sudah dijalankan baik setengah maupun seluruhnya.

B.1.b. Bentuk-bentuk Residivis/Pengulangan Tindak Pidana

Mengenai bentuk-bentuk pengulangan tindak pidana, menurut doktrin, dari sudut sifatnya, sistem residivis itu dapat dibagi dalam dua bagian :

a. Residive Umum (Generale Residive)

51

Adalah apabila seseorang melakukan kejahatan, terhadap kejahatan yang mana telah dijatuhi hukuman, maka apabila ia kemudian melakukan kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk kejahatan apapun, kejahatan tersebut dapat digunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman.

Contoh :

A melakukan kejahatan pencurian, karena itu, ia dijatuhi hukuman. Setelah A menjalani hukuman, ia kembali dalam masyarakat itu. Akan tetapi A kemudian melakukan kejahatan penganiayaan terhadap B.

Berdasarkan residive ini, maka perbuatan penganiayaan itu dapat merupakan alasan untuk memperberat hukuman yang dijatuhkan atas dirinya.

b. Residive Khusus (Speciale Residive) Jenis residive ini terdapat bila :

Seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan hukuman oleh hakim. Kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang sama (sejenis) dengan kejahatan yang pertama, maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian itu merupakan dasar untuk meperberatkan hukuman.52

Contoh :

1. Kejahatan terhadap keamanan negara : makar, untuk membunuh presiden, dan menggulingkan pemerintahan, pemberontakan dan lain sebagainya.

2. Kejahatan terhadap tubuh atau nyawa orang :

Penganiayaan, perampasan kemerdekaan, perampasan jiwa dan lain sebagainya.

3. Kejahatan terhadap harta benda : perampasan, pencurian, penggelapan dan penipuan dan lain sebagainya.53 52 Ibid, h. 186-187 53 S.R. Sianturi, op.cit, h. 402

Menurut sistem yang pertama, pengulangan dari pada suatu kejahatan yang manapun, sudah dilakukan kejahatan itu menyebabkan ditambahnya pidana, sedangkan menurut sistem kedua hanya pengulangan dari pada kejahatan yang sejenis menyebabkan ditambahnya pidana.54

Mengenai pengulangan tindak pidana ini seperti yang telah diterangkan sebelumnya diatur dalam KUHP buku ke-II titel ke-31 (pasal 486, 487 dan 488). Maka maksimal pidana ditambah sepertiganya, akan tetapi dalam hal ini ditentukan beberapa syarat tentang seseorang dapat dikategorikan sebagai residivis :55

1. Terhadap kejahatan yang pertama yang telah dilakukan harus sudah ada keputusan hakim yang mengandung hukuman.

2. Keputusan hakim tersebut, harus merupakan keputusan yang tidak dapat diubah lagi, artinya yang mempunyai kekuatan hukum tetap, ini tidak berarti bahwa hukuman itu harus sudah dijalani.

3. Di dalam pasal 486 dan 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan penjara, sedang di dalam pasal 488 tidak ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama. 4. Jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian dan hukuman yang dijatuhkan

terhadap perbuatan yang pertama, jangka waktunya adalah lima tahun.

Contoh:

A melakukan tindak pidana pencurian pada tanggal 2 januari 2000, kemudian A dijatuhi hukuman penjara 1 tahun, yang dijalani saat itu juga. Pada tanggal 2 januari 2001 setelah ia menjalankan hukuman seluruhnya, A dibebaskan. Kemudian pada tanggal 1 januari 2002, A melakukan perbuatan penggelapan, dengan demikian jangka waktu antara tanggal 1 januari2001 dan saat perbuatan masih terletak kurang dari lima tahun, dan atas dasar pasal 486 hukuman atas diri A berhubungan dengan perbuatannya yang kedua tadi, dapat ditambah dengan sepertiganya.

54

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara baru, 1978), Cet. ke-3, h. 11 55

Akan tetapi, apabila setelah dibebaskan pada tanggal 2 januari 2001, pada tanggal 10 januari 2006 melakukan penipuan, maka atas diri A tidak boleh dijatuhkan hukuman yang terberat, karena pada saat dilakukannya perbuatan yang kedua itu telah terletak di luar jangka waktu.

Mengenai hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertama dilakukan, dapat diterangkan bahwa apakah hukuman itu telah dijalani seluruhnya atau sebagian atau walaupun si terhukum mendapatkan ampunan (grasi), hal ini tetap merupakan dasar pemberatan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap perbuatan yang kemudian dilakukan.56 B. 2. c. Sistem Pemidanaan terhadap Pelaku Residivis.

Sistem penghukuman untuk residivis pada prinsipnya termasuk salah satu pemberatan maksimum ancaman pidana, atau setidaknya penambahan suatu ketentuan untuk membolehkan menjatuhkan pidana tambahan.57

Pemberatan hukuman karena pengulangan adalah wajib, yaitu sepertiga. Pasal-pasal 486 dan 487 KUHP menentukan hanya hukuman penjara yang terkena ancaman terhadap delik diperberat sepertiga, sedangkan pasal 488 KUHP menentukan bahwa hukuman yang diancamkan terhadap delik-delik yang tercantum dalam pasal ini, termasuk pula hukuman kurungan dan hukuman denda, dapat juga diperberat sepertiga.58

Pemberatan maksimum ancaman pengulangan tindak pidana ditentukan dalam:

a. pasal 486, (kejahatan yang umumnya mencari keuntungan yang tidak halal), yaitu dapat menambah maksimum ancaman pidana dengan sepertiganya apabila terdakwa mengulangi salah satu delik mengenai:

1. Penyerahan barang (pasal ; 127, 204 ayat 1) 2. Pemalsuan uang (pasal 224-274)

3. Pemalsuan matrai/merek (pasal 253-260 bis)

56

Satochid Kartanegara, op. cit.,h. 188-189 57

S.R. Sianturi, op. cit., h. 404 58

4. Pemalsuan surat/ akta (pasal 263, 264,266,274) 5. Pencurian (pasal: 362,363,365, ayat 1,2 dan 3) 6. Pemerasan/ cahantage (pasal; 368 jo 365, 369) 7. Penggelapan (pasal: 372, 374, 375)

8. Penipuan (pasal: 378, 380, 381, 383, 385, 388) 9. Merugikan pemiutang (pasal: 397, 399, 400, 402) 10. Kejahatan jabatan (pasal: 415, 417, 425, 432, ayat 2) 11. Kejahatan pelayaran (pasal: 452, 466, 480, 481) KUHP.

Sedangkan sebelumnya pelaku yang sama telah melakukan salah satu delik tersebut no.(1) sampai dengan (11) atau salah satu delik pencurian, penadahan atau perusakan barang (140-143, 145-149) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), yang mana ia telah dijatuhkan hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

b. Pasal 487 (umumnya kejahatan terhadap tubuh/jiwa orang) yaitu dapat menambah maksimum ancaman pidana dengan sepertiganya, apabila terdakwa (yang bersalah) mengulangi salah satu delik mengenai:

1. Kejahatan terhadap keamanan Negara (pasal 140)

2. Kejahatan terhadap martabat Presiden atau Kepala Negara sahabat (pasal 313, 140, 141)

3. Kejahatan terhadap ketertiban umum (pasal 170) 4. Kejahatan terhadap penguasa umum (pasal 213, 214)

5. Kejahatan terhadap jiwa (pasal 338, 339, 340, 341, 342, 344, 347, 348) 6. Penganiayaan (pasal 351, 353, 355 )

7. Kejahatan pelayaran (pasal 438, 443, 459, 460)

Sedangkan sebelumnya telah melakukan salah satu delik di atas dari poin (1) sampai dengan (7) atau salah satu delik insubordinasi (106, 107), muiterij (108), pemukulan pada karyawan (pasal 131) atau penggunaan kekerasan pada orang (pasal 137, 138) KUHPM yang mana ia telah dijatuhkan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

c. Pasal 488 (umumnya kejahatan penghinaan ), yaitu dapat menambah ancaman pidana dengan sepertiganya apabila terdakwa (yang bersalah) mengulangi salah satu delik mengenai:

1. Penghinaan terhadap Presiden atau wakil Presiden (pasal 134, 136 bis, 137)

2. Penghinaan terhadap Kepala Negara (Raja yang memerintah) dan Negara sahabat atau yang mewakilinya (pasal 142, 143, 144)

3. Penghinaan terhadap bangsa Negara sahabat (pasal 142a)

4. Penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia (pasal 207, 208)

5. Penghinaan (pasal 310-321)

6. Kejahatan penerbitan atau percetakan (pasal 483, 484)

Sedangkan sebelumnya pernah melakukan salah satu delik tersebut dari poin 1 sampai dengan poin 6 di atas, di mana ia telah dijatuhkan hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.59

Sedangkan jangka waktu yang ditentukan untuk pengulangan tersebut pasal 486, 487, 488 adalah:

a. Ketika ia melakukan kejahatan (ulang) itu, belum lewat lima tahun :

1) Sejak ia menjalani seluruh atau sebagian pidana yang dijatuhkan kepadanya, atau 2) Sejak pidana yang dijatuhkan tersebut baginya sudah dihapuskan ataupun

b. Ketika ia melakukan kejahatan (ulangan) itu, kewenangan menjalankan pidana (yang dijatuhkan) tersebut belum kadaluarsa.

Jangka waktu pengulangan yang ditentukan pada pasal 137, 144, 208, 216 dan 303 bis adalah dua tahun sedangkan untuk pasal-pasal: 155, 147, 161, 163 dan 393 adalah lima tahun. Perhitungan di mulai sejak putusan hakim sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam

59

penerapan ketentuan-ketentuan pasal-pasal: 137, 144, 155, 157, 161, 163, dan 208, yang ditentukan bukan tambahan pidana pokok, melainkan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa larangan menjalankan pencaharian tertentu. Untuk penerapan ketentuan pada pasal 216 ancaman pidana diperberat dengan ditambah sepertiganya: untuk pasal 303 bis dari empat tahun pidana penjara menjadi enam tahun penjara atau dari denda sepuluh juta rupiah menjadi lima belas juta rupiah. Untuk pasal 393 juga diperberat dengan setengahnya. Jangka waktu untuk pengulangan berkisar pada satu tahun atau dua tahun, sedangkan mengenai ancaman pidananya diperberat.60

Apabila si pelaku tindak pidana sudah dijatuhkan hukuman dan mempunyai kekuatan hukum tetap, maka statusnya berubah menjadi terpidana/narapidana dan selanjutnya dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan (LP/Lapas) untuk dididik dan dibina agar tidak mengulangi kembali kejahatan. Salah satu Lapas yang menjadi tempat pembinaan narapidana adalah Lapas Kelas II A Wanita Tangerang.

60

BAB III