IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM TERHADAP HAK
TERSANGKA/TERDAKWA PADA KASUS KEKERASAN DALAM
KELUARGA (KDRT)
(Studi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT
dan Hukum Islam)
Oleh :
M A R I S A
PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
TINDAKAN PREVENTIF AGAR NARAPIDANA TIDAK
MENJADI RESIDIVIS
“ Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tangerang “
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salaah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh:
MUHAMAD SAHLI
NIM. 101045122234
Di Bawah Bimbingan
Drs. Noryamin Aini, MA
NIP. 150 247 330
PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM -- JURUSAN JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
1427 H / 2006 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul ” TINDAKAN PREVENTIF AGAR NARAPIDANA TIDAK
MENJADI RESIDIVIS “ Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita
Tangerang “ telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 14 Maret 2006.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Islam (SH.I) pada Jurusan Jinayah Siyasah.
Jakarta, 21 November
2005
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum,
Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA
NIP. 150 050 917
Panitia Ujian Munaqasyah :
Ketua
: Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Y, MA
(
)
NIP. 150 ...
Sekretaris
: Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum
(
)
NIP. 150 274 761
Penguji I
: Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA
(
)
NIP. 150 ...
Penguji II
: Drs. Abu Tamrin, SH.,M.Hum
( )
NIP. 150 274 761
Pembimbing I : Dedy Nursyamsi, SH., M.Hum
(
)
NIP. 150 246 001
Pembimbing II: Euis Amalia, M.Ag
(
)
IMPLEMENTASI BANTUAN HUKUM TERHADAP HAK
TERSANGKA/TERDAKWA PADA KASUS KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA (KDRT)
(Studi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT dan Hukum Islam)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salaah Satu Syarat Mencapai
Gelar Sarjana Hukum Islam (SH.I)
Oleh:
M A R I S A
NIM. 101045122231
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dedy Nursyamsi, SH., M. Hum Euis Amalia, M. Ag NIP. 150 264 001 NIP. 150 289 264
PROGRAM STUDI PIDANA ISLAM JURUSAN JINAYAH
SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Kata Pengantar
ﺣﺮ ا
ﺣﺮ ا
ﷲا
Segala puja dan puji serta syukur bagi Allah SWT. yang telah memberikan taufik, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis diberi kesempatan menyelesaikan tugas skripsi ini. Shalawat dan salam penulis hadiahkan kepada Nabi Muhmmad SAW. yang telah membawa Islam sebagai penerang jalan hidup manusia. Skripsi ini berjudul ” TINDAKAN PREVENTIF AGAR NARAPIDANA TIDAK MENJADI RESIDIVIS “Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tangerang” sengaja diajukan untuk memenuhi dan melengkapi serta memperoleh gelar kesarjanaan strata satu (S1), Program Studi Pidana Islam, Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam mengadakan penelitian skripsi ini, penulis mendapatkan banyak kesulitan terutama dalam mencari referensi dan data-data untuk penyusunannya, bantuan dari berbagai pihak sangat mendukung bagi kelengkapan penyelesaian skripsi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu penyelesaian skripsi ini, yaitu kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. Hasanudin AF, MA selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. Afifi Fauzi Abbas, MA sebagai Pjs. Ketua Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan petunjuk dan saran kepada penulis dalam rangka penyelesaian penulisan skripsi ini. Dan Drs. Abu Tamrin, SH., M.Hum selaku sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah rela dan bersedia meluangkan waktu untuk mengurus berbagai hal yang berkaitan dengan akademik.
3. Drs. Noryamin Aini, MA selaku pembimbing skripsi ini, yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan kontribusi pemikiran, dan mengarahkan serta membimbing penulis dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
5. Kepala Lapas Kelas II A Wanita Tangerang dan staf-stafnya yang telah membantu dan mempermudah penulis dalam mengumpulkan data baik yang diperoleh dari perpustakaan
maupun wawancara. Tidak lupa pula warga binaan Lapas Kelas II A Wanita Tangerang yang telah sangat membantu dalam memperoleh data yang valid dan akurat dalam rangka penyusunan skripsi ini.
6. Ayahanda Mansur dan Ibunda Alisa tercinta yang telah melahirkan dan membesarkan penulis, dan selalu memberikan motivasi dan dukungan baik moril maupun materil untuk terselesaikannya skripsi ini.
7. Ayah Fahmi Ahmad yang telah membantu penulis baik moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Kakakku Rosita Dewi, dan adek-adekku Hari dan Kiki yang sangat penulis sayangi dan selalu memberikan motivasi dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Anak-anak Uncles, yang selalu memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini, serta rekan-rekan seperjuangan di bawah naungan Karang Taruna yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
10. Teman-teman mahasiswa Jurusan Jinayah Siyasah, Proram Studi Pidana Islam angkatan 2001; Liza, Debi, Novi, Rita, Septi, Desi, Uwoh, Khoir, Udin, Lubis, Kholis, Ridwan, Azis, Mu’min, Ayung, Aang Nur dan yang lain. Mereka selalu memberikan tantangan kepada penulis dalam mengarungi dan menyelami perkuliahan. Dan tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih secara khusus teruntuk Dinda Nur Dahlia yang selalu memberikan dorongan dan motifasi dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis hanya dapat berdo’a semoga Allah SWT. memberikan balasan dan pahala yang setimpal kepada mereka atas jasa-jasa yang diberikan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat
menambah wawasan pengetahuan bagi para pembaca pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, 2 Maret 2006
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah... 1B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
D. Metode Penelitian... 7
E. Sistematika Penulisan... 10
BAB II LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RESIDIVIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Pengantar dan Sejarah Lembaga Pemasyarakatan (Penjara) di Indonesia dan dalam Islam A.1. Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia ... 12
A.1. a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan ... 12
A.1. b. Sekilas Sejarah Penjara (Lembaga Pemasyarakatan) di Indonesia ... 13
A.1. c. Tujuan dan Fungsi diadakakannya Lembaga Pemasyarakatan ... 19
A.2. Penjara dalam Islam... 21
A.2. a. Pengertian Penajara dalam Hukum Islam ... 21
A.2. b. Sejarah Perkembangan Pejara dalam Islam ... 22
A.2. c. Fungsi Penjara dalam Hukum Islam ... 25
B. Residivis dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif B. 1. Residivis (Pengulangan) dalam Perspektif Hukum Islam... 27
B.1. a. Pengertian residivis (Pengulangan) ... 27
B.1. b. Bentuk-bentuk Residivis (Pengulangan) ... 29
B.1. c. Sistem Pemidanaan Terhadap Residivis... 30
B. 2. Residivis dalam Perspektif Hukum Positif ... 33
B.2.a. Pengertian Residivis... 33
B.2.c. Sistem Pemidanaan Terhadap Residivis ... 40
BAB III DESKRIPSI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A
WANITA TANGERANG
A. Sejarah Berdiri dan Letak Geografis LP Kelas II A Wanita
Tangerang... 45 B. Situasi dan Kegiatan Sehar-hari Narapidana di LP Kelas II A
Wanita Tangerang ... 48 C. Struktur Organisasi dan Peranan Petugas LP Kelas II A Wanita
Tangerang... 54
BAB IV UPAYA LP KELAS II A WANITA TANGERANG DALAM MENCEGAH NARAPIDANA RESIDIVIS
A. Program Pembinaan Narapida di Lembaga Pemasyarakatan……… 61 B. Analisis terhadap Pelaksanaan Agenda Pembinaan……….. 70 C. Hasil Pembinaan LP Kelas II A Wanita Tangerang ... 77
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 83 B. Saran ... 84 DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kejahatan merupakan suatu patogen sosial yang dari hari ke hari semakin meningkat, terutama di tanah air yang tercinta ini. Hal tersebut dapat kita ketahui melalui media massa baik elektronik maupun cetak. Tragisnya tindak kriminal tersebut terjadi bukan hanya di kota-kota besar bahkan di desa-desa terpencil sekali pun kian merajalela, baik dalam bentuk pembunuhan, perampokan, perkosaan, narkotika, dan lain sebagainya. Suatu hal yang lebih memprihatinkan lagi bagi bangsa kita, kejahatan-kejahatan tersebut bukan hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa saja, akan tetapi oleh anak-anak di bawah umur bahkan banyak pula dilakukan oleh wanita.
Kita tentunya akan bertanya ”apa yang menyebabkan tindak kejahatan dari hari ke hari terus semakin meningkat?” Padahal aparat penegak hukum telah menerapkan pemberian sanksi pidana yang setimpal terhadap pelakunya akan tetapi pelaku masih juga belum jera. Bahkan ada indikasi statistik kejahatan malah meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.1 Dalam hal ini kita dapat berspekulasi, bahwa mungkin banyak faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan, di antaranya karena faktor lingkungan, sosial, ekonomi, politik, perfilman, bacaan-bacaan porno dan lain sebagainya.
Untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut negara kita mengadakan berbagai usaha baik dalam bentuk penanggulangan maupun pencegahan. Salah satu usaha tersebut adalah dengan menjatuhkan hukuman/sanksi bagi setiap pelakunya yang tujuannya agar si pelaku menjadi jera. Apabila ia kembali berintegrasi dengan masyarakat, dia tidak akan berbuat kejahatan lagi.2 Sedangkan mengenai salah satu hukuman yang berlaku di Indonesia adalah hukuman penjara. Sering dikritik bahwa sistem kepenjaraan dianggap tidak berprikemanusiaan dan tidak mengindahkan HAM. Dari sisi kritik ini, sistem tersebut perlu diubah dengan sistem yang lain yaitu diubah dengan sistem pemasyarakatan.
Sistem pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini, secara konseptual dan historis sangatlah berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan. Asas yang dianut sistem pemasyarakatan dewasa ini menempatkan tahanan, narapidana, anak negara, dan klien pemasyarakatan sebagai subyek dan dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa, maka dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan tetapi dengan pembinaan dan bimbingan. Perbedaan kedua sistem tersebut memberi implikasi pada perbedaan dalam cara-cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan disebabkan perbedaan tujuan yang ingin dicapai.3
Tujuan utama dari sistem pemasyarakatan adalah untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan membina narapidana agar tidak kembali melakukan kejahatan. Tetapi apakah memang demikian kenyataannya? Artinya apakah masyarakat sudah terlindungi dari kejahatan? Apakah para narapidana (mantan narapidana) yang sudah habis menjalani masa hukumannya
1
Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), Cet. ke-2, h. 9
2
A. Widiada Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, (Bandung: CV. Armico, 1988), Cet. ke-1, h. 42
3
kemudian kembali lagi ke masyarakat, memang benar tidak akan melakukan kejahatan lagi? Singkatnya, apakah mereka dapat dijamin untuk tidak menjadi residivis?4
Perlu ditambahkan juga bahwa Lembaga Pemasyarakatan (selanjutnya disebut LP) yang dulu disebut penjara sering menerima tuduhan sebagai sekolah sejahatan (school of crime). Adanya penilaian seperti itu mengakibatkan lembaga ini terpojok dan sulit untuk memperbaiki citranya. Sebutan sebagai sekolah kejahatan [sekolah tinggi kejahatan], akan semakin nyata terlihat manakala bekas narapidana melakukan kejahatan ulang setelah bebas, serta mereka masih dicurigai kalau kembali ke masyarakat. Hal ini pertanda bahwa masyarakat masih melihat Lembaga Pemasyarakatan (LP) sebagai pusat latihan untuk para penjahat agar terlatih melakukan kriminal. Melihat keadaan tersebut, apakah kita setuju bahwa LP sebagai sekolah kejahatan?5 Dalam konteks pemenjaraan, sistem hukuman dalam hukum pidana positif telah mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini dilatar belakangi karena kurang berhasilnya sistem hukuman yang diterapkan oleh hukum pidana positif, yang akhirnya dibentuklah sistem baru sebagai perubahan dari sistem kepenjaraan. Sistem baru tersebut adalah sistem pemasyarakatan yang kini masih berlaku di negara Indonesia dengan harapan agar lebih baik dan efektif dari sistem-sistem sebelumnya.
Berbeda dengan hukum pidana positif, dalam pidana Islam bahwa masalah hukuman tidak banyak permasalahan, apalagi perubahan-perubahan seperti dalam hukum pidana positif, karena setiap pelaku kejahatan mayoritas sudah ada ketetapannya dalam nash. Misalnya, hukuman bagi pencuri dikenai hukuman potong tangan, bagi pezina dikenai hukuman dera atau rajam, bagi pembunuh dikenai hukuman qisas, dan lain sebagainya. Dalam hukum pidana Islam, hukuman penjara merupakan hukuman alternatif yang didasarkan pada ijtihad hakim, sebagaimana halnya dengan ijtihad Khalifah Umar yang memenjarakan orang-orang yang tidak membayar hutang.6
Dengan memperhatikan fenomena yang telah diuraikan di atas, baik dalam hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dalam sebuah penelitian yang diajukan sebagai skripsi dengan judul “TINDAKAN PREVENTIF AGAR NARAPIDANA TIDAK MENJADI RESIDIVIS (Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelasa II A Wanita Tangerang)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dan untuk memudahkan penyusunan skripsi
ini, maka penulis memberikan pembatasan dan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Pembatasan Masalah
a. Mendeskripsikan secara umum tempat atau lokasi penelitian, yaitu Lembaga Pemasyarakatan
Kelas II A Wanita Tangerang.
4
Ibid., h. 43 5
Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, op.cit., h. 43 6
b. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya residivis setelah keluar dari
Lembaga Pemasyarakatan, dari tahun 2000-2005.
c. Penelitian ini tidak difokuskan pada kejahatan tertentu, misalnya napza, tetapi kejahatan
secara umum yang ada di LP Kelas II A Wanita Tangerang, yaitu napza, aborsi, penelantaran
anak, dan pembunuhan.
2. Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang di atas, pokok masalah yang akan diteliti adalah
apa saja upaya LP Kelas II A Wanita Tangrang dalam mencegah pengulangan
kejahatan (residivis). Berdasarkan batasan masalah di atas, untuk menghindari
ketidakjelasan arah pembahasan, maka dibuatlah rumusan masalah sebagai berikut:
a.
Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya residivis?
b.
Apa saja Agenda Pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?
c. Langkah Preventif apa saja yang diupayakan LP Kelas II A Wanita Tangerang agar
narapidana tidak menjadi residivis? Dan bagaimana hasilnya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan umum yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui langkah preventif yang diupayakan LP Kelas II A Wanita
Tangerang agar narapidana tidak menjadi residivis. Sedangkan secara rincinya sesuai
dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan khusus dari penelitian ini adalah
mendeskripsikan secara empiris beberapa pemasalahan sebagai berikut:
b.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang residivis, macam-macam bentuknya,
serta sistem pemidanaannya.
c.
Untuk mengetahui lebih mendalam tentang pola pembinaan atau kerangka
teoritik pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, dan langkah
preventif yang diupayakan LP Kelas II A Wanita Tangerang agar narapidana
tidak menjadi residivis.
2. Manfaat Penelitian
Adapun beberapa manfaat dalam penelitian ini, di antaranya:
1. Bagi penulis, penulisan ini akan berguna untuk memperluas dan menambah wawasan tentang
upaya preventif pengulangan kejahatan khususnya di LP Kelas II A Wanita Tangerang. Di
samping itu, berguna untuk menyelesaikan tugas akhir, yaitu skripsi Program Studi Pidana
Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bagi kalangan civitas akademika, penelitian ini diharapkan akan menambah khazanah tentang
upaya preventif lembaga pemasyarakatan dalam menangani narapidana agar tidak menjadi
residivis, khususnya LP Kelas II A Wanita Tangerang.
3. Bagi masyarakat umum, penulisan ini dapat menjadi informasi untuk memperluas wawasan
tentang LP Kelas II A Wanita Tangerang pada khususnya dan Lembaga Pemasyarakatan yang
ada di Indonesia pada umumnya dan upaya yang dilakukan dalam menangani pengulangan
kejahatan dalam hukum positif.
D. Metode Penelitian
Karena studi ini penelitian lapangan (field research), maka metode yang digunakan
adalah metode yang sesuai dengan penelitian lapangan. Untuk mengumpulkan data dalam
penulisan skripsi ini, di bawah ini akan dijelaskan metode tersebut:
Adapun jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara alamiah dan kualitatif mengenai upaya yang diusahakan LP Kelas II A Wanita Tangerang agar narapidana tidak menjadi residivis. Dalam penggalian data ini, penulis terjun langsung ke LP Kelas II A Wanita Tangerang yang bertujuan untuk memperoleh data yang valid dan akurat.
Penelitian ini juga termasuk penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan metode pengkupasan dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.
D. 2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber data primer, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari wawancara atau interview secara
mendalam dengan responden narapidana dan pengurus LP.
b. Sumber data skunder, yakni bahan-bahan tambahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, yaitu data-data yang diperoleh dari Al-Qur’an, Sunnah, buku-buku
umum, buku-buku Islam, dan data-data tertulis lainnya yang ada relevansinya dengan judul
skripsi ini.
D. 3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Penggunaan bahan dokumen, berupa perundang-undangan, keputusan Menteri Kehakiman,
dan bahan-bahan yang didapat dari sumber data primer dan sekunder.
b. Wawancara atau Interview: Untuk mendapatkan bahan-bahan yang berupa langkah-langkah
yang diusahakan dalam upaya pencegahan agar narapidana tidak menjadi residivis dan untuk
melengkapi data-data yang obyektif mengenai prakteknya di lapangan, maka penulis
mengadakan wawancara dengan: Kepala LP Kelas II A Wanita Tangerang, Kepala Seksi
Bimbingan Narapidana, Kepala Sub Seksi Urusan Umum, Kepala Sub Seksi Bimbingan
Masyarakat dan Perawatan, Kepala Sub Seksi Registrasi, Kepala Seksi Kegiatan dan Kerja,
Kepala Kesatuan Keamanan LP, dan wawancara dengan enam narapidana yang berada dalam
lembaga tersebut untuk dijadikan responden sebagai modal dasar untuk memperoleh data-data
mewawancari tiga orang residivis dan mengambil satu orang narapidana dari setiap jenis
kejahatan. Dengan pertimbangan, sebagai perwakilan dari setiap jenis kejahatan yang ada di
LP Kelas II A Wanita Tangerang.
D. 4. Teknik Analisis Data
Karena jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, maka pengolahan datanya melalui beberapa tahapan. Pertama, dilakukan transkripsi hasil wawancara. Kedua, dilakukan pengeditan data hasil wawancara dan bahan-bahan tertulis. Ketiga, dilakukan analisis terhadap data sekaligus pemaknaan atas data. Selain itu, sifat analisis data dalam penelitian ini juga bersifat deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam dan apa adanya.
D. 5. Teknik Penulisan
Teknik Penulisan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku
di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini
maka buku penentuan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang disusun oleh Tim Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Cetakan ke-1, 2005.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi hasil penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab dalam sistematika sebagai
berikut:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan
terakhir sistematika penulisan laporan.
Bab kedua dideskripsikan tentang Lembaga Pemasyarakatan dan Residivis dalam
Sekilas Sejarah Lembaga Pemasyarakatan (Penjara) di Indonesia; dan Residivis dalam Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif.
Bab ketiga dijelaskan tentang Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Wanita Tangerang.
Di dalamnya dideskripsikan tentang Sejarah Berdiri dan Letak Geografis LP Kelas II A Wanita
Tangerang; Situasi dan Kegiatan Sehari-hari di LP Kelas II A Wanita Tangerang; dan Struktur
Organisasi dan Peranan Petugas LP Kelas II A Wanita Tangerang.
Bab keempat upaya LP Kelas II A Wainta Tangerang dalam mencegah pengulangan
kejahatan (residivis) yang berisikan antara lain: Agenda Pembinaan Narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan; Analisis terhadap Pelaksanaan Agenda Pembinaan, dan Hasil Pembinaan Lapas
Kelas II A Wanita Tangerang.
Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan terhadap keseluruhan isi
skripsi hasil penelitian dan diakhiri dengan beberapa saran dalam rangka perbaikan dan upaya
yang lebih maksimal lagi dalam mencegah pengulangan kejahatan yang diupayakan LP Kelas II A
BAB II
LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RESIDIVIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM
POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Pengantar dan Sejarah Lembaga Pemasyarakatan (Penjara) di Indonesia dan Islam
A.1.Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia
A.1.a. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia
Untuk memahami definisi atau pengertian Lembaga Pemasyarakatan (LP atau Lapas)
secara komprehensif, maka perlu dibahas mulai dari segi etimologi baru kemudian dari segi
terminologi.
Secara etimologi, Lembaga Pemasyarakatan terdiri dari dua kata, yaitu kata lembaga dan
pemasyarakatan. Lembaga berarti badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu
penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.7 Sedang pemasyarakatan berasal dari kata
masyarakat, yang mendapat awalan pe dan akhiran an, yang berarti menjadikan orang diterima
kembali dalam masyarakat.8
Pengertian Lembaga Pemasyarakatan secara terminologi dapat kita ketahui dalam surat
keputusan kepala direktur pemasayarakatan No. K. P.10/3/ 1, Jakarta 8 Februari 1985 sebagai
berikut :
Pemasyarakatan adalah suatu proses terapeutik, di mana narapidana pada waktu masuk lembaga pemasyarakatan berada dalam keadaan tidaklah harmonis dengan masyarakat sekitarnya, mempunyai hubungan yang negatif dengan berbagai unsur masyarakat, lalu narapidana menjalani pembinaan yang tidak lepas dari dan bersama unsur-unsur lain dalam masyarakat yang bersangkutan tersebut, sehingga pada akhirnya narapidana dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu keutuhan dan keserasian (keharmonisan) hidup dan penghidupan, tersembuhkan dari segi-segi yang merugikan (negatif). Tegasnya pemasyarakatan adalah proses kehidupan negatif antara narapidana dengan (unsur-unsur dari) masyarakat yang menjalani pembinaan-pembinaan, mengalami perubahan-perubahan yang menjurus
7
Team Penyusun Kamus (ed.) (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Budaya, Balai Pustaka), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. ke-4, h. 582
8
dan menjelma sembuh menjadi kehidupan yang positif antara narapidana dengan unsur-unsur masyarakat. 9
Dari pengertian di atas dapat dirumuskan, bahwa lembaga pemasyarakatan adalah suatu
badan atau instansi yang mengelola dan membina para narapidana pada waktu masuk lembaga
pemasyarakatan dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat, karena akibat dari ulah
perbuatannya, akhirnya dengan pembinaan dan pengelolaan tersebut agar dapat diterima kembali
oleh masyarakat.
A .1.b. Sekilas Sejarah Penjara (Lembaga Pemasyarakatan) di Indonesia
Menurut R.A. Koesnoen, sejarah penjara (boei) di Indonesia, untuk pertama kali
dibangun pada tahun 1602 yang berdomisili di Batavia.10
Namun, menurut Bambang Poernomo, SH. yang berdasarkan hasil penelitiannya di
musium Fatahillah yang dibangun pada tahun 1626 disebutkan, bahwa rumah boei baru dibangun
sesudah tahun 1621, ketika Belanda sudah mempunyai kekuatan di pusat pemerintahan Batavia.
Hal tersebut beralasan, bahwa pada tahun 1602 VOC baru didirikan, dan Belanda belum
mempunyai kekuatan yang tetap, karena mereka masih berperang dan berjuang merebut daerah
Pasai, melawan pasukan pedagang-pedagang Inggris dan Portugis serta Spanyol di sepanjang
pantai kota-kota Banten, Gresik, Ambon, Ternate dan lain-lain. Pada tahun 1609 Jenderal Pieter
Both baru datang ke Indonesia untuk berunding dengan Pangeran Wijaya Kusuma tentang usaha
mendirikan kantor dagang di sebelah Timur Ciliwung, setelah kekuatan Inggris di Bandar Jakarta
dapat disingkirkan oleh Jan Pieterzoon Coen pada tahun 1618. Setelah itu dengan bantuan
Pangeran Wijaya Kusuma, pada tahun 1621 baru didirikan kota Benteng Batavia tahun 1621.
Sehingga kemungkinan besar boei baru didirikan sesudah tahun 1621.11
9
Romli Atmasasmita, Dari Pemenjaraan Ke Pembinaan Narapidana, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), Cet. ke-1, h. 159
10
R.A. Koesnoen, Politik Penjara Nasional, (Bandung; Sumur Bandung, 1987), Cet. ke-4, h. 53
11
Sedangkan mengenai hukuman di Indonesia, pada akhir abad XVI sudah dikenal beberapa jenis hukuman (pidana) di antaranya; pidana mati, siksaan badan, denda, peringatan, pembuangan, dikeluarkan dari lingkungan adat masyarakatnya, penyitaan barang, dikurung, penghinaan kehormatan, dijadikan budak dan kerja paksa. Kemudian pada zaman VOC pada tahun 1602-1800,zaman peralihan (1800-1811), zaman Prancis – Belanda, yakni zaman Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) dikenal adanya pidana kurungan (mengerjakan pembersihan bui) dan pidana rantai (kerja berat).12
Pada zaman pemerintahan Inggris (1811-1816) oleh Raffles dihapuskan pidana-pidana yang dapat membuat cacat badan, juga diperintahkan supaya diadakan pembagian narapidana berdasarkan jenis kejahatan serta direncanakan pembangunan gedung-gedung penjara. Akan tetapi sayang usaha-usaha dan rancangan-rancangan Raffles yang cukup baik itu tidak dapat diwujudkan karena tidak dituruti (dipatuhi) oleh para pejabat eselon bawahannya. Sedangkan pada zaman Hindia Belanda (1816-1842), berdasarkan Ordonasi tanggal 6 Mei 1872) (IS. 1872, No. 85) diumumkan Wetboek van Strafrecht (WvS) untuk golongan bangsa Indonesia yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1876. WvS ini berdasarkan WvS tahun 1866 yang berlaku khusus bagi golongan bangsa Eropa, hanya susunan pidananya saja yang berbeda. Bagi golongan bangsa Indonesia masih tetap berlaku pidana mati, kerja paksa dengan rantai atau tidak, pidana penjara paling sedikit delapan hari dan denda.13
Kemudian pada tahun 1915 dengan Koninklijk Besluit (KB) tanggal 5 Oktober 1915 No. 33 (IS. 1915 No. 732) dimasukkan WvS baru ke Indonesia dan dengan KB tanggal 4 Maret 1917 No. 46 (IS.1947 No. 497) dinyatakan berlaku mulai tanggal 1 Januari 1917. WvS ini berlaku umum dengan susunan jenis pidana sebagaimana termaktub dalam Pasal 10-nya (KUHPsekarang) di manapidana penjara menjadi salah satu jenis hukuman pokok di samping pidana mati, kurungan, dan denda.14
Pidana penjara yang dimaksudkan itu adalah pidana hilang kemerdekaan di mana pelaksanaannya dilakukan dalam penjara. Sejak itu bangunan-bangunan penjara dalam arti yang sebenarnya telah ada. Sejak itu pula penjara dengan ”Sistem Kepenjaraan”–nya mulai memainkan peranan penting, yaitu perlakuan terhadap narapidana dan anak didik yang berada di bawah spektrum pencegahan kejahatan, khususnya pencegahan pengulangan kejahatan dengan melalui jalur ajaran yang menganggap tujuan pidana sebagai pembalasan.15
Sistem kepenjaraan adalah sistem perlakuan terhadap narapidana, di mana sistem ini adalah merupakan tujuan dari pidana penjara. Bagi mereka yang telah terbukti melakukan tindak pidana dan kemudian oleh Pengadilan dijatuhi hukuman (pidana) penjara dan sudah berkekuatan hukum tetap, maka oleh Pengadilan orang yang sudah dijatuhi hukuman tadi itu kemudian dikirim ke penjara untuk melaksanakan dan menjalani hukumannya sampai habis masa pidananya. Di tempat ini orang yang bersalah tadi diperlakukan sedemikian rupa dengan menggunakan sistem perlakuan tertentu (berupa penyiksaan dan hukuman badan lainnya) dengan harapan agar si narapidana betul-betul merasa tobat dan jera sehinga kemudian tidak akan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyebabkan ia masuk penjara. Dengan perlakuan sebagaimanadigambarkan di atas tidak lain adalah merupakan tujuan dari pidana penjara yangpelaksanaannya dilakukan pada suatu tempat yang berupa bangunan yang khusus dirancang untuk itu kemudian diberi nama dengan ”bangunan penjara”.
12
Ibid., h. 23 13
A. Widiada Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, (Bandung: CV. Armico, 1988), Cet. ke-1, h. 25
14
Ibid., h. 25 15
Setelah Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, pelaksanaan pidana
penjara masih belum banyak memperoleh kesempatan untuk diperbaiki, dan reglemen penjara
(Gestichten Reglement) 1917 masih tetap berlaku. Hal ini didasarkan pada pasal 2 Aturan
Peralihan UUD 1945 dan pasal 1 Peraturan Persiden Republik Indonesia No. 2, tanggal 10
Oktober 1945.16
Pada masa-masa berikutnya para jawatan kepenjaraan berusaha meningkatkan realisasi
pembaharuan pidana penjara dan penetapkan prinsip-prinsip yang tercantum dalam reglemen
1917, melalui konferensi-konferensi dinas. Di antara konferensi-konferensi yang pernah
dilaksanakan antara lain:17
1. Konferensi Dinas Kepenjaraan yang dilaksanakan di Nusa Kambangan pada tanggal 12-15
Nopember 1951: dari konferensi tersebut menghasilkan antara lain mengenai perawatan sosial
narapidana dan peningkatan pendidikan pegawai.
2. Konferensi Dinas Kepenjaraan berikutnya pada tanggal 21-25 Juli 1956 di Sarangan, yang
menghasilkan ketetapan tentang upaya kepenjaraan, yang pada prinsipnya pidana penjara
berupaya mengembalikan seorang narapidana untuk menjadi anggota masyarakat yang baik,
sehingga perlu ditingkatkan usaha-usaha ke arah pendidikan, pekerjaan narapidana, kegiatan
rekreasi, urusan pidana bersyarat dan proses pelepasan bersyarat harus ditingkatkan.
Dan pada tahun 1964, ada perubahan sistem kepenjaraan di Indonesia. Hal ini didasarkan
pada hasil konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan yangpertama pada tanggal 27 April – 7
Mei 1964 yang bertempat di Lembang, Bandung dan menghasilkan rumusan tentang dasar-dasar
usaha pemasyarakatan terhadap narapidana. Bahkan hasil rumusan-rumusan dari konferensi
terakhir ini dijadikan landasan untuk pembinaan sistem pemasyarakatan di Indonesia, hingga
16
Departemen Penerangan, Himpunan Perundang-undangan RI 1945, (Jakarta: Departemen Penerangan RI, t.th.), h. 37
17
kini.18 Hal ini bertitik tolak dari pandangan Dr. Sahardjo, SH19 bahwa tujuan dari pidana penjara
di samping menimbulkan rasa derita pada narapidana yang dihilangkan kemerdekaannya bergerak,
juga untuk membimbing narapidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota
masyarakat Indonesia yang berguna.20 Singkatnya tujuan dari pidana penjara adalah
pemasyarakatan.
Adapun rumusan-rumusan yang dihasilkan oleh konferensi Lembang tahun 1964 terdiri
atas sepuluh rumusan, yaitu: 21
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna dalam masyarakat.
2. Penjatuhan pidana adalah bukan tindakan balasan dendam dari Negara.
3. Rasa tobat tidaklah dapat dicapai dengan menyiksa, melainkan dengan bimbingan.
4. Negara tidak berhak membuat seseorang narapidana lebih buruk atau lebih jahat sebelum ia masuk lembaga.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau hanya diperuntukan bagi kepentinggan lembaga atau Negara saja. Pekerjaan yang diberikan harus ditunjukan untuk pembangunan Negara.
7. Bimbingan dan pendidikan harus berdasarkan azas Pancasila.
8. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia, meskipun ia telah tersesat.
9. Tidak boleh ditunjukan kepada narapidana bahwa ia itu penjahat.
10. Narapidana itu hanya dijatuhi pidana hilang kemerdekaan. Sarana fisik bangunan lembaga, dewasa ini merupakan salah satu hambatan pelaksanaan sistem pemasyarakatan.
18
Achmad S. Soemadi Praja dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan di Indonesia, (Jakarta: BPHN, 1979), Cet. ke-1, h. 12-13
19
Pada tanggal 5 Juli 1963, oleh Universitas Indonesia dianugrahkan gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum kepada Sahardjo,SH yang pada kesempatan itu, beliau mengemukakan pidato dengan judul ” Pohon Beringin Pengayom Hukum Pancasila – Manipol/Usdek ”, di mana selain dikemukakan konsepsi tentang hukum nasional, yang digambarkan dengan sebuah pohon beringan yang melambangkan pengayoman, juga dikemukakan pandangannya tentang pohon beringin itu, sebagai penyuluh bagi para petugas dalam memperlakukan narapidana. Lihat, R. Achmad S. Soemadi Praja dan Romli Atmasasmita, op. cit., h. 13
20
Achmad S. Soemadi Praja dan Romli Atmasasmita, ibid.,h. 13 21
Sepuluh prinsip di atas merupakan pokok aturan dan metode untuk pelaksanaan pidana
penjara di Indonesia. Demikian sekilas sejarah pidana penjara di Indonesia, sampai pada sistem
pemasyarakatan yang masih berjalan sampai saat ini.
A .1.c .Fungsi dan Tujuan Lembaga Pemasyarakatan
Sistem pemasyarakatan berbeda dengan sistem kepenjaraan, yang mana dalam sistem
kepenjaraan tersebut, cara pemidanaan masih menitikberatkan kepada pengenaan unsur badan.
Oleh karena itu sistem tersebut banyak mendapat kecaman dari masyarakat, karena dianggap tidak
manusiawi. Akhirnya pemerintah mengubah sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan
yang mempunyai fungsi berbeda dengan sistem kepenjaraan.
Adapun fungsi Lembaga Pemasyarakatan antara lain:22
1. Sebagai tempat penampungan para narapidana dan tahanan
Maksudnya adalah untuk memisahkan mereka dari masyarakat agar tidak terjadi
penularan kejahatan yang disebabkan oleh pengaruh mereka.
2. Sebagai tempat pendidikan dan pemidanaan
Maksudnya adalah memasyarakatkan kembali seseorang yang pernah mengalami
konflik/anti sosial, yaitu dengan pembinaan mental, pembinaan sosial, pendidikan
keterampilan dan lainnya. Bimbingan dan pembinaan tersebut tentunya disesuaikan dengan
kemampuan para pembimbing juga kemampuan serta kebutuhan narapidana.23
Mengenai tujuan diadakannya LP/Lapas pada dasarnya adalah sama dengan tujuan
pemidanaan, dengan alasan bahwa tujuan yang dikemukakan oleh Lembaga Pemasyarakatan
berpijak dari tujuan pemidanaan. Dengan demikian hukum pidana sebagai pengayom yang
bersifat mendidik, membimbing dan memperlakukan narapidana sesuai dengan harkat
kemanusiaan yang dilaksanakan dengan sistem kemasyarakatan yang dilengkapi dengan
tujuan yang beraspek membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana.
22
A. Widiada Gunakaya, op.cit., h. 60 23
A.2. Lembaga Pemasyarakatan (Penjara) Dalam Islam
A.2.a. Pengertian Penjara dalam Hukum Islam
Para fuqaha (Pakar Hukum Islam) tampaknya tidak ada kesepakatan dalam memberikan
istilah tempat yang diperuntukan bagi para pelanggar hukum. Ada yang menggunakan istilah
ﻦﺠ ﻟا
yakni penjara, dan ada pula yang menggunakan istilah kataﺒﺤﻟا
tempat tahanan.Menurut penulis penggunaan dua istilah tersebut (penjara dan tahanan) pada hakikatnya adalah
sama, yaitu mematikan aktivitas dan kreativitas seseorang yang melakukan tindak pidana.24
Adapun mengenai pengertian penjara, penulis akan membahasnya secara etimologi dan terminologi.
Secara etimologi penjara dikenal dengan
ﻦﺠ ﻟا
yang bentuk jamaknyaنﻮﺠ
berartiﺒﺤﻤﻟا
yang artinya tempat penahanan. 25Sedangkan secara terminologi atau istilah syara' penjara ialah seperti dikutip oleh Abdul
Aziz Amir sebagai berikut: " Tahanan ialah bukan menahan seseorang pada tempat yang sempit,
tetapi yang dimaksud tahanan tersebut ialah merintangi dan menghalangi tindakan itu sendiri,
tempat penahanan tersebut, baik di rumah, di masjid ataupun tempat lainnya."26 Definisi ini, sesuai
dengan penjara yang terjadi pada masa Nabi SAW. dan Abu Bakar karena penyebaran Islam pada
waktu itu belum begitu luas. Sedangkan setelah Islam tersebar secara luas, maka definisi penjara
adalah suatu tempat yang membatasi kemerdekaan seseorang dan menyakiti jiwanya.27 Senada
dengan definisi itu adalah meletakkan terpidana/narapidana pada salah satu rumah penjara umum
yang dipekerjakan di dalam rumah penjara tersebut atau di luarnya menurut tempat-tempat yang
ditentukan oleh pemerintah.28
24
Abdul Qadir Audah, at-Tasyri al-Jina’i al-Islami,(Kairo : Dar Al-Fikr, 1994), Jilid II, h. 891
25
Lois Ma’luf, Kamus Al-Munjid, (Beirut: Dar Al-Masyruq, t.th.), h. 322 26
Abdul Aziz Amir, At-Ta’zir fi As-Syari’ah Al-Islamiyah, (Libanon: Dar Al-Fikr Al-Arabiy, 1980), h. 361
27
Ibid., h. 362 28
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan, bahwa penjara dalam Islam adalah suatu
tempat yang dimaksudkan untuk menahan seseorang yang telah melakukan tindak pidana agar ia
tidak mengulangi perbuatannya lagi, dan penahanan tersebut dimaksudkan untuk mendidik si
pelaku untuk mampu memperbaiki diri dari hal-hal yang dilarang syara’.
A.2.b.Sejarah Perkembangan Penjara dalam Islam
Masalah penjara sebetulnya sudah ada semenjak dahulu, di antaranya adalah pada masa
Nabi Yusuf, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an dalam surat Yusuf ayat 33 sebagai berikut :
Yusuf berkata: “ Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka ( Julaiha ) kepadaku.” (Q.S. Yusuf: 33)
Memang pada awal masa pemerintahan Islam, terutama pada masa Nabi dan Khulafa
Ar-Rasyidin, menurut pendapat yang rajih [yang dapat dipercaya] masalah penjara belum dikenal
pada masa itu. Namun jika pengertian penjara yang dikenal dengan istilah
ﺒﺤﻟا
maka penjarayang demikian itu sudah dikenal pada masa itu, dan Nabi menyebut tahanan itu sebagai tawanan.29
Fuqaha berbeda pendapat mengenai, apakah Nabi dan Abu Bakar mempunyai penjara
dan pernah menahan seseorang. Sebagian pendapat mengatakan, bahwa baik Nabi maupun Abu
Bakar tidak pernah membangun penjara dan juga tidak pernah memenjarakan seseorang.
Sementara pendapat yang lain mengatakan, bahwa Nabi pernah memenjarakan seseorang yang
dicurigai membunuh ketika beliau berada di Madinah, dan beliau juga pernah memenjarakan
seseorang yang dicurigai melakukan tindak pidana lainnya. Namun pemenjaraan tersebut hanya
berlangsung beberapa saat, tetapi tidak ada petunjuk yang memberikan keterangan bahwa Nabi
mempunyai tempat penjara khusus.30
29
Abdul Aziz Amir, op.cit., h. 362 30
Pada masa pemerintahan Umar, ketika masyarakat sudah mulai meluas, beliau membeli
rumah Sofwan bin Umayah di Mekah seharga 4000 dirham. Rumah ini diperuntukan khusus buat
penjara. Itulah penjara yang pertama kali dalam Islam dan Umar mulai memanfaatkan penjara
tersebut, yaitu dengan memenjarakan Hutai’ah, seorang penyebar fitnah. Sedangkan pada masa
Utsman bin Affan, beliau pernah memenjarakan Dhoby Abi Al-Harits, seorang pencuri dari Bani
Tamim. Adapun biaya hidup mereka (para tahanan) ditanggung sendiri oleh mereka atau dengan
cara mengumpulkan dana dari para dermawan. Namun setelah Ali berkuasa, beliau merombak
sistem ini, dan biaya hidup mereka diambil dari Baitul Mal.31
Pada masa pemerintah Umar bin Abdul Azis, beliau adalah orang yang sangat sayang
terhadap narapidana. Bahkan ia memerintahkan kepada pengawalnya agar jangan sekali-kali orang
yang berada dalam penjara dalam keadaan terikat sehingga mereka tidak mampu sholat sambil
berdiri, kecuali orang yang memang tertuduh sebagai pembunuh, walaupun mereka memang
hanya diberi biaya sesuai dengan kemaslahatannya.32
Pada masa Abbasiyah, orang yang terpidana terkadang dikurung di rumah mereka
masing-masing atau di rumah seseorang yang dipercaya, atas izin pemerintah. Khalifah Harun
Al-Rasyid pernah memenjarakan rival politiknya di rumah Fadhol bin Robi’. Namun ia diperlakukan
sebaik mungkin, dengan makanan yang cukup, tercatat juga bahwa Harun Al-Rasyid mempunyai
satu rumah penjara untuk orang-orang tertentu. Rumah penjara ini dikenal dengan Dar As-Sindi
bin Sahiq. Penjara ini khusus dipakai untuk memenjarakan para tahanan politik dan para terpidana
yang diharapkan dapat kembali ke jalan kebaikan. Harun Al-Rasyid juga pernah meminta kepada
Qadi Abu Yusuf untuk menyusun suatu peraturan tertentu yang berisi tentang cara-cara
memperlakukan narapidana. Kemudian disusunlah kitab peraturan-peraturan mengenai hal itu.
Peristiwa dan sistem ini mendahului cara-cara yang dipergunakan orang Eropa sekitar 10 abad.33
31
Ibid., h. 363 32
Ibid., h. 364 33
A.2.c. Fungsi Penjara dalam Hukum Islam
Pada pembahasan sebelumnya telah dikemukakan tentang fungsi Lembaga
Pemasyarakatan. Dari uraian tersebut diperoleh suatu gambaran bahwa fungsi lembaga
pemasyarakatan yang sampai saat ini masih berjalan di Indonesia antara lain sebagai tempat
penahanan, sebagai tempat pembinaan dan pendidikan, dan sebagai lembaga pemasyarakatan
sesuai dengan namanya.
Adapun fungsi penjara dalam hukum Islam hampir sama dengan fungsi penjara yang
dikemukakan hukum positif, yaitu :
1. Sebagai Tempat Penahanan
Sesuai dengan yang telah diuraikan di atas tentang pengertian penjara dalam Islam,
bahwa penjara adalah sebagai tempat penahanan, penahanan yang dimaksud hanya untuk
merintangi dan menghalangi tindakan seseorang untuk melakukan sesutu yang dilarang oleh
syara’.34
2. Sebagai Lembaga Pembinaan dan Pendidikan
Seseorang yang dimasukan ke dalam penjara, bukan berarti dibiarkan begitu saja, namun
mereka diberikan berbagai pendidikan dan pembinaan, terutama pendidikan yang bersifat
keagamaan, yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi narapidana serta mencegah mereka
agar tidak berbuat kejahatan kembali, dan juga untuk mengarahkan mereka agar menjadi
manusia yang taat kepada Allah SWT., sehingga mereka takut untuk melakukan kejahatan.35
3. Sebagai Lembaga Pemasyarakatan
Hukum Islam dalam memperlakukan narapidana tidak semata-mata sebagai tahanan,
namun diperhatikan pula hak-hak kemanusiaannya, bahwa manusia adalah sebagai makhluk
34
Ibid., h. 322 35
sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya unsur lain. Hal ini sesuai dengan firman
Allah sebagai berikut :
Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami telah ciptakan kamu dari seorang pria dan wanita, lalu kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling berhubungan dengan baik. Sesungguhnya yang palin mulia di sisi Allah ialah yang paling taqwa di antaramu.” (Q.S. Al-Hujurat: 13)
Dari ayat di atas jelaslah, bahwa kehidupan bermasyarakat dalam hukum Islam
betul-betul sangat dibutuhkan. Meskipun seseorang itu telah ditahan, tetapi apabila ia telah bertobat atas
segala kesalahan yang dilakukannya dan berjanji tidak mengulangi tindak pidananya tersebut,
maka ia diberi kebebasan untuk kembali kemasyarakat.
B.Residivis dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif
B.1.Residivis dalam Perspektif Hukum Islam
B.1.a.Pengertian Residivis
Pada prinsipnya dasar-dasar hukum pengulangan jarimah (tindak pidana) dalam hukum
Islam telah ada sejak 14 abad yang lalu. Namun sangat disayangkan banyak orang tidak
mengetahuinya.36 Mengenai pengertian residivis, pengulangan, secara bahasa Arab berasal dari
kata:
دﻮ
–
دﻮ ﻳ
–
دﺎ
yang
mempunyai makna kembali atau mengulangi. Jikadirangkaikan dengan kata al-jarimah atau al-jinayah maka akan mempunyai arti pengulangan
jarimah/residivis (pengulangan tindak pidana).37 Sedangkan kata pengulangan jarimah menurut
36
Ibid., h. 768 37
istilah adalah seseorang yang melakukan jarimah yang telah mendapatkan hukuman pada jarimah
yang pertama. Dalam hal ini pengulangan jarimah/residivis terjadi dari seseorang yang melakukan
jarimah secara berulang kali pada seseorang. Setelah menjalankan hukuman secara tuntas atau
sebagian.
Pengulangan jarimah dengan penggabungan jarimah berbeda. Adapun letak
perbedaannya adalah di mana dalam penggabungan jarimah si pelaku jarimah pada kejahatan
pertama belum dijatuhkan hukuman. Sedangkan dalam pengulangan jarimah ini, kejahatan
pertama yang telah dilakukan oleh pelaku telah dijatuhkan hukuman. Dalam pengulangan jarimah
untuk kejahatan yang telah dijatuhkan hukuman, sebenarnya jarimah itu mengikat pelaku jarimah
dan juga hukuman yang dijatuhkan terhadap tindak pidana yang pertama tidak membuat pelaku
jera. Para ulama berpendapat bahwasanya dalam membuat jera pelaku jarimah, bagi setiap pelaku
yang mengulangi kembali perbuatan kejahatannya maka dihukum dengan memperberat hukuman,
di mana dalam hal ini bertujuan untuk membuat pelaku jera.38
Pemberatan hukuman dalam pengulangan jarimah terdapat dua ketetapan yaitu : 39
1. Pada dasarnya hukuman hadd itu merupakan hukuman yang telah ditentukan jumlahnya,
sehingga tidak terdapat ruang untuk ditambah ataupun dikurangi.
2. Sesungguhnya hukuman hadd dijatuhkan untuk menghalangi masyarakat dalam melakukan
jarimah seperti yang telah dilakukan oleh seseorang yang pernah dijatuhkan hukuman.
Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku jarimah tidak semata-mata untuk menghukum
pelaku jarimah dan menjatuhkan tuduhan saja. Pada dasarnya tujuan hukuman adalah untuk
mendidik dan mencegah pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya dan menjadi contoh bagi
masyarakat agar tidak meniru perbuatan tersebut.
38
Abdul Qodir Audah , op. cit, h. 766 39
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian residivis atau pengulangan
dalam hukum Islam adalah sama dengan pengertian yang dikemukakan dalam hukum positif,
yaitu melakukan jarimah (tindak pidana) yang telah mendapatkan hukuman pada jarimah yang
pertama.
B. 1. b. Bentuk-bentuk Residivis
Penghukuman jarimah telah ditetapkan dalam hukum Islam baik dalam Al-Qur’an,
Sunnah, maupun Ijma’. Hanya saja, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam penetapan
dasar penegakan hukuman residivis.
Berdasarkan perbedaan tersebut, seperti dikutip oleh Abdul Qadir Audah bahwa
pengulangan jarimah dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 40
1. Pengulangan Khusus
Suatu jarimah tidak dianggap sebagai pengulangan jarimah kecuali apabila kejahatan
yang dilakukan kedua kalinya oleh pelaku jarimah yang sama atau sejenis dengan jarimah
yang pertama. Apabila terjadi jarimah yang kedua kalinya dan jarimah tersebut tidak sama
dengan jarimah yang pertama (tidak sejenis), maka pelaku jarimah tersebut tidak dianggap
sebagai pelaku pengulangan jarimah.
2. Pengulangan Umum
Adalah dianggap sebagai pengulangan jarimah, apabila jenis kejahatan yang dilakukan
pada jarimah yang kedua kalinya tidak sama atau harus berbeda dengan jarimah yang
pertama.
Dalam hal mengenai waktu dalam pengulangan jarimah ini fuqaha tidak menentukan
batas waktu antara jarimah yang pertama dengan jarimah yang kedua.41 B. 1. c. Sistem Pemidanaan terhadap Pelaku Residivis
Dalam hukum Islam sistem penghukuman terhadap pelaku yang mengulangi kembali
kejahatannya, kemungkinan dapat diperberatnya hukuman bagi pelakunya.42
40
Abdul Qodir Audah , op. cit., h. 766 dan Abdul Aziz Amir, op.cit., h. 505 41
Mengenai penambahan hukuman karena pengulangan, tidak terdapat keseragaman bagi
semua jarimah. Sehingga setiap jarimah terdapat ketentuannya masing-masing.
Dari ketentuan tersebut di atas, sebagai contoh pada pelaku peminum khamr apabila
terjadi pengulangan setelah dijatuhkan hukuman pada perbuatan yang terdahulu. Dia dapat
dikenakan pemberatan hukuman apabila ia melakukan kembali perbuatan tersebut, sebagaimana
dijelaskan dalam sebuah hadits:
ا
نا
درو
ﺪﻗو
بﺮﺷ
ﺪﻗ
نﺎ ﺎ
أ
و
ﻰ ﺎ
ﷲا
ﻰ ﺻ
ﻰ
ﺮ ﺨ ا
ﺎﺛﻼﺛ
,
ﺮﻀﻓ
ﺮ ﺎﻓ
,
نﺎآ
ﺎ ﻓ
ﻰﻓ
ﺪ ﻓ
ﺮ ا
ﺔ اﺮ ا
و
)
اور
راﺰ ا
(
43 Artinya:Dan telah datang seseorang menghadap kepada Nabi Muhammad bersama dengan Nu’man yang telah meminum khamer sebanyak tiga kali, maka Nabi memerintahkan untuk dipukul, maka ketika ia meminum yang keempat kalinya Nabi memerintahkan untuk mencambuknya.(H.R. Al-Bazzar)
Hadits ini menunjukan bahwa pengulangan jarimah mewajibkan ta’zir. Hal ini juga
menunjukan adanya pemberatan dalam penghukuman, karena sesungguhnya pemukulan itu lebih
ringan dari pada jilid, tiga kali minum satu kali pukulan, yang keempat kalinya dijatuhi hukuman
cambuk. Pemberatan hukuman itu karena adanya pengulangan, di mana terdapat pemberatannya
pada alat pemukulnya.
Dalam hadist lain juga disebutkan mengenai pemberatan pada pelaku peminum khamr
yang telah berulang kali melakukan pengulangan jarimah tersebut. Dari Abdullah bin Umar
menerangkan:
ﺮ
ﷲا
ﺪ
لﺎﻗ
:
ﷲا
ﻰ ﺻ
ﷲا
لﻮ ر
لﺎﻗ
و
أو
:
ﺷ
ﺮ
ﺎﻓ
ﺮ ﺨ ا
ب
ﺪ ﺎﻓ
دﺎ
نﺎﻓ
وﺪ
و
نﺎﻓ
ﻮ ﻗ
ﺎﻓ
دﺎ
.
ﺪ
لﺎﻓ
42 Ibid. 43ﷲا
:
ا
بﺮﺷ
ﺪﻗ
ﺮ
ﻰ ﻮ
ﻗأ
نأ
ﻰ
ﻜ ﻓ
ﺔ اﺮ ا
ﻰﻓ
ﺮ ﺨ ا
.
)
ﺪ ﺣأ
اور
(
44 Artinya:
Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang meminum arak cambuklah dia, jika ia mengulanginya, cambuklah, jika ia tetap mengulanginya, maka bunuhlah, Abdulah berkata: hadapkanlah kepadaku seorang peminum arak yang mengulangi perbuatannya untuk yang keempat kali, aku akan membunuhnya. (H.R Ahmad)
Hadits tersebut di atas menunjukan pemberatan hukuman bagi pelaku jarimah yang
mengulangi perbuatannya, dan dalam pemberatan sanksi hukuman dapat juga dalam bentuk
hukuman mati.
Dari penjelasan contoh tersebut di atas, pelaku pengulangan peminum khamr
menyebabkan pemberatan pada hukuman dan hal ini membuka dua pendapat: 45
1. Pemberatan pada alat pemukulnya. Di sini hakim dapat memilihnya dalam menjatuhkan
hukuman, apakah diperberat ataukah diperingan, sementara jumlahnya tetap sama.
Perbedaanya hanya penukaran pada alat eksekusi hukuman.
2. Penambahan hukuman ta’zir, maka hakim dapat menambahkan hukuman karena
pengulangannya itu.
Sebagai contoh yang lain:
Dalam perzinaan jika si pelaku perzinaannya mendapatkan hukuman dera atau jilid. Jika
perbuatan tersebut oleh si pelaku dilakukan kembali, maka dia dapat diperberat hukumannya
dengan alat pemukul.
Jadi, cara pemberatan hukuman pada pelaku jarimah yang melakukan kembali
kejahatannya adalah dengan cara: 46
1. Pemberatan pada alat pemukulnya.
2. Penambahan pada hukuman ta’zir (ditambah dengan hukuman penjara).
44
T. M. Hasbi Asshiddiqie, Koleksi Hadist-Hadist Hukum, (Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. ke-3, JIlid IX, h. 193
45
Muhammad Abu Zahroh, op.cit., h. 217 46
Demikianlah salah satu contoh sistem penghukuman dalam Islam dan masih banyak lagi
kasus-kasus yang menunjukan pemberatan hukuman terhadap pelaku pengulangan jarimah, yang
tidak dapat diuraikan secara keseluruhan oleh penulis. Hal yang menjadi titik fokus dalam
pengulangan jarimah ini adalah jika seandainya suatu jarimah yang pertama telah dijatuhkan
hukuman dan dia mengulangi kembali jarimah tersebut, maka tidak menutup kemungkinan untuk
diperberatnya suatu hukuman. Jika si pelaku kembali lagi melakukan kejahatan setelah
diperberatnya hukuman, maka ia dapat dikenakan sanksi hukuman mati atau dapat pula dijatuhkan
hukuman penjara seumur hidup.47
B.1. Residivis dalam Perspektif Hukum Positif
B.1.a. Pengertian Residivis
Residivis adalah seseorang yang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran dan telah
dijatuhi hukuman (vonis) dan hukuman itu telah dijalankan, kemudian ia melakukan kejahatan
kembali.48
Menurut Adeng H. Suadarsa, seperti dikutip Ninik Widianti dan Pujanuraga residivis
ialah orang yang pernah melakukan suatu perbuatan kriminal atau tindak pidana, kemudian
dijatuhkan hukuman dan setelah selesai menjalankan hukumannya itu ia masih juga melakukan
tindak pidana ulangan.49
Sementara S.R Sianturi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan residivis secara umum
adalah apabila seseorang melakukan tindak pidana dan untuk itu dijatuhkan pidana padanya, akan
tetapi pada jangka waktu tertentu (mis, 5 tahun):
a. Sejak setelah tindak pidana tersebut dilakukan seluruhnya atau sebagian atau
b. Sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan atau
47
Abdul Qodir Audah, op.cit, h. 768 48
Samidjo, Pengantar Pengulangan Indonesia, (Bandung : Armico, 1985), h. 166 49
c. Apabila kewajiban menjalankan pidana itu belum kadaluarsa.
Pelaku yang sama itu kemudian melakukan tindak pidana lagi.50
Hal residivis ini diatur dalam KUHP buku II titel XXXI. Pasal.486 :
(stbld. 26/359. 429-34/172, 337). Hukuman penjara yang ditentukan pada pasal 127, 204 – ayat pertama, 244-248, 253-260 bis. 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan ketiga, 368 ayat pertama dan kedua, sekedar ditunjukan di situ pada ayat kedua dan ketiga, pasal 365, pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425, 432, ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitu juga hukuman penjara sementara yang akan dijatuhkan menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua, sekedar ditunjukan di situ kepada ayat keempat. Pasal 365, dapat ditambah sepertiganya, jika yang bersalah melakukan kejahatan itu belum lewat lima tahun sejak ia lepas dari menjalani seluruh atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Pada salah satu pasal 140-143 dan 145-149 atau sejak ia dibebaskan sama sekali dari hukuman itu atau bila pada waktu membuat kejahatan itu hak menjalankan hukuman itu belum hilang karena lewat waktunya.
Pasal.487 :
Hukuman penjara ditentukan pada pasal 131, 140, ayat pertama, 141, 170, 213, 214,338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353, 355, 438-443, 459 dan 460 begitu pula hukuman penjara sementara yang akan dijatuhkan menurut pasal 104, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340, 344 dapat sepertiganya, jika pada waktu bersalah itu belum lewat waktu lima tahun sejak ia lepas dari menjalani seluruh atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan padanya baik pada salah satu kejahatan maupun yang diterangkan pada pasal-pasal itu karena salah satu kejahatan yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer pada salah satu pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109 sekedar kejahatan yang dibuat itu atau perbuatan yang beserta dilakukan pada waktu itu menyebabkan suatu luka atau menyebabkan matinya orang, 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 atau sejak ia dibebaskan sama sekali dari hukuman itu atau pada waktu melakukan kejahatan, hak menjalankan hukuman itu belum hilang karena lewat waktunya.
Pasal 488 :
50
Hukuman yang ditentukan pada pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321 dan 484 dapat ditambah sepertiganya, jika pada waktu yang bersalah melakukan kejahatan itu belum lewat waktu lima tahun, sejak ia lepas dari menjalani sama sekali atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal itu, atau sejak pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum kadaluarsa.51
Contoh :
A melakukan pencurian, maka dari itu ia diadili untuk diberi keputusan dan hakim
menjatuhkan hukuman misalnya 5 tahun. Setelah A menjalankan hukuman dan dibebaskan
kemudian ia mengulangi perbuatannya lagi dan melakukan pencurian untuk yang kedua kalinya.
Pencurian yang kedua kalinya dilakukan di dalam jangka 5 tahun, setelah ia menjalani
hukuman dan kembali lagi ke dalam masyarakat. Untuk perbuatan pencurian yang kedua kalinya
hukuman yang dapat dijatuhkan adalah 5 tahun + 1/3 x 5 tahun = 6 tahun 8 bulan, walaupun
ternyata dalam prakteknya hakim jarang sekali menjatuhkan hukuman yang berat.
Adapun yang menjadi dasar diperberatnya hukuman bagi residivis adalah bahwa orang
yang demikian itu membuktikan telah mempunyai tabiat yang jahat dan oleh sebab itu dianggap
merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi residivis/pengulangan
jarimah dalam hukum Islam pada kenyataannya adalah sama dengan definisi residivis yang
dikemukakan hukum positif, yaitu melakukan kejahatan dan telah dijatuhi hukuman dan hukuman
tersebut sudah dijalankan baik setengah maupun seluruhnya.
B.1.b. Bentuk-bentuk Residivis/Pengulangan Tindak Pidana
Mengenai bentuk-bentuk pengulangan tindak pidana, menurut doktrin, dari sudut
sifatnya, sistem residivis itu dapat dibagi dalam dua bagian :
a. Residive Umum (Generale Residive)
51
Adalah apabila seseorang melakukan kejahatan, terhadap kejahatan yang mana telah dijatuhi
hukuman, maka apabila ia kemudian melakukan kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk
kejahatan apapun, kejahatan tersebut dapat digunakan sebagai alasan untuk memperberat
hukuman.
Contoh :
A melakukan kejahatan pencurian, karena itu, ia dijatuhi hukuman. Setelah A menjalani
hukuman, ia kembali dalam masyarakat itu. Akan tetapi A kemudian melakukan kejahatan
penganiayaan terhadap B.
Berdasarkan residive ini, maka perbuatan penganiayaan itu dapat merupakan alasan
untuk memperberat hukuman yang dijatuhkan atas dirinya.
b. Residive Khusus (Speciale Residive)
Jenis residive ini terdapat bila :
Seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan hukuman oleh hakim.
Kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang sama (sejenis) dengan kejahatan yang pertama,
maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian itu merupakan dasar untuk meperberatkan
hukuman.52
Contoh :
1. Kejahatan terhadap keamanan negara : makar, untuk membunuh presiden, dan
menggulingkan pemerintahan, pemberontakan dan lain sebagainya.
2. Kejahatan terhadap tubuh atau nyawa orang :
Penganiayaan, perampasan kemerdekaan, perampasan jiwa dan lain sebagainya.
3. Kejahatan terhadap harta benda : perampasan, pencurian, penggelapan dan penipuan dan
lain sebagainya.53
52
Ibid, h. 186-187 53
Menurut sistem yang pertama, pengulangan dari pada suatu kejahatan yang manapun,
sudah dilakukan kejahatan itu menyebabkan ditambahnya pidana, sedangkan menurut sistem
kedua hanya pengulangan dari pada kejahatan yang sejenis menyebabkan ditambahnya pidana.54
Mengenai pengulangan tindak pidana ini seperti yang telah diterangkan sebelumnya
diatur dalam KUHP buku ke-II titel ke-31 (pasal 486, 487 dan 488). Maka maksimal pidana
ditambah sepertiganya, akan tetapi dalam hal ini ditentukan beberapa syarat tentang seseorang
dapat dikategorikan sebagai residivis :55
1. Terhadap kejahatan yang pertama yang telah dilakukan harus sudah ada keputusan hakim yang mengandung hukuman.
2. Keputusan hakim tersebut, harus merupakan keputusan yang tidak dapat diubah lagi, artinya yang mempunyai kekuatan hukum tetap, ini tidak berarti bahwa hukuman itu harus sudah dijalani.
3. Di dalam pasal 486 dan 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan penjara, sedang di dalam pasal 488 tidak ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama. 4. Jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian dan hukuman yang dijatuhkan
terhadap perbuatan yang pertama, jangka waktunya adalah lima tahun.
Contoh:
A melakukan tindak pidana pencurian pada tanggal 2 januari 2000, kemudian A
dijatuhi hukuman penjara 1 tahun, yang dijalani saat itu juga. Pada tanggal 2 januari 2001
setelah ia menjalankan hukuman seluruhnya, A dibebaskan. Kemudian pada tanggal 1 januari
2002, A melakukan perbuatan penggelapan, dengan demikian jangka waktu antara tanggal 1
januari2001 dan saat perbuatan masih terletak kurang dari lima tahun, dan atas dasar pasal
486 hukuman atas diri A berhubungan dengan perbuatannya yang kedua tadi, dapat ditambah
dengan sepertiganya.
54
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta : Aksara baru, 1978), Cet. ke-3, h. 11
Akan tetapi, apabila setelah dibebaskan pada tanggal 2 januari 2001, pada tanggal 10
januari 2006 melakukan penipuan, maka atas diri A tidak boleh dijatuhkan hukuman yang
terberat, karena pada saat dilakukannya perbuatan yang kedua itu telah terletak di luar jangka
waktu.
Mengenai hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertama dilakukan,
dapat diterangkan bahwa apakah hukuman itu telah dijalani seluruhnya atau sebagian atau
walaupun si terhukum mendapatkan ampunan (grasi), hal ini tetap merupakan dasar
pemberatan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap perbuatan yang kemudian dilakukan.56
B. 2. c. Sistem Pemidanaan terhadap Pelaku Residivis.
Sistem penghukuman untuk residivis pada prinsipnya termasuk salah satu pemberatan
maksimum ancaman pidana, atau setidaknya penambahan suatu ketentuan untuk membolehkan
menjatuhkan pidana tambahan.57
Pemberatan hukuman karena pengulangan adalah wajib, yaitu sepertiga. Pasal-pasal 486
dan 487 KUHP menentukan hanya hukuman penjara yang terkena ancaman terhadap delik
diperberat sepertiga, sedangkan pasal 488 KUHP menentukan bahwa hukuman yang diancamkan
terhadap delik-delik yang tercantum dalam pasal ini, termasuk pula hukuman kurungan dan
hukuman denda, dapat juga diperberat sepertiga.58
Pemberatan maksimum ancaman pengulangan tindak pidana ditentukan dalam:
a. pasal 486, (kejahatan yang umumnya mencari keuntungan yang tidak halal), yaitu dapat
menambah maksimum ancaman pidana dengan sepertiganya apabila terdakwa
mengulangi salah satu delik mengenai:
1. Penyerahan barang (pasal ; 127, 204 ayat 1)
2. Pemalsuan uang (pasal 224-274)
3. Pemalsuan matrai/merek (pasal 253-260 bis)
56
Satochid Kartanegara, op. cit.,h. 188-189 57
S.R. Sianturi, op. cit., h. 404 58
4. Pemalsuan surat/ akta (pasal 263, 264,266,274) 5. Pencurian (pasal: 362,363,365, ayat 1,2 dan 3) 6. Pemerasan/ cahantage (pasal; 368 jo 365, 369) 7. Penggelapan (pasal: 372, 374, 375)
8. Penipuan (pasal: 378, 380, 381, 383, 385, 388) 9. Merugikan pemiutang (pasal: 397, 399, 400, 402) 10. Kejahatan jabatan (pasal: 415, 417, 425, 432, ayat 2) 11. Kejahatan pelayaran (pasal: 452, 466, 480, 481) KUHP.
Sedangkan sebelumnya pelaku yang sama telah melakukan salah satu delik tersebut
no.(1) sampai dengan (11) atau salah satu delik pencurian, penadahan atau perusakan
barang (140-143, 145-149) yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Militer (KUHPM), yang mana ia telah dijatuhkan hukuman pidana yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
b. Pasal 487 (umumnya kejahatan terhadap tubuh/jiwa orang) yaitu dapat menambah
maksimum ancaman pidana dengan sepertiganya, apabila terdakwa (yang bersalah)
mengulangi salah satu delik mengenai:
1. Kejahatan terhadap keamanan Negara (pasal 140)
2. Kejahatan terhadap martabat Presiden atau Kepala Negara sahabat (pasal 313, 140, 141)
3. Kejahatan terhadap ketertiban umum (pasal 170) 4. Kejahatan terhadap penguasa umum (pasal 213, 214)
5. Kejahatan terhadap jiwa (pasal 338, 339, 340, 341, 342, 344, 347, 348) 6. Penganiayaan (pasal 351, 353, 355 )
7. Kejahatan pelayaran (pasal 438, 443, 459, 460)
Sedangkan sebelumnya telah melakukan salah satu delik di atas dari poin (1) sampai
dengan (7) atau salah satu delik insubordinasi (106, 107), muiterij (108), pemukulan pada
karyawan (pasal 131) atau penggunaan kekerasan pada orang (pasal 137, 138) KUHPM
c. Pasal 488 (umumnya kejahatan penghinaan ), yaitu dapat menambah ancaman pidana
dengan sepertiganya apabila terdakwa (yang bersalah) mengulangi salah satu delik
mengenai:
1. Penghinaan terhadap Presiden atau wakil Presiden (pasal 134, 136 bis, 137)
2. Penghinaan terhadap Kepala Negara (Raja yang memerintah) dan Negara sahabat
atau yang mewakilinya (pasal 142, 143, 144)
3. Penghinaan terhadap bangsa Negara sahabat (pasal 142a)
4. Penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia (pasal 207,
208)
5. Penghinaan (pasal 310-321)
6. Kejahatan penerbitan atau percetakan (pasal 483, 484)
Sedangkan sebelumnya pernah melakukan salah satu delik tersebut dari poin 1 sampai
dengan poin 6 di atas, di mana ia telah dijatuhkan hukuman pidana yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.59
Sedangkan jangka waktu yang ditentukan untuk pengulangan tersebut pasal 486, 487,
488 adalah:
a. Ketika ia melakukan kejahatan (ulang) itu, belum lewat lima tahun :
1) Sejak ia menjalani seluruh atau sebagian pidana yang dijatuhkan kepadanya, atau
2) Sejak pidana yang dijatuhkan tersebut baginya sudah dihapuskan ataupun
b. Ketika ia melakukan kejahatan (ulangan) itu, kewenangan menjalankan pidana (yang
dijatuhkan) tersebut belum kadaluarsa.
Jangka waktu pengulangan yang ditentukan pada pasal 137, 144, 208, 216 dan 303 bis
adalah dua tahun sedangkan untuk pasal-pasal: 155, 147, 161, 163 dan 393 adalah lima tahun.
Perhitungan di mulai sejak putusan hakim sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam
59
penerapan ketentuan-ketentuan pasal-pasal: 137, 144, 155, 157, 161, 163, dan 208, yang
ditentukan bukan tambahan pidana pokok, melainkan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
larangan menjalankan pencaharian tertentu. Untuk penerapan ketentuan pada pasal 216 ancaman
pidana diperberat dengan ditambah sepertiganya: untuk pasal 303 bis dari empat tahun pidana
penjara menjadi enam tahun penjara atau dari denda sepuluh juta rupiah menjadi lima belas juta
rupiah. Untuk pasal 393 juga diperberat dengan setengahnya. Jangka waktu untuk pengulangan
berkisar pada satu tahun atau dua tahun, sedangkan mengenai ancaman pidananya diperberat.60
Apabila si pelaku tindak pidana sudah dijatuhkan hukuman dan mempunyai kekuatan
hukum tetap, maka statusnya berubah menjadi terpidana/narapidana dan selanjutnya dikirim ke
Lembaga Pemasyarakatan (LP/Lapas) untuk dididik dan dibina agar tidak mengulangi kembali
kejahatan. Salah satu Lapas yang menjadi tempat pembinaan narapidana adalah Lapas Kelas II A
Wanita Tangerang.
60
BAB III
DESKRIPSI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II A WANITA TANGERANG
A. Sejarah Berdiri dan Letak Geografis LP Kelas II A Wanita Tangerang
Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Wanita Tangerang merupakan pindahan dari Bukit
Duri yang berada di kawasan Jatinegara Jakarta Timur. Pada zaman penjajahan Belanda rumah
penjara Bukit Duri dijadikan tempat untuk mengeksekusi narapidana yang telah divonis hukuman
mati. Rumah penjara Bukit Duri didirikan pada tahun 1925 di masa penjajahan Belanda. Setelah
Indonesia merdeka, rumah penjara Bukit Duri digunakan pemerintah sebagai asrama polisi seksi
VII. Rumah penjara Bukit Duri ini kemudian diminta untuk dijadikan rumah penjara wanita
karena pada waktu itu penjara yang khusus untuk wanita belum ada, dan pada saat itu LP Wanita
masih disatukan dengan penjara pria di Salemba.61
Karena rumah penjara Bukit Du