• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESPON RAKYAT ACEH TENGAH TERHADAP TENGKU IBRAHIM MANTIQ

USAHA TENGKU IBRAHIM MANTIQ DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN DAN DAKWAH DI TANAH GAYO ACEH TENGAH

C. RESPON RAKYAT ACEH TENGAH TERHADAP TENGKU IBRAHIM MANTIQ

Pada tahun 1936, tercatatlah nama Tengku Ibrahim sebagai seorang da’i yang cerdas dan penuh enerjik memulai debutnya dalam bidang dakwah Islamiyah di Tanah Gayo. Ketika itu ia masih berjalan sendiri, karena Tengku Ahmad Damanhuri dengan nama panggilan Tengku Silang sedang melanjutkan pendidikannya di Candung Bukit Tinggi, Sumatra Barat dan Tengku Abdurrahman Bebesen masih berguru di Cot Meurak Bireun. Sedang Tengku Abdul Jalil dan Tengku Mukhlis masih mencari ilmu di Jawa44.

Oleh karena itu dalam menjalankan missi ini, jadwalnya cukup padat. Ia kadang-kadang berhari-hari lamanya tidak pulang, sehingga membuat ibunya gelisah menunggu di Kenawat. Karena ia memberikan ceramah dari kampung yang satu pindah ke kampung yang lain. Sehingga ruang jelajahnya terbentang luas, mulai dari kampung Bintang dibagian timur sampai ke kampung Pegasing di bagian barat.

Namun demikian kehadirannya dalam arena dakwah di tahun 1930-an, nampaknya belum dapat berjalan pas dengan situasi dan kondisi zaman. Karena itu dalam awal geraknya, ia bergerak hati-hati dan menyamakan langkah dengan keadaan tersebut. Dan untuk mencari jalan yang aman ia belum menyentuh perihal yang bersifat khalafiyah yang sudah mentradisi dalam masyarakat luas. Untuk menghindari benturan-benturan faham di dalam masyarakat, ia belum menawarkan suatu perubahan secara revolusioner, meskipun obsesinya ingin menempatkan Islam itu pada kedudukan yang sebenarnya.

44

Sebagai gambaran, bahwa kedudukan agama Islam, sebelum dan sesudah tahun 1930-an telah menjadi keyakinan kuat sebagai agama yang benar dan karena itu tiada seorangpun yang boleh merendahkan martabatnya. Kalau itu sampai terjadi, maka seseorang akan mempertaruhkan nyawa demi untuk mempertahankan kedudukan agama itu. Akan tetapi didalam praktek sehari-hari agama ini banyak dimanfaatkan menjadi alat pengesah tradisi. Karena perihal ini terlihat dalam perintah wajib baru dilakukan oleh kalangan yang tertentu saja. Sedang selebihnya banyak melakukan perbuatan yang masih berkiblat kepada perbuatan khurafat, bid’ah dan bahkan sirik.

Pada tahun 1930-an praktek-praktek demikian kelihatan sangat kental dalam kehidupan masyarakat Gayo. Sebagai contoh, di Joyah Kenawat selalu tersedia rukuh (baju shalat wanita), tetapi yang memanfaatkan untuk shalat hanya ibu-ibu atau nenek-nenek yang sudah hampir mendekati kuburan. Contoh lain, seorang nenek-nenek yang sedang melakukan shalat, tetapi karena cucunya pulang dan mengatakan; “ini ikan nek”, maka si nenek spontan menghentikan shalatnya dan ia menyimpan ikan tersebut pada tempat yang aman dan kemudian dia meneruskan shalatnya.

Dari gambaran di atas bahwa keadaan masyarakat Gayo pada masa itu boleh dikatakan masih dalam kesederhanaan. Pengetahuan mereka belum dapat memisahkan antara budaya sebagai konsepsi manusia dengan agama sebagai wahyu Ilahi. Karena didalam praktek, masalah-masalah yang berhubungan dengan budaya manusia mereka anggap sebagai perintah agama dan untuk kepentingan perihal tersebut mereka mengeluarkan harta benda, seperti contoh, pelaksanaan kenduri. Sedangkan perintah agama yang wajib dikerjakan mereka lewatkan begitu saja.

Berangkat dari permasalahan tersebut, maka didalam menyampaikan pesan dakwah, tengku Ibrahim selalu berusaha untuk menciptakan suasana hidup dalam kebersamaan dan berusaha memperkecil jurang perbedaan yang dalam artian ia berusaha agar materi pembicaraan jangan sampai menyinggung masalah yang menyangkut yang sifatnya khalafiah. Begitu juga kalau umpama ada suatu pertanyaan, missal masalah talkin dan kenduri, ia belum memberikan jawaban, “itu masalah nanti”, jawabnya. Karena menurutnya bahwa masalah tersebut masih memerlukan waktu dan penjelasan yang panjang. Oleh karena itu, seolah-olah ia memberi lampu hijau untuk melakukan tradisi yang bertentangan dengan perintah agama. Namun demikian, ia terus memberikan kesadaran kepada masyarakat pendengarnya supaya tidak terjerembab kedalam syirik dan bid’ah.45

Karena itu, untuk mengikis segala penyimpangan, ia bertindak secara perlahan-lahan dan bertahap yang menurut istilahnya perubahan itu dilakukan secara evolusi dan bukan secara revolusi. Ia mencontohkan, ibaratnya anak sekolah, kalau sianak masih duduk di kelas I berikanlah pelajaran yang sesuai dengan pelajaran kelas I, maka janganlah diberikan mata pelajaran kelas II, tentu anak tersebut belum dapat menerima bahkan anak yang tidak mampu, bukan tidak mungkin akan meninggalkan kelas itu. Jadi dengan demikian, menurutnya untuk memberikan ilmu, apalagi yang menyangkut agama kepada seseorang ataupun kelompok harus dilakukan pelan-pelan dan bertahap. Jadi jelasnya, dakwah harus dilakukan secara bertahap, tahap pertama adalah menanamkan pengertian yang kedua membangkitkan kesadaran dan tahap akhir adalah mendorong akan pengenalan.

45

Demikianlah cara Tengku Ibrahim dalam melakukan dakwah. Karena itu untuk memuluskan geraknya, ia tidak memakai kunci pas, tetapi memakai kunci Inggris yang dapat disetel menurut kegunaannya. Cara demikian sebenarnya berpedoman pada Rasulullah saw, bahwa beliau menerima wahyu berlangsung selama 23 tahun. Turunnya ayat-ayat AQl Qur’an secara bertahap dan kadang-kadang sesuai dengan kepentingan ketika itu, seperti perintah mengharamkan arak dan judi. Hukum tentang larangan minum arak dan judi tidak diturunkan sekaligus, tetapi Allah swt menurunkan secara bertahap dan baru dalam tahap ketiga Allah swt menegaskan bahwa arak dan judi haram.

Dengan cara demikian dan didukung oleh kefasihan berbicara, maka Tengku Ibrahim telah menjadi da’i yang selalu dinantikan oleh masyarakat pengagumnya. Karena itu, bukan saja ia bolak balik dari kampung ke kampung di daerah Lut (Takengon), tetapi bahkan menyebrang sampai di Kutekering. Begitulah kegiatan Tengku Ibrahim, jadwalnya cukup padat untuk mengisi acara dakwah.

52 PENUTUP

A. KESIMPULAN

Demikianlah uraian tentang Tengku Ibrahim, bahwa ia adalah seorang Tengku (ulama) Gayo yang mempunyai wawasan yang luas. Ia lahir di Kenawat Takengon tahun 1914, anak dari Empun Berhan yang pernah duduk sebagai Raja Kenawat dengan gelar Raja Setia Raja. Tersebutlah ia seorang Raja yang arif dan bijaksana, karena selaim memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, ia juga ahli adapt dan faham soal agama.

Pada tahun 1936 Tengku Ibrahim Mantiq telah dapat menyelesaikan pendidikannya di Al-Muslim Glumpang Dua Aceh Utara, sebuah lembaga pendidikan Islam yang moderen dan tercatatlah ia sebagai lulusan pertama dengan memperoleh predikat nomor satu.

Sejak tahun 1936 ia memulai debutnya dalam bidang dakwah dan tercatatlah ia sebagai Da’i yang kondang di Gayo (Aceh Tengah), khususnya Gayo Lut. Karena pada masa itu, Tengku Silang sedang menuntut ilmu di Sumatra Barat dan Tengku Abdul Jalil masih berguru pada Persis di Jawa. Oleh karena itu ruang jelajah Tengku Ibrahim bergerak luas diseputar Danau Laut Tawar yang dimulai dari kampung Bintang sampai di Pegasing dan bahkan menyeberang sampai Kute Kering.

Awal geraknya moderat, karena ia tidak manawarkan sebuah perubahan secara revolusioner dan ia menyesuiakan diri dengan keadaan masyarakat pada jamannya. Karena itu ketika timbul perselisihan paham antara yang menamakan diri Kaum Tua yang dikondisikan oleh Tengku Silang dan Kaum Muda di pelopori oleh Tengku Abdul Jalil

pada tahun 1939, ia tidak memihak pada siapa pun. Akan tetapi untuk menjernihkan ajaran yang dianggapnya menyimpang, dia tidak segan-segan untuk melakukan dialog-dialog (debat), baik dengan tokoh dari Kaum Tua, maupun tokoh-tokoh Kaum Muda.

Mengingat akan arti pentingnya pendidikan, maka selain bidang dakwah, dalam periode 1936-1950an ia aktif dalam bidang pendidikan. Pada masa sebelum kemerdekaan ia mengajar di Madrasah Diniyah Islamiyah di kampong Delung Tue dan setelah merdeka ia bersama-sama masyarakat mendirikan SRI di Kenawat Redlong.

Akan tetapi pada tahun 1950 ia tampil beda dalam pentas dakwah. Pesan-pesan yang disampaikannya menunjukkan warna yang jelas dan tegas ia tidak lagi kompromi dengan faham-faham yang sesat dan menyesatkan. Untuk menjernihkan semua itu ia terus mengumandangkan kebenaran lewat ceramah, pengajian dan dialog-dialog kreatif dan ia membuka kran dialog dengan siapa saja guna untuk mencari kebenaran yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Dan semua itu telah di transparasikannya dalam kehidupan masyarakat luas, khususnya masyarakat Kenawat.

Demikianlah aktifitas Tengku Ibrahim Mantiq, meskipun fisiknya semakin lemah, tetapi semangat dakwahnya tetap menyala. Fikirannya masih jernih. Ia tampil garang manakala menentang kemungkaran dan bersemangat manakala menyuruh kebenaran.

B. SARAN-SARAN

1. Pentingnya sebuah perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa di mata Internasional. Juga, penting pula memelihara dan mempertahankan kemerdekaan dengan diisi oleh pembangunan fisik dan mental bangsa menuju

kesejahteraan rakyat yang adil dan merata. Terlebih-lebih pada masa pembangunan dewasa ini, jiwa dan semangat perjuangan perlu dipupuk.

2. Untuk staff perpustakaan, baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan Fakultas, agar lebih memperhatikan literature-literatur tentang Aceh Tengah, karena di kedua perpustakaan tersebut sedikit sekali buku-buku yang membahas tentang Aceh Tengah.

3. Untuk para dosen, ketika datang dan selesai mengajar tolong tepat waktu, tidak membawa maslah pribadi ke dalam ruang kuliah, dan jangan membawa unsure-unsur politik di dalam kelas.

55

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. ed. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Baihaiki. A.K.Ulama dan Madrasah di Aceh, dalam agama dan perubahan sosial.

Departemen Pendidikan dan Kubudayaan. Sejarah Pendidikan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,1981.

Departemen Pendidikan dan Kubudayaan. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,1997.

Ekadjati, Edi S. Penyebaran Islam di Pulau Sumatra, Singa Buana Bandung, Jakarta, 1983

Facrurrazi, Aziz. dkk.Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta, 2007.

Gayo, M.H.Perang Gayo Melawan Kolonialisme Belanda, Balai Pustaka, Jakarta, 1983. Gottschalk, Louis. MENGERTI SEJARAH, Pengantar Metode Sejarah. ter. Nugroho

Notosusanto. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,

Hurgronje, C. Snouck. Tanah Gayo dan Penduduknya, Jakarta: Indonesian-Nederlands Cooperation in Islamic Stadies (INIS), 1996.

Hasymy, Ali.Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia(Kumpulan Prasaran Pada Seminar di Aceh), Jakarta: Percetakan Offset, 1989, Cet Ke-2

Ismuha,Ulama Aceh Teuku Rahman Meunasah Meucap, Pustaka Awi Geutah, 1949. Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:

Gramedia, 1993.

Kuntowijoyo.Pengantar Ilmu Sejarah. Yoyakarta: Bentang, 1995. Kuntowijoyo.Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003

M. Dawam Raharjo, Intelektual, Itelegensia, dan perilaku Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim; (Mizan: Bandung, 1999).

Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara penterjemah pentapsiran Al Qur’an: Jakarta, 1973) h.277

Melalatoa, M.J.Kebudayaan Gayo, PN Balai Pustaka, Jakarta 1982

Melalatoa, M.J. Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1995.

Paini, Mukhlis. RIAK di Laut Tawar Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan Sosial Di Gayo Aceh Tengah. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia kerjasama dengan Gadjah Mada University Press. 2003.

Dokumen terkait