• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tengku Ibrahim Mantiq ia lahir tahun 1914 di Kenawat Takengon, putra dari Mude Berani Aman Nurcaya alias Empun Berhan23. Kampung Kenawat ini termasuk sebuah wilayah kegecikan dalam wilayah pemukiman Laut Tawar kecamatan Kota Takengon kabupaten Aceh Tengah, propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang jauhnya ± 3 Km sebelah Tenggara kota Takengon

Ayahnya bernama Mude Berani alias Aman Nurcaya nama tuanya Empun Berhan ia juga mendapat gelar Raja Setie Raja, karena ia pernah menjabat sebagai Raja kampung Kenawat dalam satu periode. Ibunya bernama Sawiah berasal dari kampung Gunung Tritit Redlong (sekarang kabupaten Bener Meriah). Perkawinan ini merupakan perkawinan yang kedua karna Mude Berani telah menduda dan Sawiah janda karna suami Sawiah telah gugur dalam pertempuran dengan tentara Belanda dalam mempertahankan Aceh.

Kebahagiaan Tengku Ibrahim Mantiq pada masa kecilnya, seperti lazimnya dirasakan seorang anak dengan belaian kasih sayang dari seorang ibu tidaklah lama dinikmatinya. Karena sesudah ibunya meninggal ia diasuh oleh ayahnya sendiri.

Oleh karena itu Empun Berhan yang telah menduda menumpahkan perhatian penuh pada Ibrahim. Karena ia berperan ganda, sebagai bapak dan sebagai ibu. Namun demikian, bagaimana pun baiknya, tidaklah sempurna seperti kelembutan hati seorang ibu. Hal ini tidak saja karena keterbatasan kemampuan, tetapi karena tuntutan kebutuhan hidup sehari-harinya. Untuk menanggulangi kebutuhan hidup, Empun Berhan sering

23

mondar mandir dagang sampai kedaerah Blang Kejeren, Gayo Lues. Karena itu Ibrahim terpaksa dititipkan pada Empun Sami atau Empun Salamah, saudara sepupu. Oleh karena itu perawatan Ibrahim bergantung pada kasih sayang saudara. Begitu juga untuk mendapatkan makan, kadang ikut makan dengan Empun Sami dan kadang-kadang ikut makan dengan Empun Salamah24.

Namun demikian, tidaklah menghambat langkah Ibrahim untuk menuju pertumbuhannya. Segala cobaan itu telah menempa mental Ibrahim menjadi manusia yang dinamis.

Empun Berhan, selaku orang tua yang bijaksana, meskipun Ibrahim sebagai anak kesayangan tidaklah memanjakannya. Untuk menjadi manusia yang berguna, sejak awal dia telah meletakkan rambu-rambu petunjuk agar dapat menempuh jalur yang benar. Begitu juga dalam membimbing ia tidak bosan memberi nasehat dan petua-petuah yang bijak dengan kata-kata lembut, penuh kasih sayang agar kelak menjadi manusia yang berbudi dan berakhlak mulia.

Setelah menduda 2 tahun ia menikah lagi dengan seorang janda dari kampung Rawe yang suaminya juga gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Dari perkawinan ini lahir 2 anak laki-laki yang di beri nama Abas dan Ahmad. Sedangkan perkawinan yang pertama dengan seorang gadis dari kampung Linung Bulan (Bukit Bintang) putri dari seorang keturunan bangsawan dari raja-raja Bukit dan melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Inen Sahar. Dengan demikian ia bersaudara satu bapak 5 orang dengan berlainan ibu.

24

Asal usul Mude Berani merupakan tetesan darah dari seorang Musafir yang berasal dari Meureuedu ( Aceh Pidie ) yang menikah dengan gadis Gayo di Kenawat anak dari Datu Tunggal. Dari garis ini Mude Berani merupakan generasi ketiga dari keturunan tersebut25.

Bercerita tentang Mude Berani, ayahnya Ibrahim seorang yang alim (Tengku) yang diwariskan oleh kakeknya. Selain itu ia cerdas ahli adat, karena kecerdasannya ia pernah diangkat menjadi Raja kampung Kenawat dengan Gelar Raja Setie Raja. Selain itu ia sangat mahir dalam bercerita (kekeberen), sehingga boleh di katakan seorang publish yang tiada bandingnya di kampung Kenawat.

Dengan menyandang predikat Tengku, tahun 1936 Tengku Ibrahim kembali pulang ke kampung halamannya di Takengon. Penampilannya telah memperlihatkan gaya hidup orang-orang yang terpelajar dan berpikiran maju. Begitu juga cara berpakaian, ia telah dapat mengikuti gaya hidup zaman mutahir yang ditandai dengan mengenakan pantaloon (celana panjang) dan baju cut (jas). Singkat kata penampilannya penuh daya pesona yang mengesankan.

Namun demikian, kepribadiannya tetap kukuh berpegang pada budaya bangsa yang Islami. Ilmunya telah membentuk jati dirinya menjadi manusia yang berbudi dan berakhlak mulia dan ini kelihatan terpancar di dalam kehalusan budi bahasa yang luhur.

Sementara itu, kehadiran Tengku Ibrahim dengan segala perobahanya tampaknya belum mendapat simpati dari kalangan tua yang masih terbelenggu dalam tradisi, bahkan mereka membuat opini. Mereka memandang bahwa kehadiran Tengku Ibrahim dengan segala aksesoris yang identik dengan pakaian orang kafir (Belanda). Namun demikian,

25

mereka tidak mempunyai keberanian untuk memprotes dengan terus terang, hanya lewat desas desus.

Sementara itu, kehadiran Tengku Ibrahim dengan prototipe Gayo, dengan bangun tubuh yang sedang, berwajah simpatik serta penampilan yang menjanjikan, dapat di duga, bahwa ia telah mengundang hati dari para remaja putri untuk memuja. Gelar Tengku yang telah disandangnnya, agaknya dapat diduga, para ibu dan bapak yang mempunyai anak perawan berhasrat besar untuk mengambil jadi menantu dan ini di tandai, karena ketika itu, telah berdatangan tawaran-tawaran yang menjanjikan untuk mempersunting dengan anak gadisnya dari Pegasing dan Kebayakan. Namun demikian, tawaran tersebut belum sempat terfikir oleh Tengku Ibrahim, karena selain berusia masih muda, ia juga ingin meneruskan pendidikan pada jenjang selanjutnya.

Berhubung karena adanya tawaran-tawaran tersebut, maka pihak keluarga dan masyarakat Kenawat merasa khawatir, kalau Tengku Ibrahim menikah dengan gadis di luar Kenawat dan kalau sampai terjadi, dia biarkan meninggalkan kampung Kenawat. Oleh karena itu sebelum terjadi, pihak keluarga meminta kepada Tengku Ibrahim untuk menunjuk gadis pilihannya dan mereka akan meminang.

Karena keadaan terdesak, akhirnya Tengku Ibrahim menjatuhkan pilihannya pada Siti Asiah, seorang gadis tinggi semampai, wajah menawan, putri kedua dari Tamat Aman Rukiah dari belah Cik Kenawat. Siti Asiah bersaudarakan 4 orang yang tertua adalah Rukiah, adik nomor tiga adalah Abu Bakar dan Said Usman adalah yang bungsu. Ibunya adalah Rami Inen Rukiah yang berasal dari Bebesen26.

26

Untuk menyambut perkawinan Tengku Ibrahim dan Siti Asiah, seperti lazimnya tradisi masyarakat Gayo, maka diselenggarakan pesta sebagai tanda kegembiraan. Status perkawinan Tengku Ibrahim, adalah perkawinan angkap, yaitu sesuai dengan tradisi masyarakat Gayo, maka tengku Ibrahim menetap di rumah mertua. Dengan demikian, Tengku Ibrahim masuk kedalam garis keluarga isteri dengan kewajiban memelihara dan merawat mertua sampai hari tuanya.

Sejalan dengan keadaan, pada masa itu masyarakat Gayo, Kenawat khususnya, masih menggantungkan hidup pada pertanian, terutama sawah. Untuk memenuhinya, orang berusaha untuk mencari lahan-lahan yang dapat di cetak menjadi sawah, karena sawalah yang menjadi tumpuan utama dalam menaggulangi hidup. Dengan memiliki tanah sawah berarti masalah pangan sudah tidak menjadi problema lagi. Sejalan dengan tuntutan hal tersebut, maka Tengku Ibrahim yang baru mendirikan rumah tangga terpaksa ikut bersama orang-orang sekampung untuk membuka daerah baru di Pante Raya terletak 30 Km antara jalan Takengon-Bireun, tepatnya terletak pada bagian kaki bagian selatan gunung Burnitelong. Daerah ini tanahnya subur dan tersedia aliran air yang juga berhulu di kaki gunung Burnitelong, sehingga dapat dicetak menjadi sawah.

Akan tetapi setelah selesai ditebang, dengan alasan yang kurang jelas orang Kenawat meninggalkan daerah ini dan akhir tahun 1930-an penduduk Kenawat membuka daerah di daerah Delung. Sejalan dengan itu, Tengku Ibrahim ikut membawa keluarganya bersamaan dengan perpindahan penduduk Kenawat ke daerah Delung. Daerah ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan Redlong Simpang Tiga.

Dalam mengikuti derap langkah ini, Tengku Ibrahim bersama istri membabat hutan belantara, sehingga dalam waktu singkat pohon-pohon raksasa satu persatu tumbang dan dalam waktu singkat pula daerah ini siap menjadi lahan yang siap tanam. Sejalan dengan itu Tengku Ibrahim turut menanam kentang, karena tanaman ini merupakan komoditi pasar. Karenanya dalam waktu yang relatif singkat daerah ini berubah menjadi daerah pertanian yang ditanami kentang.

Dengan demikian keadaan Tengku Ibrahim semakin membaik, karena penghasilannya, selain mengajar juga ia telah memiliki sawah dan kebun. Karena itu simbol kemewahan masyarakat desa yang telah dapat diperlihatkan oleh Tengku Ibrahim yang ditandai dari penampilan suami isteri dengan pakaiannya. Juga Tengku Ibrahim telah dapat memiliki sebuah sepeda dengan merk terkenal, buatan Inggris, sehimgga ia dapat mempelancar perjalanan kemana pun ia pergi.

Kebahagian rumah tangga Tengku Ibrahim di tandai dengan kelahiran putra putrinya, yaitu yang sulung laki-laki yang di beri nama Muchtaruddin yang panggilannya Tarudin dan anak ini tinggal bersama mertua di Kenawat Lut, anak kedua perempuan dan di namakan Suhaini dan anak yang ketiga perempuan yang diberi nama Rukiyah. Kemudia pada zaman Jepang lahir seorang anak laki-laki yang dinamakan Marsuli, sedang pada zaman merdeka lahir dua anak perempuan, yaitu Charmina dan Murniawati, sedang dua anak laki-laki meninggal sewaktu kecil. Jadi anak Tengku Ibrahim yang hidup berjumlah 6 orang27

27

Demikianlah dalam rentang waktu 1938-1950-an rumah tangga Tengku Ibrahim penuh dalam keharmonisan dan kebahagiaan, sebagai rumah tangga yang sakinah, punya papan, cukup sandang dan cukup pangan serta dikaruniai anak-anak sebagai harta yang tak ternilai harganya.

B. PENDIDIKAN

Berangkat dari filosofi Islam, yang menyatakan “tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang kubur”, telah menuntun umat Islam untuk melaksanakan pendidikan anaknya sejak dini. Berpedoman pada dalil tersebut, orang tua bukan saja dituntut berperan sebagai pelindung, tetapi dituntut pula untuk mencerdaskan anak-anaknya.

Proses demikian, telah lama berjalan di Tanah Gayo, sejalan dengan masuk dan berkembangnya Islam diseluruh wilayah Aceh. Pendidikan khususnya, pendidikan agama terus berjalan dan sudah mentradisi sampai hadirnya pendidikan modern.

Perlu dijelaskan sebagai gambaran bahwa di Kenawat pendidikan Islam telah berkembang pesat dengan ditandai dengan pendidikan moderen. Tokohnya adalah Tengku Kadhi Rampak, seorang pendidik yang berfikiran maju. Ia telah berguru kepada Tengku Muhammad Saleh Pulokitun.

Proses demikian di Kenawat telah lama berjalan dan sejalan dengan proses tersebut, Ibrahim sejak dini telah mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan. Ia bernasib baik, karena langsung belajar pada ayahnya, Empun Berhan. Karena Empun Berhan adalah salah seorang tengku (guru) yang memimpin pengajian. Murid-muridnya terdiri dari orang laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak yang bertempat di Mersah

(Meunasah). Pelajarannya adalah belajar tulis Al Qur’an dan sebagai pemula adalah surat Juz Amma, bagi yang dewasa Al-Qur’an, soal ibadah, hukum tarikh dan masalah dunia.

Dengan ditunjang dengan kecerdasan dan keinginan yang kuat, Ibrahim telah berhasil memperkaya ilmunya. Karena ia telah dapat membaca langsung dari kitab-kitab milik ayahnya, seperti Masailal dan Sabilal. Kitab-kitab tersebut pada intinya berisi tentang syariat, ibadah dan ahlak, bahasanya adalah bahasa Melayu Kuno dan tulisan Arab gundul. Sedang kitab-kitab tersebut pada masa itu termasuk kitab langka dan merupakan kitab pegangan tengku-tengku di Gayo Aceh Tengah.

Pada tahun 1929 Ibrahim meninggalkan kampung halaman dan meneruskan pendidikannya ke daerah pesisir di Aceh. Momentum yang baik yakni karena tahun 1929-an isolasi Tanah Gayo, sebagai daerah pedalaman yang tertutup telah terbuka ruas jalan Takengon-Bireun sepanjang 100 Km oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemudian untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda juga membuka lembaga pendidikan tingkat dasar (perpolkschool)di kota Takengon.

Dampak positif dari perobahan tersebut telah mendorong pemuda-pemuda Gayo keluar beramai-ramai untuk menuntut ilmu di luar kota Takengon. Tujuan utama mereka adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam di kota-kota di pesisir Aceh seperti Bireun, Samarlanga, Sigli dan keluar daerah Aceh, seperti Padang Panjang, Sumatra Barat dan ada yang ke Jawa.

Mengikuti arus tersebut, Ibrahim memilih Pesantren Pulokitun, pimpinan Tengku Muhammad Saleh, lebih dikenal dengan panggilan Tengku Pulokitun28. Pesantren tersebut telah menjadi tujuan utama pemuda-pemuda Kenawat, karena telah terjalin baik dengan Tengku Kadhi Rampak, ulama Kenawat.

28

Ibrahim hanya bertahan satu tahun di Pesantren Pulokitun, dan selama itu ia hanya mempelajari nahwu dan syaraf , sehingga ia sangat menguasai kedua pelajaran tersebut. Karena menurut anjuran Tengku Pulokitun, selaku guru, kalau dapat menguasai ilmu tersebut, maka akan lebih mudah mempelajari semua kitab yang berbahasa Arab.

Sementara itu, Tengku Pulokitun dengan dukungan Tengku Hanafiah dan Tengku Haji Ridwan membuka Madrasah moderen di Cut Meurak. Pimpinannya, Tengku Pulokitun, sedang tenaga pengajar adalah semua Tengku pendukung Madrasah tersebut. Lembaga pendidikan tersebut bernafaskan Islam, tetapi telah berani menerapkan sistem pendidikan moderen dengan memasukkan mata pelajaran menulis latin dan berhitung.

Bersamaan dengan ini, Ibrahim ikut pindah mondok di Cut Meurak dan bergabung satu pondok bersama Muhammad Yusup dari Pegasing, kakak kandung Muammad Hasan Gayo. Untuk menghemat biaya hidup, sesuai dengan kemampuan ekonomi, mereka berdua memasak sendiri.

Setelah berjalan satu tahun lamanya, pimpinan madrasah mengeluarkan kebijakan, yaitu melakukan ujian umum untuk penyaringan terhadap murid-murid. Bagi murid yang mendapat nilai kurang akan ditempatkan di kelas I, bagi murid yang mendapat nilai sedang akan duduk dikelas II dan bagi murid yang memperoleh nilai tinggi akan ditempatkan di kelas III. Dengan demikian menjelang tahun ajaran kedua telah berdiri tiga kelas, yaitu kelas I, kelas II dan kelas III.

Dalam mengikuti ujian umum tersebut, Ibrahim tidak mengalami kesulitan, karena semua pelajaran yang di ujikan sudah dikuasai dengan baik. Sehingga tidak mengalami hambatan yang berarti, ia dapat menjawab sempurna soal-soal yang diberikan

panitia ujian. Karena itu, ia dan Abdul Wahab terpilih duduk di kelas III dan Husin naik kelas III sebagi percobaan.

Sementara itu, ketika Ibrahim dan murid-murid lainnya sedang tekun mencurahkan perhatian, Tengku Pulokitun, sebagai pegagas berdirinya Madrasah Cut Meurak mengundurkan diri dan minta berhenti, dengan alasan bahwa ia akan mencari kebutuhan hidup keluarga. Mundurnya Tengku Pulokitun telah memberi pengaruh akan kelancaran proses belajar mengajar di Madrasah Cut Meurak.

Begitu juga Ibrahim yang telah ikut 3 kwartal di kelas III semangat belajar menjadi kendor dan ada rasa enggan untuk meneruskan pendidikan di Madrasah tersebut. Padahal waktunya tinggal tidak lama untuk mengikuti ujian akhir ke kelas 4.

Meskipun demikian, untuk sementara waktu Ibrahim masih tetap bertahan di Cut Meurak. Untuk mengisi kekosongan waktu, ia mendalami ilmu-ilmu yang telah di perolehnya dan kalau ada yang kurang jelas ia bertanya langsung pada guru di Cut Meurak, sehingga semua ilmu yang telah diperolehnya dapat dikuasai dengan baik.

Dalam keadaan demikian, Tengku Pulokitun menganjurkan Ibrahim supaya melanjutkan pendidikan di Al Muslim Glumpang Dua, sebuah Madrasah moderen yang telah didirikan pada 13 April 1930, pimpinannya adalah Habib Mahmud serta dibantu oleh tenaga pengajar yang berkualitas.29

Lembaga tersebut, sebenarnya sudah digagas sejak tahun 1929, tepatnya pada 21 Jumadil Akhir H, bertepatan dengan 14 Nopember 1929 oleh Tengku Abdurrahman Meunasah Karang Meucap, seorang ulama yang ternama di Peusangan dan sebagai ketua serta dibantu oleh Ulebalang Tengku Chik Peusangan.

29

Sistem belajar mengajar yang dianut di lembaga tersebut adalah sistem moderen, karena mata pelajaran yang diberikan, selain mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, juga diberikan mata pelajaran umum. Bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Arab. Karena itu mata pelajaran umum pun disebut dalam bahasa Arab, seperti ilmu berhitung disebut ilmu Hisab, ilmu bumi disebut Jografi, logika disebut Ilmu Mantiq, ilmu kesehatan disebut Ilmu Shihah, ilmu jiwa disebut Ilmu Nafs dan lain-lain. Selain itu, madrasah tersebut juga mengajarkan ilmu berpidato dan kepanduan yang disebutKassa’ful Muslimin.

Sementara itu, Ibrahim yang berminat untuk meneruskan pandidikan di Al-Muslim Glumpang Dua, dia pulang dulu ke Kenawat Takengon untuk melapor kepada ayahnya Empun Berhan tentang maksud kepindahannya. Akan tetapi permintaan tersebut ditolak, ayahnya agak keberatan, karena selain jauh, juga terbentur soal biaya. Alasan ayahnya, sedang sekolah dekat di Cut Meurak ia tidak lancar mengirim belanja, apalagi pindah di Glumpang Dua yang lebih jauh, tentu sangat keberatan.

Mendengar alasan tersebut, Aman Rinah, sebagai keponakan dan Aman Gaseh selaku anak angkat, memberi dorongan semangat kepada Empun Berhan dan mereka berdua telah sepakat untuk mendukung cita-cita Ibrahim meneruskan pendidikannya. Karena menurut pengamatan mereka, bahwa Ibrahim memiliki kemampuan belajar yang bagus. Juga harapan mereka agar Ibrahim menjadi seorangtengkuyang berilmu. Adapun masalah biaya akan ditanggulangi bersama dan mereka bersedia membantu.

Akan tetapi sewaktu mendaftar di Al Muslim timbul perbedaan kehendak antara Ibrahim dengan kepala sekolah tersebut. Ibrahim memohon kepada kepala sekolah agar ia dapat duduk langsung dikelas IV, dengan alasan, bahwa ia selain sanggup, juga ia telah

duduk di kelas III sudah lebih 3 kwartal di Cut Meurak dan hanya tinggal mengikuti ujian naik kelas IV saja. Oleh karena itu dengan pertimbangan rugi waktu serta mempunyai kesanggupan, ia memohon kepada kepala sekolah untuk dapat duduk di kelas IV. Namun kepala sekolah tersebut tetap menolak.

Oleh karena itu, untuk dapat meyakinkan kepala sekolah Al Muslim, Ibrahim kembali ke Cut Meurak untuk mendapatkan surat keterangan. Kemudian dengan modal surat keterangan tersebut ia langsung menghadap, Tengku Abdurrahman Karang Meucap selaku pimpinan pengurus madrasah Al Muslim untuk membicarakan tentang permasalahannya.

Akhir pembicaraan, Ibrahim dapat diterima menjadi murid di kelas IV, tetapi dengan perjanjian, apabila kelak tidak sanggup mengikuti pelajaran ia kembali duduk di kelas III. Ibrahim yang punya keinginan menyanggupi dan berjanji akan memenuhi tuntutan tersebut.

Hari-hari pertama mengikuti mata pelajaran, Ibrahim mendudukan dirinya sebagai pendengar yang baik. Karena ia masih dalam masa penyesuaian diri dengan situasi ruang dan lingkungan belajar. Sikap yang demikian berlangsung selama satu minggu. Dalam masa itu ia belum merasa perlu bertanya pada guru, begitu juga sebaliknya guru belum mengajukan pertanyaan kepadanya. Namun demikian ia berusaha untuk memusatkan perhatiannya pada setiap mata pelajaran yang diberikan guru.

Pada masa-masa selanjutnya, sesuai dengan janjinya, Ibrahim menunjukkan dirinya, bahwa ia sanggup mengikuti semua mata pelajaran dengan baik. Dengan demikian, apa yang telah ia ucapkan, telah dapat dibuktikannya dan sukses. Bahwa ia mulai tampil beda dengan teman-teman sekelasnya. Ia telah dapat menunjukkan

kecerdasannya. Begitu juga caranya berpakian, ia tidak kalah, sehingga banyak orang menduga bahwa ia adalah anak orang yang berkelas.

Kecerdasan Ibrahim mulai ditunjukkannya dan ini tampak didalam penguasaan semua mata pelajaran, cara berdialog, cara menjawab dan jernih dalam adu pendapat. Keistimewaannya ia dapat bergaul dengan kalangan luas. Ia dapat berkomunikasi lancar dengan guru-guru dan merangkul semua teman serta akrab dengan orang di luar lingkungan sekolah.

Rahasia keberhasilan Ibrahim, sebenarnya terletak pada daya ingat30, ingatannya kuat. Setiap guru yang memberikan mata pelajaran, ia sangat memusatkan perhatiannya. Ia berusaha untuk menangkap inti pembicaraan atau penjelasan guru. Semua itu ia tangkap dan kemudian ia kemas baik dikepalanya. Selain itu, ia memasang kuping lebar-lebar seawaktu teman-temannya belajar dan membaca, ia menyimak sambil tiduran. Sehingga tanpa sepengetahuan mereka, Ibrahim telah dapat menangkap apa yang mereka baca atau hapalkan. Sedangkan cara lain adalah sewaktu teman-teman sudah pada tidur lelap, ia bangun dan belajar dengan sebaik-baiknya.

Untuk memperkaya ilmu, Ibrahim selalu memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang baik untuk bertanya kepada guru. Pendekatan yang ia lakukan kepada guru, bukanlah mengemis agar si guru dapat memberikan nilai bagus, tetapi kesempatan ia pergunakan untuk mendapatkan penjelasan tentang ilmu yang belum ia fahami dengan baik. Untuk hal tersebut ia tidak segan-segan bertanya dimanapun bertemu dengan gurunya.

30

Dengan cara demikian Ibrahim menjadi lebih dikenal oleh guru-guru di Al Muslim. Ia kenal dan akrab dengan Tengku Abbas guru ilmu Mantiq, kenal dengan Tengku Isman dan guru lainnya. Karena keramahannya itu, ia dijuluki oleh guru-guru dan teman-teman dengan sebutan anak Gayo atau Ibrahin Kenawat. Semua sebutan tersebut tidaklah mengecilkan hati Ibrahim, bahkan telah mengangkat popularitas di mata orang banyak, sehingga ia dikenal, bukan di sekolah saja, tetapi di luar sekolah pun ia di kenal.

Dengan kedudukan sebagai pelajar Al Muslim, maka Ibrahim duduk pula didalam

Dokumen terkait