• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan ulama Tanah Gayo Aceh Tengah dalam pengembangan Islam : studi kasus Tengku Ibrahim Mantiq

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan ulama Tanah Gayo Aceh Tengah dalam pengembangan Islam : studi kasus Tengku Ibrahim Mantiq"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

1

STUDI KASUS: TENGKU IBRAHIM MANTIQ

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh Mantik NIM:104022000803

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

PERANAN ULAMA TANAH GAYO ACEH TENGAH DALAM PENGEMBANGAN ISLAM

STUDI KASUS: TENGKU IBRAHIM MANTIQ

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh Mantik NIM:104022000803

Dibawah Bimbingan

Drs. Azhar Saleh, M.A NIP: 19581012 199203 1 004

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PERANAN ULAMA TANAH GAYO ACEH TENGAH DALAM PENGEMBANGAN ISLAM STUDI KASUS: TENGKU IBRAHIM MANTIQ telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Juli 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada jurusan Sejarah dan Peradaban Islam.

Jakarta, 28 Juli 2009 Sidang Munaqsyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris MerangkapAnggota,

Drs. M.Ma’ruf Misbah, MA Usep Abdul Matien, SAg, MA, MA NIP:19591222 199103 1 003 NIP:150 288 304

Anggota

Penguji, Pembimbing,

Drs. Saidun Derani, MA Drs. Azhar Saleh, MA

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiblakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 7 Juli 2009

(5)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Bahwa ulama merupakan komponen penting dalam membina dan membangun kehidupan umat manusia, umat Islam khususnya. Karena mereka sebagai pewaris, dan sebagai penerus ajaran Islam yang telah dibawa oleh nabi Muhammad saw. Dalam menjalankan tugas suci ini, mereka senantiasa tumbuh dan hadir untuk mengisi kebutuhan zaman. Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa ulama bukan saja cerdas di atas mimbar, tetapi fasih juga mengimplementasikannya di dalam segala segi kehidupan bermasyarakat.

Dari sudut etimologis, istilah Ulama bersal dari kata kerja alima-ya’lamu ilman yang berarti mengetahui.1 Orang yang memiliki ilmu disebut alim, sedangkan jamaknya menjadi ulama. Sehingga istilah ulama diartikan sebagai suatu kelompok orang pandai dalam suatu didiplin ilmu atau beberapa disiplin ilmu pengetahuan. Ulama dapat juga diterjemahkan dengan Cendikiawan.2

Menurut Ibnu Qayim,3 pada era awal sejarah Islam, konsep ulama ini pernah dimanifestasikan. Ulama tidak sja berarti seorang yang ahli dalam bidang ilmu agama, melainkan seseorang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan duniawi. Lebih lanjut Ibnu Qayim menambahkan, karena itu pulalah maka dunia Islam pernah dikenal sebutan

1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara penterjemah pentapsiran Al

Qur’an: Jakarta, 1973) h.277

2 M. Dawam Raharjo, Intelektual, Itelegensia, dan perilaku Bangsa: Risalah Cendikiawan Muslim; (Mizan: Bandung, 1999).

(6)

ulama-u al kimiyai (ilmuan kimia),ulama-u al-tarikhi(sejarawan), ulama-u al ijtimari (ilmuan kemasyarakatan),ulama-u alfiqhiataufuqaha, dan sebagainya.4

Sungguhpun demikian, istilah ulama sudah berkembang sebagai pengertian khusus, yaitu mereka yang diakui masyarakat sebagai seorang yang di satu pihak memiliki ilmu yang tinggi di bidang agama dan di lain pihak menjalankan akhlak sesuai dengan ilmu agama yang diajarkan. Sehingga dengan demikian ia sendiri dapat menjadi teladan atau panutan masyarakat.

Dalam sebuah hadits dikatakan, yang artinya “ulama itu adalah pewaris Nabi”.5 Dalam pengertian ini, ulama ditempatkan pada status social yang tinggi dalam komunitas muslim. Masyarakat Islam abad pertengahan memberikan kedudukan yang tinggi pada ulama, berkat pengetahuan keagamaan mereka.6 Yang diwarisi oleh ulama itu bukanlah stutusnya, melainkan rislahnya. Untuk dapat menjalankan peranannya dalam meneruskan rislah Nabi, ulama mengacu kepada empat sifat Nabi (1) shiddiq (jujur dan benar), (2) amanah (dapat dipercaya) (3) tabligh (menyampaikan pesan-pesan agama kepada manusia), (4) fathanah (bijaksana dalam menghadapi persoalan dan situasi yang dihadapi).

Ciri-ciri di atas memang juga memiliki cirri kepemimpinan, sebab Nabi juga menjadi pemimpin masyarakat. Oleh sebab itu seorang ulama dapat berkembang menjadi seorang pemimpin masyarakat. Tetapi tugas utama ulama memang mempelajari dan mendalami ilmu agama, dan kemudian menyampaikan kepada masyarakat, baik dengan

4 Ibnu Qayim, “Ulama Di Indonesia Pada Akhir Abad XIX dan Awal Abad XX”, sejarah, Vol 3,

(1993) hal.12

5 Lihat shoheh al-Bukhari, (Daar wa Muthabi al-Syab), jilid I, h. 129

6 Saletore, “ulama”, dalam buku; Elie Dalam Perspektif Sejarah, disunting oleh Sartono

(7)

cara Tabligh, mengajar atau dengan merealisasikannya pada proses perkembangan masyarakat.

Demikian pula pemuda-pemuda Gayo (Aceh Tengah) yang telah memperoleh predikat Tengku setlah menempuh pendidikan di pesantren mereka kembali ke Tanah Gayo untuk memberikan dharma baktinya dalam usaha mengangkat harkat dan martabat masyarakat Gayo. Dalam upaya tersebut mereka kelihatan berlomba-lomba untuk mendirikan lembaga pendidikan modern seperti madrasah dan pesantren selain itu mereka memelopori berdirinya tempat-tempat ibadah seperti masjid dan meunasah.

Disamping itu, lewat media dakwah mereka telah berhasil menyebarluaskan ajaran Islam lewat pertemuan dan ceramah-ceramah sehingga secara bertahap, masyarakat Gayo telah dapat meninggalkan tradisi-tradisi yang berbau bid’ah, tahayul dan kurafat.

Dengan demikian perlu kiranya untuk mengangkat dan memperkenalkan kegiatn ulama (Tengku) Gayo dalam upaya menyebarkn Islam. Hal ini dapat menjadi tolak ukur tentang kemajuan di dalam masyarakat Tanah Gayo (Aceh Tengah) sebagai bagian yang tidak dapat terlepaskan dari kemajuan bangsa.

B. PERUMUSAN MASALAH DAN RUANG LINGKUP MASLAH

Agar masalahnya lebih terfokus, maka saya merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peran Tengku Ibrahim Mantiq dalam memajukan pendidikan dan

dakwah

(8)

Untuk memfokuskan masalah, maka penulis akan membatasi penulisan tentang Peranan Ulama di Tanah Gayo Aceh Tengah Dalam Pengembangan Islam studi kasus Tengku Ibrahim Mantiq tahun 1930-1950. Alasannya adalah karena pada periode tersebut Tengku Ibrahim Mantiq salah satu Tengku berfikiran maju. Telah mencurahkan perhatiaannya dalam bidang pendidikan dan dakwah. Karena dalam masa itu pemuda Gayo setelah kembalinya dari perantauan mereka terus mengabdikan diri kepada kepentingan masyarakat dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.

C. TUJUAN PENELITIAN

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengangkat dan menulis sejarah yang menyangkut tentang peranan ulama (Tengku) di Gayo (Aceh Tengah) dalam pengembangan Islam. Dengan hasil penelitian ini akan dapat memperkaya khasanah kesejarahan bangsa.

Tujuan utama penulisan skripsi ini adalah sebagai persyaratan dalam menyelesaikan studi di Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidatullah Jakarta.

E. METODE PENILITIAN

(9)

bahan-bahan itu berupa dokumen-dokumen resmi, maka ia harus mencari di arsip, pengadilan-pengadilan, perpustakaan pemerintah, dan lain-lainnya.

Tujuan studi ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya merekontruksi masa lampau dari obyek yang diteliti itu ditempuh melalui metode sejarah. Pengumpulan data atau sumber sebagai langkah pertama kali, dilangsungkan dengan metode penggunaan bahan dokumen.7

Masih mengenai langkah pengumpulan data, observasi lapangan dilakukan dengan jalan mengadakan wawancara kepada tokoh-tokoh dari peristiwa. Dalam hal ini, informasi yang didapatkan adalah berupa sejarah lisan, yaitu dari tokoh-tokoh yang langsung mengalami peristiwa baik sebagai tokoh utama maupun pengikutnya, atau orang-orang yang langsung mendengar dari saksi pertama. Metode sejarah lisan ini dipergunakan sebagai metode pelengkap terhadap bahan documenter.8

Untuk itu maka penulis akan melakukan serangkaian penelitian kepustakaan (library reseach) dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber seperti buku, makalah, majalah, brosur, diktat, dan lain-lain. Untuk kepentingan ini penulis memilih Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional dan lain-lain. Sedang penelitian lapangan penulis telah melakukan serangkaian wawancara terutama dengan muridnya serta tokoh-tokoh masyarakat Gayo baik di Aceh Tengah (Takengon) khususnya masyarakat Kenawat yang berdomisili di Jakarta.

1. Margaret M. Poloma,Sosiologi Kontenporer, terj.YASOGAMA (Jakarta: CV. Rajawali, 1984) hal. 23; lihat pula selo soemardjan,loc. Cit.

(10)

F. LANDASAN TEORITIS

Dengan menggunakan landasan teori sebagai landasan berpikir dalam penelitian ini diharapkan dapat lebih terarah dalam penelitiannya dengan koridor dan teori. Serta mempermudah peneliti dalam melakukan upaya pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau.9

Sejarah sosial adalah kajian tentang seluruh lingkup kehidupan dan kebudayaan dalam masyarakat yang tercatat dalam sejarah. Sartono Kartodirdjo mendefinisikan sejarah sosial sebagai gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu komunitas atau kelompok. Sartono menegaskan bahwa sejarah sosial mencakup berbagai aspek kehidupan manusia kecuali aspek politik.10

Oleh karena itu maka dalam studi ini digunakan sudut pandang sosiologis dalam mengkaji peristiwa-peristiwa sejarah yang dikaji. Secara metodologis dalam kajian sejarah itu, sebagaimana dijelaskan oleh Weber, adalah bertujuan memahami arti subyektif dari perolaku social, bukan semata-mata menyelidiki arti obyektif. Dari sini tampaklah bahwa fungsional sosiologi mengarahkan pengkaji sejarah kepada pencarian arti yang dituju oleh tindakan individual berkenan dengan peristiwa-peristiwa kolektif, sehingga pengetahuan teoritislah yang akan mampu membimbing sejarawan dalam menemukan motif-motif dari suatu tindakan atau factor-faktor dari suatu periatiwa. Oleh karena itu pemahaman sejarawan dengan pendekatan tersebut lebih bersifat subyektif. Sebagai konsekuensi dari sudut pandang yang dipakai dalam studi ini maka digunakan pendekatan sosiologi-histories. Dengan pendekatan sejarah ini diharapkan dapat

9

Dudung Abdurahman, M. Hum, Metode Penelitian Sejarah, Logos, Jakarta 1999 10

(11)

dihasilkan sebuah penjelasan Historical Explanation yang mampu mengungkapkan peristiwa-perisriwa yang relevan.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan skripsi ini terdiri dari atas 5 bab, yang masing-masing bab tersebut tersiri atas beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun perinciannya sebagai berikut:

Bab 1. Berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, lingkup permslahan, manfaat penting penelitian, landasn teori, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab 2. Pada bab ini penulis mencoba menjelaskan tentang mengenal masyarakat Gayo Aceh Tengah, yaitu yang terdiri atas letak geografis Tanah Gayo, kondisi social masyarakat Gayo, dan proses kedatangan Islam di Tanah Gayo.

Bab 3. Pada bab ini penulis mencoba menjelaskan tentang riwayat hidup Tengku Ibrahim Mantiq, yaitu mulai dari kehidupan keluarga, dan dalam mengikuti pendidikan.

Bab 4. Pasa bab ini penulis mencoba menjelaskan tentang peranan Tengku Ibrahim Mantiq dalam memajukan pendidikan di Tanah Gayo Aceh Tengah yang terdiri dari bidang pendidikan, bidang dakwah dan respon rakyat Aceh terhadap Tengku Ibrahim Mantiq.

(12)

8

MENGENAL MASYARAKAT GAYO ACEH TENGAH

A. LETAK GEOGRAFIS TANAH GAYO

Tanah Gayo yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Tengah, luasnya meliputi 5.155 km. kabupaten ini berbatas di sebelah Utara dengan kebupaten Aceh Utara, sebelah Selatan dengan Kabupaten Aceh Tenggara, disebelah Barat melintang Kabupaten Aceh Timur.

Secara administratif, Kabupaten Aceh Tengah terbagi atas tujuh kecamatan yaitu: 1) Kecamatan kota Takengon, yang juga sebagai ibukota kabupaten,

2) Kecamatan Bukit ibukotanya di Simpang Tiga 3) Kecamatan Bebesen ibukotanya Bebesen

4) Kecamatan Timang Gajah, ibukotanya Lampahan 5) Kecamatan Silin Nara, ibukotanya Angkup 6) Kecamatan Linge, ibukotanya di Isaq, dan 7) Kecamatan Bandar ibukotanya di Janarata.

(13)

rendah 12 C-23 C. Angin Barat bertiup dari bulan April sampai dengan bulan Oktober, sedang angin Timur bertiup pada bulan November sampai dengan bulan Maret11.

Secara keseluruhan, areal Kabupaten Aceh Tengah terbagi atas hutan lebat 484.300 Ha, hutan pinus 92.299 Ha, kebun kopi 22.134.40 Ha, tanah persawahan 10.680,80 Ha.

Penduduk yang mendiami Aceh Tengah adalah suku Gayo, suku Gayo tersebut tersebar di daerah Aceh Tengah (Benermeriah dan Blangkejeren). Suku Gayo yang mendiami disekitar laut tawar disebut Gayo Lut. Menurut dialeknya Gayo Lut terbagi dua yaitu Bukit yang berpusat di Kebayakan dan Cik berpusat di Bebesen dan sekitarnya. Sedang yang lain suku Gayo di luar Laut Tawar disebut Gayo Deret yang berpusat di Linge. Konon Linge asal mula kehidupan suku Gayo.

Menurut sejarahnya, penduduk yang mendiami kampung Bebesen dan Kebayakan merupakan kampung “inti” di Gayo Lut, mempunyai satu anggapan bahwa asal-usul mereka berbeda. Penduduk kampung Kebayakan mengatakan bahwa mereka penduduk “asli” di Gayo ini, sedang yang satu pihak lagi, yakni penduduk kampung Bebesen memang menyadari bahwa mereka berasal dari luar daerah ini mereka datang dari Batak (Tapanuli). Lebih populer lagi bahwa mereka berasal dari apa yang disebut “Batak 27” karena mereka berasal usul dari 27 orang Batak yang datang ke daerah Gayo ini pada zaman lampau12.

11

Mukhlis Paeni, RIAK di Laut Tawar, Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan di Gayo Aceh Tengah. ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) kerjasama dengan Gadja Mada University Press. Jakarta 2003

12

(14)

B. KONDISI SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT GAYO

Masyarakat Gayo umumnya berdiam mengelompok dalam komunitas-komunitas kecil yang disebut kampung, komunitas ini terdiri dari rumah-rumah yang dihuni oleh masing-masing keluarga. Sedang pada masa lalu mereka tinggal dalam satu rumah panjang yang berukuran 20-30 meter dengan lebar 6-9 meter. Rumah semacam ini dihuni dalam keluarga inti atau keluarga luas yang masih ada hubungan kerabat. Sedang sekarang bentuk rumah tersebut sudah ditinggalkan.

Sebuah perkampungan ditandai dengan tempat ibadah sehari-hari yang disebut Mersah dan Joyah bagi kaum perempuan. Bangunan ini dilengkapi dengan tempat mandi dan jamban untuk umum dan Mersah ini biasanya merupakan milik dari satu klen atau belah, jadi setiap kampung ada beberapa klen dan beberapa Mersah atau Masjid.

Masyarakat Gayo memiliki sistem budaya sebagai acuan dalam kelangsungan hidup sebagai suatu kesatuan sosial.sistem masyarakat Gayo telah terwujud dalam waktu lama yang bersumber dari edet dan hukum. Edet adalah unsur-unsur penegetahuan, kepercayaan, nilai dan norma-norma warisan nenek moyang yang disebut adat lama, sedang Hukum adalah keyainan dan kaidah-kaidah yang berasal dari agama Islam. Kedua sumber tersebut tak dapat dipisahkan, meskipun kadang-kadang masing-masing mempunyai fungsi khusus.

Sedang sistem kekerabatan masyarakat Gayo adalah menarik garis keturunan menurut prinsip patrilineal. Adat menetap sesudah menikah umumnya adalah virilokal, yang mereka sebut juelen atau ango13; artinya sepasang pengantin menetap di

13

(15)

lingkungan kerabat suami. Namun ada pula adat uxoriloka yang mereka sebut angkap14, artinya pasangan pengantin menetap dilingkungan kerabat istri. Pada masa terakhir ini mereka sudah bebas memilih ke salah satu pihak atau berdiam di tempat yang lain.

Di masa lalu, sebuah keluarga inti yang disebut sarana berine berdiam dalam sebuah rumah panjang bersama sejumlah keluarga inti atau sejumlah keluarga luas lainnya. Sebuah keluarga inti baru biasanya masih satu kesatuan dengan keluarga inti seniornya sehingga merupakan sebuah keluarga luas yang disebut sara dapur. Keseluruhan keluarga inti atau keluarga luas yang berdiam satu rumah itu disebut kelompok sara umah, artinya “satu rumah”. Kelompok satu rumah ini masih terikat dalam hubungan kerabat dan mereka masih terikat dalam ikatan satu klen (belah) dengan jumlah rumah lain semacam itu. Mereka terikat oleh aturan-aturan adat berupa sistem nilai budaya seperti tersebut di atas.

Di masa lalu masyarakat Gayo Lut hidup sebagai petani, terutama bercocok tanam di sawah. Sawah yang luas adalah simbol gengsi. Dalam hal pertanian sawah, mereka menjalankan macam-macam tradisi, mulai dari menabur benih, mengolah tanah, sampai kepada memulai makan hasil panen yang baru. Tradisi ini menyangkut aktivitas tolong-menolong yang terkait dengan kepercayaan. Dalam aktivitas pertanian ini tersirat berbagai nilai budaya sebagai acuan, misalnya mengukur apakah seseorang punya rasa saling menolong, disiplin dalam mengikuti aturan kegiatan pertanian, mengukur apakah sesorang bersikap kerja keras, dan lain-lain. Jenis mata pencarian lain di masa lalu adalah berternak kerbau dan menagkap ikan di Danau Laut Tawar, terutama bagi masyarakat di sekitar danau tersebut. Banyaknya jumlah ternak yang dimiliki juga menjadi simbol genarasi.

14

(16)

Pada periode lain orang Gayo kebanyakan lebih mengutamakan penanaman kopi di kebun-kebun. Hutan-hutan yang memungkinkan untuk ditanami kopi mereka babat. Kebun kopi menjadi salah satu simbol gengsi, meskipun hidup mereka jatuh bangun sesuai jatuh bangunnya harga kopi, karena tata niaga kopi itu dikendalikan oleh orang lain. Dalam periode ini sawah menjadi kurang penting dalam pandangan mereka, karena dilihat dari perhitungan ekonomi penghasilan dari sawah tidak mampu memenuhi macam-macam kebutuhan yang semakin berkembang dan bervariasi. Namun dalam jenis mata pencarian ini sudah tidak banyak lagi aturan adat atau upacara yang menyangkut nilai-nilai tadi. Orientasinya sudah lebih banyak kepada perhitungan materi, dan berangsur-angsur meninggalkan nilai-nilai tersebut di atas

Orang Gayo Lut mengenal beberapa jenis kesenian, seperti seni sastra, seni suara, seni tari, seni rupa, seni instrumental, dan ada juga kesenian didong yang merupakan paduan antara seni sastra, seni suara dan seni tari. Seni lain bernama sa’er, yang merupakan paduan seni suara dan seni sastra yang bernafaskan keagamaan. Seni sastra lainnya adalah melengkan, seni pidato adat yang berbalas-balasan.

(17)

Dalam setiap perkumpulan tadi ada beberapa orang yang disebut ceh dan yang lainnya disebut pengiring (penunung). Seorang yang disebut ceh adalah seniman komplit, artinya ia adalah seorang penyair atau orang yang mampu menciptakan puisi-puisi sendiri, mampu menciptakan lagu sendiri, dan memiliki suara yang merdu. Dalam satu kumpulan, para ceh-nya itu biasanya terbagi atas dua atau tiga kategori sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dalam menciptakan dan keindahan suara tadi, yaitu ceh kul(seniman utama),ceh due(ceh dua), dan seterusnya.

Pada masa lalu, kesenian ini berfungsi sebagai hiburan dan sarana mengungkap masalah-masalah adat, misalnya adat perkawinan, adat mendirikan rumah, pertanian dan lain-lain. Dengan demikian pengetahuan tentang adat itu akan terus tetap hidup sebagai pengetahuan masyarakat. Pada masa ini pagelaran pertandingan kesenian itu adalah antar klen, yang juga berfungsi untuk mempertahankan sruktur sosial dalam wadah berupa klen. Pada masa yang lebih terakhir, kesenian ini berkembang dan berubah, baik dalam kekayaan variasi lagu, bentuk dan tata bunyi lirik dan fungsi dari kesenian ini yang semakin kompleks.

C. PROSES KEDATANGAN ISLAM DI TANAH GAYO

(18)

pendatang itu sebagai pedagang maupun sebagai Muballigh. Salah satu data yang dapat dilihat adalah adanya sebuah kuburan Ya’kub, saudara misan dari Al-Malik Al-Kamil. Ya’kub meninggal pada hari Jum’at 15 Muharram 630 H15. Sedang pada buku-buku yang ditulis oleh penulis Belanda, yang isinya merupakan laporan dari bawah keatasan menjelaskan bahwa sekitar tahun 1900-an suku Gayo telah memeluk Islam, namun dilain pihak banyak juga melakukan penyimpangan-penyimpangan dari hukum Islam.

Kejurun Bukit adalah salah satu bagian dari pada raja-raja yang didapati di daerah Gayo yang mempunyai hubungan baik dengan kejurun lain, yaitu Kejurun Linge, Kejurun Nosar dan lain sebagainya. Menurut cerita, semua kejurun itu mempunyai hubungan keturunan dengan nenek moyang orang Gayo di zaman dahulu.

Dalam pada itu sebagai bahan di kemukakan sebuah kisah mengenai suku Gayo dan Kerajaan Linge yang ditulis oleh Dada Meuraxa dari catatan perjalanan pengembara Marco Polo, ketika ia singgah di Perlak Aceh Timur, sekembalinya dari Cina dalam perjalanan pulang ke Itali, pada tahun 1292.

Dikatakan bahwa ketika Marco Polo singgah di Perlak tahun 1292, didapatinya penduduk perlak telah memeluk agama Islam. Penduduk yang tidak mau masuk Islam telah menyingkir ke pedalaman. Mereka yang menyingkir ke pedalaman ini, menjumpai kerajaan kecil di pedalaman.

Rakyat asli pedalaman ini menyebut daerahnya dengan “Lainggow” dan menyebut rajanya dengan Ghayo-ghayo atau “Raja gunung yang suci”. Di daerah Linggow telah berdiri kerajaan kecil yaitu “Kerajaan Linggow”, dan sudah ada hubungan dengan kerajaan Perlak di Aceh Timur yang ditandai dengan kirim mengirim bingkisan.

15

(19)

Besar kemungkinan yang dimaksud dengan “Lainggow” dalam catatan Marco Polo adalah “Linge”, sehingga yang dimaksud dengan “Kerajaan Lainggow” adalah Kerajaan Linge, sedang yang dimaksud “Laut kecil” di pedalaman Perlak adalah “Danau Laut Tawar”, karena satu-satunya danau di pedalaman daerah Aceh adalah Danau Laut Tawar. Dari catatan Marco Polo itu diketahui bahwa di daerah pedalaman sudah didapati penduduk asli, sebelum masuknya Islam dan orang-orang yang lari dari Kerajaan Perlak.

Jika itu benar maka ini dapat dipegang kebenarannya, maka dalam perkembangan sejarah selanjutnya penduduk pedalaman ini disebut sebagai suku Gayo.

Sedang pendapat lain beranggapan bahwa suku Gayo berasal dari Perlak, yakni orang-orang yang tidak mau masuk Islam melarikan diri ke pedalaman. Dan kata-kata Gayo sama artinya “sudah takut” sehingga mereka mencari tempat persembunyian di pedalaman.

Anggapan tersebut di atas mungkin bersumber dari Hikayat Raja-raja Pasai yang pernah dikutip oleh Snouck dalam bukunya menyebutkan “Ada satu kaum dalam negeri itu tidak mau masuk agama Islam maka ia lari ke hulu sungai Peusangan maka karena itulah dinamai negeri Gayo hingga sekarang.”16

Memperhatikan sumber diatas bukanlah tidak mungkin bahwa agama Islam itu masuk ke Daerah Gayo melalui Perlak atau Pase. Bahkan kalau dilihat dari segi pemerintahan, bahwa sistem pemerintahan di daerah Gayo mempunyai pola yang sama dengan kerajaan Aceh, namun ada cirri-ciri tersendiri bagi pemerintahan di tanah Gayo.

Faktor-faktor yang mempercepat Islam berkembang di daerah Gayo antara lain: Adanya para pedagang Islam yang membawa barang dagangannya, sambil mengajarkan ajaran Islam. Ada pula Muballigh yang sengaja datang ke Takengon untuk mengajak

16

(20)

masyarakat memeluk Islam. Bahwa seorang panglima yang bernama Ya’kub datang ke Gayo untuk mengislamkan orang-orang Gayo. Kalau seseorang telah dapat mengetahui ajaran Islam, tentu lambat laun akan berkembang sehingga meluas di kalangan masyarakat. Hanya saja meluasnya itu kemungkinan dapat melalui jalur pemerintah atau melalui rakyat jelata. Sebagian besar Islam berkembang melalui rakyat jelata. Hal ini dapat dilihat bahwa agama Hindu datang ke Indonesia untuk kepentingan istana, seperti teknik pembuatan candi yang merupakan aktifitas kraton, upacara istana dan lain sebagainya. Karena itu agama tersebut hanya berpengaruh pada kalangan atas itu saja sedangkan rakyat bawahan tidak begitu merasakannya17 Agama Islam yang datang kemudiannya menyusup kebagian bawah. Dengan kata lain Islam itu masuk melalui masyarakat awam. Dengan demikian Islam itu memasuki sesuatu yang belum terisi, oleh sebab itu ajaran tersebut mendapat kekuatan massal18. Ditambah pula kehidupan orang Gayo bergantung kepada pertanian. Dalam kehidupan agraris tersebut jiwa kolektifismenya sangat laus sekali. Yang demikian ini mendapat penyaluran yang sempurna dalam Islam dengan konsepsi hidup perdamaian dan suasana Muslim laksana satu tumbuh yang apabila satu sakit yang lain ikut merasakannya serta berusaha mengobati sakit tersebut. Hal ini menjadikan Islam mudah berkembang di kalangan mayarakat.

Perkembangan Islam di daerah Gayo mungkin pula dapat melalui Muballigh seperti yang telah disinggung di atas. Pekerjaannya khusus untuk mengajarkan agama. Turut sertanya Muballigh atau guru-guru agama dalam islamisasi akan lebih memperdalam pengertian-pengertian yang tercakup oleh orang Islam itu. Di samping itu

17

Ibid, hal. 481. 18

(21)

guru-guru agama atau muballigh-muballigh dengan menyelenggarakan pesantren-pesantren yang akan membentuk kader-kader yang kelak menjadi ulama-ulama19. Di kalangan masyarakat Gayo ada beberapa orang yang pergi menuntut ilmu ke daerah lain, seperti pesantren-pesantren yang dikenal masyarakat Gayo yaitu peasntren Pulo Kitun atau pesantren Teupin Raya. Mereka belajar tentang agama Islam. Bila mereka telah menganggap memiliki bekal yang cukup tentang ajaran Islam, mereka kembali ke Gayo dan disana mereka membuka pendidikan Islam yang dimulai dari keluarga, lalu tetangga, kemudian berkembang pada masyarakat. Maka tidak mustahillah di daerah Aceh umumnya dan Takengon khususnya banyak didapati sekolah-sekolah agama (Madrasah). Bahkan lebih dari tu orang-orang yang sudah lanjut usianyapun dididik kembali untuk belajar tentang agama Islam.

Kaum wanita yang sudah berusia lanjut ditampung pada sebuah rumah yang disebut “Joyah” untuk diajarkan kembali ajaran-ajaran Islam, sehingga dengan jalan demikian mereka akan lebih mendekatkan diri kepada Allah S.W.T.

Joyah sebagai sebuah bangunan samping yang kecil dekat masjid yang antara lain dipakai untuk memberi pelajaran Agama Islam20. Sebuah Joyah dapat di samakan dengan surau, adalah gedung kecil yang dipakai sebagai tempat sembahyang untuk kaum wanita. Joya yang berperan sebagai pengembangan agama Islam terdapat di berbagai desa atau kampung. Namun yang sangat menjadi perhatian masyarakat adalah Joyah Toa dan Joyah Uken. Joyah Toa terletak pada bagian Timur kampung Bebesen, sedangkan Joya Uken terletak pada bagian Barat kampung itu.

19

Ibid, hal.482. 20

(22)

Masing-masing Joyah dikepalai oleh seorang Tengku wanita. Tetapi dalam sejarah Joyah pernah juga Tengku pria menjadi ketua, seperti Tengku Lah. Namun Tengku Lah itu tidak bertahan lama karena Hulubalang (kepala distrik) di Bebesen menganggap hal itu tidak pantas dan kemudian digantikan dengan Tengku wanita. Salah satu kriteria terpenting bagi Tengku adalah harus memiliki pengetahuan tentang hukum Islam dan Agama. Karena dalam bidang itulah Tengku harus melebihi pengetahuannya dari anggota lainnya. Tengku tidak hanya bertindak sebagai pemimpin Joyah sehar-hari, tetapi juga memimpin dalam do’a dan menjadi juru bicara bagi penghuni Joyah. Jadi pemegang prestie yang tertinggi dalam Joyah adalah Tengku Guru. Dua kali seminggu Tengku Guru mengunjungi kedua Joyah secara bergilir untuk memberikan pelajaran Agama dan untuk memimpin dalam Shalat. Ia dianggap sebagai ahli besar dalam urusan keagaman dan apabila ada di kalangan anggota timbul pertentangan atau kesangsian dalam soal-soal agama, Tengku guru bertindak sebagai penasehat yang memberikan keterangan yang menentukan21. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa pola-pola kebudayaan masyarakat Gayo.

Jalur pengembangan Islam yang lebih pesat lagi adalah melalui mesjid. Dalam kota Takengon didapati beberapa mesjid. Jarak antara Mesjid dan Mesjid lain kurang lebih 300m. Sebagaimana halnya di mesjid lain, Mesjid-mesjid di Takengon dipergunakan selain untuk tempat sembahyang Jum’at dan dijadikan benteng pertahanan, juga sebagai tempat pengadilan. Dalam Mesjid para ahli fiqh mempelajari dan membahas fiqh dan Hadist22. Tiap kampung yang ada di daerah Gayo ditemukan satu atau dua mesjid. Apabila akan melaksanakan sembahyang Jum’at, sekitar jam 09.00 mereka telah

21

Ibid,hal. 483. 22

(23)
(24)

20

RIWAYAT HIDUP TENGKU IBRAHIM MANTIQ A. Keluarga

Tengku Ibrahim Mantiq ia lahir tahun 1914 di Kenawat Takengon, putra dari Mude Berani Aman Nurcaya alias Empun Berhan23. Kampung Kenawat ini termasuk sebuah wilayah kegecikan dalam wilayah pemukiman Laut Tawar kecamatan Kota Takengon kabupaten Aceh Tengah, propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang jauhnya ± 3 Km sebelah Tenggara kota Takengon

Ayahnya bernama Mude Berani alias Aman Nurcaya nama tuanya Empun Berhan ia juga mendapat gelar Raja Setie Raja, karena ia pernah menjabat sebagai Raja kampung Kenawat dalam satu periode. Ibunya bernama Sawiah berasal dari kampung Gunung Tritit Redlong (sekarang kabupaten Bener Meriah). Perkawinan ini merupakan perkawinan yang kedua karna Mude Berani telah menduda dan Sawiah janda karna suami Sawiah telah gugur dalam pertempuran dengan tentara Belanda dalam mempertahankan Aceh.

Kebahagiaan Tengku Ibrahim Mantiq pada masa kecilnya, seperti lazimnya dirasakan seorang anak dengan belaian kasih sayang dari seorang ibu tidaklah lama dinikmatinya. Karena sesudah ibunya meninggal ia diasuh oleh ayahnya sendiri.

Oleh karena itu Empun Berhan yang telah menduda menumpahkan perhatian penuh pada Ibrahim. Karena ia berperan ganda, sebagai bapak dan sebagai ibu. Namun demikian, bagaimana pun baiknya, tidaklah sempurna seperti kelembutan hati seorang ibu. Hal ini tidak saja karena keterbatasan kemampuan, tetapi karena tuntutan kebutuhan hidup sehari-harinya. Untuk menanggulangi kebutuhan hidup, Empun Berhan sering

23

(25)

mondar mandir dagang sampai kedaerah Blang Kejeren, Gayo Lues. Karena itu Ibrahim terpaksa dititipkan pada Empun Sami atau Empun Salamah, saudara sepupu. Oleh karena itu perawatan Ibrahim bergantung pada kasih sayang saudara. Begitu juga untuk mendapatkan makan, kadang ikut makan dengan Empun Sami dan kadang-kadang ikut makan dengan Empun Salamah24.

Namun demikian, tidaklah menghambat langkah Ibrahim untuk menuju pertumbuhannya. Segala cobaan itu telah menempa mental Ibrahim menjadi manusia yang dinamis.

Empun Berhan, selaku orang tua yang bijaksana, meskipun Ibrahim sebagai anak kesayangan tidaklah memanjakannya. Untuk menjadi manusia yang berguna, sejak awal dia telah meletakkan rambu-rambu petunjuk agar dapat menempuh jalur yang benar. Begitu juga dalam membimbing ia tidak bosan memberi nasehat dan petua-petuah yang bijak dengan kata-kata lembut, penuh kasih sayang agar kelak menjadi manusia yang berbudi dan berakhlak mulia.

Setelah menduda 2 tahun ia menikah lagi dengan seorang janda dari kampung Rawe yang suaminya juga gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Dari perkawinan ini lahir 2 anak laki-laki yang di beri nama Abas dan Ahmad. Sedangkan perkawinan yang pertama dengan seorang gadis dari kampung Linung Bulan (Bukit Bintang) putri dari seorang keturunan bangsawan dari raja-raja Bukit dan melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Inen Sahar. Dengan demikian ia bersaudara satu bapak 5 orang dengan berlainan ibu.

24

(26)

Asal usul Mude Berani merupakan tetesan darah dari seorang Musafir yang berasal dari Meureuedu ( Aceh Pidie ) yang menikah dengan gadis Gayo di Kenawat anak dari Datu Tunggal. Dari garis ini Mude Berani merupakan generasi ketiga dari keturunan tersebut25.

Bercerita tentang Mude Berani, ayahnya Ibrahim seorang yang alim (Tengku) yang diwariskan oleh kakeknya. Selain itu ia cerdas ahli adat, karena kecerdasannya ia pernah diangkat menjadi Raja kampung Kenawat dengan Gelar Raja Setie Raja. Selain itu ia sangat mahir dalam bercerita (kekeberen), sehingga boleh di katakan seorang publish yang tiada bandingnya di kampung Kenawat.

Dengan menyandang predikat Tengku, tahun 1936 Tengku Ibrahim kembali pulang ke kampung halamannya di Takengon. Penampilannya telah memperlihatkan gaya hidup orang-orang yang terpelajar dan berpikiran maju. Begitu juga cara berpakaian, ia telah dapat mengikuti gaya hidup zaman mutahir yang ditandai dengan mengenakan pantaloon (celana panjang) dan baju cut (jas). Singkat kata penampilannya penuh daya pesona yang mengesankan.

Namun demikian, kepribadiannya tetap kukuh berpegang pada budaya bangsa yang Islami. Ilmunya telah membentuk jati dirinya menjadi manusia yang berbudi dan berakhlak mulia dan ini kelihatan terpancar di dalam kehalusan budi bahasa yang luhur.

Sementara itu, kehadiran Tengku Ibrahim dengan segala perobahanya tampaknya belum mendapat simpati dari kalangan tua yang masih terbelenggu dalam tradisi, bahkan mereka membuat opini. Mereka memandang bahwa kehadiran Tengku Ibrahim dengan segala aksesoris yang identik dengan pakaian orang kafir (Belanda). Namun demikian,

25

(27)

mereka tidak mempunyai keberanian untuk memprotes dengan terus terang, hanya lewat desas desus.

Sementara itu, kehadiran Tengku Ibrahim dengan prototipe Gayo, dengan bangun tubuh yang sedang, berwajah simpatik serta penampilan yang menjanjikan, dapat di duga, bahwa ia telah mengundang hati dari para remaja putri untuk memuja. Gelar Tengku yang telah disandangnnya, agaknya dapat diduga, para ibu dan bapak yang mempunyai anak perawan berhasrat besar untuk mengambil jadi menantu dan ini di tandai, karena ketika itu, telah berdatangan tawaran-tawaran yang menjanjikan untuk mempersunting dengan anak gadisnya dari Pegasing dan Kebayakan. Namun demikian, tawaran tersebut belum sempat terfikir oleh Tengku Ibrahim, karena selain berusia masih muda, ia juga ingin meneruskan pendidikan pada jenjang selanjutnya.

Berhubung karena adanya tawaran-tawaran tersebut, maka pihak keluarga dan masyarakat Kenawat merasa khawatir, kalau Tengku Ibrahim menikah dengan gadis di luar Kenawat dan kalau sampai terjadi, dia biarkan meninggalkan kampung Kenawat. Oleh karena itu sebelum terjadi, pihak keluarga meminta kepada Tengku Ibrahim untuk menunjuk gadis pilihannya dan mereka akan meminang.

Karena keadaan terdesak, akhirnya Tengku Ibrahim menjatuhkan pilihannya pada Siti Asiah, seorang gadis tinggi semampai, wajah menawan, putri kedua dari Tamat Aman Rukiah dari belah Cik Kenawat. Siti Asiah bersaudarakan 4 orang yang tertua adalah Rukiah, adik nomor tiga adalah Abu Bakar dan Said Usman adalah yang bungsu. Ibunya adalah Rami Inen Rukiah yang berasal dari Bebesen26.

26

(28)

Untuk menyambut perkawinan Tengku Ibrahim dan Siti Asiah, seperti lazimnya tradisi masyarakat Gayo, maka diselenggarakan pesta sebagai tanda kegembiraan. Status perkawinan Tengku Ibrahim, adalah perkawinan angkap, yaitu sesuai dengan tradisi masyarakat Gayo, maka tengku Ibrahim menetap di rumah mertua. Dengan demikian, Tengku Ibrahim masuk kedalam garis keluarga isteri dengan kewajiban memelihara dan merawat mertua sampai hari tuanya.

Sejalan dengan keadaan, pada masa itu masyarakat Gayo, Kenawat khususnya, masih menggantungkan hidup pada pertanian, terutama sawah. Untuk memenuhinya, orang berusaha untuk mencari lahan-lahan yang dapat di cetak menjadi sawah, karena sawalah yang menjadi tumpuan utama dalam menaggulangi hidup. Dengan memiliki tanah sawah berarti masalah pangan sudah tidak menjadi problema lagi. Sejalan dengan tuntutan hal tersebut, maka Tengku Ibrahim yang baru mendirikan rumah tangga terpaksa ikut bersama orang-orang sekampung untuk membuka daerah baru di Pante Raya terletak 30 Km antara jalan Takengon-Bireun, tepatnya terletak pada bagian kaki bagian selatan gunung Burnitelong. Daerah ini tanahnya subur dan tersedia aliran air yang juga berhulu di kaki gunung Burnitelong, sehingga dapat dicetak menjadi sawah.

(29)

Dalam mengikuti derap langkah ini, Tengku Ibrahim bersama istri membabat hutan belantara, sehingga dalam waktu singkat pohon-pohon raksasa satu persatu tumbang dan dalam waktu singkat pula daerah ini siap menjadi lahan yang siap tanam. Sejalan dengan itu Tengku Ibrahim turut menanam kentang, karena tanaman ini merupakan komoditi pasar. Karenanya dalam waktu yang relatif singkat daerah ini berubah menjadi daerah pertanian yang ditanami kentang.

Dengan demikian keadaan Tengku Ibrahim semakin membaik, karena penghasilannya, selain mengajar juga ia telah memiliki sawah dan kebun. Karena itu simbol kemewahan masyarakat desa yang telah dapat diperlihatkan oleh Tengku Ibrahim yang ditandai dari penampilan suami isteri dengan pakaiannya. Juga Tengku Ibrahim telah dapat memiliki sebuah sepeda dengan merk terkenal, buatan Inggris, sehimgga ia dapat mempelancar perjalanan kemana pun ia pergi.

Kebahagian rumah tangga Tengku Ibrahim di tandai dengan kelahiran putra putrinya, yaitu yang sulung laki-laki yang di beri nama Muchtaruddin yang panggilannya Tarudin dan anak ini tinggal bersama mertua di Kenawat Lut, anak kedua perempuan dan di namakan Suhaini dan anak yang ketiga perempuan yang diberi nama Rukiyah. Kemudia pada zaman Jepang lahir seorang anak laki-laki yang dinamakan Marsuli, sedang pada zaman merdeka lahir dua anak perempuan, yaitu Charmina dan Murniawati, sedang dua anak laki-laki meninggal sewaktu kecil. Jadi anak Tengku Ibrahim yang hidup berjumlah 6 orang27

27

(30)

Demikianlah dalam rentang waktu 1938-1950-an rumah tangga Tengku Ibrahim penuh dalam keharmonisan dan kebahagiaan, sebagai rumah tangga yang sakinah, punya papan, cukup sandang dan cukup pangan serta dikaruniai anak-anak sebagai harta yang tak ternilai harganya.

B. PENDIDIKAN

Berangkat dari filosofi Islam, yang menyatakan “tuntutlah ilmu mulai dari ayunan sampai ke liang kubur”, telah menuntun umat Islam untuk melaksanakan pendidikan anaknya sejak dini. Berpedoman pada dalil tersebut, orang tua bukan saja dituntut berperan sebagai pelindung, tetapi dituntut pula untuk mencerdaskan anak-anaknya.

Proses demikian, telah lama berjalan di Tanah Gayo, sejalan dengan masuk dan berkembangnya Islam diseluruh wilayah Aceh. Pendidikan khususnya, pendidikan agama terus berjalan dan sudah mentradisi sampai hadirnya pendidikan modern.

Perlu dijelaskan sebagai gambaran bahwa di Kenawat pendidikan Islam telah berkembang pesat dengan ditandai dengan pendidikan moderen. Tokohnya adalah Tengku Kadhi Rampak, seorang pendidik yang berfikiran maju. Ia telah berguru kepada Tengku Muhammad Saleh Pulokitun.

(31)

(Meunasah). Pelajarannya adalah belajar tulis Al Qur’an dan sebagai pemula adalah surat Juz Amma, bagi yang dewasa Al-Qur’an, soal ibadah, hukum tarikh dan masalah dunia.

Dengan ditunjang dengan kecerdasan dan keinginan yang kuat, Ibrahim telah berhasil memperkaya ilmunya. Karena ia telah dapat membaca langsung dari kitab-kitab milik ayahnya, seperti Masailal dan Sabilal. Kitab-kitab tersebut pada intinya berisi tentang syariat, ibadah dan ahlak, bahasanya adalah bahasa Melayu Kuno dan tulisan Arab gundul. Sedang kitab-kitab tersebut pada masa itu termasuk kitab langka dan merupakan kitab pegangan tengku-tengku di Gayo Aceh Tengah.

Pada tahun 1929 Ibrahim meninggalkan kampung halaman dan meneruskan pendidikannya ke daerah pesisir di Aceh. Momentum yang baik yakni karena tahun 1929-an isolasi Tanah Gayo, sebagai daerah pedalaman yang tertutup telah terbuka ruas jalan Takengon-Bireun sepanjang 100 Km oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemudian untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda juga membuka lembaga pendidikan tingkat dasar (perpolkschool)di kota Takengon.

Dampak positif dari perobahan tersebut telah mendorong pemuda-pemuda Gayo keluar beramai-ramai untuk menuntut ilmu di luar kota Takengon. Tujuan utama mereka adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam di kota-kota di pesisir Aceh seperti Bireun, Samarlanga, Sigli dan keluar daerah Aceh, seperti Padang Panjang, Sumatra Barat dan ada yang ke Jawa.

Mengikuti arus tersebut, Ibrahim memilih Pesantren Pulokitun, pimpinan Tengku Muhammad Saleh, lebih dikenal dengan panggilan Tengku Pulokitun28. Pesantren tersebut telah menjadi tujuan utama pemuda-pemuda Kenawat, karena telah terjalin baik dengan Tengku Kadhi Rampak, ulama Kenawat.

28

(32)

Ibrahim hanya bertahan satu tahun di Pesantren Pulokitun, dan selama itu ia hanya mempelajari nahwu dan syaraf , sehingga ia sangat menguasai kedua pelajaran tersebut. Karena menurut anjuran Tengku Pulokitun, selaku guru, kalau dapat menguasai ilmu tersebut, maka akan lebih mudah mempelajari semua kitab yang berbahasa Arab.

Sementara itu, Tengku Pulokitun dengan dukungan Tengku Hanafiah dan Tengku Haji Ridwan membuka Madrasah moderen di Cut Meurak. Pimpinannya, Tengku Pulokitun, sedang tenaga pengajar adalah semua Tengku pendukung Madrasah tersebut. Lembaga pendidikan tersebut bernafaskan Islam, tetapi telah berani menerapkan sistem pendidikan moderen dengan memasukkan mata pelajaran menulis latin dan berhitung.

Bersamaan dengan ini, Ibrahim ikut pindah mondok di Cut Meurak dan bergabung satu pondok bersama Muhammad Yusup dari Pegasing, kakak kandung Muammad Hasan Gayo. Untuk menghemat biaya hidup, sesuai dengan kemampuan ekonomi, mereka berdua memasak sendiri.

Setelah berjalan satu tahun lamanya, pimpinan madrasah mengeluarkan kebijakan, yaitu melakukan ujian umum untuk penyaringan terhadap murid-murid. Bagi murid yang mendapat nilai kurang akan ditempatkan di kelas I, bagi murid yang mendapat nilai sedang akan duduk dikelas II dan bagi murid yang memperoleh nilai tinggi akan ditempatkan di kelas III. Dengan demikian menjelang tahun ajaran kedua telah berdiri tiga kelas, yaitu kelas I, kelas II dan kelas III.

(33)

panitia ujian. Karena itu, ia dan Abdul Wahab terpilih duduk di kelas III dan Husin naik kelas III sebagi percobaan.

Sementara itu, ketika Ibrahim dan murid-murid lainnya sedang tekun mencurahkan perhatian, Tengku Pulokitun, sebagai pegagas berdirinya Madrasah Cut Meurak mengundurkan diri dan minta berhenti, dengan alasan bahwa ia akan mencari kebutuhan hidup keluarga. Mundurnya Tengku Pulokitun telah memberi pengaruh akan kelancaran proses belajar mengajar di Madrasah Cut Meurak.

Begitu juga Ibrahim yang telah ikut 3 kwartal di kelas III semangat belajar menjadi kendor dan ada rasa enggan untuk meneruskan pendidikan di Madrasah tersebut. Padahal waktunya tinggal tidak lama untuk mengikuti ujian akhir ke kelas 4.

Meskipun demikian, untuk sementara waktu Ibrahim masih tetap bertahan di Cut Meurak. Untuk mengisi kekosongan waktu, ia mendalami ilmu-ilmu yang telah di perolehnya dan kalau ada yang kurang jelas ia bertanya langsung pada guru di Cut Meurak, sehingga semua ilmu yang telah diperolehnya dapat dikuasai dengan baik.

Dalam keadaan demikian, Tengku Pulokitun menganjurkan Ibrahim supaya melanjutkan pendidikan di Al Muslim Glumpang Dua, sebuah Madrasah moderen yang telah didirikan pada 13 April 1930, pimpinannya adalah Habib Mahmud serta dibantu oleh tenaga pengajar yang berkualitas.29

Lembaga tersebut, sebenarnya sudah digagas sejak tahun 1929, tepatnya pada 21 Jumadil Akhir H, bertepatan dengan 14 Nopember 1929 oleh Tengku Abdurrahman Meunasah Karang Meucap, seorang ulama yang ternama di Peusangan dan sebagai ketua serta dibantu oleh Ulebalang Tengku Chik Peusangan.

29

(34)

Sistem belajar mengajar yang dianut di lembaga tersebut adalah sistem moderen, karena mata pelajaran yang diberikan, selain mata pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok, juga diberikan mata pelajaran umum. Bahasa pengantar yang dipakai adalah bahasa Arab. Karena itu mata pelajaran umum pun disebut dalam bahasa Arab, seperti ilmu berhitung disebut ilmu Hisab, ilmu bumi disebut Jografi, logika disebut Ilmu Mantiq, ilmu kesehatan disebut Ilmu Shihah, ilmu jiwa disebut Ilmu Nafs dan lain-lain. Selain itu, madrasah tersebut juga mengajarkan ilmu berpidato dan kepanduan yang disebutKassa’ful Muslimin.

Sementara itu, Ibrahim yang berminat untuk meneruskan pandidikan di Al-Muslim Glumpang Dua, dia pulang dulu ke Kenawat Takengon untuk melapor kepada ayahnya Empun Berhan tentang maksud kepindahannya. Akan tetapi permintaan tersebut ditolak, ayahnya agak keberatan, karena selain jauh, juga terbentur soal biaya. Alasan ayahnya, sedang sekolah dekat di Cut Meurak ia tidak lancar mengirim belanja, apalagi pindah di Glumpang Dua yang lebih jauh, tentu sangat keberatan.

Mendengar alasan tersebut, Aman Rinah, sebagai keponakan dan Aman Gaseh selaku anak angkat, memberi dorongan semangat kepada Empun Berhan dan mereka berdua telah sepakat untuk mendukung cita-cita Ibrahim meneruskan pendidikannya. Karena menurut pengamatan mereka, bahwa Ibrahim memiliki kemampuan belajar yang bagus. Juga harapan mereka agar Ibrahim menjadi seorangtengkuyang berilmu. Adapun masalah biaya akan ditanggulangi bersama dan mereka bersedia membantu.

(35)

duduk di kelas III sudah lebih 3 kwartal di Cut Meurak dan hanya tinggal mengikuti ujian naik kelas IV saja. Oleh karena itu dengan pertimbangan rugi waktu serta mempunyai kesanggupan, ia memohon kepada kepala sekolah untuk dapat duduk di kelas IV. Namun kepala sekolah tersebut tetap menolak.

Oleh karena itu, untuk dapat meyakinkan kepala sekolah Al Muslim, Ibrahim kembali ke Cut Meurak untuk mendapatkan surat keterangan. Kemudian dengan modal surat keterangan tersebut ia langsung menghadap, Tengku Abdurrahman Karang Meucap selaku pimpinan pengurus madrasah Al Muslim untuk membicarakan tentang permasalahannya.

Akhir pembicaraan, Ibrahim dapat diterima menjadi murid di kelas IV, tetapi dengan perjanjian, apabila kelak tidak sanggup mengikuti pelajaran ia kembali duduk di kelas III. Ibrahim yang punya keinginan menyanggupi dan berjanji akan memenuhi tuntutan tersebut.

Hari-hari pertama mengikuti mata pelajaran, Ibrahim mendudukan dirinya sebagai pendengar yang baik. Karena ia masih dalam masa penyesuaian diri dengan situasi ruang dan lingkungan belajar. Sikap yang demikian berlangsung selama satu minggu. Dalam masa itu ia belum merasa perlu bertanya pada guru, begitu juga sebaliknya guru belum mengajukan pertanyaan kepadanya. Namun demikian ia berusaha untuk memusatkan perhatiannya pada setiap mata pelajaran yang diberikan guru.

(36)

kecerdasannya. Begitu juga caranya berpakian, ia tidak kalah, sehingga banyak orang menduga bahwa ia adalah anak orang yang berkelas.

Kecerdasan Ibrahim mulai ditunjukkannya dan ini tampak didalam penguasaan semua mata pelajaran, cara berdialog, cara menjawab dan jernih dalam adu pendapat. Keistimewaannya ia dapat bergaul dengan kalangan luas. Ia dapat berkomunikasi lancar dengan guru-guru dan merangkul semua teman serta akrab dengan orang di luar lingkungan sekolah.

Rahasia keberhasilan Ibrahim, sebenarnya terletak pada daya ingat30, ingatannya kuat. Setiap guru yang memberikan mata pelajaran, ia sangat memusatkan perhatiannya. Ia berusaha untuk menangkap inti pembicaraan atau penjelasan guru. Semua itu ia tangkap dan kemudian ia kemas baik dikepalanya. Selain itu, ia memasang kuping lebar-lebar seawaktu teman-temannya belajar dan membaca, ia menyimak sambil tiduran. Sehingga tanpa sepengetahuan mereka, Ibrahim telah dapat menangkap apa yang mereka baca atau hapalkan. Sedangkan cara lain adalah sewaktu teman-teman sudah pada tidur lelap, ia bangun dan belajar dengan sebaik-baiknya.

Untuk memperkaya ilmu, Ibrahim selalu memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang baik untuk bertanya kepada guru. Pendekatan yang ia lakukan kepada guru, bukanlah mengemis agar si guru dapat memberikan nilai bagus, tetapi kesempatan ia pergunakan untuk mendapatkan penjelasan tentang ilmu yang belum ia fahami dengan baik. Untuk hal tersebut ia tidak segan-segan bertanya dimanapun bertemu dengan gurunya.

30

(37)

Dengan cara demikian Ibrahim menjadi lebih dikenal oleh guru-guru di Al Muslim. Ia kenal dan akrab dengan Tengku Abbas guru ilmu Mantiq, kenal dengan Tengku Isman dan guru lainnya. Karena keramahannya itu, ia dijuluki oleh guru-guru dan teman-teman dengan sebutan anak Gayo atau Ibrahin Kenawat. Semua sebutan tersebut tidaklah mengecilkan hati Ibrahim, bahkan telah mengangkat popularitas di mata orang banyak, sehingga ia dikenal, bukan di sekolah saja, tetapi di luar sekolah pun ia di kenal.

Dengan kedudukan sebagai pelajar Al Muslim, maka Ibrahim duduk pula didalam kumpulan sekolah yaitu, Jami’atul Tulab (perkumpulan murid-murid). Dalam periode tahun 1934-1935 ia duduk menjadi ketua. Kegiatan badan ini selain untuk mengatur kesejahteraan murid-murid juga melakukan dakwah. Untuk melancarkan geraknya, maka setiap murid dipungut iuran. Badan ini sering mendapat undangan dari kampung-kampung sekitarnya untuk pengajian, maulid dan kegiatan lainnya. Kegiatan tersebut memberi kesempatan kepada Ibrahim untuk memberikan ceramah pada pengajian-pengajian pada masyarakat setempat.

(38)

pembawa acara memberi komentar. “inilah dia anak Gayo yang menjadi bintang di Al Muslim”.

Demikianlah, dengan bermodalkan kecerdasan yang prima dan dorongan kemauan yang keras, Ibrahim terus berusaha dengan segala daya untuk meraih cita-citanya. Karena itu kelas dan kelas dapat ia lalui dengan langkah gemilang, sehingga ia dapat memperoleh nilai baik yang melebihi teman-temannya. Perihal tersebut sejak ia masuk tahun 1932, pada tahun 1933 ia naik kelas V dengan nilai baik, selanjutnya tahun 1934 naik kelas VI nilai baik. Kemudian tahun 1935 ia naik kelas VII, tetap nilai baik. Dan pada kelas akhir ini murid-murid hanya tinggal 14 orang dan yang ikut ujian akhir hanya 12 orang.

Pada tahun 1936 yang sejalan dengan sistem pendidikan yang modern, Al Muslim menyelenggarakan ujian akhir untuk memperoleh diploma. Pelaksanaan tersebut untuk menyatakan bahwa setiap murid yang telah menyelesaikan pendidikan di lembaga ini harus memiliki diploma. Untuk memenuhi kriteria tersebut, maka murid-murid kelas VII diwajibkan mengikuti ujian akhir. Konon penyelenggaraan ini merupakan pelaksanaan yang pertama kali yang dilakukan oleh lembaga pendidikan swasta di Aceh.

(39)

Dalam mengikuti ujian tahriri (tulis), Ibrahim dapat melakukan dengan baik, ia dapat menjawab semua pertanyaan dalam waktu yang relatif singkat, dan sempurna. Karena semua soal yang diberikan oleh dewan penguji telah tersimpan baik didalam kepalanya. Bahkan selama mengikuti ujian, ia yang paling cepat menyerahkan kertas jawaban kepada panitia pengawas. Karena itu, ia ditegur oleh panitia pengawas, “jangan terburu-buru sebab waktu masih panjang, teliti lagi”. Ibrahim dapat menyelesaikan jawaban rata-rata 15 menit setiap mata pelajaran, seolah-olah tinggal menuliskan saja, karena semua jawaban telah ada di kepalanya.

Sedang ujian safawi (lisan) diselenggarakan di dalam sidang umum. Dewan penguji 6 orang, seorang pimpinan dan 5 orang yang terdiri dari guru-guru di Al Muslim dan guru-guru yang di datangkan dari luar. Sistem ujiannya mengingatkan kita pada ujian sarjana dalam mempertahankan karya tulisnya di perguruan tinggi. Demikian pula pelaksanaan ujian tersebut bagi mereka yang mengikuti ujian duduk menghadap dewan penguji dan menjawab semua pertanyaan dari dewan penguji.

(40)

kepada para anggota untuk bertanya yang sesuai dengan bidang kajian ilmu masing-masing.31

Singkat cerita, Ibrahim dapat menjawab semua pertanyaan dewan juri dengan jelas, baik dari segi tata bahasa, tafsir dan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Pertanyaan terakhir dari salah seorang anggota penguji yang menyatakan, sesuai dengan ayat tersebut, “coba saudara jelaskan manusia itu terbagi dalam berapa golongan?” Ibrahim menjelaskan “bahwa manusia itu terbagi kedalam tiga golongan, yaitu muslim, munafik dan kafir” demikian semua pertanyaan dari anggota dewan penguji dapat dijawab oleh Ibrahim baik dan lancar.

Setelah semua peserta ujian mendapat giliran, sidang diistirahatkan, sedang dewan penguji melakukan sidang untuk penentuan rengking pemenang. Kemudian untuk mendengar hasil akhir para peserta ujian masuk ruangan sidang undangan untuk mendengarkan pengumuman.

Untuk menentukan rengking bagi yang lulus, panitia mulai menyebut urutan nama-namanya dari rengking yang paling bawah. Setelah menyebutkan nama satu persatu dan sampailah pada nomor ke-11. pada nomor ini tersebutlah nama Asyik, asal Aceh Utara teman akrab dan saingan Ibrahim dalam perebutan kedudukan. Dan setelah nama tersebut barulah tiba giliran yang terakhir menyebutkan nama Ibrahim sebagai juara I.dengan demikian tercatatlah nama Ibrahim anak dari Gayo Aceh Tengah sebagai rengking I dari 12 peserta ujian. Berhasilnya Ibrahim meraih peringkat juara I merupakan prestasi yang membanggakan bagi daerah Gayo, karena ia telah dapat menunjukkan

31

(41)

kecerdasannya. Ia merupakan murid terbaik, lepasan pertama dari Al Muslim Glumpang Dua yang meraih peringkat juara I32

Dengan bermodalkan diploma yang telah diperolehnya, ia meminta kepada orang tuanya, Empun Berhan agar dapat meneruskan pendidikan pada tingkat selanjutnya. Hal ini, karena ia telah mendapat anjuran dari gurunya, Tengku Usman Lhoksukon untuk meneruskan pendidikan padaCollegschooll di Padang Sumatra Barat.

Akan tetapi permintaan tersebut tampaknya tidak pernah serius dipertimbangkan oleh sang ayah Empun Berhan dan ia hanya menyatakan “bahwa ia tidak mempunyai kesanggupan untuk mencari biayanya”. Dengan demikian gagallah cita-cita Tengku Ibrahim untuk meneruskan pendidikan pada jenjang selanjutnya.

32

(42)

38

USAHA TENGKU IBRAHIM MANTIQ DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN DAN DAKWAH DI TANAH GAYO ACEH TENGAH

A. BIDANG PENDIDIKAN

Pada tahun 1936, Ibrahim setelah memperoleh dipeloma dari Al Muslim Gelumpang Dua, ia kembali ke daerah Gayo dan sesuai dengan tradisi ia sudah berhak menyandang gelar Tengku. Untuk sementara ia menetap di kampungnya di Kenawat Takengon.

Sementara itu Raja Cik Kenawat, selaku orang nomor satu di Kenawat, menawarkan harapan kepada Tengku Ibrahim untuk memimpin dan mengajar di madrasah Kenawat. Karena gedung madrasah tersebut telah berdiri sejak tahun 1926 yang di bangun oleh swadaya masyarakat Kenawat. Tanah untuk tempat ini yang terletak dibagian hulu Kenawat yang diwakafkan oleh Aman Murah. Sedangkan untuk membangunnya masyarakat Kenawat bergotong royong mencari bahan-bahan ke hutan dan yang dibeli hanya lah bagian atap saja yang terdiri dari seng33. Sedang tenaga pengajar belum ada, tetapi tenaga pengajar yang cocok belum ada. Oleh karena itu, Raja Cik Kenawat sangat mengharapkan kesediaan Tengku Ibrahim untuk memimpin madrasah tersebut.

Tawaran baik tersebut secara halus ditolak oleh Tengku Ibrahim, perihal ini karma ia melihat bahwa Tengku Abdul Kadir Aman Siti Rani, santri pertama Tengku Kadhi Rampak telah lama mengabdi dan mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat Kenawat. Dengan demikian Tengku Abdul Khadir telah cukup berjasa dalam meneruskan

33

(43)

dan mengembangkan pendidikan di Kenawat. Oleh karena itu, menurut hemat Tengku Ibrahim agaknya kurang etis, kalau ia menerima tawaran Raja Cik Kenawat untuk memimpin madrasah baru tersebut. Kalau ia terima, ini sama artinya ia telah turut menyingkirkan kedudukan Tengku Abdul Khadir yang juga saudara ipar dari kedudukanya sebagai guru yang sangat dihargai di Kenawat.

Sementara itu, pada tahun 1928 Muhammadiyah telah masuk ke daerah Gayo dibawa oleh P.K.Abd. Madjid.34 Didalam perkembangannya, Muhammadiyah telah banyak membari sumbangan bagi pertumbuhan pendidikan, khususnya pendidikan Islam yang bercorak moderen. Kehadiran Muhammadiyah telah memberi inspirasi bagi tokoh pendidik untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan usaha tersebut telah memberi kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk menikmati pendidikan di Gayo.

Mengikuti perkembangan tersebut pada tahun 1938, Tengku Ahmad Damanhuri atau lebih dikenal dengan sebutan Tengku Silang mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam moderen, Tarbiyah Islamiyahdi kebayakan. Bersamaan dengan ini ia mendirikan pula pesantren yang disebutMersah Atu35.

Lembaga pendidikan yang telah dibangun oleh Tengku Silang sangat besar artinya bagi perkembangan pendidikan Islam di Gayo. Karena sejak itu sistem pendidikan tradisional yang semula diselenggarakan di Mersah dan Joyah secara berangsur-angsur mulai pindah pada sistem pendidikan madrasah di dalam pengertian sekolah. Dengan

34

Mukhlis Paeni, RIAK di Laut Tawar, Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan di Gayo Aceh Tengah. ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) kerjasama dengan Gadja Mada University Press. Jakarta 2003

35

(44)

demikian terjadilah perobahan posisi duduk bersila di lantai berpindah duduk pada bangku didalam ruangan kelas yang berpetak-petak

Mengikuti perkembangan tadi pada akhir tahun 1938, di Kute Lintang dibangun madrasah diatas tanah wakaf Tengku Bahagia Cut atau lebih dikenal dengan sebutan Tengku Lah. Pimpinan madrasah tersebut juga sepenuhnya dipercayakan kepada Tengku Silang. Seiringan dengan tahun ini juga, Tengku Abdul Jalil, santri lepasan PERSIS36dan Tengku Muchlis, santri lepasan Al Irsyad37 mendirikan taman Pendidikan Islam (PI) di Hakim-Bale Takengon. Lembaga ini berkembang pesat karena mendapat dukungan dana dari keluarga Tengku Abdul Jalil yang terkenal sebagai pedagang kaya di Aceh Tengah.

Mengikuti langkah tersebut seorang ulama dan tokoh kaya Delung Tue Tengku Cut mempelopori masyarakatnya untuk mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Delung Tue Simpang Tiga Redlong. Untuk memimpin dan tenaga pengajar dipercayakan kepada Tengku Ibrahim dan dibantu oleh Abdul Wahab santri lepasan Cut Muerak. Mereka ini dua-duanya dari kenawat. Sebagai pimpinan madrasah, Tengku Ibarahim hanya dibayar f 15 (golden, uang Belanda).

Berdirinya madrasah ini telah cukup mendapat perhatian dari masyarakat sekitarnya. Peminatnya bukan saja datang dari masyarakat Delung Tue, tatapi juga dari masyarakat Kenawat Delung, sebagai kampung baru dan Wih Ilang, sehingga murid-murid yang terdaftar berjumlah 50. mata pelajaran yang diberikan mengikuti kurikulum yang diterapkan di Madrasah Cut Meurak.38

36

Persis atau Persatuan Islam didirikan di Bandung 1920 oleh kelompok modernis yang terdiri atas Yusuf ZamZam, Qamaruddin dan Abdulrahman.

37

Al Irsyad: (Jam’iiyat Al Islam Wal Ersyad Al Arabia) berdiri tahun 1913 oleh Syaikb Soorkatti (Deliar Noer, 1980, 96)

38

(45)

Kedatangan Jepang telah membawa malapetaka bagi kelangsungan pendidikan di Indonesia dan Aceh khususnya. Karena itu madrasah yang dipimpin oleh Tengku Ibrahim terpaksa ditutup untuk selama-lamanya. Tindakan ini terpaksa diambil, karena mengikuti peratutan pemerintah Jepang yang melarang berdirinya sekolah swasta. Kemudian Tengku Ibrahim sebagai komponen ulama bersama ulama lainnya telah dimanfaatkan untuk kepentingan perang dengan selogan untuk Asia Timur Raya.

Meskipun Pemarintah Jepang melakukan tekanan-tekanan, tetapi secara bergerilia Tengku Ibrahim dan Tengku Muchklis masih menyempatkan waktunya untuk mengajar anak-anak gadis di Kampung Bale Simpang Tiga Redlong. Pelaksanaan waktunya dilakukan antara waktu Dhuhur dan Ashar setiap harinya.

Pada masa kemerdekaan Tengku Ibrahim dan Ramli serta dukungan masyarakat Kenawat Redlong mendirikan Sekolah Rendah Islam (SRI). Gagasan untuk mendirikan lembaga tersebut, selain jauhnya lembaga pendidikan dari Kenawat, juga karena masyarakat Kenawat sudah merasa perlu membuka lembaga pendidikan untuk menampung anak-anak yang jumlahnya sudah pantas untuk mendapatkan pendidikan. Juga yang paling utama adalah harapan mereka agar lembaga pendidikan ini dapat memasukkan pelajaran ilmu umum dan agama. Dengan demikian lepasan sekolah dapat menguasai ilmu dunia dan ilmu akhirat.

(46)

Perkembangan sekolah ini cukup mengembirakan, karena peminatnya datang dari Delung Tue, Wih Ilang dan kampung lainnya. Kegiatan di luar sekolah adalah terbentuknya unit drum band yang instrumennya hanya drum dan seruling bambu. Namun kemahiran anak-anaknya telah dapat memainkan sebuah simponi yang kompak dan lagu-lagu yang disuguhkan bernada gembira, sehingga yang dapat membangkitkan semangat.

Dalam perkembangan selanjutnya, Pemerintah lewat Departemen Agama RI mengangkat Tengku Ibrahim sebagai guru agama pada SRI Kenawat. Dengan pangkat ini berarti ia duduk sebagai pegawai negeri dengan tugas sebagai guru. Karir sebagai guru ia tekuni hanya berlangsung sampai pada tahun 195o-an, karena sesudah itu ia turut di dalam gerakan DI TII Aceh. Sedang sekolah tersebut terus berjalan, menjalankan sebagai lembaga pendidikan oleh tenaga-tenaga muda belakangan sekolah tersebut namanya diganti menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN).

B. BIDANG DAKWAH

(47)

Dalam meyampaikan dakwah selalu konseptual dan urainnya sistematis. Untuk melangkah kedepan ia melakukan muhasabah (koreksi diri). Toleransinya terhadap tradisi yang menyesatkan ia bersihkan dan celah-celah yang mengganggu ia tutup rapat.

Untuk mengelementasikan perihal tersebut, Tengku Ibrahim meletakkan Pesantren Al Huda yang berpusat di Mersah Uken Kenawat sebagai ajang dialog untuk menegakkan akidah, syariat dan akhlak sesuai dengan Al Qu’an dan Hadist.39 Kegiatan pesantren ini tidak hanya sebagai pentas dialog untuk merenung-renung kejayaan Islam, tetapi dimanfaatkan untuk melakukan telaah dan kajian-kajian yang berkualitas, sehingga dapat mengenal Islam sebagai mana mestinya. Untuk mengaktualisasikan hal tersebut, Tengku Ibrahim memadatkan frekuwensi kerjanya siang dan malam.

Dalam memberikan pelajarannya ia tidak bertindak seperti seorang guru dengan murid disekolahan, tetapi sebagi teman dengan menghidupkan dialog-dialog aktif. Karena tidak mengherankan para muridnya bukan saja menjadi mahir, tetapi dapat mengaktualisasikannya didalam kehidupan sehari-hari.

Mencermati akan padangan-padangan yang telah disampaikan oleh Tengku Ibrahim, menyatakan bahwa ia tidak berpihak pada golongan manapun, baik Kaum Tua atau Kaum Muda baik NU ataupun Muhammdiyah. Hal ini terlihat jelas dari sikap, kata dan perbuatan, bahwa ia adalah pengikutAhlussunah Waljama’ah.

Menurut Tengku Ibrahim, bahwa pengertian Ahlussunah Waljama’ah adalah segala perbuatan, segala tindakan haruslah sama dengan perbuatan dan tindakan Rasullah saw. Umpama kaidah, bagaimana kaidah Rasullah saw begitu juga kita perbuat, syariat

39

(48)

bagaimana syariat nabi Muhammad saw begitu juga kita kerjakan. Umpama moral kita harus berakhlak seperti nabi. Inilah yang disebutAhlussunahWaljama’ah.40

Kalau kita kembali kepada akidah, bahwa kaidah nabi, tidak jauh berkisar dari rubu’iah dan uluhiyah, artinya sesuatau yang terjadi adalah ciptaan Allah SWT, kendati dengan kecelakaan, karena semua itu dengan kehendak Allah SWT. Dengan berdasrkan kepada Lailahaillah, tiada tuhan yang disembah Allah, maka segala tindak tanduk, akidah, akhlak dan tidakan harus pas menurut perbuatan nabi. Itulah yang disebut Ahlussunah Waljama’ah.

Karena itu seperti yang dikaji tadi, amat keliru, kalu Kaum Muda menyatakan, bahwa mereka menyatakan, kami adalah pengikut Ahlussunah Waljama’ah. Begitu juga dengan Kaum Tuanya menyatakan, bahwa mereka adalah pengikut Ahlussunah Waljama’ah. Keliru juga kalau kita kembalikan kepada definisinya, apakah azas dan tujuannya, bahwa kami pemangku Ahlussunah Waljama’ah. Begitu juga organisasi politik atau organisasi sosial masing-masing. Akan tetapi, apabila akidah sudah mengikuti akidah nabi, betul-betul syariat seperti nabi, apakah perbuatan benar-benar seperti nabi, itulah yang disebut Ahlussunah Waljama’ah. Jadi jelasnya Ahlussunah Waljama’ahbukan karena Kaum Tuanya dan bukan karena kaum Mudanya.

Oleh karena itu, Ahlussunah Waljama’ah tidaklah begitu susah dan juga tidak mudah. Kita tidak perlu menambah-nambah dari ibadah nabi, kita tidak perlu mengurangi dari ibadah nabi. Apa yang telah digariskan oleh nabi enteng, tidak berat, karna itu buat apa kita menambah-nambah, seperti sebuah contoh, apakah ada orang Islam disuruh mengadakan khalwat, umpama tahlil seribu, tahmid seribu. Itu merupakan suatu perbuatan yang membatas-bataskan, memberat-beratkan yang tidak pernah dikerjakan

40

(49)

oleh nabi. Dengan demikian orang-orang yang berbuat demikian itu amatlah keliru, itu bukan perbuatan Nabi Muhammad saw.

Ahlussunah Waljama’ah adalah berasal dari perkataan nabi Muhammad saw. “Pada suatu hari nabi pernah bercerita pada para sahabat, wahai sahabatku, bahwa agama Yahudi sesudah nabi Musa terpecah dalam 71 firkah”. Semua mereka menganggap bahwa agama Yahudi, firkah mereka yang benar karena berasal dari Nabi Musa. Kemudian Nabi melanjutkan ceritanya, Nabi Isa (Yesus), kata nabi Muhammad, bahwa umatku nanti terpecah menjadi 71 firkah, tetapi kesemuanya hanya satu yang benar. Demikian juga Nabi Muhammad saw, umatku terpecah dalam 73 firkah, hanya satu yang benar. Yang benar satu itu siapa ya Rasull?,Ahlussunah Waljamaa’ah. Lalu para sahabat bertanya lagi, yang benar itu siapa ya Rasull? Baik agama Nabi Musa atau agama Nabi Isa? “ajaranku sendirilah yang benar”, kata Nabi Muhammad saw.41

Berangkat dari semua itu, maka dengan ini saya berpendapat dan menyatakan bahwa, Ahlussunah Waljama’ah yang betul-betul pas akidahnya yang dijalankan oleh Nabi Muhammad, ibadatnya dan moral seperti nabi, itulahAhlussunah Waljama’ah. Jadi bukan karena organisasinya, seperti Muhammadiyah Ahlussunah waljama’ah, kalau Muhammadiyah karena Allah, tetapi Muhammadiyah bukan karena Muhammadiyahnya. Begitu juga dengan Al Washliyah, bukan karena Washliyahnya, tetapi betul-betul seperti ajaran nabi Muhammad saw, demikian juga dengan yang lainnya. Apabila tidak sesuai dengan perbuatan Rasullah saw, walaupun mengaku Islam seperti Kaum Tua, Kaum Muda, Muhammadiyah, NU dan lain-lainya, dengan demikian ditegaskan bahwa

Ahlussunah waljama’ah, akidahnya seperti Nabi syariatnya sperti Nabi dan moral seperti Nabi.

41

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini akan mengembangkan perangkat pembelajaran SETS, diharapkan dapat memberikan manfaat yang lebih dibandingkan dengan pembelajaran yang menerapkan

Hal-hal yang membuat persen- tase siswa memiliki kemampuan berpikir reflektif matematis lebih dari 60% jumlah siswa pada kelas yang mengikuti model guided discovery

Ini dikarenakan buku ajar memuat banyak informasi, uraian materi, dan evaluasi (Fendy Hardian Permana, 2015; Pangastuti, Amin, & Indriwati, 2016).. Pada penelitian ini

Penelitian dilakukan dengan menerapkan model simulasi pada sistem pelayanan untuk menentukan jumlah fasilitas pelayanan yang sesuai dengan waktu menunggu yang telah

Xi’an, perancang Masjid Tan Kok Liong mengambil esensi dari bentuk penutup atap yang berbentuk lingkaran, dengan pergeseran makna penulisan kaligrafi kata Allah

Keterampilam teknis ini adalah bagian utama untuk mengetahui kompetensi dalam bidang SE berdasarkan Software Engineering Compentency Model (SWECOM) yang di susun

Rahmawati dan rakan-rakan (2010), mengatakan bahawa ketidakseimbangan gender terhadap wanita dalam rumah tangga wujud hingga kini di Indonesia disebabkan oleh keadaan dominasi

Menggunakan Metode Kerja Kelompok Pada Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI Sekolah Dasar Negeri 1 3RRO (QWLNRQJ´ Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan