• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.9. Revitalisasi Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)

Pengembangan ekonomi lokal (PEL) adalah usaha untuk mengoptimalkan sumberdaya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal dan organisasi masyarakat madani untuk mengembangkan ekonomi pada suatu wilayah tertentu. Tujuan PEL adalah untuk mengembangkan ekonomi suatu

wilayah yang berkelanjutan dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal guna mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah, peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengurangan kesenjangan antar kelompok masyarakat, antar sektor dan antar wilayah.

PEL mulai berkembang di negara-negara maju baik di Amerika Serikat maupun Eropa sejak tahun 1960, dimana dalam perkembangannya PEL telah mengalami 3 tahapan besar atau gelombang pengembangan. Menurut Wolfe and Creutzberg (2003) dalam Bappenas (2006), ketiga gelombang tersebut adalah

pertama, pendekatan tradisional (traditional approach); kedua, pengembangan kapasitas; dan ketiga, fokus pada kualitas kehidupan dan aliran informasi.

Pendekatan tradisional terutama memfokuskan pada upaya menarik perusahaan-perusahaan individual melalui input produksi yang murah, infrastruktur yang bersbubsidi, penurunan subsidi langsung atau penurunan pajak. Dengan berbagai insentif tersebut diharapkan berbagai perusahaan individual akan menempatkan perusahaannya di lokasi-lokasi tertentu serta mampu menggerakkkan perkembangan ekonomi lokal di lokasi-lokasi tersebut.

Pendekatan pengembangan kapasitas (capacity building approach) mencoba mengembangkan infratruktur pendidikan dan teknologi dalam membangun basis pengetahuan yang diperlukan dalam menumbuhkembangkan kemampuan kompetitif dalam merespon perubahan lingkungan ekonomi. Beberapa instrumen yang digunakan dalam pendekatan ini antara lain difokuskan pada upaya penutupan kesenjangan di pasar modal; modernisasi perusahaan kecil dan menengah; percepatan transfer teknologi dari perguruan tiggi ke dunia industri; dan peningkatan kemampuan (skill) pekerja dan manajemen.

Pendekatan ketiga menekankan pada peran penting dari kualitas infrastruktur fisik, sosial dan pengetahuan dalam sebuah wilayah atau lokalitas tertentu. Terwujudnya kualitas kehidupan yang baik serta lancarnya akses dan arus informasi di suatu lokasi akan mampu menjadi penggerak utama dalam proses pengembangan ekonomi lokal.

Di Indonesia, banyak program dan kegiatan yang berlabel pengembangan ekonomi lokal (PEL) telah, sedang, dan akan dilaksanakan. Program–program tersebut yang pada umumnya menggunakan pendekatan pemberdayaan

masyarakat (community development), dimulai sejak digulirkannya program Inpres Desa Tertinggal (IDT) pada tahun 1994. Selanjutnya diikuti oleh program- program yang lain diantaranya: Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D), Kemitraan dan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL), Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) serta Agropolitan.

Namun sebagian besar program-program tersebut belum secara substansial mengembangkan ekonomi lokal. Titik berat program lebih banyak diarahkan pada pemberdayaan masyarakat dan masih bersifat proyek, serta bersifat top down dari pemerintah pusat. Pada umumnya program-proram tersebut tidak berkelanjutan (sustainable) setelah masa proyek berakhir. Oleh karenanya pada tahun 2006 dilakukan program revitalisasi pengembangan ekonomi lokal yaitu upaya meningkatkan fungsi pengembangan ekonomi lokal dan upaya menggerakkan kembali kekuatan ekonomi masyarakat lokal sebagai basis pengembangan perekonomian wilayah secara terukur, terencana dan berkelanjutan.

Terdapat beberapa konsep yang menjadi dasar bagi revitalisasi PEL, salah satunya adalah konsep Porter’s Diamond dari Michael Porter. Namun konsep tersebut mempunyai kelemahan mendasar yaitu tidak ada aspek lokasi maupun ruang (spatial). Padahal dalam ekonomi wilayah, faktor ini merupakan syarat keharusan sehingga jika tidak ada, konsep tersebut relatif sama dengan konsep ekonomi pada umumnya yang tidak memperhatikan ruang (spaceless world). Berbeda dengan konsep Porter’s Diamond, konsep Heksagonal PEL yang dikembangkan oleh Jorg Meyer Stamer (2004) telah memasukkan aspek ruang dalam model PEL-nya (Bappenas, 2006).

Heksagonal PEL merupakan alat analisis yang dapat digunakan untuk menggambarkan dan mengukur kondisi PEL di suatu wilayah. Wilayah yang dimaksud dapat berupa wilayah administratif ataupun wilayah/kawasan pengembangan usaha/komoditi unggulan tertentu, termasuk kawasan agropolitan. Berdasarkan hasil pemetaan tersebut kemudian dilakukan analisis terhadap komponen heksagonal PEL yang berperan sebagai faktor pengungkit (leverage

factor), yaitu faktor yang berpengaruh besar terhadap pengembangan PEL. Berdasarkan nilai faktor pengungkit tersebut selanjutnya disusun strategi pengembangan PEL.

Komponen PEL terdiri dari 6 unsur yang disebut dengan heksagonal. Terdapat enam segitiga yang secara keseluruhan membentuk heksagonal, yang berfungsi mengorganisasikan konsep utama dan instrumen PEL. Heksagonal dapat membantu praktisi dan stakeholder untuk memahami kompleksitas PEL serta mempertimbangkan trade off dan kemungkinan konflik yang ada dalam PEL. Heksagonal PEL terdiri dari :

1. Kelompok sasaran PEL

Kelompok sasaran PEL dibedakan atas tiga pelaku usaha yaitu pelaku usaha lokal, investor luar dan pelaku usaha baru.

2. Faktor lokasi

Faktor lokasi menggambarkan daya tarik dari sebuah lokasi bagi penyelenggaraan kegiatan usaha. Terdiri dari faktor lokasi terukur (tangible factor), faktor lokasi tidak terukur (intangible factor) bagi pelaku usaha dan faktor lokasi tidak terukur (intangible factor) bagi individu.

3. Kesinergian dan fokus kebijakan

Tiga hal yang saling berkaitan dalam kebijakan PEL adalah perluasan ekonomi, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan komunitas, serta pembangunan wilayah. Ketiga hal tersebut memiliki tujuan yang berbeda namun saling berhubungan dan membentuk keterkaitan.

4. Pembangunan berkelanjutan

Tiga faktor penentu pembangunan berkelanjutan terdiri dari pembangunan ekonomi, lingkungan dan sosial. Aspek ini merupakan bagian dari pendekatan PEL yang inovatif.

5. Tata kepemerintahan

Segitiga dalam ketatapemerintahan memastikan bahwa hubungan pelaku usaha masyarakat dibangun atas berlangsungnya reformasi sektor publik dan pengembangan organisasi pelaku usaha.

6. Proses manajemen

PEL merupakan proses yang berkesinambungan yang terdiri dari diagnosa dan perencanaan, implementasi dan monitoring serta evaluasi, patok duga (benchmark) dan refleksi.

Keseluruhan komponen PEL dalam heksagonal tersebut bertujuan untuk mengembangkan ekonomi wilayah secara berkelanjutan (Gambar 2).

Gambar 2 Heksagonal PEL

Untuk keperluan operasionalisasi konsep heksagonal PEL sebagai alat analisis selanjutnya diturunkan dalam bentuk indikator PEL (Lampiran 9). Indikator ini kemudian dijadikan dasar untuk menyusun kuesioner evaluasi mandiri (self assessment).