• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revolusi di Bidang Hukum

Revolusi Pemerintahan Dunia Islam Pada Masa Umar bin Abdul Aziz

C. Revolusi di Bidang Hukum

Hukum memiliki kedudukan paling tinggi di sebuah pemerintahan. Bahkan lebih tinggi dari-pada pemimpin atau khalifah. Hukum tak ubahnya seperti pedang. Siapa yang memainkannya me-nentukan, untuk apa pedang itu digunakan. Karena itu, dalam pemerintahan, penting sekali untuk memilih orang-orang yang nantinya akan duduk menjalankan hukum.

1. Ijtihad Umar dalam Menentukan Syarat-syarat Menjadi Hakim

Khalifah Umar bin Abdul Aziz melihat hal ini dengan sangat jelas. Kesalahan dalam men-jalankan hukum, resikonya akan dirasakan rakyat. Ketimpangan hokum akan melahirkan kedholiman -kedholiman. Tentu Umar bin Abdul Azizi tak ingin pemerintahannya berjalan di atas rel kedholiman. Karena itulah ia membuat peta kriteria-kriteria, yang itu akan dijadikan timbangan dalam memilih para penegak hukum di masanya.

Adapun kriteria-kriteria utama yang harus dimiliki seorang hakim adalah sebagai berikut: 1. Berilmu

2. Bijaksana

3. Menjaga Kesucian Diri 4. Mau Bermusyawarah

5. Kokoh dalam Memegang Kebenaran

Mengenai criteria-kriteria diatas, Umar bin Abdul Aziz pernah menyatakan, "Tidaklah pantas seorang hakim menjadi hakim sehingga dirinya memiliki lima karakter: menjaga kesucian diri, bijak-sana, mengetahui perihal sebelumnya, mengajak ahli ilmu untuk bermusyawarah, tidak mempe-dulikan celaan manusia."

Maksud tidak mempedulikan celaan manusia ini adalah, kokoh dalam memegang kebenaran. Sekalipun banyak yang mencela, dirinya tetap berpijak teguh diatas kebenaran.

Terkesan idealis memang. Tapi itu perlu. Semangat dan keteguhan hati seorang pemimpin dalam memperjuangakan idealismenya membuktikan bahwa dirinya memiliki karakter yang kokoh. Orang seperti ini layak untuk memimpin.

2. Objektivitas dalam Menerapkan Hukum

Obyektif itu adalah melihat sesuatu sesuai dengan realitanya. Kaitannya dengan hukum, maka semua orang dipandang sama di mata hukum. Yang bersalah adalah salah, sekalipun pejabat. Dan yang benar adalah benar, sekalipun rakyat biasa. Dan perlu kita sadari bersama bahwa obyektif

dalam menerapkan hukum adalah sebuah bukti sehatnya pemerintahan.

Di awal telah disampaikan, bagaimana sikap Umar bin Abdul Aziz terhadap keluarga kerajaan. Tidak ada yang diistimewakan. Nepotisme yang membudaya di era-era sebelumnya dihapus. Pisau hukum tidak hanya menjadi tajam untuk menindak ke bawah, tapi juga ke samping bahkan ke atas.

3. Solusi Disaat Hakim Bingung Menetapkan Sesuatu

Hakim-hakim yang dipilih Khalifah Umar bin Abdul Aziz memang orang-orang hebat. Bukan hanya kompetensi yang mereka miliki, namun kedekatan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Karena mereka adalah para ulama'. Di tangan mereka sudah tergenggam ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Tapi mereka adalah manusia. Tak luput dari kekhilafan dan kebimbangan. Adakalanya mereka bingung memutuskan sebuah perkara. Mana yang benar dan mana yang salah. Itu wajar, jika hanya sesekali terjadi. Lantas apa yang harus dilakukan seorang penegak hukum ketika dirinya menghadapi masalah semisal? Meninggalkan perkara begitu saja? Tetap memutuskannya dalam kebimbangan? Atau memvonis benar kepada pihak yang memberinya uang lebih banyak?

Hukum bukanlah mainan, yang bisa dibeli atau dilotre. Keputusan seorang hakim di dunia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak di hadapan Allah. Karena itulah Umar bin Abdul Aziz memberikan solusi yang sebenarnya solusi itu dulunya juga diterapkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Solusi ini adalah pelajaran penting dalam ilmu hukum yang harus diingat dan diterapkan sampai akhir jaman nanti.

Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan instruksi kepada seluruh hakim-hakimnya, di pusat mau-pun di daerah, jika kebenaran sudah jelas maka mereka wajib berhukum dengannya. Dan jika ke-benaran tidak nampak, maka mereka tidak boleh meninggalkan perkara itu. Melainkan harus mem-bawanya kepada orang yang lebih memahami masalah itu.

Allah Swt memang menciptakan manusia dalam hal pengetahuan dan pemahaman yang ber-beda-beda. Ada yang dilebihkan dari yang lain. Ada yang diberi pengetahuan mendalam dalam suatu hal, tapi dalam hal yang lain pemahamannya tidak mendalam. Disinilah pentingnya musy-awarah yang dijadikan oleh Umar bin Abdul Aziz sebagai salah satu criteria hakim yang dipilihnya. Sehingga seorang hakim tidak egois. Tidak merasa paling tahu. Dan ini juga merupakan sebuah tin-dakan bijaksana dalam memutuskan sebuah perkara.

Dalam masalah ini, Umar bin Abdul Aziz pernah menulis sepucuk surat kepada Maimun bin Mahran yang saat itu menjadi hakim. Ia mengeluhkan sulitnya menegakkan hukum dan menarik pa-jak di daerah dimana dirinya menjadi hakim disana. Isi jawaban surat dari Umar bin Abdul Aziz adalah :

"Sungguh, aku tidak membebanimu dengan sesuatu yang memberatkanmu. Penuhilah yang baik. Dan berhukumlah dengan apa-apa yang kebenarannya jelas bagimu. Jika kamu bingung, maka angkatlah masalah itu kepadaku. Jika semua orang meninggalkan semua perkara yang memberat-kannya, maka kemashlahatan agama dan dunia tak akan tegak." 1

4. Kesalahan dalam Memaafkan Orang Bersalah Lebih Baik daripada Menghukum Orang yang Tak Bersalah

Adakalanya sebuah opsi yang dilematis muncul ke permukaan hokum. Mana yang lebih ber-bahaya, antara memaafkan orang bersalah dengan menghukum orang tak bersalah. Tentu ini ada pembahasannya dalam fiqih prioritas. Karena itulah seorang hakim harus menguasai prioritas-prioritas dalam hukum.

Umar bin Abdul Aziz pernah mengeluarkan sebuah statemen, "Tinggalkanlah hukuman se-mampumu dalam perihal yang masih syubhat (tidak jelas). Sesungguhnya kesalahan seorang pemimpin dalam memaafkan orang yang bersalah itu lebih baik daripada memvonis hukuman kepada orang yang tak bersalah." 2

Kok bisa??

Ya, bisa. Logikanya adalah, Allah Swt menyuruh kita, sebisa mungkin untuk memaafkan orang yang bersalah. Karena ini adalah perbuatan terpuji. Sekalipun sah-sah saja jika kita menuntut bala-san atas kesalahan seseorang kepada kita. Tapi tetap, memafkannya lebih baik.

Adapun menjatuhkan vonis bersalah kepada orang yang tidak bersalah adalah sebuah ked-holiman. Sudah jelas, dholim itu diharamkan dalam Islam. Allah Swt saja tidak pernah berbuat dholim kepada hamba-hamba-Nya. Karena Allah Swt mengharamkan sifat itu ada pada diri-Nya. Dan juga mengharamkan manusia untuk melakukannya.

5. Makna Hadiah Bagi Seorang Hakim

Khalifah Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa menerima hadiah bagi para pemimpin, dari level tertinggi sampai paling bawah, mulai dari khalifah, hakim, gubernurdan pegawai-pegawainya adalah risywah, alias sogokan. Dengan tidak bermaksud untuk menunduh niat baik si pemberi, me-lainkan hanya untuk sebuah kehati-hatian dalam uapaya menjaga ketajaman dan netralitas hukum.

Hadiah-hadiah itu bisa mewariskan sikap 'ewuh pakewuh' bagi seorang hakim, jika ternyata yang harus diadilinya adalah orang yang pernah memberinya hadiah. Nah ini yang membuat hukum mandul. Tidak obyektif. Dan akhirnya adalah nuansa pemerintahan yang tidak sehat.

Untuk contoh kasus sejarahnya, di bab sebelumnya telah ada pembahasannya.

1. Umar bin Abdul Aziz, Ma'alimul Ishlah wat Tajdid, Dr. Muhammad ash-Shalabi.

2

6. Menyikapi Kesalahan Pejabat dengan Bijak

Orang yang berbuat kemaksiatan atau meninggalkan sebuah kewajiban tidak bisa serta merta kita vonis berdosa. Harus kita telusuri dulu motivnya. Barangkali ia lupa atau khilaf melakukan atau meninggalkannya. Atau ia sangat membutuhkan sesuatu untuk mempertahankan hidupnya, se-hingga menempuh jalan tidak benar untuk mendapatkannya. Atau barangkali ia memang benar-benar sengaja melakukannya atau meninggalkannya. Ini punya hukum yang berbeda-beda.

Namun dalam prakteknya akan muncul dilema. Jika semua orang yang melakukan kesalahan memiliki alasan yang sama, yaitu lupa, tentu akan membuat ketimpangan dalam penegakkan hu-kum. Kalau alasan mereka dimaklumi, tentu mereka akan bebas dari tuduhan salah. Untuk meme-cah dilemma itu, harus ada hukum yang tegas. Tegas disini bukan berarti langsung memutuskan salah kepada pelaku tanpa mempertimbangkan motivnya. Sebaliknya juga tidak terfokus pada mo-tiv saja sehingga tidak melulu melihat sebuah tindakan kesalahan sebagai sesuatu yang perlu dimak-lumi.

Harus ada sikap bijak dalam melihatnya. Sikap bijak disini adalah sikap yang objektif dalam melihat tema kesalahan.

Wahab bin Munabbih menyampaikan kepada Umar bin Abdul Aziz melalui sepucuk surat, "Sesungguhnya aku kehilangan uang dari Baitul Mal Yaman beberapa Dinar."

Umar bin Abdul Aziz membalas lewat surat, "Amma ba'du. Aku tidaklah meragukan agama dan amanahmu. Tapi aku hanya mempermasalahkan kecerobohanmu dan kekurang hati-hatianmu. Dan aku adalah pembela ummat Islam dalam harta mereka. Maka aku memintamu untuk bersum-pah di depan rakyat." 1

Maksudnya adalah, Umar bin Abdul Aziz meminta Wahab bin Munabbih agar bersumpah atas nama Allah di depan masyarakat Yaman, bahwa dirinya tidak bersalah. Dengan begitu, maka ia tidak dituntut untuk mengembalikan uang Baitul Mal yang hilang. Adapun jika ia berdusta dengan sum-pahnya, maka urusannya adalah dengan Allah Swt.