• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIOGRAFI IBN KATSIR DAN HAMKA

A. Ibn Katsir

1. Riwayat Hidup

Pada masa kanak-kanak, Ibn Katsir dipanggil dengan sebutan Isma‟il. Nama lengkapnya adalah ‟Imad al-Din Abu al-Fida ‟Isma‟il Ibn ‟Amr Ibn Katsir Ibn Zara‟ al -Busra al-Dimasyqi. Ia lahir di desa Mijdal dalam wilayah -Busra (Basrah), tahun 701 H./1301 M. Ayahnya bernama al-Khatib Syihab al-Din ‟Amr Ibn Katsir, beliau adalah

seorang pemuka agama dalam bidang fiqih.1

Ibn Katsir berasal dari keluarga terhormat, ayahnya seorang ulama terkemuka di masanya, Syihab al-Din Abu Hafs ‟Amr Ibn Katsir Ibnu Dhaw‟ Ibn Zara‟ al-Quraisy,

pernah mendalami Mazhab Hanafi, kendatipun menganut Mazhab Syafi‟i setelah menjadi

khatib di Basra.2

Dalam usia kanak-kanak, setelah ayahnya meninggal, beliau pergi ke Damsyik bersama saudaranya untuk belajar ke beberapa ulama di sana. Di sanalah ia mulai belajar. Guru pertamanya adalah Bahr al-Din al-Farazi (660-729 H./1261-1328 M.), tidak lama setelah itu ia berada di bawah pengaruh Ibn Taimiyah (w. 728 H./1328 M.). Untuk jangka waktu cukup panjang, ia hidup di Suriah sebagai seorang yang sederhana dan tidak popular. Sebagian ulama menganggap beliau sebagai salah seorang murid Ibn Taimiyah yang paling setia dan paling gigih mengikuti pandangan gurunya dalam masalah fiqih dan

1 Nur Faizin Maswan, Tafsir Ibn Katsir, Membedah Khazanah Klasik, (Yogyakarta: Menara Kudus,

2002), Cet. Ke-1, h.35

tiga dengan satu lafaz.

Pada usia sebelas tahun, beliau menyelesaikan hafalan al-Qur‟an, dilanjutkan memperdalam qira‟at, dari studi tafsir dan ilmu tafsir dari Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (661-728 H.). Di samping ulama lain, metode penafsiran Ibn Taimiyah menjadi bahan acuan pada penulisan tafsir Ibn Katsir. Dalam bidang tafsir ia diangkat menjadi guru besar oleh gubernur Mankali Bugha di Masjid Ummayah Damaskus.3

Selama hidupnya Ibn Katsir didampingi seorang istri yang dicintainya, bernama Zainab, putri al-Mizzi, salah seorang gurunya. Setelah mengarungi bahtera hidup yang panjang, dengan penuh perhatian yang besar dalam berbagai disiplin dunia keilmuan, akhirnya pada tanggal 26 Sya‟ban 744 H/ Februari 1373 M. Ibn Katsir meninggal dunia

di Damaskus dan dimakamkan di pemakaman sufi, di samping gurunya Ibn Taimiyah. 2. Karakteristik Tafsir Ibn Katsir

a. Metodologi Tafsir Ibn Katsir

Keberadaan metode analitis (tahlili) telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya di bidang tafsir al-Qur‟an. Berkat metode ini, maka lahirlah karya-karya tafsir yang besar, di antaranya kitab Tafsir al-Tabari, Tafsir Ruh al-Ma‟ani, Tafsir al-Maraghi dan lain-lain.

Metodologi tafsir Ibn Katsir dipandang dari segi tafsirnya termasuk dalam kategori tahlili, yakni, suatu metode analitis yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an

dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang di tafsirkan

3 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1994), h.

dan kecendrungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.4

Ibn Katsir mengemukakan metode penafsiran yang terbaik dalam mukadimah tafsirnya sebagai berikut:

Jika ada orang yang menanyakan, bagaimana metode penafsiran yang terbaik, maka jawabannya adalah penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an. Yang

mujmal pada suatu ayat diuraikan maksudnya pada ayat lain. Apabila metode ini tidak dapat engkau lakukan, maka tafsirkanlah dengan Sunnah, karena al-Sunnah merupakan penjelasan al-Qur‟an.5

Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang terkandung dalam al-Qur‟an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf atau disebut juga tartib mushafi.6 Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan, seperti: pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya ayat, kaitannya (kolerasi) dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabah), dan tidak ketinggalan pula pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi‟in maupun ahli tafsir lainnya.

b. Corak Tafsir Ibn Katsir

Tafsir Ibn Katsir disepakati oleh para ahli termasuk dalam kategori Tafsir

al-Ma‟tsur. Kategori atau corak Ma‟tsur yaitu penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat dengan hadis Nabi yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasakan sulit atau

4 Nashirudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000), Cet. II, h. 31

5 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Cet. I, jilid I, h. 10

6Tartib Mushafi yaitu menyusun ayat demi ayat, surat demi surat dimulai dengan surat al-Fatihah

dan di akhiri dengan an-nas. lih. Nur Faizin Maswan, Kajian Deskriptif Ibnu Katsir, Tafsir (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), h. 35-36

para tabi‟in.7

c. Sistematika Tafsir Ibn Katsir

Sistematika yang ditempuh Ibn Katsir dalam tafsirnya yaitu, menafsirkan seluruh ayat-ayat al-Qur‟an sesuai susunannya dalam Mushaf al-Qur‟an, ayat demi ayat dan surat

demi surat, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Maka, secara sistematis, tafsir ini menempuh tartib mushafi.

d. Sumber Tafsir Ibn Katsir

Secara garis besar sumber-sumbernya dapat dibagi dua, yakni: 1. Sumber Riwayah

Sumber ini antara lain meliputi: al-Qur‟an, Sunnah, pendapat sahabat, pendapat tabi‟in. Sumber-sumber tersebut merupakan sumber primer dalam tafsir ibn Katsir. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa materi sumber ini berasal dari sumber kedua (dirayah), karena walaupun Ibn Katsir hafizh dan muhaddis yang mempunyai periwayatan hadis dan menguasai periwayatan tentang hadis tafsir, dia cenderung mengutip riwayat-riwayat penafsiran dari kitab-kitab kodifikasi dari pada menyampaikan hasil periwayatannya. Namun, karena materi tersebut identik dengan riwayah, maka sumber-sumber tersebut adalah sumber riwayah. Sebagai ulama mutaakhkhirin yang sudah jauh rentang masanya dengan pemilik sumber riwayah adalah suatu sikap yang berhati-hati dan menjaga diri apabila dia merujukan riwayat tafsir dengan kitab modifikasi, sekalipun menguasai periwayatan.

7 Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‟iy, penterjemah Suryan A. Jamrah, (Jakarta: Rajawali pers, 1994), h. 13

Yang dimaksud dengan sumber dirayah adalah pendapat yang telah dikutip oleh ibn Katsir dalam penafsirannya. Sumber ini selain dari kitab-kitab kodifikasi dari sumber riwayah juga kitab-kitab tafsir dan bidang selainnya dari para mutaakhkhirin sebelum atau seangkatan dengannya. Terdapat pula pada sumber ini karya ulama mutaqaddimin.

Hal ini merupakan keterbukaan Ibn Katsir terhadap karya-karya dari ulama mutaakhkhirin yang berorientasi ra‟y. Maksudnya dia tidak membatasi pada kutipan karya tafsir ma‟tsur saja, namun juga memasukkan pendapat para ulama tafsir yang lahir dari pengaruh perkembangan dan kemajuan perkembangan ilmu dalam Islam.8

Dokumen terkait