• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggambaran malaikat dalam al-Quran (studi perbandingan antara penafsiran Ibn Katsir dan Hamka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggambaran malaikat dalam al-Quran (studi perbandingan antara penafsiran Ibn Katsir dan Hamka"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

(

(SSttuuddii PPeerrbbaannddiinnggaann AAnnttaarraa PPeennaaffssiirraann IIbbnn KKaattssiirr ddaann HHaammkkaa))

S

SKKRRIIPPSSII

D i a j u k a n Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai G e l a r S a r j a n a T h e o l o g i Is l a m ( S . T h . I)

Oleh

IRFAN ABDURRAHMAT NIM. 104034001243

P

P

R

R

O

O

G

G

R

R

A

A

M

M

S

S

T

T

U

U

D

D

I

I

T

T

A

A

F

F

S

S

I

I

R

R

H

H

A

A

D

D

I

I

S

S

F

F

A

A

K

K

U

U

L

L

T

T

A

A

S

S

U

U

S

S

H

H

U

U

L

L

U

U

D

D

D

D

I

I

N

N

U

U

N

N

I

I

V

V

E

E

R

R

S

S

I

I

T

T

A

A

S

S

I

I

S

S

L

L

A

A

M

M

N

N

E

E

G

G

E

E

R

R

I

I

S

S

Y

Y

A

A

R

R

I

I

F

F

H

H

I

I

D

D

A

A

Y

Y

A

A

T

T

U

U

L

L

L

L

A

A

H

H

J

J

A

A

K

K

A

A

R

R

T

T

A

A

1

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Agustus 2011

(5)

i

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang selalu mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya. sehingga penulisan skripsi dengan judul: “Penggambaran Malaikat Dalam

Al-Qur’an (Studi Perbandingan Antara Penafsiran Ibnu Katsir dan Hamka)”

dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam semoga tercurah bagi Nabi

Muhammad SAW beserta keluarganya, para shahabatnya dan orang-orang yang mencintainya, berkat perjuangan beliau dan ketabahannya dalam menyampaikan ajaran Islam sehingga penulis bersyukur dapat menikmati cahaya Islam.

Sesungguhnya perjuangan itu amat berat. Hal itu sangat penulis rasakan dalam upaya menyelesaikan skripsi ini. Pada awalnya pekerjaan ini terlihat

mudah, namun setelah penulis masuk pada persoalan yang dikemukakan untuk dibahas, baru terasa betapa rumitnya, namun demikian dengan tekad dan semangat yang kuat akhirnya dengan izin Allah SWT penulis dapat

menyelesaikan walau dengan rintangan dan pengorbanan yang cukup berat. Penulis juga menyadari bahwa keberhasilan ini tidak terlepas dari karunia

Tuhan serta bantuan, dorongan dan sumbangsih yang tidak ternilai harganya dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

(6)

ii

3. Bapak Dr. Bustamin, M.Si. Selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Ibu Dr. Lilik Umi Kultsum, Selaku Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Prof. Dr. H. Hamdani Anwar, M.A. Selaku Pembimbing Penulis. Terimakasih atas bimbingannya yang telah mengarahkan dan memberikan

semangat yang diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah

pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Yang mulia Ayahanda Mukhaffa Syaokky Bay dan Ibunda Popon, atas cinta dan kasih sayang serta pengorbanannya yang telah berusaha memberikan nasihat, doa dan restunya terhadap karir akademis penulis, serta telah

memberikan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Abang penulis Zaky Abdurrahman dan adik yang tersayang Fadhilatul Azizah, yang selalu mensuport dan memberikan semangat kepada penulis.

9. Rekan-rekan Mahasiswa Tafsir Hadis angkatan 2004, antara lain Ahmad Zaki,

(7)

iii ampunan-Nya.

Akhirnya, semoga skripsi yang sederhana ini dapat memenuhi harapan dalam ikut serta membantu kemajuan pendidikan kearah yang lebih baik, khususnya dalam bidang Studi Tafsir-Hadis. Mudah-mudahan tulisan ini

bermanfaat bagi orang banyak dan menjadi amal ibadah bagi penulis yang pahalanya membawa keberkahan di dunia dan akhirat. Semoga Allah SWT

memberikan petunjuk ke jalan yang benar dan mencurahkan taufik serta hidayah-Nya kepada kita sekalian. Aamiin Yaa Rabbal ‘Alamiin..

Jakarta, Agustus 2011

(8)

iv

DAFTAR ISI ...iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Identifikasi Masalah ...10

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...10

D. Manfaat dan Tujuan Penulisan ...11

E. Tinjauan Pustaka ... 11

F. Metode Penelitian ...12

1. Metode Pengumpulan Data ...13

2. Metode Pembahasan ...13

G. Sistematika Penulisan ...14

BAB II BIOGRAFI IBN KATSIR DAN HAMKA SERTA KARAKTERISTIK TAFSIR MASING-MASING A. Biografi Ibn Katisr ...16

1. Riwayat Hidup Ibn Katsir ...16

2. Karakteristik Tafsir Ibn Katsir...17

a. Metodologi Tafsir Ibn Katsir ...17

b. Corak Tafsir Ibn Katsir ...18

c. Sistematika Tafsir Ibn Katisr ...19

d. Sumber Tafsir Ibn Katsir ...19

1. Sumber Riwayah ...19

2. Sumber Dirayah ...19

3. Karya-Karya Ibn Katsir ...20

B. Biografi Hamka ...22

1. Riwayat Hidup Haji Abdul Malik Karim Amrullah...22

2. Sejarah Intelektual (Pendidikan) ………...………....26

3. Karya-karyanya ...…………...28

(9)

v

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG PENGGAMBARAN

MALAIKAT

A. Hakikat Malaikat …………..………..……….35

B. Tugas Malaikat ………40

C. Sifat Malaikat ………..42

D. Tabel Perbandingan Atas Penafsiran Ibn Katsir dan Hamka ...48

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ……….………52

(10)

vi

buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)” yang

diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

I. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan

b be

t te

ts te dan es

j je

h h dengan garis bawah kh ka dan ha

d de

dz de dan zet

r er

z zet

s es

sy es dan ye

s es dengan garis dibawah d de dengan garis dibawah t te dengan garis dibawah

z zet dengan garis dibawah

c koma terbalik diatas hadap kanan gh ge dan ha

f ef

q ki

(11)

vii

n en

w we

h ha

i apostrof

y ye

II. Vokal Tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasrah

u dammah

III. Vokal Panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

â a dengan topi diatas

î i dengan topi diatas

û u dengan topi diatas

IV. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Âi a dan i

Au a dan u

V. Pembauran : al

: al-sy

(12)

viii

huruf, yaitu , dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun huruf qamariyyahi. Contoh: al-Rijâl bukan ar-Rijâl.

VII. Syaddah (tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ( ّ ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda Syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda Syaddah itu terletak setelah kata sandang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-Darûrah.

VIII. Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menhadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na‟at) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1 Tarîqah

2 al-Jâmi‟ah al-Islâmiyyah

3 Wahdat al-Wujûd

IX. Hurup Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan., dengan mengikuti ketentuan

(13)

ix

atau kata sandangnya. Contoh al-Kindi, bukan Al-Kindi.

Berkaitan dengan penulisan nama (nama-nama tokoh yang berasal dari

Nusantara), atau pun judul buku. Penulis tidak mengalihaksarakannya, tetapi disesuaikan dengan nama atau judul buka tersebut. Meskipun akar katanya itu berasal dari bahasa Arab.

Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (isim), maupun huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas

kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

Dzahaba al-ustâdzu

Tsabata al-ajru

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Falsafah adalah bahasa Yunani yang terdiri dari dua suku kata, yaitu

philos, yang berarti lebih mengutamakan, dan shofos, yang berarti al-hikmah

(kebijaksanaan). ‟Aqidah para ahli filsafat mengenai Malaikat tidak lebih

baik daripada ‟aqidah mereka terhadap rukun-rukun iman lainnya. Mereka

mengklaim bahwa Malaikat langit adalah jiwa langit, para Malaikat al-Karubiyyun al-Muqarrabiin hanyalah penafsiran akal semata, yaitu

permata-permata yang tegak dengan sendirinya, yang tidak berbentuk dan tidak mampu berbentuk dan tidak mampu berbuat apa-apa di dalam tubuh. Menurut mereka Malaikat adalah garis-garis orbit yang terlihat di ruang

angkasa.

Sementara para orang-orang kafir Makkah mengakui Malaikat, tetapi pengakuan mereka rusak dan tidak memberikan manfaat, bahkan membuat

mereka bertambah jauh dari Allah. Sebab, mereka mengatakan bahwa Malaikat itu adalah perempuan dan putri-putri Allah. al-Qur‟an membantah

pandangan tersebut dengan tegas dalam surat al-Baqarah ayat 26. Allah berfirman:





 







 

”Dan mereka berkata: "Tuhan yang Maha Pemurah Telah

mengambil (mempunyai) anak", Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan.”1 (QS. Al-Anbiya‟

[21] : 26)

1 Ayat Ini diturunkan untuk membantah tuduhan-tuduhan orang-orang musyrik

(15)

Penulis akan coba menjelaskan bagaimana al-Qur‟an berbicara

tentang Malaikat, dan nanti akan dibuktikan apakah benar yang ahli filsafat

dan orang-orang kafir Makkah katakan. Penulis akan memaparkan penjelasan yang disampaikan oleh Ibn Katsir dan HAMKA dalam kitab

tafsirnya masing-masing.

Alasan penulis memilih penafsiran Ibn Katisr dan HAMKA adalah penulis akan membandingkan penafsiran Ibn Katsir yang memadukan

sumber Riwayah dan Dirayahnya dengan penafsiran HAMKA yang menggabungkan antara riwayah (Ma‟tsur) dan pemikiran (Ra‟yi), dan

bagaimana penafsiran Ibn Katsir dan HAMKA mengenai penggambaran Malaikat

Iman kepada para Malaikat adalah rukun kedua dari enam rukun

iman, sehingga iman seorang hamba tidak dianggap sah tanpa meyakininya. Iman kepada Malaikat adalah salah satu tema besar keimanan dan inti akidah seorang muslim sebagaimana dikukuhkan al-Qur‟an dan Sunnah.

al-Qur‟an sendiri sarat dengan ayat-ayat yang berbicara tentang para Malaikat,

kelompok-kelompok dan tingkatan-tingkatan mereka.

Demikian pula perintah untuk beriman kepada mereka, peringatan untuk tidak mengingkari mereka, keterangan mengenai kondisi mereka bersama dengan Allah dan manusia, dan penjelasan mengenai

tingkatan-tingkatan dan perbuatan-perbuatan mereka. Allah berfirman:

(16)

”Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS. Al-Baqarah [2] : 285)

Kaum Muslimin juga telah berijma‟ atas wajibnya beriman kepada

para Malaikat. Mereka menyatakan bahwa beriman kepada para Malaikat

merupakan salah satu hal yang wajib diyakini oleh kaum Muslimin. Allah sendiri telah menetapkan hukum kafir bagi orang yang mengingkari

keberadaan mereka, bahkan Allah menjadikan keingkaran terhadap mereka sama halnya dengan ingkar (kafir) kepada-Nya. Allah berfirman:

                                      

”Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari Kemudian, Maka Sesungguhnya orang itu Telah sesat sejauh-jauhnya.” (Q.S

An-Nisa‟ [4] : 136)

Menurut Imam al-Razi, iman kepada Malaikat bisa diwujudkan dengan empat hal: Pertama, iman kepada wujud mereka sambil mengkaji

apakah mereka hanya ruh, memiliki jasad, atau memiliki ruh dan jasad. Jika kita menganggap para Malaikat memiliki jasad, jasad mereka tentu halus

(17)

kekuatan yang sangat dahsyat? Itulah ciri utama yang sangat kuat dalam hal ilmu hikmah quraniah dan burhaniah.

Kedua, meyakini bahwa mereka suci dan bebas dari kesalahan. Allah berfirman tentang para malaikat:

                    

”Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih.” (QS. Al-Anbiya‟ [21]

: 19)

Malaikat senantiasa bertasbih siang dan malam tiada hentinya. Rasa

nikmat yang mereka rasakan dalam berzikir kepada Allah dan ketaatan beribadah kepada-Nya layaknya nikmat yang kita rasakan ketika menghirup

udara. Seperti itulah kehidupan para Malaikat yang selalu berzikir, mengenal, dan taat kepada Allah. Allah berfirman:

                              

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan

malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu

bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS. Al-Anbiya‟ [21] : 19 – 20)

Ketiga, meyakini bahwa mereka adalah perantara antara Allah dan

(18)

ini. Keempat, meyakini bahwa kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para nabi melalui perantaraan Malaikat. Allah berfirman:



 

  









 

 





”Sesungguhnya Al Qur'aan itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan Tinggi di sisi Allah yang mempunyai 'Arsy, yang

ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.” (QS. Al-Takwir [81] : 19

– 21)

Tingkatan ini harus dijalani dalam beriman kepada Malaikat. Semakin akal mendalami tingkatan tersebut maka semakin besar dan

sempurna keimanan kepada Malaikat.2 Penggunaan kata Malaikat dalam bahasa Indonesia biasanya dianggap berbentuk tunggal, sama dengan kata ulama. Dalam bahasa Arab – dari mana kata-kata itu berasal – keduanya

merupakan bentuk jamak dari kata malak (ك ) untuk malaikat dan ‟alim ( لاع) untuk ulama.

Kalau dari segi kebahasaan memberikan pengertian seperti itu, apakah pengertiannya menurut terminologi? Malaikat adalah makhluk halus yang diciptakan Allah dari cahaya yang dapat berbentuk dalam aneka

bentuk, taat mematuhi perintah Allah, dan sedikit pun tidak pernah membangkang.3

Indera manusia sangat lemah untuk melihat Malaikat dan mendengar pembicaraannya, dan tidak diragukan lagi bahwa ketidakmampuannya ini memberikan maslahat baginya. Seandainya manusia dapat mendengar dan

melihat seluruh apa yang meliputi Malaikat, maka manusia itu tidak akan mampu untuk bertahan hidup. Sebab hakikat yang disebutkan oleh

2 Al-Tafsir al-Kabir, jilid 7, hal. 143.

3 M. Quraish Shihab, “Jin, Iblis, Setan dan Malaikat Yang Tersembunyi Dalam

(19)

dalil tentang tema ini memiliki pengaruh yang besar dalam menghilangkan khurafat dan penyimpangan dari akal.4

Rasulullah mengenalkan kepada kita melalui hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah binti Abu Bakar dari ayahnya, bahwasanya materi

yang menjadi bahan untuk menciptakan malaikat adalah cahaya. Raslulullah bersabda: ر ْو ْ ةكئ ا ْلا ْتق خ , ر ا ْ ج ر ا ْ اجْلا ق خ و , ْ كل فص و اَ د ا ق خ و .

”Malaikat itu diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api,

dan Adam diciptakan dari sesuatu yang menjadi sifat kalian.”5 (HR. Muslim)

Tidak diketahui dari cahaya apa ia diciptakan. Ada beberapa riwayat

berbicara tentang hal ini, namun riwayat-riwayat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya. Betapa kuatnya keterlibatan Malaikat dengan seluruh manusia tanpa terkecuali, taat atau durhaka, sejak

lahir hingga wafatnya, bahkan hingga kehidupan di akhirat kelak.

Malaikat sebagai pencatat amal manusia. Allah berfirman dalam surat Qaaf sebagai berikut:

                                            

”Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan

mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat

4 DR. Umar Sulaiman Al-Asyqar, “Misteri Alam Malaikat dan Mengenal Lebih

Dekat Satu Persatu Malaikat”, (Jakarta: Inas Media, 2009), cet pertama, h. 11

5Muslim bin Hajaj an-Naysaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya at-Tiratsi

al-Arabi) Bab Ahadis Mutafariqah Juz 4.s 2294

(20)

mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf [50] : 16 – 18)

Malaikat mencabut nyawa manusia atas perintah Allah. Allah

berfirman:                                                                   

”Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat

kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: "Telah diwahyukan kepada saya", padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: "Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah." alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): "Keluarkanlah nyawamu" di hari Ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (Perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.” (QS. Al-An‟am [6] : 93)

Malaikat adalah salah satu dari ciptaan Allah dari alam ghaib. Tidak seorang pun yang tahu berapa banyak jumlah mereka, rupa dan keadaan

mereka, kecuali Allah. Bagaimanakah sifat-sifat dari tentara-tentara Allah ini? Malaikat tidak pernah jemu beribadah dan juga tidak pernah letih. Allah berfirman:          

”Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.”

(21)

Malaikat antara lain mendapat tugas memelihara manusia, bahkan sementara ulama memahami perintah sujud Malaikat kepada Adam dan

kesediaannya untuk bersujud adalah lambang kesetiaan mereka melaksanakan tugas yang dibebankan Allah itu. Sifat yang dapat kita lihat di

sini adalah Malaikat senantiasa patuh terhadap apa yang Allah perintahkan kepada mereka. Allah berfirman:

                                           

”Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS. Al-Baqarah [2] : 30)

Allah berfirman:                     

Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah6 kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS. Al-Baqarah [2] : 34)

Malaikat ini memiliki keadaan fisik yang sangat besar. Allah telah menyebutkan yang demikian dalam firman-Nya:

                                  

6 Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud

(22)

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, yang menjadikan

malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya.

Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Fathir [35] : 1)

Ini berarti bahwa ada sebagian Malaikat yang memiliki dua sayap,

sebagian memiliki tiga sayap dan sebagian lagi empat sayap, dan juga ada sebagian malaikat yang memiliki sayap lebih dari itu, karena Nabi melihat Malaikat Jibril dan dia memiliki 600 sayap – setiap sayap memenuhi ufuk.

[image:22.595.101.496.240.579.2]

Imam al-Razi dalam Tafsir-nya berpendapat: sayap Malaikat adalah gambaran arah, yang bermakna tak satu pun Malaikat yang lebih tinggi dari

Allah.7 Ini hanya salah satu dari Malaikat yang ada. Allah mensifati Malaikat Jibril dengan kekuatan yang sangat besar, sebagaimana Allah berfirman:









”Yang memberinya ajaran ialah yang sangat kuat.8” (QS. An-Najm [53] : 5)

Allah melebihkan para Malaikat dari manusia dengan memberikan

sayap yang dapat membuat mereka dapat terbang di antara langit dan bumi, dengan kecepatan yang sangat tinggi, melebihi segala yang pernah dikenal

manusia di dunia ini.9 Dari berbagai penjelasan latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk mengangkat tema besar tersebut ke dalam sebuah skripsi dengan judul: “PPeennggggaammbbaarraannMMaallaaiikkaattDDaallaammaall--QQuurr’’aann((SSttuuddii

P

PeerrbbaannddiinnggaannaannttaarraaPPeennaaffssiirraannIIbbnnuuKKaattssiirrddaannHHaammkkaa))..””

7 Muhammad Sayyid al-Musayyar, “Buku Pintar Alam Gaib”, (Jakarta: Zaman,

2009), cet pertama, hal. 54

8 Yang dimaksud adalah Malaikat Jibril

9 Muhammad bin „Abdul Wahhab al-„Aqil, “Menyelisik Alam Malaikat Rukun

Iman Kedua yang Sering Disalahpahami dan Dilupakan Banyak Orang”, (Jakarta: Pustaka

(23)

B

B..IIddeennttiiffiikkaassiiMMaassaallaahh

Masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah benarkah

pendapat para ahli filsafat yang mengatakan bahwa para Malaikat al-Karubiyyun al-Muqarrabiin hanyalah penafsiran akal semata dan garis-garis

orbit yang terlihat di ruang angkasa, dan bagaimana pendapat orang-orang kafir Mekah yang mengatakan bahwa Malaikat itu adalah perempuan dan putri-putri Allah. Lalu apa sebenarnya Malaikat itu baik dari segi hakikat,

sifat serta tugas-tugasnya. Apa penafsiran Ibn Katsir terhadap ayat-ayat yang menjelaskan tentang hakikat, sifat, dan tugas Malaikat tersebut. Apa

reaksi al-Qur‟an terhadap pandangan orang-orang kafir Mekah tentang Malaikat. Apa penafsiran HAMKA mengenai ayat-ayat yang menggambarkan tentang Malaikat.

Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka penulis mendapatkan ada beberapa masalah yang akan di kaji dalam skripsi ini, antara lain:

1. Menyelesaikan kekeliruan pandangan yang di utarakan oleh para ahli

filsafat dan orang-orang kafir Mekah tentang Malaikat.

2. Menjelaskan penafsiran Ibn Katsir dan Hamka terhadap surat-surat

dalam al-Qur‟an yang berkaitan tentang Malaikat. 3. Menjelaskan ayat-ayat seputar hakikat Malaikat. 4. Menjelaskan ayat-ayat seputar sifat-sifat Malaikat.

5. Menjelaskan ayat-ayat seputar tugas-tugas Malaikat.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

(24)

dan Hamka mengenai sifat Malaikat, tugas Malaikat, serta hakikat Malaikat. Pemilihan masalah ini berdasarkan informasi yang telah penulis

dapatkan terkait dengan sifat Malaikat, tugas Malaikat dan hakikat malaikat, untuk mendapatkan hasil penelitian yang maksimal.

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas adalah: Apa persamaan dan perbedaan

antara penafsiran Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar dengan

penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azhim mengenai sifat

Malaikat, tugas Malaikat, dan hakikat Malaikat?

D. Manfaat dan Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dan manfaat yang akan dicapai dalam penyusunan skripsi ini adalah untuk mengetahui apa sajakah sifat-sifat, tugas-tugas dan

hakikat Malaikat yang disebutkan dalam al-Qura‟n, sebagai penguatan keimanan kita kepada Malaikat agar memperoleh kebenaran akan akidah kita dan tidak melenceng nantinya kelak. Penulis ingin memberikan

sumbangsih kepada para pembaca pada umumnya dan bagi penulis sendiri pada khususnya, akan manfaat dari karya ilmiah ini.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian penggambaran Malaikat dalam al-Qur‟an bukanlah merupakan hal yang baru. Kajian dan eksplorasi terhadap Malaikat telah

berlangsung sejak lama. Dalam dunia akademis, ditemukan beberapa karya ilmiah yang mengkaji pemikirannya baik dalam bentuk makalah,

(25)

yang berhasil menyumbangkan karyanya yang membahas Malaikat ini, di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Studi Sanad dan Matan Hadis Nabi Tentang Qorin dari Golongan Jin dan Malaikat (Kualitas Sanad dan Matan Hadis Tentang Qorin

dari Golongan Jin dan Malaikat).10 Skripsi ini meneliti kualitas hadis tentang qorin dari golongan jin dan malaikat dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan manusia, hadis-hadis yang berkenaan

dengan qorin dari golongan jin dan malaikat adalah shahih setelah di takhrij.

b. Jin, Iblis, Setan dan Malaikat Yang Tersembunyi dalam al-Qur‟an –

as-Sunnah, serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa

Kini. Dalam buku ini dijelaskan tentang iman kepada malaikat, karya

Muhammad Quraish Shihab.

c. Buku Pintar Alam Gaib. Dalam buku ini dijelaskan mengenai iman kepada malaikat, malaikat dalam pandangan syariat dan hakikat

malaikat, karya Muhammad Sayyid al-Musayyar

d. Misteri Makhluk Bersayap Menjelajah Alam Malaikat. Dalam buku

ini dijelaskan mengenai kewajiban beriman kepada malaikat, dan permulaan penciptaan malaikat, karya Jalaluddin as-Suyuthi

al-Syafi‟I.

F. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tiga aspek metode

penelitian, yaitu:

10 Abdul Gofur Rojali, “Studi Sanad dan Matan Hadis Nabi Tentang Qorin dari

Golongan Jin dan Malaikat,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas

(26)

1. Metode Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan kajian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun buku atau tulisan yang ada kaitannya dengan tema skripsi. Data-data tersebut diambil

dari tulisan Ibn Katsir dan Hamka sendiri yang terdokumentasikan dalam kitab tafsirnya, baik yang berbahasa Arab maupun yang sudah diterjemahkan. Data ini merupakan sumber primer yang dijadikan

rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.

Sedangkan tulisan-tulisan tentang Malaikat baik yang

terdokumentasikan dalam buku, makalah, artikel, skripsi, jurnal, dan majalah yang mempunyai relevansi dengan maksud uraian skripsi ini, merupakan sumber sekunder yang menjadi penunjang sumber

primer.

2. Metode Pembahasan

Adapun metode pembahasan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Deskriptif adalah metode penyajian fakta secara sistematis sehingga dapat dengan

mudah dipahami dan disimpulkan.11 Sedangkan analitis adalah mengurai sesuatu dengan tepat dan terarah. yaitu sebuah model penelitian yang berupaya menggali sejauh mungkin informasi yang

terdapat dalam buku-buku. Data-data yang diperoleh dari berbagai literature tersebut kemudian dideskripsikan secara lengkap lalu

(27)

dianalisis,12 deskripsi dilakukan yaitu setelah mendapatkan data-data yang berkaitan dengan pembahasan yang dituangkan dalam

tulisan-tulisan sehingga dapat tergambar situasi atau keadaan topik yang dibahas yang akan berpengaruh terhadap analisis, setelah ada

gambaran tentang kondisi topik yang dibahas barulah dilakukan analisa dalam rangka pengembangan teori berdasarkan data yang diperoleh, sehingga mendapatkan informasi yang lebih akurat.

Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis (sejarah). Oleh karena itu, masalah yang

dielaborasi dalam penelitian ini akan ditinjau dari sudut sejarah, karena data yang terhimpun lebih bersifat kualitatif (tertulis).

3. Teknik Penulisan

Secara teknis, skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi), Jakarta: CeQDA, Cet. II, 2007.

G. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi dalam lima bagian, sebagai berikut:

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, manfaat dan tujuan penulisan, tinjauan pustaka, metode serta sistematika penulisan.

12Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam (Bogor: Granada Sarana

[image:27.595.104.494.226.585.2]
(28)

BAB II : Bab ini merupakan penjelasan tentang biografi dan metode penafsiran meliputi: Biografi Ibnu Katsir, Latar belakang penulisan tafsir al-Qur‟an al-Azhim, metode penafsiran tafsir al-Qur‟an al-Azhim, Biografi Hamka, Latar belakang penulisan tafsir al-Azhar,

serta metode penafsiran tafsir al-Azhar.

BAB III : Bab ini berisi analisa perbandingan tentang penggambaran Malaikat meliputi : interpretasi Ibnu Katsir tentang ayat-ayat mengenai hakikat Malaikat, sifat Malaikat, dan ayat-ayat tentang

tugas-tugas Malaikat, serta interpretasi Hamka tentang ayat-ayat

mengenai hakikat Malaikat, sifat Malaikat, dan ayat-ayat tentang

tugas-tugas Malaikat, disertai analisis penulis terkait masalah tersebut

berdasarkan informasi yang didapat.

(29)

BIOGRAFI IBN KATSIR DAN HAMKA

A. Ibn Katsir

1. Riwayat Hidup

Pada masa kanak-kanak, Ibn Katsir dipanggil dengan sebutan Isma‟il. Nama

lengkapnya adalah ‟Imad al-Din Abu al-Fida ‟Isma‟il Ibn ‟Amr Ibn Katsir Ibn Zara‟ al

-Busra al-Dimasyqi. Ia lahir di desa Mijdal dalam wilayah -Busra (Basrah), tahun 701

H./1301 M. Ayahnya bernama al-Khatib Syihab al-Din ‟Amr Ibn Katsir, beliau adalah seorang pemuka agama dalam bidang fiqih.1

Ibn Katsir berasal dari keluarga terhormat, ayahnya seorang ulama terkemuka di

masanya, Syihab al-Din Abu Hafs ‟Amr Ibn Katsir Ibnu Dhaw‟ Ibn Zara‟ al-Quraisy,

pernah mendalami Mazhab Hanafi, kendatipun menganut Mazhab Syafi‟i setelah menjadi

khatib di Basra.2

Dalam usia kanak-kanak, setelah ayahnya meninggal, beliau pergi ke Damsyik bersama saudaranya untuk belajar ke beberapa ulama di sana. Di sanalah ia mulai belajar.

Guru pertamanya adalah Bahr al-Din al-Farazi (660-729 H./1261-1328 M.), tidak lama setelah itu ia berada di bawah pengaruh Ibn Taimiyah (w. 728 H./1328 M.). Untuk jangka

waktu cukup panjang, ia hidup di Suriah sebagai seorang yang sederhana dan tidak popular. Sebagian ulama menganggap beliau sebagai salah seorang murid Ibn Taimiyah yang paling setia dan paling gigih mengikuti pandangan gurunya dalam masalah fiqih dan

1 Nur Faizin Maswan, Tafsir Ibn Katsir, Membedah Khazanah Klasik, (Yogyakarta: Menara Kudus,

2002), Cet. Ke-1, h.35

(30)

tiga dengan satu lafaz.

Pada usia sebelas tahun, beliau menyelesaikan hafalan al-Qur‟an, dilanjutkan memperdalam qira‟at, dari studi tafsir dan ilmu tafsir dari Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah

(661-728 H.). Di samping ulama lain, metode penafsiran Ibn Taimiyah menjadi bahan acuan pada penulisan tafsir Ibn Katsir. Dalam bidang tafsir ia diangkat menjadi guru

besar oleh gubernur Mankali Bugha di Masjid Ummayah Damaskus.3

Selama hidupnya Ibn Katsir didampingi seorang istri yang dicintainya, bernama

Zainab, putri al-Mizzi, salah seorang gurunya. Setelah mengarungi bahtera hidup yang panjang, dengan penuh perhatian yang besar dalam berbagai disiplin dunia keilmuan, akhirnya pada tanggal 26 Sya‟ban 744 H/ Februari 1373 M. Ibn Katsir meninggal dunia

di Damaskus dan dimakamkan di pemakaman sufi, di samping gurunya Ibn Taimiyah. 2. Karakteristik Tafsir Ibn Katsir

a. Metodologi Tafsir Ibn Katsir

Keberadaan metode analitis (tahlili) telah memberikan sumbangan yang sangat besar dalam melestarikan dan mengembangkan khazanah intelektual Islam, khususnya di

bidang tafsir al-Qur‟an. Berkat metode ini, maka lahirlah karya-karya tafsir yang besar, di antaranya kitab Tafsir al-Tabari, Tafsir Ruh al-Ma‟ani, Tafsir al-Maraghi dan lain-lain.

Metodologi tafsir Ibn Katsir dipandang dari segi tafsirnya termasuk dalam kategori tahlili, yakni, suatu metode analitis yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an

dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang di tafsirkan

3 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Van Hoeve, 1994), h.

(31)

dan kecendrungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.4

Ibn Katsir mengemukakan metode penafsiran yang terbaik dalam mukadimah tafsirnya sebagai berikut:

Jika ada orang yang menanyakan, bagaimana metode penafsiran yang terbaik, maka jawabannya adalah penafsiran al-Qur‟an dengan al-Qur‟an. Yang mujmal pada suatu ayat diuraikan maksudnya pada ayat lain. Apabila metode ini tidak dapat engkau lakukan, maka tafsirkanlah dengan Sunnah, karena al-Sunnah merupakan penjelasan al-Qur‟an.5

Dalam metode ini, biasanya mufasir menguraikan makna yang terkandung dalam

al-Qur‟an ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf atau disebut juga tartib mushafi.6 Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan, seperti: pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar

belakang turunnya ayat, kaitannya (kolerasi) dengan ayat-ayat yang lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabah), dan tidak ketinggalan pula pendapat-pendapat yang

telah diberikan berkenaan tafsiran ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi‟in maupun ahli tafsir lainnya.

b. Corak Tafsir Ibn Katsir

Tafsir Ibn Katsir disepakati oleh para ahli termasuk dalam kategori Tafsir

al-Ma‟tsur. Kategori atau corak Ma‟tsur yaitu penafsiran ayat dengan ayat, penafsiran ayat

dengan hadis Nabi yang menjelaskan makna sebagian ayat yang dirasakan sulit atau

4 Nashirudin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur‟an, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2000), Cet.

II, h. 31

5 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Adzim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), Cet. I, jilid I, h. 10

6Tartib Mushafi yaitu menyusun ayat demi ayat, surat demi surat dimulai dengan surat al-Fatihah

(32)

para tabi‟in.7

c. Sistematika Tafsir Ibn Katsir

Sistematika yang ditempuh Ibn Katsir dalam tafsirnya yaitu, menafsirkan seluruh

ayat-ayat al-Qur‟an sesuai susunannya dalam Mushaf al-Qur‟an, ayat demi ayat dan surat

demi surat, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas. Maka,

secara sistematis, tafsir ini menempuh tartib mushafi. d. Sumber Tafsir Ibn Katsir

Secara garis besar sumber-sumbernya dapat dibagi dua, yakni: 1. Sumber Riwayah

Sumber ini antara lain meliputi: al-Qur‟an, Sunnah, pendapat sahabat, pendapat tabi‟in. Sumber-sumber tersebut merupakan sumber primer dalam tafsir ibn Katsir.

Sebenarnya dapat dikatakan bahwa materi sumber ini berasal dari sumber kedua

(dirayah), karena walaupun Ibn Katsir hafizh dan muhaddis yang mempunyai periwayatan hadis dan menguasai periwayatan tentang hadis tafsir, dia cenderung mengutip riwayat-riwayat penafsiran dari kitab-kitab kodifikasi dari pada menyampaikan

hasil periwayatannya. Namun, karena materi tersebut identik dengan riwayah, maka sumber-sumber tersebut adalah sumber riwayah. Sebagai ulama mutaakhkhirin yang

sudah jauh rentang masanya dengan pemilik sumber riwayah adalah suatu sikap yang berhati-hati dan menjaga diri apabila dia merujukan riwayat tafsir dengan kitab modifikasi, sekalipun menguasai periwayatan.

7 Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‟iy, penterjemah Suryan A. Jamrah, (Jakarta:

(33)

Yang dimaksud dengan sumber dirayah adalah pendapat yang telah dikutip oleh ibn Katsir dalam penafsirannya. Sumber ini selain dari kitab-kitab kodifikasi dari sumber riwayah juga kitab-kitab tafsir dan bidang selainnya dari para mutaakhkhirin sebelum

atau seangkatan dengannya. Terdapat pula pada sumber ini karya ulama mutaqaddimin. Hal ini merupakan keterbukaan Ibn Katsir terhadap karya-karya dari ulama

mutaakhkhirin yang berorientasi ra‟y. Maksudnya dia tidak membatasi pada kutipan karya tafsir ma‟tsur saja, namun juga memasukkan pendapat para ulama tafsir yang lahir

dari pengaruh perkembangan dan kemajuan perkembangan ilmu dalam Islam.8

3. Karya-karyanya

Ibnu Katsir adalah sosok ulama yang terkenal. Kontribusi beliau dalam berbagai

disiplin ilmu begitu besar, sehingga beliau dijuluki al-hafidz, hujjah al-muhaddits,

al-mu‟arrikh, al-mufassir dan lain sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya

karya-karya beliau yang dijadikan referensi bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam bidang tafsir antara lain :

1. Tafsir al-Qur‟an al-‟Azim, lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibn Katsir yang

diterbitkan pertama kalinya di Kairo pada 1342 H./1923 M.

2. Fada‟il al-Qur‟an, yang berisi ringkasan sejarah al-Qur‟an, kitab ini diterbitkan

pada halaman akhir Tafsir Ibn Katsir sebagai penyempurna.9 Dalam bidang hadis antara lain :

1. Kitab Jami‟ al-Masanad wa al-Sunnah (kitab penghimpun musnad dan

as-Sunnah).

8 Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Mawdhu‟iy, h. 14

9 Nur Faizin Maswan, Tafsir Ibn Katsir, Membedah Khazanah Klasik, (Yogyakarta: Menara Kudus,

(34)

Hadits.

3. al-Kutub al-Sittah.

4. al-Takmilah fi Ma‟rifat al-Sighat wa al-Du‟afa wa al-Mujahil, merupakan

perpaduan dari kitab Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi dan Mizan al-I‟tidal karya al-Dzahabi, berisi riwayat perawi-perawi hadis.

5. Ikhtisar Ulum al-Hadits, merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah Ibn Salah (w. 642 H./1246 M.).

6. Syarh Sahih al-Bukhari, merupakan kitab penjelasan terhadap hadis-hadis

Bukhari.

Dalam bidang sejarah antara lain :

1. al-Bidayah wa al-Nihayah, merupakan rujukan terpenting bagi sejarawan yang memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptaan sampai peristiwa-peristiwa

yang terjadi pada tahun 768 H.

2. al-Kawakib al-Darari, cuplikan dari al-Bidayah wa al-Nihayah. 3. Manaqib al-Imam al-Syafi‟i.

4. Tabaqah al-Syafi‟iyyah.

5. al-Fusul fi Sirat al-Rasul atau Sirah al-Nabawiyyah.

Dalam bidang fiqih.

1. Kitab al-Jihad fi Talab al-Jihad, ditulis tahun 1368-1369 M. Untuk menggerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai Libanon (Syiria)

(35)

3. al-Ahkam ‟ala Abwab al-Tanbih, kitab ini merupakan komentar dari kitab al-Tanbih karya al-Syirazi.

B. HAMKA

1. Riwayat Hidup Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Haji Abdul Malik Karim Amrullah biasa di singkat dengan HAMKA. Nama

ini adalah nama sesudah beliau menunaikan ibadah haji pada 1927, dan mendapat

tambahan ‟Haji‟10. Beliau dilahirkan di sebuah desa bernama Tanah Sirah,11 dalam

Nagari Sungai Batang, di tepi Danau Maninjau12, Sumatra Barat, pada tanggal 17 Februari 1908 atau bertepatan pada tanggal 14 Muharram 1326 H, dari pasangan Syekh Haji Abdul Karim Amrullah dan Siti Shafiyah. Ayahnya, Syekh Haji Abdul

Karim Amrullah, terkenal dengan sebutan Haji Rasul, adalah seorang ulama yang cukup terkemuka dan pembukaan dalam Islam yang di waktu itu disebut orang Kaum

10 Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar, 1994), cet. Ke- II, h. 75. 11 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 294.

12 Danau Maninjau adalah sebuah danau di kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, provinsi

Sumatra Barat, Indonesia. Danau ini terletak sekitar 140 kilometer sebelah utara Kota Padang, ibukota Sumatra Barat, 36 kilometer dari Bukittinggi, 27 kilometer dari Lubuk Basung, ibukota Kabupaten Agam. Maninjau yang merupakan danau vulkanik ini berada di ketinggian 461,50 meter di atas permukaan laut. Luas Maninjau sekitar 99,5 km2 dan memiliki kedalaman maksimum 495 meter. Cekungannya terbentuk

karena letusan gunung yang bernama Sitinjau (menurut legenda setempat), hal ini dapat terlihat dari bentuk bukit sekeliling danau yang menyerupai seperti dinding. Menurut legenda di Ranah Minang, keberadaan Danau Maninjau berkaitan erat dengan kisah Bujang Sembilan. Danau Maninjau merupakan sumber air untuk sungai bernama Batang Antokan. Di salah satu bagian danau yang merupakan hulu dari Batang Antokan terdapat PLTA Maninjau. Puncak tertinggi diperbukitan sekitar Danau Maninjau dikenal dengan nama Puncak Lawang. Untuk bisa mencapai Danau Maninjau jika dari arah Bukittinggi maka akan melewati jalan berkelok-kelok yang dikenal Kelok 44 sepanjang kurang lebih 10 km mulai dari Ambun Pagi sampai ke Maninjau. Danau ini tercatat sebagai danau terluas kesebelas di Indonesia. Sedangkan di Sumatra Barat, Maninjau merupakan danau terluas kedua setelah Danau Singkarak yang memiliki luas 129,69 km2 yang berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok. Di sekitar

(36)

Nan Batuah. Di kala mudanya terkenal sebagai guru tari, nyanyian dan pencak silat. Di waktu Hamka masih kecil selalu mendengarkan pantun-pantun yang berarti dan mendalam dari neneknya.14 Buya Hamka dalam memonya mengatakan ”Ayahku

menaruh harapan atas kelahiranku agar aku kelak menjadi orang alim pula seperti ayahnya, neneknya dan nenek-neneknya yang terdahulu”. Ketika Hamka lahir,

ayahnya mengatakan kepada neneknya bahwa dia akan dikirim ke Mesir agar menjadi ulama kelak setelah berusia sepuluh tahun.15

Ketika berusia 22 tahun, ketika beliau pulang dari tanah suci, Mekah. Dua tahun kemudian, Hamka dikawinkan oleh ayahnya pada tanggal 29 April 1929 dengan seorang anak perempuan yaitu Siti Raham binti Endah Sutan.16 Hamka

berusia 22 tahun dan isteri beliau berusia 15 tahun dan ketika beliau berada di Jakarta pada tanggal 5 April 1969, Hamka dan isterinya memperingati 40 tahun perkawinan

beliau. Dan pada tanggal 1 Januari 1972 isteri Hamka yang tercinta telah berpulang ke rahmatullah di Jakarta, dengan meninggalkan cahaya mata seramai sepuluh orang anak. Di antaranya tujuh laki-laki dan tiga perempuan, delapan sudah berkawin dan

dikaruniai cucu 21 orang.17 Satu tahun delapan bulan setelah isteri pertama Hamka

13 Minangkabau juga merujuk pada wilayah yang dihuni Suku Minangkabau atau Kerajaan

Pagaruyung atau nama sebuah Nagari atau Desa yang berada di Minangkabau, Kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat, Indonesia. Lihat artikel ini diakses dari Wikipedia bebas, pada tanggal 29 November 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Minangkabau.

14 Rusjdi Hamka, Hamka, Di Mata Hati Umat (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet. Ke-III, h.

51.

15 Hamka, Kenang-kenanganHidup, h. 9.

(37)

Hajah Siti Khadijah dari Cirebon18, Jawa Barat.19

Hamka seorang ulama yang terkenal, penulis yang produktif20 dan mubalig21 besar yang berpengaruh di Asia Tenggara dan beliau adalah ketua Majelis Ulama

Indonesia yang pertama. Dan anak putra kepada Haji Abdul Karim Amrullah seorang

tokoh pelopor gerakan Islam ‟Kaum Muda‟ di Minangkabau.22 Sejak di usia muda,

18 Kota Cirebon adalah sebuah kota mandiri terbesar kedua di Provinsi Jawa Barat, setelah ibukota

Jawa Barat, yakni Kota Bandung. Kota ini berada di pesisir Laut Jawa, di jalur pantura. Jalur Pantura Jakarta – Cirebon – Semarang merupakan jalur terpadat di Indonesia. Kota Cirebon juga adalah kota terbesar keempat di wilayah Pantura setelah Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Karena letaknya yang sangat strategis yakni di persimpangan antara Jakarta, Bandung dan Semarang, menjadikan kota Cirebon sangat cocok dan potensial untuk berinvestasi dalam segala bidang investasi seperti hotel, rumah makan, pusat perbelanjaan baru, dan pendidikan. Sehingga Kota Cirebon merupakan pilihan yang sangat tepat untuk berinvestasi. Dengan didukung oleh kegiatan ekonomi yang baik dan terpadu menjadikan Kota Cirebon berkembang menjadi Kota METROPOLITAN ketiga di Jawa Barat setelah metropolitan BoDeBeK (Bogor, Depok, Bekasi) yang merupakan hinterland / kota penyangga bagi ibukota Jakarta dan metropolitan Bandung. Kota Cirebon merupakan pusat bisnis, industry, dan jasa di wilayah Jawa Barat bagian timur dan utara. Banyak sekali Industri baik sekala kecil, menengah dan besar menanamkan modalnya di kota wali, Cirebon. Dengan didukung dengan banyaknya orang-orang yang bekerja, beraktifitas dan menuntut ilmu di Kota Cirebon, sekitar kurang lebih 1 juta orang, menjadikan kota Cirebon lebih hidup. Pembangunan di Kota Cirebon juga menggeliat dan menunjukkan respon positif, hal ini terbukti dengan banyaknya bangunan-bangunan besar dan tinggi yang berada di jalan-jalan utama Kota Cirebon. Saat ini, wajah Kota Cirebon telah berubah, menjadi kota modern mandiri ketiga di Pulau Jawa bagian barat setelah Jakarta dengan kota-kota satelitnya (Bogor, Depok, Banten, dan Bekasi) dan Bandung Raya dengan kota-kota satelitnya (Tasikmalaya, Cimahi, Subang, Purwakarta, Cianjur, Garut). Kini pemerintah wilayah Cirebon sedang giat-giatnya mengembangkan potensi wilayah kota Cirebon Metropolitan dengan kota-kota satelitnya (Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan sebagian Jawa Tengah bagian barat yakni Tegal, Brebes Purwokerto dan Pekalongan). Dahulu Cirebon merupakan ibu kota Kesultanan Cirebon dan Kabupaten Cirebon, namun ibu kota Kabupaten Cirebon kini telah dipindahkan ke Sumber. Cirebon juga disebut

dengan nama „Kota Udang‟ dan „Kota Wali‟. Sebagai daerah pertemuan budaya Jawa dan Sunda sejak

beberapa abad silam, masyarakat Cirebon biasa menggunakan dua bahasa, bahasa Sunda dan Jawa. Lihat artikel ini diakses dari Wikipedia bebas, pada tanggal 29 November 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Cirebon.

19 Rujidi Hamka, Hamka, Di Mata Hati Umat, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet. Ke III,

h. 51-52.

20 Produktif : banyak mendatangkan hasil. (W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa

Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka.) Edisi III, cet ke – III, h. 911.

21 Mubalig : orang yang menyiarkan ajaran agama Islam. (W.J.S. Poerwadarminta. Kamus Umum

Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka.) Edisi III, cet ke III, h. 776.

22 Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta : Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, 1994), cet ke II, h.

(38)

‟Si Bujang Jauh‟.23

Dua bulan sebelum wafatnya, Hamka yang sejak tahun 1975 menjadi Ketua Umum Majelis Indonesia, mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Pengunduran diri

ini disebabkan oleh masalah perayan ‟natal bersama‟ antara umat Kristen dan agama

lain, termasuk Islam. Majelis Ulama Indonesia, yang Hamka menjadi ketua

umumnya, mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya seorang muslim mengikuti perayaan natal.

Dua bulan sesudah pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Hamka telah dimasukkan ke Rumah Sakit, tersebab serangan jantung yang cukup berat. Selama lebih kurang satu minggu Hamka dirawat di Rumah Sakit

Pertamina Pusat Jakarta, ditangani oleh para dokter ahli. Namun, kendatipun dokter telah mengerahkan seluruh kemampuan mereka bagi kesembuhan Hamka, akan tetapi

Allah SWT lebih menyayangi beliau, karena sesungguhnya Allah lagi mengetahui setiap sesuatu yang terbaik bagi makhluknya. Pada tanggal 24 Juli 1981, Hamka telah dikelilingi oleh isteri tersayang, Khadijah dan putranya Afif Amrullah, dan beberapa

teman dekat Hamka, beliau telah berpulang ke rahmatullah dalam usia 73 tahun. Hamka menutup mata dalam suatu penyelesaian tugas, dengan meminjam

kata-kata Leon Agusta, ”di akhir pementasan yang rampung” dalam kapasitas sebagai mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Dengan predikat keulamaan itu,

Hamka memastikan ‟kehadirannya‟ dalam upaya menggenapi kredo hidupnya

sendiri” sekali berbakti sudah itu mati”.

(39)

Pada waktu kecil Hamka dipanggil Abdul Malik, dan dia mengawali pendidikannya yang pertama dengan belajar membaca al-Qur‟an di rumah orang tuanya,

ketika mereka sekeluarga pindah dari Maninjau ke Padang-panjang, pada tahun 1914 M.

Hamka pada waktu kecil belum memperoleh pendidikan formal dan hanya sempat masuk ke sekolah desa selama tiga tahun.24

Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Labai el-Yunusi mendirikan Diniyah School pada petang hari, di Pasar Usang Padangpanjang, Hamka lalu dimasukkan oleh ayahnya

ke sekolah ini. Pagi hari, Hamka pergi sekolah ke sekolah desa. Dan pada malam hari berada di surau bersama teman-teman sebayanya. Inilah seputar kegiatan Hamka sehari-hari pada usia kecil. Dan putaran kegiatan Hamka ini dapat dirasakan oleh beliau sebagai

sesuatu yang tidak ada kebebasan dan tidak menyenangkan dan sangat mengekang kebebasan masa kanak-kanaknya.25

Pada tahun 1918, di saat Abdul Malik, si Hamka kecil itu, sudah dikhitankan di kampung halamannya, Maninjau dan di waktu yang sama, ayahnya, Syekh Abdul Karim Amrullah, kembali dari perlawatan pertamanya ke tanah Jawa, Surau Jembatan Besi

tempat Syekh Abdul Karim Amrullah memberikan pelajaran agama dengan sistem lama, diubah menjadi madrasah yang kemudian dikenal dengan Thawalib School. Dan dengan

hasrat agar anaknya kelak menjadi ulama seperti dia pula, Syekh Abdul Karim Amrullah

24 Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, h. 28

25 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke

(40)

berhenti.26

Thawalib School dalam perkembangan awal ini, masih belum mampu melepaskan diri dari cara-cara lama belajar agama. Kendatipun demikian, unsur kebaruan sudah

memasuki lembaga pendidikan ini. Malah menurut Mahmud Yunus, Surau Jembatan Besi yang sejak mula memberikan pelajaran agama dalam sistem lama, merupakan surau

pertama di Minangkabau dengan mempergunakan sitem klasikal. Tercatat ada tujuh kelas yang disediakan oleh Thawalib School diawal perubahannya. Namun, kendatipun sitem

klasikal sudah diberlakukan oleh Thawalib School, kurikulum dan materi pelajaran masih menggunakan cara lama. Buku-buku lama dengan keharusan menghafal, masih merupakan ciri utama dari sekolah ini. Inilah yang membuat Hamka menjadi cepat bosan

dan malas, meminjam istilah Hamka sendiri, memusingkan kepalanya.27 Akan tetapi, Hamka pada setiap tahun tetap naik kelas, samapai ia menduduki kelas empat.28

Dalam pembelajaran Hamka, keseriusan belajar tidak tumbuh dari dalam, tetapi dipaksa dari luar. Keadaan inilah yang kemudian membawa Hamka berada di perpustakaan umum milik Zainuddin Labai El-Yunusi dan Bagindo Sinaro. Hamka

menjadi asyik di perpustakaan itu dengan banyak membaca buku-buku cerita dan sejarah. Perpustakan itu, yang di beri nama dengan Zainaro, memberikan bentuk keghairahan

tertentu bagi Hamka. Tindihan rasa tertekan yang dirasakan selama ini membuat Hamka menjadi pelarian di perpustakaan ini dan membuatkan dirinya bebas dengan buku-buku

26 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke

II, h. 41.

27 Keharusan mengahafal buku-buku matan Taqrib, Matan Bina, dan Fathul Qarib, sangat

membosankan dan sangat memusingkan kepala. Hamka, Kenang-kenangan Hidup, h. 58.

28 M. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet ke

(41)

pertumbuhan imajinasi masa kanak-kanaknya itu sekali lagi mendapat jegalan juga.29 Ketokohan Hamka tidak hanya di Indonesia, tapi hingga mancanegara. Hal ini dibuktikan dengan berbagai penghargaan yang diperolehnya. Seperti anugrah kehormatan

Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974 dan juga gelar Datuk dan Pengeran Wiroguno

dari Pemerintah Indonesia.30 Karena menghargai jasa-jasanya dalam penyiaran Islam dan sejak itu, beliau berhak untuk memakai gelar Dr. di depan namanya. Hamka bercita-cita,

sebagaimana dalam ceramahnya ”membangun al-Azhar kedua di Indonesia, setelah

Mesir.” Kini cita-cita Hamka sudah mulai terwujud dalam bentuk lembaga pendidikan al-Azhar.31

3. Karya-Karyanya

Sepanjang hidupnya Buya Hamka tidak henti-henti menulis dan berpidato.

Profesinya itu telah menghasilkan lebih dari 100 buah buku, ratusan makalah, essay dan artikel yang tersebar dalam berbagai media massa. Buya Hamka membangun reputasinya sebagai pengarang yang menulis berbagai hal. Ia juga seorang wartawan dan editor di

berbagai majalah, di samping itu menulis cerita pendek dan novel romantis di masa-masa sebelum perang. Hamka adalah satu di antara pengarang terpintar diluar kalangan

kesusastraan yang resmi seperti di tulis oleh Prof. A Teeaw. Dikatakan demikian karena

29“Apakah engkau akan menjadi orang alim, gantikan aku atau menjadi tukang cerita,” semprot

ayahnya, ketika pada suatu ketika Hamka tertangkap basah sedang asyik membaca buku cerita silat. Pada masa itu juga, Hamka mengalami suatu peristiwa yang menggoncangkan jiwanya, diatas sebab penceraian ibu dan ayahnya. Lihat Hamka, Kenang-Kenangan Hidup, h. 63

30 Detik Forum, Buya Hamka Ulama dan Politisi, artikel ini diakses pada tanggal 29 November dari

http://forum.detik.com/buya-hamka-ulama-sastrawan-dan-politisi-t46943.html?t=46943

31 Antara pusat pengajian yang di cita-citakan oleh Hamka, kini berada di Kebayoran Baru, Jakarta

(42)

mulanya muncul dalam majalah Islam, Pedoman Masyarakat dan cerita bersambung.

Karena itu ia disebut sastrawan ”berhaluan Islam” dan menjadikan kesusastraan sebagai

alat dakwah.32

Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan

kemahiran bahasa Arabnya tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas Aqqad, Mustafa

al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca

dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal di Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki

Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka meninggalkan karya yang sangat banyak, di antaranya yang sudah

dibukukan tercatat lebih kurang 118 buah, belum termasuk karangan-karangan panjang dan pendek yang dimuat di berbagai media massa dan disampaikan dalam beberapa

kesempatan kuliah atau ceramah ilmiah. Tulisan-tulisan itu meliputi banyak bidang kajian, seperti politik, sejarah, budaya, akhlak, dan ilmu-ilmu keislaman. Antara aktivitas yang lain, selain dalam penulisan Hamka, beliau juga memimpin majalah-majalah Islami

antaranya Majalah Pedoman Masyarakat, pada tahun 1936-1942, Majalah Panji

32 Wikipedia bebas, Museum rumah kelahiran Hamka, artikel ini diakses pada tanggal 29 November

(43)

Agama), 1950-1953.

B. Profil Tafsir Al-Azhar

1. Sejarah Penulisan Tafsir al-Azhar

Hamka dikenal memiliki pendirian yang teguh dan sangat tegas dalam bersikap, sehingga dengan ketegasannya itu kerap kali ia menemui hambatan-hambatan dan tak

jarang pula ia difitnah untuk mendeskreditkan dirinya. Karena fitnah ini pula, Hamka pernah merasakan hotel prodeo pada masa rezim orde lama33, rezim Soekarno. Namun,

meskipun Hamka di penjara, kegemarannya dalam menulis tidak berhenti begitu saja. Justru, ketika di penjara Hamka mampu menyelesaikan sebuah karya yang monumental yang dikemudian hari menjadi rujukan pemeluk Islam dan sangat berpengaruh. Karya

tersebut adalah Tafsir Al-Qur‟an yang diberi nama Tafsir Al-Azhar. Nama tersebut di ambil dari nama Masjid Al-Azhar tempat dimana ia mengabdikan dirinya menjadi Imam

dan nama Universitas yang pertama kali memberikan penghargaan Doktor Honoris Causa kepadanya, Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir.34

Tafsir al-Azhar adalah karya utama dan terbesar beliau di antara lebih dari 118

karyanya dalam bidang sastra, sejarah, tasawuf dan agama. Permulaan penafsiran

33 Masa Orde Lama (1959-1965) tercatat sebagai masa paling gelap dalam sejarah kehidupan

kebangsaan Indonesia. Presiden Soekarno mencanangkan Konsepsi Presiden yang secara operasional terwujud dalam bentuk Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin memusatkan seluruh kekuasaan ditangan Presiden. Para pemimpin nasional Mochtar Lubis, K.H. Isa Anshari, Mr. Assaat, Mr, Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanuddin Harahap, S.H., M. Yunan Nasution, Buya Hamka, Mr, Kasman Singodimedjo dan K.H E.Z. Muttaqin yang bersikap kritis terhadap politik Demokrasi Terpimpin, ditangkap dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan itu ialah pecahnya pemberontakan berdarah G.30.S/PKI. Sesudah seluruh kekuatan bangsa yang anti komunis bangkit menghancurkan pemberontakan tersebut, datanglah zaman baru yang membawa banyak harapan. Yaitu era Orde Baru yang bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Pada masa inilah, para pemimpin bangsa yang dipenjarakan oleh rezim Orde Lama dibebaskan. Lihat http://www.legalitas.org/?q=Konfigurasi+Politik+pada+Era+Orde+Lama+dan+Orde+Baru%3A+Suatu+Tel aahan+dalam+Partai+Politik artikel ini diakses pada tanggal 29 November 2010.

34 Disarikan dari buku Ensiklopedia tokoh Muhammadiyah dan Majalah Suara Muhamadiyah no

(44)

jamaah masjid al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta, di mulai dari surat al-Kahfi, juz XV. Pada hari Senin 12 Ramadhan 1383, bertepatan dengan 27 Januari 1964, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan lebih kurang 100 orang kaum ibu di

Mesjid al-Azhar, ia di tangkap oleh penguasa Orde Lama, lalu dijebloskan dalam tahanan. Sebagai tahanan politik, Hamka ditempatkan di beberapa rumah peristirahatan di

kawasan puncak yaitu Bungalow Herlina, Harjuna, Bungalow Brimob Megamendung dan Kamar Tahanan Polisi Cimacan. Di rumah tahanan inilah Hamka mempunyai

kesempatan yang cukup luas untuk mengarang Tafsir al-Azhar.35

Kesehatan Hamka pada ketika itu semakin mulai menurun, dan disebabkan ketidaksehatan, Hamka dibawa ke Rumah Sakit Pe

Gambar

gambaran arah, yang bermakna tak satu pun Malaikat yang lebih tinggi dari
gambaran tentang kondisi topik yang dibahas barulah dilakukan

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Surat al-Ahz<ab ayat 36-40 apabilah dipahami menggunakan Qas}as} al-Qur’a<n maka dapat di ketahui bahwa kisah yang ada

Selain rumusan di atas, metode muqâran mempunyai pengertian lain yang lebih luas, yaitu membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang tema tertentu, serta

ijmali adalah metode yang menafsirkan ayat dengan makna global. Penggunaan metode ini dilakukan sesuai dengan kebutuhan, dalam artian bahwa Hasbi akan menggunakan

Pandangan Ibn jari>r al-t{abari> dan Muhammad Abduh dalam menafsirkan makna laya>lin ‘ashr dalam surat al-Fajr ayat 2 terdapat perbedaan dan persamaan,

dibunuh sekalipun, ketika ada yang berani melawan kebijakan yang sudah dibuat oleh masyarakat Arab jahiliyah pada waktu itu. Implementasi ayat ayat jahiliyah

Jika kita pahami berkaca pada pendapat yang di kemukakan oleh Quraish shihab dan Buya Hamka dalam tafsirnya yaitu melakukan kritik atau mengingatkan, harus denga

Pendapat beliau tentang hukum menyentuh mushaf adalah beliau mengutip pendapat para ulama dan sepakat dengan pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa Al-Kitab dalam ayat

Seperti dalam menafsirkan beberapa ayat Ukhuwah, nampak sajian yang diberikan oleh Quraish Shihab merupakan solusi dari permasalahan umat Islam, terkhusus di