• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini menganalisis kelayakan usaha pupuk kompos yang dilakukan pada tingkat desa di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, adapun desa yang dijadikan sampel adalah Desa Cikarawang yang

9 menjadi tempat usaha pupuk kompos, objek penelitian adalah kelompok tani Hurip dan masyarakat sekitar Desa Cikarawang, sumber dana berasal dari milik pribadi, hasil output diasumsikan dijual seluruhnya, manfaat yang diperhitungkan dibatasi pada manfaat yang dapat diukur (tangible benefit), metodologi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menganalisis aspek finansial. Aspek finansial ditentukan berdasarkan proyeksi arus kas usaha, berupa NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), Net B/C (Net Benefit-Cost Ratio) dan PP (Payback Period). Tingkat diskonto yang digunakan sebesar 6,75 persen yang merupakan suku bunga Bank Indonesia pada tahun 2011.

10 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usahatani

Rifai dalam Kadarsan (1995), mendefinisikan usahatani adalah suatu tempat dimana seseorang atau sekumpulan orang berusaha mengelola unsur-unsur produksi seperti: alam, tenaga kerja, modal dan keterampilan, yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Lebih lanjut Hernanto (1991) menjelaskan bahwa dalam usahatani terdapat empat unsur pokok yang sangat penting, disebut faktor-faktor produksi, yaitu: (1) Tanah, (2) Tenaga kerja, (3) Modal dan (4) Pengelolaan atau manajemen. Tanpa salah satu faktor tersebut produksi tidak akan diperoleh secara memuaskan.

Tanah dalam usaha tani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah dan sebagainya. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri, membeli, menyewa, bagi hasil, menyakap, pemberian Negara, warisan ataupun wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara monokultur maupun polikultur atau tumpang sari.

Tenaga kerja terdiri atas beberapa jenis, antara lain: tenaga kerja manusia, ternak dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat dibedakan menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak yang dipengaruhi oleh pendidikan, keterampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan kondisi lahan.

Tenaga kerja dapat berasal dari dalam dan luar keluarga (umumnya dengan cara upahan).

Modal dalam suatu usahatani digunakan untuk membeli sarana produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal

11 diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit, warisan, usaha lain atau dari kontrak sewa.

Pengelolaan atau manajemen dalam usahatani adalah kemampuan petani untuk menetukan, mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya dengan sebaik-baiknya sehingga memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil, maka pemahaman terhadap prinsip teknik dan prinsip ekonomis menjadi syarat bagi seorang pengelola.

Lebih lanjut dikemukakan bahwa, besarnya produksi selain dipengaruhi oleh faktor-faktor internal, seperti: teknologi, penggunaan input, cara bercocok tanam dan lain-lain, juga dipengaruhi faktor-faktor eksternal, seperti: cuaca, iklim, bencana alam, harga dan lain-lain. Faktor eksternal tidak dapat dikendalikan oleh petani sehingga dalam memperbesar tingkat keuntungan, petani harus mengendalikan faktor internal dan menyesuaikan jenis komoditi yang diusahakannya sebagai respon terhadap faktor-faktor eksternal tersebut. Artinya harus ada fleksibilitas dalam alokasi pengunaan lahan sesuai dengan kondisi lahan untuk komoditas yang diusahakannya.

Menurut Soeharjo dan Patong (1973), bahwa tujuan dari setiap petani dalam menjalankan usahataninya berbeda-beda. Apabila motif usahatani ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga baik melalui atau tanpa melalui peredaran uang, maka usahatani yang demikian disebut usahatani pencukup kebutuhan keluarga (subsistence farm). Bila motif usahatani didorong oleh keinginan untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, maka usahatani yang demikian disebut usahatani komersial (commercial farm).

12 2.2. Pupuk Kompos

Kompos ialah bahan organik yang telah menjadi lapuk, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang, serta kotoran hewan. Bahan-bahan ini menjadi lapuk dan busuk bila berada dalam keadaan basah dan lembab, seperti halnya daun-daun menjadi lapuk bila jatuh ke tanah dan berubah menjadi bagian tanah (Murbandono 1994).

Menurut Indrasti (2003), kompos merupakan bahan yang dihasilkan dari proses degradasi bahan organik yang dapat berguna bagi tanah-tanah pertanian seperti memperbaiki sifat kimia, fisika dan biologi tanah, sehingga produksi tanaman menjadi lebih tinggi.

Tabel 2. Kandungan NPK Beberapa Bahan Organik

Bahan Organik Kadar (%) Sumber : Soedyanto et.al (1992)

13 Murbandono (1994) menambahkan bahwa di lingkungan alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya. Rumput, daun-daunan, kotoran hewan serta sampah organik lainnya lama-kelamaan membusuk melalui proses alami karena kerja sama antara mikroorganisme dengan cuaca. Proses tersebut bisa dipercepat oleh perlakuan manusia, hingga menghasilkan kompos yang berkualitas baik dalam waktu tidak terlalu lama. Contoh standar kualitas kompos tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Standar Kualitas Unsur Makro Kompos Berdasarkan Standar Nasional Indonesia Sumber : SNI 19-7030-2004 dalam Suherman (2005)

Kompos termasuk dalam golongan pupuk organik yang dapat digunakan sebagai pupuk bagi berbagai tanaman. Ditinjau dari segi manfaatnya, kompos memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan pupuk buatan, seperti urea, ZA, DS, NPK, dan lain-lain. Keunggulan tersebut diantaranya 1) dapat memperbaiki struktur tanah sehingga produktivitas tanah tetap tinggi; 2) selain mengandung unsur utama NPK, juga mengandung unsur-unsur hara lainnya yang sangat dibutuhkan oleh tanaman walaupun dalam jumlah yang kecil; dan 3) pupuk kompos dan pupuk buatan bekerjanya saling mengisi untuk meningkatkan produktivitas tanaman. Selain itu, menurut Lingga dan Marsono (2003), kompos atau pupuk organik dapat menaikkan daya serap tanah terhadap air (water holding capacity) sehingga mampu mempertahankan hasil panen tanaman pada musim

14 kemarau. Jika dibandingkan dengan pupuk sintetis, pupuk organik memiliki kelemahan diantaranya kandungan haranya sedikit dan daya kerjanya lambat (slow release) terutama pupuk organik padat (Soedyanto et.al. 1981). Menurut Musnawar (2003), untuk menutupi kelemahan tersebut, pupuk organik biasanya masih dipadukan dengan pupuk kimia. Penggunaan pupuk organik dan pupuk kimia secara terpadu memiliki interaksi positif dalam meningkatkan produktivitas tanaman.

Kandungan nutrisi kompos dari berbagai daerah produsen kompos berbeda-beda. Penyebabnya adalah bahan baku yang digunakannya berbeda antara satu produsen dengan produsen lainnya (Musnawar 2003). Jannah (2003) melakukan pengukuran kandungan unsur hara berbagai kompos dari produsen yang berbeda di berbagai kota. Hasil pengukurannya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan NPK Kompos dari Beberapa Produsen Kompos

Unsur Satuan A B C D E F G

N % 2.24 0.88 1.02 4.65 1.92 1.32 1.61

P % 1.90 5.21 7.10 1.60 4.08 1.02 2.67

K % 0.40 0.52 0.39 0.52 0.70 0.25 0.55

Sumber : Jannah (2003

Keterangan :

A. PD. Kebersihan Cicabe B. PD. Kebersihan Luigajah C. PD. Kebersihan Sukabumi D. PT. Bumi Serpong Damai E. Kebun Raya Bogor F. PT. Cakra Mandiri G. PT. Nidia Nandi Utama

15 2.3. Pengomposan

Pengomposan menurut Murbandono (2002) adalah proses perubahan dan peruraian bahan-bahan organik sehingga unsur haranya mengalami pembebasan dan menjadi bentuk larut yang bisa diserap oleh tanaman. Dari hasil pengomposan dihasilkan kompos.

Kompos merupakan bentuk akhir dari bahan-bahan organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja didalamnya, baik secara aerobik maupun anaerobik atau dengan kata lain kompos merupakan hasil fermentasi atau dekomposisi dari bahan-bahan organik seperti tanaman, hewan, atau limbah organik lainnya (Indriani 2000).

Sebelum dilakukan proses pengomposan, Apriadji (2004) mengemukakan bahwa sampah harus dipisahkan antara sampah garbage dan sampah rubbish.

Sampah garbage adalah jenis sampah yang dapat dibusukkan (murni organik), sedangkan sampah rubbish adalah jenis sampah rongsokan campuran senyawa anorganik dengan organik. Jadi sampah yang nantinya dimanfaatkan sebagai kompos hanya sampah jenis garbage saja, karena sampah jenis garbage mudah sekali didegradasi oleh mikroba.

Waktu yang diperlukan dalam pembuatan kompos umumnya sekitar 3-4 bulan. Waktu ini dapat dipercepat menjadi 4-6 minggu, caranya dengan menambahkan bahan tambahan atau aktivator bagi bakteri pengurai ke dalam pengomposan tersebut (Murbandono 2002). Pengomposan dapat mengurangi potensi pencemaran lingkungan yaitu mengurangi sampah yang dibakar atau

16 dibuang ke sungai. Kompos sebagai hasil dari pengomposan dapat mengurangi penggunaan pupuk buatan dan obat-obat yang berlebihan pada tanaman.

Agar proses pengomposan dapat menghasilkan kompos yang bermutu bagus maka harus diperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengomposan, yaitu :

1. Nisbah C/N

Untuk proses pengomposan, nisbah C/N optimum pengomposan adalah kurang dari 20 (Hadiwiyoto 1983). Hadiwiyoto (1983) menyatakan bahwa agar tujuan pengomposan dapat tercerai maka C/N rasionya harus lebih kecil dari 20.

Apabila C/N rasio terlalu besar maka mikroba perombak akan menggunakan cadangan nitrogen dalam tanah tersebut dan proses dekomposisi akan berlangsung lama. Semakin rendah nilai C/N bahan, waktu yang diperlukan untuk pengomposan semakin singkat.

2. Bentuk Bahan

Suriawiria (2002) mengemukakan bahwa dalam proses pengomposan semakin kecil dan homogen bentuk bahan, semakin cepat dan baik pula proses pengomposan. Karena dengan bentuk bahan yang lebih kecil dan homogen maka lebih luas permukaan bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktivitas mikroba.

3. Kelembaban dan Kadar Air

Menurut Hadiwiyoto (1983), tumpukan sampah yang terlalu kering akan menyebabkan pengomposan berjalan lama. Oleh karena itu dianjurkan untuk menyiram tumpukan sampah dengan air setiap periode waktu tertentu sehingga kadar airnya cukup. Biasanya kadar air 48-55% memberikan hasil pengomposan

17 yang baik. Pengomposan juga dapat berlangsung dengan baik apabila kadar air berkisar antara 30-67%.

4. Suhu Pengomposan

Suhu pengomposan yang paling baik digunakan menurut Hadiwiyoto (1983) sekitar 590C atau 40-500C (Murbandono 2002) atau 30-500C (hangat) (Indriani 2000). Masih menurut Hadiwiyoto (1983) bahwa pengomposan akan berjalan baik bila suhunya sesuai dengan suhu optimum pertumbuhan mikroba perombak.

5. Nilai pH Pengomposan

Menurut Indriani (2000), bahwa pH pengomposan yang optimum berkisar antara 6.5-7.5. Keasaman terlalu rendah (pH tinggi) menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen yang akan berakibat jelek terhadap lingkungan sekitarnya.

Pengontrolan pH dapat dilakukan dengan penambahan kotoran hewan, urea, pupuk nitrogen dengan tujuan untuk menurunkan pH pengomposan (Murbandono 2002).

6. Jumlah Mikroba Perombak

Hadiwiyoto (1983) menyatakan bahwa jika jumlah mikroba perombak pada mulanya sedikit maka pengomposan akan berjalan lama. Hal ini berhubungan erat dengan waktu adaptasi mikroba terutama bakteri. Semakin banyak jumlah bakteri pada awal suatu proses, fase adaptasinya semakin singkat.

Dokumen terkait