• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Rukun dan Syarat Sah Jual Beli

21

Didalam jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara‟. Menurut hukum Islam rukun dan syarat jual beli meliputi:

1. Adanya barang yang diperjual belikan, Syarat-syarat yang terkait dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut (Syarifudin, 2005: 196-198).

a. Barangnya bersih, yang dimaksud adalah barang yang diperjual belikan bukanlah benda yang dikualifikasikan sebagai benda najis atau yang diharamkan seperti arak, anjing, babi, dan yang lainya. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah saw;

ِ َ ِللها ِ ْ َع ِب ِرِ اَج بَع َو

َي

َلْوُسَ َ َِسَ ُهَّنَا اَمُهْبَنَع ُلله ا

ا

ىَّلَص ُلله

ُهَّللا

َلَع

ْي

َمَّلَسَو ِ

َي

ُلْوُبَق

جِّ َاا ُااَع

ً َّكَِ َوُ َو

:

َلله ا َّنِا

َبَ َّرَ

ْي

َو ِرْمَاا َ ْالم

ْي

َو ِ َى

ا

ِ ْنَا

ْي

ِااَنْص َلَْاَو ِ

(

ى اخ لا او

ملس و

)

“Dari Jabir r.a: sesungguhnya Jabir mendengar Rasulullulah bersabda pada tahun haji yaitu di Makkah: Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi, dan berhala (HR. Bukhori dan Muslim)”.

b. Dapat dimanfaatkan yang dimaksud adalah tentunya sangat relatif sebab pada hakikatnya seluruh barang yang dijadikan sebagai objek jual beli menrupakan barang yang dapat demanfaatkan seperti untuk dikonsumsi, dinikmati

22

keindahannya, dinikmati suaranya serta digunakan untuk keperluan yang bermanfaat.

c. Milik orang yang melakukan akad maksudnya bahwa orang yang melakukan jual beli sesuatu barang adalah pemilik sah barang tersebut telah mendapat ijin dari pemilik sah barang tersebut.

d. Mampu menyerahkan maksudnya bahwa penjual sebagai pemilik atau kuasa dapat menyerahkan barang yang dijadikan sebagai objek jual beli sesuai dengan bentuk dan jumlah yang diperjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pembeli. e. Mengetahui apabila dalam suatu jual beli keadaan barang dan jumlah harganya tidak diketahui maka perjanjian jual beli tidak sah sebab bisa jadi perjanjian tersebut mengandung unsur penipuan.

f. Barang yang diakadkan berada di tangan.

g. Menyangkut perjanjian jual beli atas suatu barang yang belum berada ditangan itu dilarang sebab bisa jadi barang tersebut rusak atau tidak dapat diserahkan sebagaimana telah diperjanjikan.

2. Adanya nilai tukar pengganti barang, nilai tukar barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang), para ulama fiqh membedakan nilai tukar menjadi dua yaknial-tsaman dengan al-si‟r.Menurut mereka, al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengah-

23

tengah masyarakat secara aktual, sedangkan al-si‟r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual ke konsumen (pemakai).Dengan demikian, harga barang itu ada dua, yaitu harga antar pedagang dan harga antar pedagang dan konsumen (harga dipasar) (Ihsan, 2008: 35). Syarat nilai tukar meliputi:

a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.

b. Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukumseperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka pembayarannya harus jelas.

c. Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara‟, seperti babi, dan khamar, karena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara‟.

3. Lafal atau ijab qabul, jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab

dan qabul dilakukan sebab ijab dan qabul menunjukan kerelaan. Pada dasarnya ijab dan qabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainya boleh ijab qabul dengan surat menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul (Suhendi, 2008: 70). Menurut sayyid Sabiq dalam buku Fiqh

24

Sunnah ijab merupakan ungkapan awal yang diucapakan oleh salah satu dari dua pihak yang melakuakn akad, dan qabuladalah pihak yang kedua (Sabiq, 2006: 121). Para ulama sepakat untuk mengecualikan kewajiban ijab qabul itu terhadap objek jual beli yang bernilai kecil yang biasa berlangsung dalam memenuhi kebutuhan sehari hari, seperti jual beli sebungkus rokok. Untuk maksud ini, sudah dianggap bila penjual telah menunjukkan barangnya dan pembeli telah menunjukkan uangnya. Cara seperti ini disebut dengan mu‟atah. Misalnya membeli minuman kaleng di mesin otomatis dimana si pembeli telah memasukkan uang koinnya ke dalam lubang yang disediakan dan penjual melalui mesinnya telah menyodorkan minuman kaleng tersebut sesuai dengan pesanannya (Syarifudin,2003:195). Syarat ijab qabul

meliputi:

a. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal. b. Qabul sesuai dengan ijab, Apabila antara ijab dan qabul

tidak sesuai maka jual beli tidak sah.

c. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan jual beli hadir dan membicarakan topik yang sama.

4. Adanya orang yang berakad, para ulama fiqh sepakat bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu harus memenuhi syarat, yaitu :

25

a. Berakal sehat, oleh sebab itu seorang penjual dan pembeli harus memiliki akal yang sehat agar dapat melakukan transaksi jual beli dengan keadaan sadar. Jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal dan orang gila, hukumnya tidak sah meskipun harta yang dijual merupakan hartanya sendiri (Sudarsono, 2001: 74). Sebagaimana firman Allah dalam Al Qur‟an surat An- Nisa ayat 5:











“dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.

b. Atas dasar suka sama suka, yaitu dalam melakukan jual beli salah satu pihak tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan kepada pihak lainya, sehingga pihak lain tersebut melakukan perbuatan jual beli bukan lagi disebabkan oleh kemaunya sendiri, tetapi adanya unsur paksaan. Jual beli yang demikian itu tidak sah.

c. Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda, maksudnya seorang tidak dapat bertindak dalam waktu

26

yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.

Secara konvensional saat terjadinya jual beli unsur- unsur pokok (essentialia) jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian B.W, jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata “sepakat” mengenai barang dan harga, begitu kedua belah pihak setuju maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah (Subekti: 1995: 2). Sifat konsensual jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “jual- beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.

Dokumen terkait