• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dalam penelitian ini rumusan permasalahan antara lain sebagai beriut:

1.2.1 Bagaimanakah alur dalam naskah skenario Gie karya Riri Riza?

1.2.2 Kritik sosial apa sajakah yang terdapat dalam naskah skenario Gie karya Riri Riza?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

3.1 Mendeskripsikan alur dalam naskah skenario Gie karya Riri Riza.

3.2 Mendeskripsikan kritik sosial yang terdapat dalam naskah skenario Gie karya Riri Riza

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi para pembaca, baik bersifat teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan perkembangan ilmu sastra dan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya penggunaan teori-teori sastra terhadap karya sastra terutama pengembangan bahan kajian sastra khususnya naskah skenario yang berlatar belakang sejarah.

Manfaat praktis bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk dapat menciptakan karya sastra. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan dapat menambah minat baca dalam mengapresiasikan karya sastra. Kemudian yang terakhir, bagi peneliti, penelitian ini diharapkan sebagai pengkayaan pustaka kajian sastra Indonesia, terutama karya sastra naskah skenario yang bertemakan politik dengan tinjauan sosiologi sastra.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah, pertama, dilakukan Yuliati (2009). Penelitian itu berjudul “Perlawanan Tokoh GIE Terhadap Pemereintahan Orde Lama dan Orde Baru Dalam Naskah Skenario GIE Karya Riri Riza Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra”. Hasil dari Penelitian ini adalah menunjukan bentuk perlawanan tokoh Gie terhadap pemerintah Orde Lama. Perlawanan yang dikemukakan dalam penelitian ini yaitu dalam perlawanan tokoh bentuk demonstrasi. Selain demonstrasi peneliti juga menunjukan kritikan-kritikan yang diklakukan Gie melalui media masa.

Penelitian ini juga menunjukan perlawanan tokoh Gie dan kawan-kawanya dalam melakukan perlawanan dengan Orde Baru. Dalam penelitian ini dideskripsikan perlawanan tokoh Gie yang ditunjukan secara tidak langsung melalui media massa. Terakhir, penelitian ini juga meneganalisis akibat dari perlawanan yang dilakukan tokoh.

Penelitian kedua dilakukan oleh Herawati Budi Kartini (2000).

Penelitian itu berjudul “Kritik Sosial Novel Matinya Sang Penguasa Karya Nawal El-Saadawi”. Hasilnya adalah (1) struktur intrinsik novel MSP karya Nawal Saadawi; (2) kritik sosial dalam novel MSP karya Nawal El-Saadawi. Penelitian ini mengupas tentang kritik sosial yang terdapat di dalam novel. Bentuk kritik sosial yang terdapat dalam penelitian ini meliputi,

penyelewengan jabatan; pelecehan seksusal; penyimpangan seksual; dan kesenjangan sosial.

Relevansi dari kedua penelitian tersebut terhadap penelitian yang dialakukan oleh penulis adalah memberikan masukan dan gambaran mengenai kritik sosial yang terdapat dalam karya sastra utamanya naskah skenario. Dari penelitian pertama, terungkap kesamaan objek penelitian dan dari penelitian kedua memiliki kesamaan tentang teori yang dipakai. Namuin, belum ada penelitian yang menganalisis kritik sosial yang ada dalam naskah skenario Gie.

1.6 Kerangka Teori 1.6.1 Alur

Alur merupakan peristiwa-peristiwa yang diurutkan dan merupakan tulang punggung cerita. Aristoteles (Nurgiyantoro, 1995:142) mengemukakan tahapan-tahapan dalam alur, yaitu tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir.

Tahap awal disebut juga dengan tahap perkenalan tokoh-tokoh dan latar, tapi konflik sudah sedikit muncul. Tahap tengah disebut juga dengan tahap pertikaian. Tahap ini menampilkan konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya. Tahap akhir disebut juga dengan tahap peleraian. Tahap ini berisi tentang penyelesaian dari konflik yang ada. Di dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tahapan-tahapan alur untuk menganalisis setiap konflik yang terjadi pada tokoh Gie. Peneliti memilih teori penahapan alur karena jalan cerita yang ditunjukan oleh alur juga terdapat kritik sosial didalamnya.

1.6.1.1 Penahapan Alur 1.6.1.1.1 Tahap Awal

Penahapan alur ini biasa disebut dengan tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan disajikan pada tahap berikutnya. Fungsi tahap awal pada sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan (Nurgiantoro 1995:142).

1.6.1.1.2 Tahap Tengah

Tahap tengah disebut juga dengan tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya (Nurgiantoro 1995:154). Pada tahap ini, inti cerita dalam sebuah naskah disajikan.

1.6.1.1.3 Tahap Akhir

Tahap akhir atau disebut tahap peleraian menampilkan adegan tertentu sebagai akibat dari klimaks(Nurgiantoro 1995:147). Pada tahap ini menuju pada kesudahan cerita atau bagaimana akhir dari sebuah naskah.

1.6.1.2 Tahap Perkembangan Alur

Ada beberapa tahap perkembanagan alur yang ada dalam karya sastra.

Sudjiman (1988) Menjelaskan secara rinci dalam bukunya.

1.6.1.2.1 Eksposisi

Eksposisi merupakan fungsi awal cerita. Tahap ini disebut pula tahap perkenalan, karena penonton mulai diperkenalkan dengan lakon utama drama yang akan ditontonya meskipun hanya dengan gambaran selintas. Wujud perkenalan ini berupa penjelasan untuk mengantarkan penonton pada situasi awal lakon.

1.6.1.2.2 Rangsangan

Rangsangan, yaitu peristiwa yang mengawali timbulnya gawatan.

Rangsangan sering ditimbulkan oleh masuknya seorang tokoh baru.

1.6.1.2.3 Gawatan

Gawatan merupakan butir-butir cerita yang membayangkan akan terjadinya sesuatu, atau seolah-olah mempersiapkan peristiwa yang penting.

1.6.1.2.4 Konflik atau Tikaian

Konflik atau tikaian ialah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan, satu diantaranya diwakili oleh seseorang yang menjadi protagonis (tokoh yang karakternya baik) dalam sebuah cerita.

Dalam tahap ini mulai ada insiden (kejadian). Insiden ini merupakan konflik yang menjadi dasar sebuah drama.

1.6.1.2.5 Rumitan atau Komplikasi

Rumitan atau komplikasi terjadi karena insiden kemudian berkembang dan menimbulkan konflik-konflik yang semakin banyak dan ruwet.

1.6.1.2.6 Klimaks

Dalam tahap ini berbagai konflik dalam cerita sampai pada puncaknya (klimaks). Bagian ini merupakan puncak ketegangan. Klimaks berarti titk pertikaian paling ujung yang dicapai pemain protagonis (pemeran kebaikan) dan pemain antagonisnya.

1.6.1.2.7 Leraian atau Resolusi

Leraian atau resolusi merupakan perkembangan ke arah selesaian.

Dalam tahap ini dilakukan penyelesaian konflik. Jalan Keluar penyelesaian konflik-konflik yang terjadi sudah mulai tampak jelas.

1.6.1.2.8 Selesaian

Selesaian adalah bagaian akhir atau penutup cerita. Dalam tahap terakhir ini semua konflik berakhir dan cerita selesai. Dengan selesaian cerita, maka lakon sudah usai.

1.6.1.3 Pembedaan Alur Berdasarkan Urutan Waktu

Alur dapat dibedakan kedalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut-sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Salah satu kategori pembedaan alur adalah jenis pembedaan berdasar pada urutan waktu. alur berdasarkan urutan waktu dibedakan menjadi tiga yaitu alur maju, sorot-balik atau flashback,dan alur campuran (Nurgiantoro 1995:153).

1.6.1.3.1 Alur Maju

Alur sebuah cerita dikatan alur maju jika jika peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, atau secara runtut dimulai dari tahap awal,tengah, dan akhir (Nurgiantoro 1995:154).

1.6.1.3.2 Sorot Balik atau Flashback

Sorot balik atau flash back ditampilkan dalam dialog, mimpi, atau lamunan (Sudjiman, 1988:33). Alur yang menggunakan Sorot balik atau flashback tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap awal, melainkan mungkin dari tahap tengah bahkan akhir, baru kemudian tahap awal dikisahkan (Nurgiantoro 1995:154). Alur ini digunakan untuk menarik minat penikmat karya sastra.

1.6.1.3.3 Alur Campuran

Alur jenis ini adalah perpaduan antara alur maju dan alur sorot balik atau flashback. Hampir semua karya sastra tidak ada yang beralur maju-kronologis atau sebaliknya sorot-balik (Nurgiantoro 1995:156). Kedua jenis alur tersebut

saling mengisi dalam sebuah jalan cerita, hingga menimbulkan alur yang tidak membosankan. Hal tersebut tergantung dari kempapuan penulis naskah dalam menata alur, hingga menimbulkan suasana yang mengalir.

1.6.1.4 Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Jumlah 1.6.1.4.1 Alur Tunggal

Alur yang digunakan dalam sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama. Cerita pada umumnya hanya mengikuti perjalanan hidup tokoh tersebut, lengkap dengan permasalahan dan konflik yang dia alami (Nurgiantoro 1995:157).

1.6.1.4.2 Alur Sub-Plot

Sebuah karya fiksi dapat memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidupnya (Nurgiantoro 1995:158). Alur Sub-Plot merupakan bagian dari alur utama, fungsi dari alur ini adalah memeperjelas dan memperluas pandangan pembaca terhadap alur pada cerita utama.

1.6.2 Sosiologi Sastra

Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan disebut pendekatan sosiologi sastra (Damono, 1978:2).

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.

Penelitian ini banyak diminati oleh peneliti yang ingin melihat sastra sebagai cerminan masyarakat. Karenanya, asumsi dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak dalam kekosongan sosial. kehidupan soial akan menjadi pemicu lahirnya karya sastra. Karya sastra yang berhasil atau sukses yaitu karya yang mampu merefleksikan zamannya, (Endraswara, 2003:77).

Menurut Damono ada dua cara kecenderungan utama dalam sosiologi sastra, pertama pendekatan yang berdasarkan anggapan bahwa sastra merupakan cerminan proses sosial belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra, untuk membicarakan sastra. Sastra hanya berharga dalam hubungan dengan faktor-faktor di luar sastra itu sendiri. Jelas dalam hal ini teks sastra tidak dianggap sebagai yang utama. Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam sosiologi ini adalah teks sastra untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami gejala sosial budaya yang ada (Damono, 1978:2).

Penggunaan pendekatan sosiologi sastra untuk menganalisis sebuah karya sastra dapat diketahui sikap pengaranganya, berdasarkan permasalahan yang terjadi pada kurun waktu tertentu. Secara langsung maupun tidak langsung, peristiwa dalam kurun waktu tertentu atau utamanya peristiwa sejarah telah melatarbelakangi suatu konstruksi kesadaran intelektual, suatu kerangka literer, yang pada dasarnya merupakan indikator penting terhadap kreativitas. Dalam hal

ini fakta sosiohistoris telah dimanfaatkan sebagi mediasi proses kreatif (Ratna, 2003:274). Bagi karya sastra yang menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan baku, ada ketentuan-ketentuan di samping kebebasannya. Karya sastra yang sengaja menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan, mempunyai ikatan kepada historical truth, sekalipun kebenaran sejarah itu juga bersifat relatif (Kuntowijoyo, 2006: 178).

Melalui sosiologi sastra juga akan dilihat reaksi-reaksi pengarang terhadap kondisi kemasyarakatan. Dalam hal ini sering kali dihasilkan sastra-sastra yang bernada menentang dan emprotes, yang tidak selalu harus berupa protes politik tetapi dapat juga terjadi protes situasi moral kepercayaan pada zamanya (Sumarjo, 1979:18).

1.6.2.1 Kritik Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah kritik adalah kecaman atau tanggapan yang sering disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, pendapat, dan sebagainya (KBBI Daring V). sedangkan Kwant bependapat, kritik adalah penilaian atas kenyataan yang dihadapinya dalam sorotan norma (1975:9). Kata ‘kritik’ berasal dari bahasa Yunani krinien yang artinya ‘memisahkan’, memerinci. (Kwant, 1975:12).

Dapat diartikan dengan mengkritik dapat berarti mengadakan pemisahan dan perincian antara nilai dan yang bukan nilai, arti dan yang bukan arti (Kwant, 1975:12).

Soekanto mendefinisikan kata sosial sebagai hal-hal yang berkaitan dengan hal-hal kemasyarakatan (1990:64). Selain itu, Kata sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V), adalah berkenaan dengan masyarakat, suka memperhatikan kepentingan umum. Dari defenisi kritik dan sosial memiliki kesimpulan bahwa yang dimaksud kritik sosial dalam karya sastra adalah suatu bentuk komunikasi yang dialakukan oleh penulis yang bertujuan untuk memberi kontrol terhadap jalanya suatu sistem sosial atau proses dalam masyarakat pada kurun waktu tertentu. Damono dalam bukunya mengatakan bahwa kritik sosial merupakan kritik terhadap ketimpanagan sosial yang ada dalam masyarakat. Ketimpangan itu tidak hanya mencakup kere dan orang kaya, kemiskinan dan kemewahan tetapi mencakup segala problem sosial yang ada. Hubungan manusia dengan lingkunganmanusia lain, kelompok sosial, penguasa dan institusi-institusi yang ada (Damono 1983:20-22)

Berpijak dari beberapa pemahaman tentang masalah sosial sebagai kritik sosial tersebut di atas maka, penelitian ini akan melihat kritik sosial apa sajakah yang diungkapkan oleh Riri Riza dalam Naskah skenario Gie.

1.6.2.2 Masalah Sosial sebagai Kritik Sosial dalam Karya Sastra

Sastra bukanlah sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan kondisi tempat karya itu dilahirkan

(Jabrohim, 2001:167). Seorang pengarang senantiasa dan niscaya hidup dalam ruang dan waktu tertentu. Ia senantiasa akan terlibat dengan beranekaragam permasalahan. Dalam bentuknya yang paling nyata ruang dan waktu itu adalah masyarakat atau sebuah kondisi sosial, tempat berbagai pranata nilai di dalamnya berinteraksi. Dominannya kritik atau protes sosial sastra itu identik pula dengan dominannya masalah sosial dalam kehidupan atau lembaga di luar sastra. Menurut Nurgiyantoro (1995:331), sastra yang mengandung pesan kritik atau disebut sastra kritik, lahir di tengah-tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial dan masyarakat. Banyak karya sastra yang memperjuangkan nasip rakyat kecil yang menderita, nasip rakyat kecil yang perlu dibela, rakyat kecil yang dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan. Berbagai penderitaan rakyat itu dapat berupa korban kesewenangan, penggusuran, penipuan atau selalu dipandang, diperlakukan atau diputuskan sebagai pihak yang selalu di bawah, kalah dan salah. Semua itu adalah hasil imajinasi pengarang yang telah merasa terlibat dan ingin memperjuangkan hal- hal yang diyakini kebenaranya lewat karya-karya yang dihasilkannya.

Dengan adanya pengaruh lingkungan masyarakat terhadap hasil karya seorang pengarang, kebanyakan akan memunculkan kritik sosial terhadap ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Nurgiyantoro (1995:331) mengatakan sastra yang mengandung pesan kritik dapat disebut kritik, biasanya akan lahir di tengah masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam

kehidupan sosial dan masyarakat. Pengarang umumnya tampil sebagai pembela kebenaran dan keadilan ataupun sifat-sifat luhur kemanusiaan yang lain.

Menurut Soekanto (2002:355) yang dimaksud dengan masalah sosial adalah gejala abnormal yang terjadi di masyarakat, hal itu disebabkan karena unsur-unsur dalam masyarakat tidak dapat berfungsi dengan sebagaimana mestinya sehingga menyebabkan kekecewaan-kekecewaan dan penderitaan.

Masalah sosial sebagai segala sesuatu yang menyangkut masalah kepentingan umum atau suatu kondisi perkembangan yang terwujud dalam masyarakat yang berdasarkan atas studi. Mereka mempunyai sifat yang dapat menimbulkan kekacauan terhadap kehidupan warga masyarakat secara keseluruhan.

1.6.3 Kondisi Politik di Indonesia Sekitar Tahun 1956-1969

Latar waktu naskah skenario Gie terjadi berkisar tahun 1956-1969 yang diwarnai oleh perlawanan para mahasiswa terhadap pemerintah. Oleh karena itu, berikut ini akan dipaparkan kondisi politik di Indonesia sekitar tahun tersebut. Dengan menggunakan tinjauan sosiologi sastra, diasumsikan bahwa perlawanan tokoh Gie merupakan cerminan masyarakat pada saat itu.

Indonesia, di masa pemerintahan orde lama diwarnai dengan ketidakstabilan politik yang disebabkan sistem demokrasi parlementer yang bersifat liberal. Sistem ini, didominasi oleh partai-partai politik yang menguasai parlementer. Hanya ada empat partai politik yang saat itu mendapatkan lebih

dari delapan kursi, yaitu Masyumi, Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan dikuasainya parlemen oleh empat partai tersebut, kabinet Indonesia sering mengalami jatuh bangun. Selain ketidakstabilan politik yang disebabkan penguasaan empat partai besar terhadap parlemen dan jatuh bangunnya kabinet Indonesia, tahun 1956-1965 juga terjadi konflik antara militer dengan PKI. Konflik militer-PKI sendiri sudah berawal dari peristiwa Madiun yang pada akhirnya memuncak dengan adanya peristiwa 1965. Pada tahun 1965, di Jakarta terjadi percobaan kudeta, selain percobaan kudeta, juga terjadi penculikan para jenderal-jenderal di mana Soekarno dan PKI dianggap telah mengetahui dan bekerjasama dalam peristiwa tersebut. Peristiwa-peristiwa 1965 membuat militer, khususnya angkatan darat menginginkan untuk segera memusnahkan PKI (Rickfles, 2005:

141-156).

Peristiwa 1965 telah membuat para mahasiswa melakukan perlawanan terhadap pemerintah orde lama yang pada akhirnya mereka ikut membangun pemerintahan yang baru yang disebut dengan pemerintah orde baru.

Perlawanan yang mereka lakukan lantaran Soekarno dinilai terlalu diktator, korupsi yang tersebar luas, keadilan sosial yang belum tercapai, masalah ekonomi yang belum sepenuhnya terpecahkan, dan banyaknya harapan yang belum terwujud membuat pemerintah orde lama dinilai telah gagal menjalankan tugasnya. Di sisi lain, Soekarno dinilai telah melakukan kerja

sama dengan PKI sehingga tidak mampu memeberantas PKI. Perlawanan para mahasiswa berlangsung hingga tahun 1966, sehingga gerakan para mahasiwa ini dikenal dengan istilah angkatan’66.

Seiring dengan runtuhnya pemerintahan orde lama dan PKI berhasil dibasmi, muncul pemerintahan baru yang disebut orde baru. Tahun 1969 merupakan tahun transisi dari orde lama ke orde baru. Namun pemerintahan yang baru juga tak lepas dari koreksi para mahasiswa sebab banyak dari para mahasiswa yang pernah ikut berjuang masuk dalam parlemen dengan mudahnya. Bahkan perlawanan terhadap pemerintah yang dilakukan para mahasiswa hingga sekarang masih terjadi.

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, (i) pengumpulan data, (ii) analisis data, dan (iii) penyajian data.

1.7.1 Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis ialah cabang ilmu sastra yang mendekati sastra dari sudut sosiologisnya. Damono (1978: 2) menjelaskan bahwa pendekatan sosiologi sastra merupakan pendekatan yang mengutamakan teks sastra sebagai bahan penelitian. Pendekatan ini berdasarkan anggapan bahwa sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ialah teknik kepustakaan, teknik kartu, dan teknik catat. Teknik kepustakaan dilakukan dengan cara mencari sumber-sumber data yang mendukung penelitian. Teknik kartu digunakan untuk mengklasifikasikan data-data. Teknik catat digunakan untuk mencatat data-data yang sudah diklasifikasikan. Sumber data dari

penelitian ini adalah naskah skenario Gie, dengan identitas sebagai berikut.

Judul Buku : Gie : Naskah Skenario

Pengarang : Riri Riza

Penerbit : Nalar ; Jakarta

Tahun Terbit : 2005

1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis isi pada penelitian ini adalah metode analisis isi. Metode ini diterapkan dengan cara menganalisis isi laten dari sebuah teks sastra dan menggabungkannya dengan isi komunikasi sebagai pesan yang terkandung dalam teks.

1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif analisis. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang tampak atau tergambar dalam teks Naskah Skenario Gie Karya Riri Riza (Ratna, 2004: 53).

1.8 Sistemaktika Penyajian

Hasil dari penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I terdiri dari belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manafaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penyajian.

Bab II berisi pendeskripsian alur pembangunan cerita dalam naskah skenario Gie karya Riri Riza. Pendeskripsisan ini meliputi tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir cerita.

Bab III berisi deskripsi tentang kritik sosial yang terdapat dalam naskah skenario Gie karya Riri Riza.

Bab IV berisi kesimpulan dan penutup.

BAB II ANALISIS ALUR

NASKAH SKENARIO GIE KARYA RIRI RIZA

Pada bab ini akan dibahas mengenai analisis alur yang terdapat dalam naskah skenario Gie. Unsur alur dipilih karena ada keterkaitan antara kritik sosial dengan unsur alur dalam naskah scenario Gie karya Riri Riza.

2.1 Penahapan Alur

Keterkaitan peristiwa tersebut harus jelas dan dapat digambarkan melalui tahapan-tahapan (awal-tengah-akhir). Tahap awal meliputi eksposisi, rangsangan, gawatan. Tahap tengah meliputi konflik atau tikaian, rumitan atau komplikasi dan klimaks. sedangkan tahap akhir yang akan dibahas dalam bab ini adalah leraian atau resolusi dan selesaian.

Cerita ini diawali dengan penggambaran latar suasana keramaian di Kebun Jeruk yang menceritakan sekelompok pemuda yang sedang menulis pesan propaganda Revolusi dan iring- iringan pengantin Arab. Latar ini digunakan untuk pemunculan tokoh Gie dan Han pada masa remaja.

2.1.1 Tahap Awal

2.1.1.1 Eksposisi

Pada tahap eksposisi, penulis naskah mulai menampilkan tokoh dari naskah film ini, yaitu Soe Hok Gie.

(1). EXT. SEKITAR KEBUN JERUK – SIANG

Sekelompok pemuda sedang menulis slogan di sebuah dinding tua- bidang yang menjadi kanvas cukup besar, hingga mereka harus membagi-bagi kerja- menulis setiap huruf satu demi satu.

GIE, 14 tahun, mengintip dari sebuah pojokan, kemudian muncul seorang anak seusianya bernama HAN, lalu muncul pula tiga orang anak-anak seusia mereka.

Salah seorang di antara mereka kemudian berjalan. Gie dan Han saling memandang. Anak itu menarik sebuah kayu pengaduk dari kaleng cat. Ia pamer keberanian pada Gie dan kawan-kawan hingga kaleng cat itu terpeleset jatuh.

...

Tampak pesan propaganda itu:...REVOLUSI. Jelas tak akan selesai karena cat tumpah

(hlm. 3) (2). EXT. SEKITAR KEBUN JERUK – SIANG

GIE ( V.O )

Saya dilahirkan di Jakarta, 17 Desember 1942, ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik. Kira – kira pada umur lima saya masuk sekolah Xin Hwa... Di SMP Strada dari kelas satu saya naik ke kelas dua. Angka saya untuk kwartal pertama rata – rata 5 ½...

(hlm. 4)

Kutipan (1) menunjukkan pengenalan jati diri tokoh Gie dan Han. Gie dan Han diceritakan sedang memperhatikan sekelompok pemuda yang sedang menulis slogan di tembok daerah sekitar Kebun Jeruk. Slogan tersebut bertuliskan Revolusi, tapi tidak selesai. Hal tersebut menggambarkan kondisi awal cerita, yaitu Indonesia yang menginginkan Revolusi. Dalam kutipan (2) penulis mencoba memunculkan pengenalan tokoh utama pengarang menggunakan V.O (suara karakter yang tak bersumber dari adegan yang sedang berlangsung). Kutipan (2)

Kutipan (1) menunjukkan pengenalan jati diri tokoh Gie dan Han. Gie dan Han diceritakan sedang memperhatikan sekelompok pemuda yang sedang menulis slogan di tembok daerah sekitar Kebun Jeruk. Slogan tersebut bertuliskan Revolusi, tapi tidak selesai. Hal tersebut menggambarkan kondisi awal cerita, yaitu Indonesia yang menginginkan Revolusi. Dalam kutipan (2) penulis mencoba memunculkan pengenalan tokoh utama pengarang menggunakan V.O (suara karakter yang tak bersumber dari adegan yang sedang berlangsung). Kutipan (2)

Dokumen terkait