• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. SAKRAMEN PERKAWINAN DALAM KELUARGA

A. Sakramen Perkawinan Dalam Gereja Katolik

Sakramen perkawinan merupakan sakramen yang diberikan Allah sendiri kepada pasangan suami istri yang menikah di Gereja katolik. Allah memberikan rahmat berlimpah bagi kesejahteraan dan keselamatan, selain untuk meneruskan keturunan manusia, perkawinan juga ditunjukkan untuk menyempurnakan dan memudahkan hidup suami-istri, dengan saling membantu meringankan beban hidup masing-masing dengan cara saling mencintai.Cinta dan kesetiaan yang dimiliki pasangan suami istri tentu penting bagi mereka, dengan cinta kasih yang mereka miliki tidak hanya mempersatukan pasangan namun juga mempersatukan dua keluarga yang tentunya berbeda. Cinta kasih dan setia dalam perkawinan merupakan wujud nyata cinta kasih Kristus kepada Gereja-Nya.

1. Pengertian Perkawinan

Ada begitu banyak pandangan tentang pengertian perkawinan, pandangan tersebut muncul dari ajaran Yesus dan ajaran para rasul, dan dari abad ke abad masih terus berkembang. Salah satunya pandangan tentang perkawinan muncul dari Kitab Suci dan pandangan beberapa tokoh besar dalam Gereja.

a. Perkawinan menurut Kitab Suci

Perkawinan merupakan hal yang sakral, yang diterima baik laki-lakimaupun perempuan yang diciptakan sesuai dengan citra Allah sendiri, dapat dikatakan bahwa perkawinan merupakan kehendak dari Allah sendiri. Perkawianan dalam Kitab Suci tertulis dalam Kitab Kejadian, Kidung Agung, Matius, Markus, Efesus, dan 1 Korintus.

1) Kej 2:18-25

Laki-laki dan perempuan adalah orang yang diberkati oleh Allah, sehingga laki laki dan perempuan diciptakan seturut citra Allah. Kata “diberkati” dapat memberi kesan bahwa keduanya dinikahkan oleh Allah sendiri. Seperti yang ditulis dalam kejadian pada bab pertama perkawinan diberkati, direstui, dan didukung oleh Allah sendiri. Dan mereka diberi tugas oleh-Nya untuk meneruskan keturunan manusia dan memelihara dunia. Dalam Kej 2 pertemuan seorang wanita dan seorang pria dalam perkawinan terjadi karena Allah sendiri. Karena mereka diciptakan untuk saling melengkapi karena seorang wanita diciptakan dari tulang rusuk pria. Satu dengan yang lain saling melengkapi.

Allah sendiri yang mengginkan hal tersebut karena dasarnya mereka telah terberkati. “Seorang laki-laki meninggalkan ayah ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”(Kej 2:24). Hal ini menunjukkan bahwa mereka (laki-laki dan perempuan) tersebut menjadi manusia baru.

Dalam buku Perkawinan dalam Tradisi Katolik Purwa Hadiwardoyo (1988:13-14), menuliskan pandangannya sebagai berikut:

Wanita diciptakan dari “tulang rusuk” pria. Hal ini menunjukkan bahwa pria dan wanita memiliki unsur kesatuan, unsur ini sudah melekat sejak pertama manusia diciptakan, dapat dikatakan bahwa kesatuan ini merupakan keinginan Allah sendiri yang membentuk unsur kodrati pria dan wanita menjadi satu. Menjadi satu daging saat mereka berdua telah mangalami pertemuan dalam perkawinan yang sah di gereja katolik. “pertemuan seorang pria dan wanita dalam perkawinan terjadi karena dorongan Allah sendiri. Karena itu tidak mengherankan bahwa pria mengakui wanita sebagai istrinya sendiri, sebagai seseorang yang amat akrab dengannnya, sebagai orang yang bersatu secara erat dengannya”. Kutipan di atas menunjukkan bahwa pria dan wanita merupakan satu unsur kesatuan. Hal ini diperkuat oleh kalimat “wanita diciptakan dari tulang rusuk pria”mereka telah diciptakan untuk saling melengkapi satu dengan yang lain, supaya mereka bersatu dalam sebuah perkawinan yang tentunya dikehendaki dan diberkati oleh Allah.Dengan terjadinya relasi antra pria dan wanita tersebut akan menimbulkan cinta kasih yang muncul dengan sendirinya, cinta kasih yang diperlihatkan oleh pria dan wanita tersebut merupakan cinta yang nyata dari Allah sendiri.

2) Kid 3:1-4

Kidung Agung merupakan lukisan cinta yang luar biasa, dalam hal ini antara pria dan wanita, pasangan pria dan wanita di dalam Kidung Agung terdapat gambaran yang sangat jelas bagaimana sayang, cinta, ada dan nyata

lewat panggilan bagi pasangannya maupun cara mereka saling mengungkapkan sayang mereka terhadap pasangannya. Tidak hanya hubungan sebagai suami dan istri namun juga tergambar hubungan yang baik antara Allah dengan Israel. Dalam Kidung Agung lebih nyata menggambarkan cinta dan perkawinan yang lebih rinci dan nyata.

Dalam Kidung Agung banyak sekali kalimat yang menunjukkan hubungan yang sungguh erat dari pria dan wanita itu sendiri, mempelai perempuan memuji mempelai pria yang dicintai memanggil dengan sebutan “Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau, bagaikan merpati matamu” (Kid 1:15). Mempelai perempuan menyebut pria sebagai “milik”nya sendiri dan dirinya sebagai “milik” kekasihnya. “Tangan kirinya ada di bawah kepalaku, tangan kanannya memeluk aku…

”(

Kid 2:8-10). Perempuan dan laki-laki menjadi miliknya, rasa takut kehilangan merupakan cara menggambarkan bagaimana hubungan baik mereka. “Di atas ranjangku pada malam hari kucari jantung hatiku. Kucari, tetapi tak kutemui dia...”(Kid 3:1-4). Mempelai pria menyebut kekasihnya sebagai “cinta, saudari,kebun”nya yang tertutup bagi orang lain dan hanya untuknya. “Lihatlah, cantik engkau, manisku, sungguh cantik engkau! Bagaikan merpati matamu di balik telekungmu. Rambutmu bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead…..”(Kid 4:1-4). Rasa takut kehilangan, kekhawatiran muncul dalam bab ini menyebut kekasihnya sebagai teman. “Kekasihku kubukakan pintu, tetapi kekasihku sudah pergi, lenyap. Seperti pingsan aku ketika ia menghilang. Kucari dia, tetapi tak kutemui, kupanggil, tetapi tak disahutnya…..”(Kid 5:6). Mereka mengalami apa yang disebut dengan kegembiraan, yang berisi tentang mempelai perempuan

“berjanji ia akan memberikan cinta”. “Kepunyaan kekasihku adalah aku, kepadaku gairahnya tertuju, Mari, kekasihku, kita pergi ke padang, bermalam di antara bunga-bunga pacar!....” (Kid 7:10-13). Dan pada akhir bab di dalam Kidung Agung berisikan tentang kekuatam dari cinta yang kuat seperti maut, api yang tak terpadamkan. “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!”(Kid 8:6)

Purwa Hadiwardoyo (1988:20)berpendapat bahwa :

Penulis Kidung Agung menunjukkan segi manusiawi dari cinta antara pria dan wanita dan wanita yang siap menjadi suami istri. Perkawinan harus berdasarkan cinta yang kuat, tulus adn suci dan diharapkan akan menyempurnakan cinta itu. Hanya antara seorang pria dan seorang wanita saja. Perkawinan harus menyatukan suami-istri seerat mungkin, dan membawa kegembiraan bagi keduanya.

Kidung Agung merupakan tempat yang tepat dimana kita dapat mencari hal-hal yang indah, hal yang membuat kita takjub atas kekuatan cinta, dan kekuatan cinta itu tentu ada dan nyata di perkuat oleh sebuah ikatan perkawinan. Perkawinan menyatukan dua orang antara pria dan wanita dan menjadi satu, apa yang dikehendaki Allah dan wujud cinta-Nya terhadap umatnya jelas dapat dilihat di Kidung Agung.

3) Mat 19:1-2

Injil Matius tidak banyak membahas tentang perkawinan, dalam Matius 19:1-2 lebih membicarakan tentang perceraian namun jika dicermati dalam kutipan injil tersebut Yesus juga membicarakan tentang hakikat perkawinan. Menurut Yesus perkawinan merupakan hal yang dikehendaki dan dipersatukan oleh Allah sendiri.

Perkawinan tersebut menyatukan antara pria dan wanita yang saling mencinta.Mereka tidak lagi menjadi dua melainkan menjadi satu daging. Selain itu Yesus juga menegaskan bahwa tidak semua pria dan wanita harus menikah.Ada dua alasan yang melatarbelakangi hal itu yakni tentang mereka yang tidak menikah memang dengan alasan tidak mampu sejak lahir dan alasan yang kedua yaitu pria dan wanita yang terpanggil untuk kemuliaan kerajaan Allah.

Purwa Hadiwardoyo (1988: 22-23) berpendapat bahwa:

Allah sendiri yang telah menyatukan suami dan istri, agar mereka menjadi “satu daging”. Dengan kata lain Yesus mengajarkan bahwa perkawinan itu menurut kehendak Allah sendiri dan harus berciri “tak-terceraikan”. Karena itu, orang yang menceraikan suami atau istrinya dan menikah dengan orang lain pantas dianggap dia telah melakukan perbuatan “zinah”.

Dalam injil Matius terdapat kutipan kalimat injil yang menyatakan bahwa seorang pria dan seorang wanita yang telah melangsungkan perkawinan mereka tidak lagi menjadi pribadi yang berbeda lagi. Mereka telah dipersatukan oleh Allah sendiri, mereka yang telah menerima sakramen perkawinan telah menjadi satu daging, sehingga perkawinan tersebut tidak dapat terceraikan. Dalam injil Matius Yesus juga menegaskan bahwa seorang pria ataupun wanita tidak harus menikah dikarenakan faktor tertentu, yang kita tahu bahwa seorang pria ataupun wanita yang tidak menikah adalah mereka yang terpanggil untuk kerajaan Allah, memuji dan melayani Allah sepenuh hati dengan cara menjadi biarawan ataupun biarawati.

4) Mrk 10:2

Pada hakekatnya kedua Injil Matius dan Markus lebih membicarakan tentang penolakan Yesus terhadap perceraian. Tertulis sedikit hal yang menyangkut tentang perkawinan, kalimat yang menyangkut tentang perkawinan ini bisa dikatakan hampir mirip keduanya sama-sama mengatakan bahwa pasangan yang telah menerima sakramen perkawinan mereka tidak lagi dua melainkan satu, dihubungkan dengan pertanyaan orang farisi terhadap Yesus yang menanyakan "Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya?" (Mrk 10:2) kepada-Nya untuk mencobai Dia, namun jelas bahwa tertulis apa yang dipersatukan Allah tidak dapat diceraikan manusia.

Purwa Hadiwardoyo (1988: 22) berpendapat bahwa:

Yesus menafsirkan izin perceraian yang diberikan oleh hukum Musa sebagai izin yang terpaksa diberikan karena ketegaran hati orang yahudi. Jadi bukan karena nabi Musa sendiri menghendakinya. Sebab, kata Yesus, Allah sendiri yang telah mempersatukan suami-istri sedemikian erat sehingga mereka bukan lagi dua melainkan satu sehingga perkawinan adalah kesatuan erat antara dua orang yaitu pria dan wanita yang dipersatukan oleh Allah sendiri.

Namun, disisi lain Yesus juga memahami bahwa perceraian sebenarnya dari keinginan manusia sendiri yang merasa berat dan tidak mampu menjalani perkawinannya, mungkin karena perkawinan tersebutadalah suatu paksaan, hal ini tentunya melawan dengan rencana Allah dimana Allah sendiri yang menghendaki mereka untuk saling memiliki dan bersatu diberkati oleh Allah sendiri. Karena eratnya hubungan mereka mereka tidak lagi dua melainkan satu, hal ini menunjukkan pada sifat perkawinan yang tak terceraikan, dan apabila manusia melanggar hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa manusia

melanggar rencana Allah, kehendak Allah untuk mempersatukan pria dan wanita.

5) Ef 5:21-33

Efesus tidak banyak membicarakan tentang perkawinan, berbeda dengan Matius dan Markus, dalam kitab ini menceritakan tentang bagaimana hubungan seorang suami kepada istri dan istri kepada suami. Hal ini terdapat dalam Ef5:21-33,seperti Gereja yang menaati Kristus sebagai kepalanya, yang tertulis dalam Efesus tentang kehidupan keluarga ini adalah bahwa seorang istri harus tunduk terhadap suami, dalam artian menghormati dan menaati suaminya. Karena dengan perkawinan mereka tidak lagi dua melainkan satu. Maka suami harus mencintai istrinya seperti mencintai dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya. Dari sedikit paparan tersebut dapat dipahami bahwa perkawinan merupakan kesatuan erat antara pria dan wanita yang saling mengasihi seperti hubungan Kristus dan Gereja-Nya.

Purwa Hadiwardoyo (1988: 24) menegaskan bahwa :

Hubungan erat antara Kristus dan Gereja itu merupakan sebuah rahasia, yakni bagian penting dari rencana keselamatan. Orang-orang Kristen merupakan bagian-bagian yang hidup dari Gereja. Hal ini berarti, bahwa suami dan istri Kristen sebagai bagian dari gereja juga menerima keselamatan dari Kristus, Penyelamat Gereja. Dan mereka mendapat kewajiban yang khusus dari Allah sendiri untuk Gereja-Nya.

Kesatuan antara pria dan wanita dalam sebuah perkawinan merupakan sebuah rencana Allah untuk keselamatan, tidak selesai begitu saja saat pasangan ini telah resmi mendapat sakramen perkawinan, namun setelah mereka mendapat sakramen perkawinan mereka mendapatkan tugas khusus dari

Allahuntuk kelanjutan keturunan dari pasangan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa suami dan istri menerima keselamatan dari Allah, mereka diberkati dan dipersatukan oleh Allah sendri sehingga mereka tidak dapat terceraikan dihadapan Allah, dapat digambarkan bahwa perkawinan tersebut merupakan simbol dari hubungan Allah dan Gereja.

6) 1 Kor 7:2-5

1 Kor 7 Paulus mengajak untuk para pasangan suami istri untuk tidak tergoda dalam bujukan rayuan untuk mengingini milik orang lain, seperti yang tertulis dalam Kor 7:2 “tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri”. Secara jelas dikatakan bahwa pasangan suami istri harus menghindari percabulan, menghindari hubungan seksual dengan orang lain baik dengan istri maupun suami orang lain, karena tubuh istri adalah milik suaminya, dan tubuh suami adalah milik istrinya. Perkawinan adalah sarana yang paling tepat untuk menghindarkan seseorang berbuat cabul, karena dalam kehidupan tentunya banyak sekali godaan-godaan yang muncul. Paulus menuliskan bahwa suami dan istri boleh berpisah sementara waktu (tidak tidur bersama) untuk “berdoa” bukan untuk mencari kesenangan pribadi seperti yang tertulis pada ayat 5 yaitu Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup bersama-sama, supaya iblis jangan menggodai kamu, karena kamu tidak tahan bertarak.

Melalui 1 Kor 7:2-5 hal-hal positif diungkapkan Paulus baik dari segi pasangan, suami dan istri bagaimana mereka memperlakukan pasangan mereka, bagaimana cara hidup dalam menyelesaikan masalah dengan cara berdoa dan setelahnya berkomunikasi, menganjurkan para janda untuk tidak menikah lagi namun dengan catatan jika mereka tidak kuat menahan nafsunya bisa menikah lagi dan dilaksanakan secara Kristen, dan menghindarkan orang dari percabulan. Dalam bukunya Perkawinan dalam tradisi Katolik Purwa Hadiwardoyo (1988: 26)menuliskan pandangannya sebagai berikut :

Dari seluruh 1Kor7 ini, pandangan Paulus tentang hakikat perkawinan kiranya dapat dirumuskan sebagai berikut: perkawinan merupakan kesatuan erat antara seorang pria dan seorang wanita, yang memberikan kepada kepadan keduanya hak atas hubungan seksual dengan partnerya, dan menjauhkan keduanya dari bahaya percabulan; suami istri menikah karena kharisma yang mereka terima dari Allah sendiri; dengan perkawinan, orang Kristen toh tidak mampu lagi mencurahkan perhatiannyapada Allah, dan karena itu Paulus lebih senang kalau orang Kristen tidak menikah demi kerajaan-Nya.

Korintus mengajarkan kepada para pasangan suami istri bagaimana mereka harus memperlakukan pasangan mereka seharusnya. Tidak hanya itu segi yang lain seperti cara berdoa dan menyelesaikan masalah juga dibahas disini. Bagaimana seharusnya pasangan suami istri tersebut selalu membicarakan apa yang terjadi, jika mereka benar-benar belum menemukan jalan keluar mereka harus saling menyendiri, bukan dalam artian untuk berpisah atau bercerai melainkan untuk berdoa dan merenungkan apa yang mereka perbuat dan mencari jalan keluar dengan bantuan Allah dengan cara berdoa.

b. Perkawinan menurut Pandangan Teologis

Pria dan wanita yang sepakat untuk menempuh hidup baru lewat perkawinan yang kemudian dilaksanakan di dalam Gereja Katolik, mereka

berdua yang menerima sakramen perkawinan ini menandakan bahwa adanya campur tangan Allah sendiri, adanya misteri kesatuan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja, dan secara tidak langsung mereka atau pasangan tersebut ikut ambil dalam misteri kesatuan cinta kasih Kristus sendiri. E. Martasudjita, Pr (2003: 358)dalam Sakramen-sakramen Gerejayang mengutip pernyataanPetrus Lombardus bahwa:

Suatu teologi perkawianan,seumpama ia mengajarkan bahwa perkawinan itu suatu sakramen. Sebagai sakramen perkawinan menjadi tanda dan sarana dari hubungan Kristus dan Gereja. Perkawinan itu dikehendaki Allah bahkan sudah didirikan Allah sejak manusia masih di firdaus dan belum berdosa (Kej 2:24). Di situ perkawinan berfungsi untuk memperbanyak keturunan (officium). Tetapi, dengan adanya dosa (Adam), perkawinan tetap baik yakni mengobati (remedium). Consensus timbal balik membuat adanya perkawinan, dan hubungan seksual antara suami dan istri melambangkan kesatuan Kristus dan Gereja yang tak terbatalkan. Tujuan perkawinan pertama-tama adalah demi keturunan dan tujuan kedua ialah untuk menghindari zinah.

Perkawinan menghadirkan misteri kesatuan dan kasih antara Kristus dan Gereja, melalui perkawinan suami-istri dikuduskan dan dipanggil menjadi suci. Mereka mempunyai tugas untuk keturunan. Masih dalam buku yang sama E. Martasudjita Pr (2003: 358-359), juga mengutip pernyataan Thomas Aquinasyang menyatakan :

Dalam teologi sebelumnya, para teolog tidak melihat adanya rahmat sakramen perkawinan. Maka, aslinya terjadi suatu inkonsistensi pada pemikiran tokoh-tokok Skolastik awal, yakni mereka memasukkan perkawinan sebagai sakramen, padahal namanya sakramen dipahami mereka sebagai tanda yang menghasilkan apa yang ditandakan. Thomas memikirkan adanya rahmat sakramen perkawinan, yakni rahmat yang memberikan bantuan agar orang dapat melakukan yang baik dalam perkawinan. Sayangnya, Thomas tidak menyatakan bahwa sakramen perkawinan memberikan rahmat pengudusan sehingga orang dapat ambil bagian dalam hidup ilahi Allah seperti sakramen-sakramen lain.

Perkawinan dipandang sebagai suatu panggilan dari Allah, Allah sendiri yang menghendaki adanya perkawinan tersebut, maka kehidupan baru pasangan

suami-istri inipun merupakan suatu karunia yang luar biasa, rahmat yang luar biasa yang diberikan Allah kepada mereka, baik pasangan dan keluarga mereka maupun bagi Gereja. Allah menganugrahkan keluarga baru kepada Gereja, dimana iman harus dihayati dan diteruskan. Perkawianan merupakan panggilan hidup orang kristiani yang memilih jalan lain selain melayani Allah dengan seluruh hidupnya, perkawinan juga merupakan panggilan bagi orang beriman kristiani pula, karena dengan menerima sakramen perkawian kita juga ikut ambil bagian dalam karya Allah di dunia, sebagai orang kristiani kita mendapat rahmat yang berlimpah dari Allah sendiri, lewat keluarga-keluarga yang menerima sakramen perkawinan, kita juga dipilih Allah untuk menjadi saksi cinta kasih Allah yang nyata kepada semua orang.

Dari pandangan Agustinus yang termuat dalam buku E. Martasudjita, Pr, (2003: 357) Agustinus menyebutkan tiga kebaikan dari perkawinan itu sendiri yaitu fides (kesetiaan), proles (keturunan), sacramentum (sakramen).Fides (kesetiaan) yang berarti suami istri harus setia satu sama lain, tidak ada pihak lain kecuali mereka berdua dan anak yang nantinya dipercayakan Allah untuk mereka rawat. Proles (keturunan) yang berarti perkawinan itu demi kebaikan demi keturunan, yakni anak, dan anak harus diasuh dengan baik dan murah hati. Allah sendiri yang bersabda untuk memenui bumi dengan keturunan dan keturunan mereka hendaknya dididik dengan cara katolik seperti yang telah mereka janjikan pada saat perkawinan. Sacramentum (sakramen)yang berarti perkawinan itu tak terceraikan, dan bila tidak ada keturunan pun suami-istri tetap tak terpisahkan, mereka dipersatukan sendri oleh Allah, diberkati dan

dikuduskan lewat penerimaan sakramen perkawinan karena apa yang telah dipersatukan Allah tidak dapat diceraikan oleh manusia.

Perkawinan merupakan salah satu bentuk panggilan kehidupan untuk menjadikan pria dan wanita suci dan turut ambil bagian dalam misteri karya cinta kasih Allah kepada manusia. Secara teologis, perkawinan bukanlah hal sosial manusia semata, melainkan institusi religius yang memiliki dimensi ilahi. Sifat sakramental tersebut terletak pada penghayatan iman dan kerangka teologis tertentu. Perkawinan katolik adalah sakramen sama dengan mengatakan bahwa orang-orang katolik menikah dalam suatu penghayatan tertentu yang khas. Penghayatan iman itu bertumpu pada kasih Allah. Allah sendiri mengangkat peristiwa sebagai sakramen, tanda atau lambang kehadiran-Nya, yang terungkap dalam relasi kasih Kristus dengan Gereja-Nya. Sebagai tanda dan sarana kehadiran Allah, perkawinan kristiani tidak dapat diceraikan/dipisahkan oleh siapapun kecuali oleh kematian.

2. Hakekat dan Tujuan Perkawinan

Perkawinan merupakan sebuah kenyataan hidup yang luhur, karena perkawinan itu diberkati dan dikehendaki oleh Allah sendiri. Hubungan mesra kedua anak manusia ini merupakan lambang nyata kasih Allah terhadap umat-Nya, walaupun umatnya sering kali meninggalkan-Nya. Dari dasar inilah, tujuan perkawinan yang sederhana dapat diciptakan yaitu tentang nilai dalam perkawinan itu sendiri.

a. Hakekat Perkawinan

Hidup keluarga adalah sebuah realitas manusiawi. Melalui perkawinan seorang pria dan wanita membentuk hidup berkeluarga. Realitas manusiawi yang disebut perkawinan itu direalisasikan dalam bentuk beragam. Mengingat beragamnya wujud perkawinan itu, maka C. Groenen (1993: 19). mengusulkan suatu definisi tentang perkawinan. Perkawinan adalah hubungan yang kurang lebih mantab dan stabil antara pria dan wanita, yang diakui oleh masyarakat yang bersangkutann (masyarakat sekitarnya) yang sedikit banyak diatur, diakui dan dilegalisasikan.

Definisi perkawinan diatas sangat umum dan dimaksudkan memberi tempat bagi bentuk hidup dalam berbagai budaya. Dalam bentuk lahiriah dan penampilan sosialnya, perkawinan orang-orang kristen tidak terlalu mencolok berbeda dengan perkawinan yang terjadi di dalam masyarakat. Orang kristiani melaksanakanperkawinan menurut pola budaya dimana mereka hidup. Hanya saja yang membedakan adalahpemahaman orang kristiani tentang apa artinya dihubungkan satu dengan yang lain “di dalam Tuhan“.

Persekutuan hidup pria dan wanita di dalam perkawinan kemudian direfeksikan lebih lanjut dalam ajaran Gereja. Sebelum muncul Konsili Vatikan II, Gereja masih memandang dimensi persekutuan hidup pria dan wanita dalam perkawinan itu lebih sebagai kontrak. Dengan kontrak dimaksudkan persetujuan antara dua orang atau beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk memberikan, melakukan atau menghindarkan sesuatu. Perkawinan merupakan sebuah kontrak karena didirikan dengan adanya persetujuan bilateral antara seorang pria dan wanita (Rubiyatmoko, 2001:3). Namun Konsili Vatikan II yang

tercantum dalam Gaudium et Spes tidak menggunakan kata kontrak perkawinan, dan yang mereka gunakan adalah forma (kesepakatan pribadi antara seorang pria