• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian penulis terhadap percintaan beda agama dalam film Cinta Tapi Beda, penulis ingin memberikan saran, diantaranya:

1. Hendaknya film Indonesia, dapat terus memberikan film-film yang berkualitas, tidak hanya menghibur penontonnya, tetapi juga memberikan edukasi bagi penontonnya, bahkan jika perlu dapat memberikan perubahan penonton ke arah yang lebih baik lagi.

2. Film Cinta Tapi Beda merupakan film tentang percintaan beda agama, oleh karena itu, film ini bisa dijadikan bahan acuan diskusi tentang percintaan beda agama pada umumnya.

3. Film Cinta Tapi Beda merupakan salah satu karya anak Negri yang berkualitas, dengan dibuktikannya beberapa penghargaan yang didapat dari film tersebut. Semoga film Indonesia dapat terus memberikan film yang berkualitas.

4. Semoga dengan adanya film ini, bisa memberikan pesan yang mendalam kepada masyarakat tentang permasalahan perbedaan agama, dan toleransi antar umat beragama.

5. Semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan dorongan untuk terus mengkaji dan menelaah setiap pesan yang terkandung dalam sebuah film.

104

Ardianto, Elvinaro dan Lukati Komala Erdiana. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007.

Azhar, Arsyad. Media Pembelajaran.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. Badara, Aris. Analisis Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya Pada Wacana

Media. Jakarta: Kencana, 2012.

Biagi, Shirley. Media/Impact Pengantar Media Massa. Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Cet. ke-4. Jakarta: Kencana, 2007.

Endarmoko, Eko. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2006. Erianto. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS,

2000.

Dijk, Teun A Van. Analyzing Discourse: Text and Talk. Georgetown: Georgetown University Press, 1981.

Hasan, Shadily. Ensiklopedi Indonesia, Jakarta: Ikhtisar Baru – Van Hoeve, 1980. Imanjaya, Ekky. Who Not: Remaja Doyan Nonton. Bandung: PT Mizan Budaya

Kreativa, 2004.

J. Waluyo, Hermawan. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: PT Hanindita, 2003, cet. Ke-2.

Kriswanta. Tanya Jawab Tentang Perkawinan Secara Katolik. Yogyakarta: Kinanius, 2012.

M. Echols, John & Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 2000.

McQuail, Denis. Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga, 1987.

Morisan. Media Penyiaran: Strategi Mengelola Radio dan televisi. Tangerang: Ramdina Prakarsa, 2005.

105

Documenter. Jakarta: Fatma Press, 1977.

Pranajaya, Adi. Film dan Masyarakat Sebuah Pengantar. Jakarta: BPSDM Citra Pusat Perfilman, 2000.

Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi, Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005.

Rijal Hamid, Syamsul. Tuntutan Perkawinan Dalam Islam. Bogor: Cahaya Islam, 2012.

Rivers, William, dkk. Media Massa dan Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana, 2008.

Ryanto, Tony. Film Indonesia Sudah Tumbuh. Jakarta: Pintar Press, Persatuan Perusahaan Film Indonesia, 2012.

Siagian, gatot. Menilai Film. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2006.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Cet. ke-4. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006.

Sobur, Alex, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009.

Sugiono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2007.

Syarbini, H Amirullah, dan Dr. H. Hasbiyallah, Anda Bertanya Ustadz Menjawab. Bandung: Ruang Kata, 2013.

Uchjana, Onong. Ilmu Teori dan FIlsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.

http://www.kapanlagi.com diakses pada tanggal 10 Januari 2013

http://www.republika.co.id diakses pada tanggal 10 Januari 2013 http://gemintang.com diakses pada tanggal 19 September 2013

106

Wawancara pribadi dengan Romo Rudi Yakobus, SJ. Bekasi, 07 Juni 2013. Wawancara pribadi dengan Ustadz Achmad Mubarok, S.Hi. Depok, 22 Juni 2013.

107

T: Bisa sedikit ceritakan bagaimana awal mula Mas memasuki dunia perfilman sampai bisa menjadi seorang sutradara seperti sekarang ini?

J: Dulu itu pertamanya magang. Jadi saya dari Yogja, saya sekolah di akademi komunikasi di Yogja, kemudian saya sering bikin film di Yogja, bikin film karya, dan akhirnya kita butuh magang. Dan ketika magang itu saya gak mau cuma di Yogja, saya butuh nasional, akhirnya saya berdua teman saya kita ke Jakarta. Pertama kali itu di film Get Married, nah saat di film itu saya magang dan saya menjadi script. Tadinya saya bilang ke Mas Hanung, Mas saya mau jadi sutradara, saya mau magang kesutradaran. Katanya kalau sekarang gak bisa udah penuh di pensutradaraan, kamu yang besok aja yang sundel bolong waktu itu katanya. Ya sudah aku di Sundel Bolong oke. Aku waktu itu udah mau pulang duluan, ternyata ada butuh bantuan di script, ya sudah aku masuk ke script film Get Married. Sebenarnya script itu penyutradaraan juga. Habis Get Married aku masuk ke Sundel Bolong, di Sundel Bolong aku jadi sutradara, itu tahun 2006/2007. Nah disitu aku disuruh main sama Mas hanung sekalian menyutradarai. Habis Sundel Bolong aku pulang nyusun laporan skripsi, terus aku bikin film lagi disana. Setelah apa yang aku dapat disini aku aplikasikan langsung, aku bikin film lagi aku kumpulin semua teman-teman yang disana. Mereka support bikin film. Setelah bikin film terus dan tepat pas film Perempuan Berkalung Sorban itu syutingnya di Yogja,

Hanung, waktu itu aku sama Iqbal Rais juga. Itu ujian pertama aku, pokoknya disitu itu ujian banget. Setelah itu bikin film setelah-setelahnya selesai, itu masih co-director. Kalo film layar lebar pertama itu ya Pengejar Angin, film ini dilepas sama beliau. Sebelum ini bikin FTV dulu sama video clip itu juga sedikit-sedikit mulai dilepas, setelah itu baru bikin layar lebar, film Pengejar Angin sama Cinta Tapi Beda. Memang butuh proses dan step by stepnya.

T: Apa latar belakang Mas ingin membuat film tentang percintaan beda agama ini? Apa yang menjadi problema mendasar yang diangkat dalam film ini?

J: Mas Hanung itu dulu selalu bilang, karna beliau guru saya beliau selalu bilang “bikin film itu yang dekat sama kamu” itu pointnya. Yang deket sama aku ya itu. Saya sendiri Katolik tapi saya punya pacar selalu muslim. Dikeluarga saya juga gitu, kebetulan saya Jawa, kakek saya itu kepercayaannya kejawen, kalau itu udah beda lagi tuh. Nah anak-anak pakde saya, om saya itu Katolik, gak tau ikut siapa padahal kakek nenek saya kepercayaan kejawen, mungkin karena perkembangan zaman dan mereka butuh sesuatu yang konkrit, mungkin begitu menurut mereka. Om pakde saya sendiri itu ada yang menikah sama temen-temen dari muslim, jadi dari situ sudah kebangun itu. Di keluarga saya sendiri kakak saya juga mualaf, adik saya juga udah nikah itu juga beda, jadi semua beda. Kakak-kakak sepupu saya juga seperti itu, jadi di keluarga besar saya memang terjadi seperti itu. Hal ini direspon sama Mas

Film pertama sama Multi ya itu yang dibikin. Terus saya observasi, setiap orang yang ketemu saya, saya bilang kalau saya mau bikin film tentang beda agama kemudian saya ceritakan sama mereka, dan responnya selalu orang tersebut menceritakan kembali, mereka bilang kalau mereka juga punya teman yang kasusnya sama, mereka punya saudara, keponakan, kakak atau siapapun itu setiap orang kasih cerita tentang itu balik. Gak ada yang gak. Malah mereka yang bercerita kembali. Saya berfikir berarti banyak, karena dilingkungan kuliah saya juga begitu, semua yang waktu itu mempelajari agama Katolik itu dapat pacarnya muslim semua. Terus saat saya mau bikin film juga ada yang jadi mualaf, ada yang jadi katolik, ya pokoknya adil lah disitu. Makin kuatlah saya bikin film itu. Sampe waktu itu saya ke Bogor, di kaki bukit gunung salak, waktu itu saya memang sering menenangkan diri. Disitu kan ada penjaganya, dan penjaganya kan orang terpencil gitu. Bahkan ketika saya minta saran dengan dia, dia yang bukan siapa-siapa dan dia gak tau tentang film, gak tau tentang apa-apa, tapi saya cerita. Saya cerita bahwa saya mau bikin film tentang begini begini begini, dia juga cerita akhirnya, ada beberapa temannya, bahkan dia bilang malah ada beberapa tetangga dia juga yang begitu. Ya sudah berarti semakin kuat, oke saya jalan. Jalan bikin cerita segala macam, terus riset, ya udah kita jalan semua.

menjadi bentuk skenario. Ada beberapa hal yang paling dalam yaitu ketika saya pacaran dengan orang Padang. Pacar saya orang Padang, sedangkan saya orang Yogja. Di film itu saya balik religinya, tapi asalnya tetap. Karena waktu itu kita melihat disana itu ada kebhinekaan. Jadi kita mencari apa saja yang menarik. Ketika bikin film itu formula-formulanya itu harus terus digali, terus dikasih ini dan itu, nah ketika di Padang itu terkenal dengan teman-teman muslim dan ketika itu juga ada yang bukan muslim, hal itu sangat menarik dan real. Itu lebih menarik dari pada yang muslim itu sudah biasa. Bukan berarti kita mencari konflik atau kontroversi. Kemudian riset dulu, itu waktu kita bedah naskah. Riset dan dikirim kesana, ternyata disana ada Greja Kategral. Greja Kategral itu pasti disitu banyak Katoliknya. Terus saya kesana ternyata memang banyak. Dan banyaknya itu memang bukan asli Minang, tapi kebanyakan pendatang, ada yang dari Nias lah, dari Batak, dan ada juga yang satu dua orang asli Minang. Dan sampai sekarang itu ada. Ya udah akhirnya oke, kita berangkat dari situ. Setelah itu jadilah naskah dan alur ceritanya sama seperti yang ada di skenario.

T: Selama proses pembuatan film apa saja hambatan-hambatannya?

J: Kalau hambatan tidak ada sebenarnya. Hambatannya waktu itu malah saat kita syuting tinggal lima hari malah mau diberhentiin. Itu dari produsernya. Produsernya merasa kenapa film ini harus dibikin, dia rasa film ini gak perlu

tetap harus jalan. Karena sangkutannya udah orang banyak, udah persiapan segala macam, kalo ga jalan malah pihak Multinya yang akan rugi. Kemudian cari pemain itu pasti. Kebetulan pemainnya, Reza Nangin itu kan sebenarnya dia Kristen disitu jadi tokoh Muslim, saya balik lagi itu. Agni sebenarnya juga Muslim, dan dia jadi tau Kristen. Tapi selama proses syutingnya itu tidak ada masalah, mereka pure main ya main. Mereka jujur kok mainnya secara jujur. Jadi sebenarnya gak ada masalah. Syuting di Padangpun kita gak ada masalah, syuting aja minta izin segala macam tetap ada semuanya di Yogja juga sama. Hampir tidak ada masalah karena kita sudah riset segala macam jadi hambatannya itu tidak ada. Malah justru kesulitannya itu bagaimana film ini pada hasilnya nanti semuanya berjalan beriringan, itu yang paling susah disitu. Makanya disitu tidak ada istablish Greja, mana ada istablish Masjid, dan itu gak ada ditampilkan berulang-ulang. Paling di Grejanya pas terakhir mereka menikah itu, dan paling saat berdoa dikamar dengan simbol-simbol kecil. Dan itu adil, ada yang lagi sholat, ada yang lagi berdoa. Dan pas di Masjidpun gak istablismen Masjid terus mereka berdua, di Grejapun hanya didalam aja ada istablish kecil, jadi saya menampilkan itu sesuatu hal yang besar. itulah yang susah, mengimbangi dan berjalan bareng dan itu netral. disitulah saya merasa cukup berhasil. Kesulitannya itu, bagaimana kita menjadi netral, karena saya si pelaku.

J: Judul awalnya sebenarnya bukan Cinta Tapi Beda, tapi empat sisi. Filosofinya itu ada empat tokoh, tapi tokoh yang satu itu gak kuat, empat tokoh itu si Agni dengan Reza Nangin, terus si Choki, ada Ratu Felisa. Pada waktu itu tuh mereka porsinya sama, mereka banyak. Tapi pas di draft terakhir si Choki itu porsinya cuma di belakang, dan si Ratu Felisa porsinya cuma dua scene, nah disitu menurut kita empat sisi ini gak kuat filosofinya, jadi kita ganti yang to the point yaitu Cinta Tapi Beda, kenapa merah putih ya ini di Indonesia.

T: Tema besar yang ingin diangkat selain tentang percintaan beda agama serta toleransi berbeda agama dalam film ini apa lagi?

J: Kultur. Memang sengaja. Biar orang-orang tertentu itu tau bahwa kita ini kan hidup berbeda-beda dengan lima agama, bahkan enam yang satu itu dihapus Konghuchu, masuk pas zamannya Mega dulu dan terhapus saat terakhir-terakhir ini. Nah maksud aku itu ada keseimbangan disitu. Mau membicarakan kerukunan sih sebenarnya, toleransi. Nah kalau mau ngomongin garis besar cintanya ya bagaimana kondisi mereka mencintai, bahkan bukan agama tapi ya kultur antara Chines dan Jawa, itu saja belum tentu disetujui. Perjuangannya sama kayak beda agama lainnya, ketika Arab sama Jawa, itu kan etnis. Itu semua gak jauh beda, dan gak boleh sebenernya. Jadi biar mendobrak atau melihat bahwa kita itu berada di lingkungan ini, jadi kalau bersinggungan antara satu dengan yang lain itu udah wajar.

J: Kenapa saya memilih Yogja dan Padang itu sebenarnya dari true story, ini real dan saya pengen menghadirkan semuanya itu real, jadi gak ada batasan. Ya inilah Indonesia, punya banyak agama, kita punya banyak kultur, ketika itu bersinggungan belum tentu itu bisa jadi satu.

T: Bagaimana proses pemilihan aktris atau aktor dalam pemeran film ini? Adakah kriteria-kriteria tertentu?

J: Pasti ada kriterianya, jadi saya waktu itu pengen konsepnya itu sebagaimana mungkin saya bisa ngejar bahwa itu realistis. Karna realistis, jadi saya gak mencari pemain yang besar, karena kalau pemain besar udah ke cap disitu. Misalkan kayak Reza Rahardian atau Lukman Sardi, itu orang sudah melihat sosoknya dia, kalau disini itu mereka berangkat dari bukan siapa-siapa, ini orang biasa. Orang biasa yang kebetulan mereka beda agama, beda kultur dan ketika mereka di Jakarta mereka ketemu, kemudan mereka punya perasaan suka sama suka yang menjadi cinta. Nah ketika mereka mencintai selanjutnya mereka kan ingin berkeluarga dan punya anak, itu kan siklus kehidupan yang normal, nah ketika mereka ingin menjalankan itu kok hambatannya banyak banget ketika mereka beda. Nah maksud aku ini mereka berangkatnya dari bukan siapa-siapa. Kalau artis seperti Lukman Sardi itu orang-orang udah melihat ini kalangan artis, orang melihatnya bisa ada jarak, kalau disini

T: Pandangan Mas tentang tokoh Cahyo dan Diana dalam film tersebut bagaimana? Orang tua Cahyo dan orang tua Diana, om dan tante Diana yang berhasil menjalani hidup berumah tangga dengan beda agama, serta teman dekat Cahyo (David) dan guru tari Diana (mbak Dhian)?

J: Memang si tante sama omnya Diana itu, karakter mereka sengaja kita hadirkan. Bahwa ada juga yang beda agama dan mereka udah berkeluarga dan mereka fine aja. Mau ngomongin itu aja, dan itu juga banyak. Film saya itu film personal, jadi gak bisa dilihat dari sudut pandang siapapun sebenarnya. Tergantung personalnya sebenarnya, dia mau apa, dia mau pemahamannya seperti apa, itu film personal. Toh banyak juga yang memilih gak punya agama kalau mau jujur-jujuran.

T: Dalam film tersebut ada kata-kata “Apa yang dipersatukan oleh Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia” bisa dijelaskan maksud dan arti mendalam dari kata-kata tersebut?

J: Itu dari salah satu ayat Al-Kitab. Kata-kata itu diucapkan oleh Cahyo ketika melamar Diana. Cahyo kan Muslim, tapi dia orang yang intelek. Ketika dia jadi chef dia belajar banyak, apa lagi punya pasangan. Maksudnya orang yang berfikiran terbuka ya terbuka aja dia bisa menerima semuanya tapi masalah keyakinan itu lain. Tapi dia bisa belajar apa aja. Nah itu karena si Cahyo udah gak punya senjata lagi, waktu itu kan sudah klimaksnya dan dia gak punya

T: Pada ending film dibuat mengambang atau tidak diketahui ujungnya nanti bagaimana kisah mereka, bisa dijelaskan maksud dari ending seperti itu kenapa?

J: Sengaja karena film kita itu film personal, jadi setiap orang itu punya jalan masing-masing. Entah nanti si Cahyo jadi mualaf, entah nanti mereka kawin beda agama, entah mereka bersatu atau enggak itu tuh kita open mind, ke semua penonton itu terserah penonton mau pilih jalan yang mana, karena udah banyak contoh ada yang nikah diluar terus dibawa ke Indonesia, ada yang pisah, jadi banyak kasus yang kita gak bisa ngasih ke penonton memaksa penonton untuk memilih salah satu itu. Karena dari awal bangunannya ya memang itu tidak bisa diwakili oleh personal siapapun. Ya disitu Cahyo ya Cahyo, si Diana ya Diana. Ketika nanti saya memilih mereka menikah terus bahagia, memang film Indonesia penonton ingin semua filmnya happy ending, tetap kita kasih happy ending tapi karena ini sebuah pemikiran yang penting dan film itu sarana komunikasi yang baik dan bagus bahkan sampai semuanya itu bikin film segala macam buat menyampaikan pesan. Nah takutnya saya nanti saya malah mendoktrin penonton kalau seperti itu. Saya gak mau itu. Jadi ya biarin, yang ngejalanin ya jalanin, kalo bingung ya mereka bisa konsultasi dengan orang-orang terdekatnya mana jalan yang terbaik, mereka punya jalanan hidupnya masing-masing kok.

J: Kalau itu saya menyikapinya wajar. Ada yang pro dan kontra itu setiap persoalan setiap hal dan apapun itu wajar. Bahkan di lingkungan kantor saya ini juga ada yang suka bahkan gak suka sama saya nah itu hal wajar. Ketika mereka mengeluarkan statement mereka itu ya kita terima, asalkan dalam batas-batas tertentu. Kalau sampai mereka ke pengadilan ya udah ayo apa salahnya kalau begitu, maksudnya kita merasa dan menyugukan bahwa ini real kok. Ya memang ada yang menyinggung di dakwaannya ke saya, Mas Hanung dan Pak Ramm, bertiga itu. Pasalnya karna itu menanamkan kebencian, tapi menanamkan kebencian yang mana? Sampe saat waktu itu saya temui sendiri si Mbak Fahira itu, menanam kebencian yang mana segala macam, saya disuruh mana narasumbernya, ya narasumbernya itu secret gak bisa. Kalo ini sampai ke pengadilan, baru saya akan tunjukkan itu narasumbernya, kalo ini Cuma koar-koar aja ngapain nanti yang ada kamu malah akan mengintimidasi dia, keselamatannya tidak terjamin, malah kamu yang menanamkan kebencian aku bilang gitu. Sampe saya disuruh bikin pernyataan apa-apa segala macam ya saya gak mau orang saya gak salah. Sebenarnya dulu dilaporkan ke polda, sama polda gak diproses karna gak ada bukti, terus dilaporkan ke mabes, pindah lagi ke poltabes, ke poltabes kita ga pernah dipanggil sama sekali karna memang ya setelah melihat filmnya ya gak ada kesalahan, kalo ga ada kesalahan ya ngapain dipanggil. Memang

polisinya yang akan dituntut. Berarti kamu ada fair, ada apa sama si Hestu sama si Hanung sama pak Ramm gitu. Ya udah dari pada ribut akhirnya polisinya ngalah, akhirnya kita disidik. Disidiknya juga santai gak apa-apa. Gak taulah orang punya pemikiran berbeda-beda punya tendensi masing-masing. Mungkin kalo itu nama saya sendiri itu gak ada apa-apa, cuma karena ada nama Mas Hanung disitu. Memang pada awalnya gak mau ada nama Mas Hanung, tapi dari Multinya yang katanya biar rame, biar banyak yang nonton. Ya kita gak bisa maksa karena mereka yang punya uang. Ya menurut saya sih gak masalah tapi resikonya ya itu tadi. Pokoknya yang ada nama Mas Hanung ya gitu deh. Apa lagi kan ini masalah agama, gak main-main karena sensitive sekali.

Narasumber,

Hestu Saputra (Sutradara Film Cinta Tapi Beda)

T: Pengertian Cinta sendiri menurut pandangan islam atau pandangan Ustadz sendiri bagaimana?

J: Kalau cinta itu ada beragam versi, kalau versinya Romeo dan Juliet itu kan seperti itu, versinya Siti Nurbaya seperti itu, saya fikir kalau dalam Islam itu cinta yang memang berdasarkan iman. Kata Nabi, orang akan merasakan lezatnya iman jika Allah dan Rasulnya lebih dicintai dari apapun, maka dia akan merasakan kelezatan iman. Cinta yang benar itu ya cinta yang bisa membawa keimanan. Kalau dilihat dalam film itu betul kata Bapaknya Cahyo, bahwa cinta itu lebih kepada hawa nafsu, dan dia sudah buta. Love is blind itu ya cinta membutakan mata hati. Makanya tidak akan mungkin orang bisa bersatu dengan berbeda agama dan dia bisa merasakan dan menjalankan agamanya masing-masing dengan baik, itu tidak mungkin kalau misalkan

Dokumen terkait