• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

5.2.2 Saran dalam Kaitan Praktis

Mahasiswa diharapkan dapat lebih bijaksana dalam menggunakan media sosial Instagram. Setiap mahasiswa harus bisa membuat batas-batas dalam dirinya sendiri dalam penggunaan media sosial ini sehingga tidak menjadi generasi yang tunduk dan dikendalikan oleh media sosial, melainkan menjadi generasi yang mampu memanfaatkan media sosial secara baik dan efektif bahkan mampu membuat inovasi baru. Pengendalian diri dalam penggunaan Instagram juga diperlukan agar mahasiswa dapat mengendalikan dirinya dalam menanggapi dan membalas komentar positif maupun negatif, sehingga tidak terjadi pertengkaran di dunia maya karena komentar negatif yang dibalas dengan kasar, dan tidak terbentuk diri yang terlalu percaya diri (overconfident) karena berlebihan dalam menanggapi komentar pujian.

2.1 Paradigma Kajian

Paradigma adalah pedoman yang menjadi dasar bagi para saintis dan peneliti di dalam mencari fakta – fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Paradigma menurut Bogdan dan Biklen adalah sekumpulan anggapan dasar mengenai pokok permasalahan, tujuan, dan sifat dasar bahan kajian yang akan diteliti. Deddy Mulyana mendefinisikan paradigma sebagai suatu kerangka berpikir yang mendasar dari suatu kelompok saintis (ilmuwan) yang menganut suatu pandangan yang dijadikan landasan untuk mengungkap suatu fenomena dalam rangka mencari fakta (Tahir, 2011: 59).

Guba dan Lincoln mendefenisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Keyakinan-keyakinan ini bersifat dasar dalam pengertian harus diterima secara sederhana semata-mata berdasarkan kepercayaan saja, hal ini disebabkan tidak ada suatu cara untuk menentukan suatu kebenaran akhir (Sunarto dan Hermawan, 2011:4). Jadi, paradigma dapat didefinisikan sebagai acuan yang menjadi dasar bagi setiap peneliti untuk mengungkapkan fakta – fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya.

Paradigma konstruktivisme adalah paradigma yang memandang bahwa kenyataan itu hasil konstruksi atau bentukan dari manusia itu sendiri. Kenyataan itu bersifat ganda, dapat dibentuk, dan merupakan satu keutuhan. Kenyataan ada sebagai hasil bentukan dari kemampuan berpikir seseorang. Pengetahuan hasil bentukan manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus. Penelitian kualitatif berlandaskan paradigma konstruktivisme yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subjek yang diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan bukan pada objek, hal ini berarti bahwa ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata, tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh pemikiran (Arifin, 2012: 140).

Paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Guba dan Lincoln, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif.

Peneliti menggunakan paradigma kontruktivisme karena peneliti ingin mendapatkan pengembangan pemahaman yang membantu proses interpretasi suatu peristiwa. Paradigma konstruktivisme sesuai sebagai acuan untuk melakukan penelitian ini dimana yang ingin diteliti adalah konsep diri mahasiswa dalam Instagram yang mana dalam pembentukan konsep diri baik positif maupun negatif tidak dapat ditentukan satu fakta tertentu dan digeneralisasikan kepada semua orang, melainkan merupakan hasil bentukan dari manusia itu sendiri dimana proses serta hasil bentukan tersebut merupakan hasil pengalaman terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi pemikiran subjek yang diteliti dan tidak dapat digeneralisasikan ke semua orang.

2.2 Kajian Pustaka

Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan masalah atau menyoroti masalahnya. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001: 39).

2.2.1 Psikologi Komunikasi

Psikologi komunikasi terdiri dari dua kata yaitu psikologi dan komunikasi. Psikologi menurut Miller (1974:4) adalah ilmu yang berusaha menjelaskan, memprediksi, dan mengontrol mental dan peristiwa yang berkaitan dengan perangai . Sedangkan komunikasi, menurut Hovland, Janis, dan Kelly (1953:12) berarti sebuah proses dimana seorang individu sebagai komunikator

menyampaikan stimulan yang biasanya verbal untuk mengubah perilaku orang lainnya. Dari penjelasan di atas, kita dapat menemukan definisi psikologi komunikasi yaitu ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan behavioral dalam komunikasi.

Psikologi komunikasi terbagi atas empat teori besar yaitu :

1. Psikoanalisis yaitu manusia bertindak dengan atas dasar motif yang tidak disadarainya maupun atas dasar pikiran, perasaan, dan kecenderungannya yang sebagian disadari, bahwa tingkah laku manusia ini bersumber dari dorongan-dorongan alam bawah sadarnya.

2. Psikologi behavioristik mempelajari tingkah laku yang nyata, terbuka dan dapat diukur secara obyektif oleh manusia. Aliran ini lebih menekankan kepada analisis tingkah laku. Perilaku ini tentu saja dapat diukur, dideskripsikan, dan diramalkan.

3. Psikologi kognitif yaitu konsep yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif mengorganisasikan dan mengolah informasi yang diterima. 4. Psikologi humanistik yaitu teori yang menggambarkan manusia sebagai

pelaku aktif dalam merumuskan strategi transaksional dengan lingkungannya.

Dari penjelasan keempat teori psikologi komunikasi tersebut, maka peneliti memilih fokus teori kepada psikologi humanistik, dikarenakan pembahasan teori ini berkenaan dengan penelitian yang akan dilakukan.

Psikologi humanistik lebih menekankan kapasitas seseorang untuk pertumbuhan pribadi, kebebasan untuk memilih takdir diri kita sendiri serta berbagai kualitas positif dari diri kita. Menurut Calin dan Smith bahwa para psikolog humanistik lebih meyakini bahwa tiap-tiap kita memiliki kemampuan untuk mencapai apa yang kita inginkan dan tentunya yang mengendalikan hidup kita. Hal itu dapat menjelaskan secara singkat bahwa setiap individu pasti memiliki kapasitas untuk menerobos dan memahami dirinya dari dunia sekitarnya.

Ciri psikologi humanistik yang paling menonjol adalah adanya eksistensi. Eksistensi ini muncul melalui apa yang telah diketahui dan apa yang telah dialami

oleh manusia. Setiap manusia pasti memiliki sifat eksistensi yaitu selalu menginginkan dirinya untuk diketahui dan dikenal oleh orang lain. Dengan eksistensi pula kita seringkali melakukan pekerjaan yang berasal dari dorongan karena ingin memperlihatkan kemampuan kita dan kita juga ingin mengembangkan kapasitas prestasi yang optimal yang kita miliki.

Carl Rogers merupakan salah satu tokoh yang meneliti tentang perkembangan psikologi humanistik. Rogers meyakini bahwa manusia dilahirkan dengan benih yang baik dan positif dalam diri kita. Namun, semakin kita bertumbuh menjadi dewasa, orang-orang yang signifikan yang berada di sekitar kehidupan kita ini justru dapat merubah diri kita. Carl Rogers juga meneliti konsep diri dalam psikologi humanistik. Dalam pandangan Rogers dan tentunya para penganut humanistik yang lainnya, ini merupakan keseluruhan persepsi dan penilaian individu mengenai kemampuan, perilaku dan kepribadiannya.

2.2.2 Konsep Diri

Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan berkembang dari pengalaman yang terus menerus dan terdiferensiasi. Dasar dari konsep diri individu ditanamkan pada saat-saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari. (Agustiani, 2006: 138).

William H. Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Ia menjelaskan konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa ketika individu memperepsikan, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya. (Agustiani, 2006: 138-139).

Konsep diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian Anda terhadap diri Anda. Konsep diri meliputi apa yang Anda pikirkan dan apa yang Anda rasakan tentang diri Anda. Ada dua komponen konsep diri yaitu komponen kognitif yang disebut citra diri (self image) dan komponen afektif yang disebut harga diri (self esteem). (Rakhmat, 2007: 100).

Menurut Calhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.

1. Konsep Diri Positif

Konsep diri positif menunjukkan adanya penerimaan diri dimana individu dengan konsep diri positif mengenal dirinya dengan baik sekali. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri sehingga evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima dirinya apa adanya. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk dapat dicapai, mampu menghadapi kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah suatu proses penemuan.

Coopersmith (1991) mengemukakan karakteristik dengan konsep diri positif, yaitu bebas mengemukakan pendapat, cenderung memiliki motivasi tinggi untuk mencapai prestasi, mampu mengaktualisasikan potensinya dan mampu menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Pendapat tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Brooks dan Emmert yang menyatakan bahwa individu yang memiliki konsep diri positif ditandai dengan lima hal, yaitu (Rakhmat, 2007: 105):

1. Yakin akan kemampuannya mengatasi masalah 2. Merasa setara dengan orang lain

3. Menerima pujian tanpa rasa malu

4. Menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat

5. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

Individu yang memiliki konsep diri positif akan bersikap optimis, percaya diri sendiri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialami. Kegagalan tidak dipandang sebagai akhir segalanya, namun dijadikan sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah kedepan. Individu yang memiliki konsep diri positif akan mampu menghargai dirinya sendiri dan melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang akan datang.

2. Konsep Diri Negatif

Sedangkan untuk konsep diri yang negatif Coopersmith mengemukakan beberapa karakteristik, yaitu mempunyai perasaan tidak aman kurang menerima dirinya sendiri dan biasanya memiliki harga diri yang rendah. Fitts (dalam Yanti, 2008), menyebutkan ciri-ciri individu yang mempunyai konsep diri rendah adalah:

a. Tidak menyukai dan menghormati diri sendiri

b. Memiliki gambaran yang tidak pasti terhadap dirinya,

c. Sulit mendefinisikan diri sendiri dan mudah terpengaruh oleh bujukan dari luar

d. Tidak memiliki pertahanan psikologis yang dapat membantu menjaga tingkat harga dirinya

e. Mempunyai banyak persepsi yang saling berkonflik

f. Merasa aneh dan asing terhadap diri sendiri sehingga sulit bergaul

g. Mengalami kecemasan yang tinggi, serta sering mengalami pengalaman negatif dan tidak dapat mengambil manfaat dari pengalaman tersebut.

Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert (1976:42-43) ada empat tanda orang yang memiliki konsep diri negatif (Rakhmat, 2007: 105):

a. Peka pada kritik. Orang ini sangat tidak tahan terhadap kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini,

koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya.

b. Responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian, segala macam embel-embel yang menunjang harga dirinya menjadi pusat perhatiannya.

c. Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan. Ia tidak akan pernah mempersalahkan dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial yang tidak beres.

d. Bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan oran lain dalam membuat prestasi.

Konsep diri akan turun ke negatif apabila seseorang tidak dapat melaksanakan perkembangannya dengan baik. Individu yang memiliki konsep diri negatif meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Individu ini akan cenderung bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya. Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun lebih sebagai halangan. Individu yang memiliki konsep diri negatif akan mudah menyerah sebelum berperang dan jika ia mengalami kegagalan akan menyalahkan diri sendiri maupun menyalahkan orang lain.

Dengan melihat uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik konsep diri dapat dibedakan menjadi dua yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif, yang mana keduanya memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda antara ciri karakteristik konsep diri positif dan karakteristik konsep diri yang negatif. Individu yang memiliki konsep diri positif dalam segala sesuatunya akan menanggapinya secara positif, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri. Maka akan percaya diri, akan bersikap yakin dalam bertindak dan berperilaku. Sedangkan individu yang

memiliki konsep diri negatif akan menanggapi segala sesuatu dengan pandangan negatif pula, dia akan mengubah terus menerus konsep dirinya atau melindungi konsep dirinya itu secara kokoh dengan cara mengubah atau menolak informasi baru dari lingkungannya.

Konsep diri seseorang dapat bergerak dari positif ke negatif berkaitan langsung dengan respon lingkungan sosial individu, terutama orang-orang penting terdekatnya, terhadap diri individu. Respon di sini adalah persepsi orang tua atau orang-orang terdekat dalam memandang diri seseorang. Jika seorang anak memperoleh perlakuan yang positif, maka ia akan mengembangkan konsep diri yang positif pula. Individu juga tidak akan ragu untuk dapat membuka diri dan menerima masukan dari luar sehingga konsep dirinya menjadi lebih dekat pada kenyataan. Dalam kenyataan memang tidak ada orang yang betul-betul sepenuhnya berkonsep diri negatif atau positif, tetapi untuk efektivitas dalam berkomunikasi, sedapat mungkin kita memperoleh sebanyak mungkin tanda-tanda konsep diri positif.

2.2.3 Dimensi-dimensi dalam Konsep Diri

Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok, yaitu (Agustiani, 2006: 139-142):

1. Dimensi Internal

Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk:

1.1 Diri identitas (identity self)

Bagian diri ini meruakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri

dan mengacu pada pertanyaan, “Siapakah saya?” Dalam pertanyaan

tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan kepada diri (self) oleh individu yang bersangkutan. Kemudian dengan bertambahnya usia dan interaksi dengan lingkungannya, pengetahuan individu tentang

dirinya juga bertambah, sehingga ia dapat melengkapi keterangan tentang dirinya dengan hal-hal yang lebih kompleks.

1.2 Diri Pelaku (behavioral self)

Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya, yang

berisikan segala kesadaran mengenai “apa yang dilakukan oleh diri”.

Bagian ini berkaitan erat dengan diri identitas. Diri yang adekuat akan menunjukkan adanya keserasian antara diri identitas dengan diri pelakunya, sehingga ia dapat mengenali dan menerima, baik diri sebagai identitas maupun diri sebagai pelaku. Kaitan dari keduanya dapat dilihat pada diri sebagai penilai.

1.3 Diri Penerima/Penilai (judging self)

Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri identitas dan diri pelaku. Diri penilai menentukan kepuasan seseorang akan dirinya atau seberapa jauh seseorang menerima dirinya. Kepuasan diri yang rendah akan menimbulkan harga diri (self seteem) yang rendah pula dan akan mengembangkan ketidakpercayaan yang mendasar pada dirinya. Sebaliknya, bagi individu yang memiliki kepuasan diri yang tinggi, kesadaran dirinya lebih realistis, sehingga lebih memungkinkan individu bersikap lebih konstruktif.

2. Dimensi Eksternal

Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi yang dikemukakan oleh Fitts adalah dimensi eksternal yang bersifat umum bagi semua orang dan dibedakan atas lima bentuk, yaitu :

2.1 Diri Fisik (physical self)

Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik, terlihat dari persepsi seseorang mengenai kesehatan dirinya, penampilan dirinya (cantik, jelek, menarik, tidak menarik) dan keadaan tubuhnya (tinggi, pendek, gemuk, kurus).

2.2 Diri Etika-moral (moral-ethical self)

Persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari standar pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungan dengan Tuhan, kepuasaan seseorang akan kehidupan keagamaannya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.

2.3 Diri Pribadi (personal self)

Perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauh mana individu merasa puas terhadap pribadinya atau sejauh mana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.

2.4 Diri Keluarga (family self)

Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Seberapa jauh seseorang merasa memadai terhadap dirinya sebagai anggota keluarga, terhadap peran maupun fungsi yang dijalankannya sebagai anggota dari suatu keluarga.

2.5 Diri Sosial (social self)

Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitarnya.

Pembentukan penilaian individu terhadap bagian-bagian dirinya dalam dimensi eksternal ini dapat dipengaruhi oleh penilaian dan interaksinya dengan orang lain. Seseorang tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki fisik yang baik tanpa adaya reaksi dari orang lain yang memperlihatkan bahwa secara fisik ia memang

menarik. Demikian pula seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia memiliki diri pribadi yang baik tanpa adanya tanggapan atau reaksi orang lain disekitarnya yang menunjukkan bahwa ia memang memiliki pribadi yang baik.

2.2.4 Aspek-aspek Konsep Diri

Berk (dalam Dariyo, 2007) mengemukakan definisinya tentang konsep diri (self concept) yaitu gambaran diri sendiri yang bersifat menyeluruh terhadap keberadaan diri seseorang. Konsep diri ini bersifat multi-aspek dan menurut Berk terdapat empat aspek dalam konsep diri yaitu :

1. Aspek fisiologis

Aspek fisiologis dalam diri berkaitan dengan unsur-unsur fisik, seperti warna kulit, bentuk, berat atau tinggi badan, raut muka (tampan, cantik, sedang, atau jelek), memiliki kondisi badan yang sehat, normal/cacat dan sebagainya. Karakteristik fisik mempengaruhi bagaimana seseorang menilai diri sendiri; demikian pula tak dipungkiri bahwa orang lain pun menilai seseorang diawali dengan penilaian terhadap hal-hal yang bersifat fisiologis. Walaupun belum tentu benar masyarakat seringkali melakukan penilaian awal terhadap penampilan fisik untuk dijadikan sebagai dasar respon perilaku seseorang terhadap orang lain.

2. Aspek Psikologis

Aspek-aspek psikologis (psychological aspect) meliputi tiga hal yaitu:

2.1. Kognisi (kecerdasan, minat dan bakat, kreativitas, kemampuan konsentrasi)

2.2. Afeksi (ketahanan, ketekunan dan keuletan bekerja, motivasi berprestasi, toleransi stres)

2.3.Konasi (kecepatan dan ketelitian kerja)

Pemahaman dan penghayatan unsur-unsur aspek psikologis tersebut akan mempengaruhi penilaian terhadap diri sendiri. Penilaian yang baik, akan meningkatkan konsep diri yang positif (positive self concept), sebaliknya penilaian yang buruk cenderung akan mengembangkan konsep diri yang negatif (negative self concept).

3. Aspek Psiko-sosiologis

Yang dimaksud dengan aspek psiko-sosiologis (psych sociologico aspect) ialah pemahaman individu yang masih memiliki hubungan dengan lingkungan sosialnya. Aspek psiko-sosiologis ini meliputi tiga unsur yaitu:

3.1. Orangtua saudara kandung, dan kerabat dalam keluarga.

3.2. Teman-teman pergaulan (peer-group)dan kehidupan bertetangga. 3.3.Lingkungan sekolah (guru, teman sekolah, aturan-aturan sekolah).

Oleh karena itu, seseorang yang menjalin hubungan dengan lingkungan sosial dituntut untuk dapat memiliki kemampuan berinteraksi sosial (social interaction), komunikasi, menyesuaikan diri (adjustment) dan bekerja sama (cooperation) dengan mereka. Tuntutan sosial secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi agar individu menaati aturan-aturan sosial. Individu pun juga berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui lingkungan sosialnya. Dengan demikian terjadi hubungan mutualisme antara individu dengan lingkungan sosialnya.

4. Aspek Psikoetika dan Moral

Aspek psikoetika dan moral (moral aspect) yaitu suatu kemampuan memahami dan melakukan perbuatan berdasarkan nilai-nilai etika dan moralitas. Setiap pemikiran, perasaan, dan perilaku individu harus mengacu pada nilai-nilai kebaikan, keadilan, kebenaran, dan kepantasan. Oleh karena itu, proses penghayatan dan pengamatan individu terhadap nilai-nilai moral tersebut menjadi sangat penting, karena akan dapat menopang keberhasilan seseorang dalam melakukan kegiatan penyesuaian diri dengan orang lain.

2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri yaitu (Rakhmat, 2007:100-104):

1. Orang lain

Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis menulis tentang peranan orang lain dalam memahami diri kita. “The fact is we can understand ourselves by starting from other, or from others, and only by starting from them.”Kita mengenal diri kita

dengan mengenal orang lain lebih dahulu. Bagaimana Anda menilai diri saya, akan membetuk konsep diri saya. Harry Stack Sullivan (1953) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita.

S. Frank Miyamoto dan Sanford M. Dornbusch (1956) mencoba mengkorelasikan penilaian orang lain terhadap dirinya sendiri dengan skala lima angka dari yang paling jelek sampai yang paling baik, yang dinilai ialah

Dokumen terkait