• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENUTUP

6.2 Saran

1. Adanya kebijakan pemerintah dari Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan di dorong oleh pihak-pihak terkait yang mendukung guru

dalam pemberian pendidikan kesehatan reproduksi bagi anak di sekolah khususnya dalam upaya pencegahan tindak kekerasan seksual. 2. Adanya program khusus seperti pelatihan atau sosialisasi bagi guru agar lebih mengerti dan memahami serta terbuka terhadap pendidikan kesehatan reproduksi yang tidak hanya membahas mengenai seksualitas dalam arti sempit, namun juga bahaya yang mengancam anak sebagai objek kekerasan seksual dan bagaimana cara terbaik menyampaikan kepada siswa didik.

3. Meningkatkan kepekaan guru melaui pertemuan koordinasi dann lintas sektor dengan dinas terkait. Sehingga pelaksanaan nya dapat optimal dan komprehensif.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta lingkungan yang mempengaruhi. Perilaku merupakan hasil hubungan antara rangsangan (stimulus) dan tanggapan (respon). Respon terhadap stimulus yang sama dapat berbeda-beda pada tiap-tiap orang yang berbeda tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai dimensi sangat luas. Secara umum, dapat dikatakan bahwa perilaku adalah respon/reaksi individu terhadap adanya suatu rangsangan, baik yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri.

Setiap individu hidup pada dua tingkatan perilaku, yaitu:

1. Tingkat pribadi, yang sifatnya internal dan sangat subjektif hanya dapat diketahui oleh individu yang bersangkutan.

2. Tingkat umum, yang sifatnya eksternal dan terbuka sehingga dapat dilihat orang lain.

Perilaku dapat dibedakan menjadi dua hal jika dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2007), yaitu:

1. Perilaku Tertutup (Covert Behavior)

Perilaku tertutup adalah respon terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih

terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku Terbuka (Overt Behavior)

Perilaku terbuka adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon ini sudah jelas dalam bentuk tindakan nyata yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.2 Pendidikan Kesehatan Reproduksi 2.2.1 Pendidikan Kesehatan

Pendidikan kesehatan hakekatnya adalah suatu bentuk intervensi untuk menciptakan perilaku yang kondusif untuk kesehatan (Notoatmojo, 2003). Pendidikan kesehatan akan berjalan dengan baik jika dilakukan dalam lingkungan yang terorganisir seperti lingkungan sekolah. Sejak awal tahun 1980-an, lingkungan sekolah telah menjadi salah satu lokasi kunci ll program pendidikan kesehatan. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation, WHO) bahkan menekankan bahwa program pendidikan kesehatan sekolah dapat menunjang pengembangan keterampilan sosial ekonomi siswa, meningkatkan produtifitas dan kualitas hidup yang lebih baik, serta yang terpenting promosi kesehatan pada siswa sekolah dapat meningkatkan hasil belajarnya.

Secara eksplisit, pendidikan kesehatan seharusnya bukan hanya mentransfer ilmu kesehatan (transfer of knowledge), namun juga membangun karakter perilaku yang sehat (character building). Jika generasi penerus bangsa memiliki

perilaku sehat dan budi pekerti yang baik, maka negara dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pula. Sayangnya, tantangan lingkungan seperti kemajuan teknologi informasi dan maraknya pornografi yang tidak direspon dengan baik oleh sekolah mendorong siswa berperilaku tidak sehat seperti kecanduan miras dan narkoba serta perilaku seks yang menyimpang.

2.2.2 Definisi Pendidikan Kesehatan Reproduksi

Istilah reproduksi berasal dari kata “re” yang artinya kembali dan kata produksi yang artinya membuat atau menghasilkan. Jadi istilah reproduksi mempunyai arti suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidupnya. Sedangkan yang disebut organ reproduksi adalah alat tubuh yang berfungsi untuk reproduksi manusia.

Menurut BKKBN, defenisi kesehatan reproduksi adalah kesehatan secara fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara utuh pada semua hal yang berhubungan dengan sistem dan fungsi serta proses reproduksi dan bukan hanya kondisi yang bebas dari penyakit dan kecacatan.

Menurut International Conference on Population and Development di Kairo, Mesir pada tahun 1994 kesehatan reproduksi adalah sebagai hasil akhir keadaan sehat sejahtera secara fisik, mental, dan sosial dan tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala hal yang terkait dengan sistem, fungsi serta proses reproduksi (UNFPA, 2004)

Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh bukan hanya bebas dari

penyakit atau kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya (Purba, 2014).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi bukannya kondisi yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan sebelum dan sesudah menikah.

Istilah pendidikan kesehatan reproduksi saat ini kalah populer dengan istilah pendidikan seks yang gencar dikampanyekan melalui media cetak maupun elektronik. Mungkin karena banyaknya pendapat mengenai pendidikan seks itu sendiri membuat pengertiannya menjadi semakin kabur, bahkan cenderung simpang siur.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pendidikan berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan. Seks mempunyai dua pengertian yaitu jenis kelamin dan hal ihwal yang berhubungan dengan alat kelamin misalnya persetubuhan atau senggama. Pendidikan seks menurut pakar pendidikan, Dr. Arief Rahman berarti perlakuan proses sadar dan sistematis di sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menurut agama dan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat, selain itu juga memberi pengetahuan dan keterampilan tentang tanggung jawab laki-laki dan perempuan sesuai dengan ajaran agama. Definisi yang lebih luas dikemukakan

oleh dr. Nina Surtiretna, bahwa pendidikan seks adalah upaya memberikan pengetahuan tentang perubahan biologis, psikologis, dan psikososial sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan manusia. Intinya, pendidikan seks merupakan upaya untuk memberikan pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral etika serta komitmen agama agar tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi tersebut (Pertiwi, 2007).

Pendidikan kesehatan reproduksi lebih sesuai dengan kultur budaya Indonesia dan lebih mudah diterima oleh komunitas sekolah, agama, terutama para orang tua. Di samping itu, istilah kesehatan reproduksi juga lebih menekankan pada upaya memberikan pengetahuan, keterampilan hidup, dan pembentukan kondisi dan perilaku jasmani, psikologi, sosial yang berhubungan dengan fungsi dan sistem organ reproduksi secara sehat dan mandiri. Intinya adalah pendidikan ini bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, tanggung jawab, mandiri, serta perilaku akan reproduksi yang sehat. Sehingga pendidikan kesehatan reproduksi sudah semestinya diberikan sejak masa kanak-kanak, ketika mereka mulai mengenal identitasnya sebagai laki-laki dan perempuan.

2.2.3 Ruang Kingkup Kesehatan Reproduksi Dalam Siklus Kehidupan Ruang lingkup kesehatan reproduksi sebenarnya sangat luas, sesuai dengan definisi yang tertera di atas, karena mencakup keseluruhan kehidupan manusia sejak lahir hingga mati. Dalam uraian tentang ruang lingkup kesehatan reproduksi yang lebih rinci digunakan pendekatan siklus hidup (life-cycle approach), sehingga diperoleh komponen pelayanan yang nyata dan dapat dilaksanakan. Secara lebih luas, ruang lingkup kesehatan reproduksi meliputi :

1. Kesehatan ibu dan bayi baru lahir 2. Keluarga Berencana

3. Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Saluran Reproduksi (ISR), termasuk PMS-HIV / AIDS

4. Pencegahan dan penangulangan komplikasi aborsi 5. Kesehatan Reproduksi Remaja

6. Pencegahan dan Penanganan Infertilitas 7. Kanker pada Usia Lanjut dan Osteoporosis

8. Berbagi aspek Kesehatan Reproduksi lain misalnya kanker serviks, mutilasi genetalia, fistula dll.

Pendekatan yang diterapkan dalam menguraikan ruang lingkup kesehatan reproduksi adalah pendekatan siklus hidup, yang berarti memperhatikan kekhususan kebutuhan penanganan sistem reproduksi pada setiap fase kehidupan, serta kesinambungan antar-fase kehidupan tersebut. Dengan demikian, masalah kesehatan reproduksi pada setiap fase kehidupan dapat diperkirakan, yang bila tak ditangani dengan baik maka hal ini dapat berakibat buruk pada masa kehidupan selanjutnya. Fase kehidupan dalam kesehatan reproduksi adalah sebagai berikut:

1. ibu hamil dan konsepsi 2. bayi dan anak

3. remaja 4. usia subur 5. usia lanjut

2.2.4 Tujuan Pendidikan Reproduksi

Pendidik sudah seharusnya bersikap tanggap dan menjaga siswa-siswanya supaya tetap waspada terhadap gejala sosial yang ada. Yaitu meningkatkan penerangan pengetahuan masalah seksual pada siswanya. Tujuannya ialah untuk memberikan pengertian yang wajar mengenai proses kedewasaan dirinya, baik secara fisik maupun mental emosional yang berhubungan dengan seksualitas, dan juga membangun sikap yang positif, sehat, dan objektif terhadap perkembangan seksual dengan segala manifestasinya. Baik mengenai dirinya maupun orang lain (Alex dalam Dewi, 2013).

Andika (2010) menyatakan “pendidikan seks bertujuan untuk memperkenalkan anak tentang jenis kelamin dan cara menjaganya, baik dari sisi kesehatan dan kebersihan, keamanan serta keselamatan”. Sedangkan menurut Akhmad Azhar Miqdad (dalam Dewi, 2013) mengutip pendapat Kir Kendall, bahwa tujuan pendidikan seks adalah:

1. Membentuk pengertian dalam perbedaan seks antara pria dan wanita dalam keluarga, pekerjaan dalam seluruh kehidupan yang selalu berubah dan berbeda dalam tiap masayarakat dan kebudayaan,

2. Membentuk pengertian tentang peranan seks didalam kehidupan manusia dan keluarga,

3. Mengembangkan pengertian diri sendiri sehubungan dengan fungsi dan kebutuhan seks,

4. Membantu murid dalam mengembangkan kepribadiannya sehingga mampu untuk mengambil keputusan yang bertanggung jawaab, misalnya:

memilih jodoh, hidup berkeluarga, tindak kesusilaan dalam seks, dan lain-lain.

Dari pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan seks ialah memberikan pengertian tentang memperkenalkan anak tentang jenis kelamin dan cara menjaganya, baik dari sisi kesehatan dan kebersihan, keamanan serta keselamatan menghindarkan siswa dari pelecehan seksual dan mempersiapkan anak menghadapi masa pubertas. Materi pendidikan seks disesuaikan dengan tugas perkembangan siswa SD.

G. Stanley Hall (dalam Pujiarta, 2007), ilmuan yang dikenal sebagai “Bapak Penelitian Ilmiah”, mengatakan “bahwa anak-anak bukanlah orang dewasa kecil”. Secara umum anak dapat diartikan sebagai manusia yang sedang tumbuh. Definisi lain menyebutkan masa anak-anak (chilhood) berlangsung antara usia 6-12 tahun.

Menurut Peratuan Bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama Nomor 04/VI/PB/2011 dan Nomor MA/111/2011 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-Kanak/RA/BA dan Sekolah/Madrasah Pasal 5 berdasarkan persyaratan calon peserta didik baru mulai kelas 1 (satu) pada SD/MI telah berusia 7 tahun sampai dengan 12 tahun, paling rendah usia 6 tahun.

Tujuan pendidikan reproduksi jika disesuaikan berdasarkan usia dengan perkembangan usia yaitu sebagai berikut :

a. Usia balita (1-5 tahun)

Memperkenalkan organ reproduksi yang dimiliki seperti menjelaskan anggota tubuh lainnya, termasuk menjelaskan fungsi serta cara melindunginya.

b. Usia Sekolah Dasar (6-10)

Memahami perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) menginformasikan asal-usul manusia, membersihkan alat genital dengan benar agar terhindar dari kuman dan penyakit.

c. Usia Menjelang Remaja

Menerangkan masa pubertas dan karakteristiknya, serta menerima perubahan dari bentuk tubuhnya.

d. Usia Remaja

Memberi penjelasan mengenai perilaku seks yang merugikan seperti seks bebas. Menanamkan moral dan prinsip ‘Say no’ untuk seks pranikah serta membangun penerimaan terhadap diri sendiri.

e. Usia Pranikah

Pembekalan pada pasangan yang ingin menikah tentang hubungan seks yang sehat dan tepat.

f. Usia setelah menikah

Memelihara pernikahan melalui hubungan seks yang berkualiatas dan berguna untuk melepaskan ketegangan dan stress.

Tujuan Pendidikan Reproduksi secara Teoritis:

1. Pendidikan reproduksi di sekolah-sekolah dapat membantu anak memahami dampak dari seks dalam kehidupan mereka, sehingga hubungan seks bebas dikalangan remaja dapat diatasi dengan memberi dan memperluas pengetahuan mereka tentanhg bahayanya.

2. Pendidikan reproduksi juga menjawab semua pertanyaan yang ada dibenak mereka seiring dengan perubahan yang terjadi pada tubuh mereka.

3. Kekeasan dan pelecehan seksual saat ini semakin marak terjadi di seluruh dunia, sehingga pendidikan reproduksi ini dapat berperan aktif dalam menangani masalah penganiayaan dan pelecehan seksual ini. 4. Pengetahuan reproduksi yang mereka dapat dari sekolah akan jauh

lebih baik ketimbang harus membiarkan mereka mencari sendiri informasi tentang materi seks dan pornografi dari internet. Karena terkadang informasi yang mereka dapat dari internet itu hanya akan menyesatkan mereka dan menimbulkan pemahaman yang salah. 2.2.5 Manfaat Pendidikan Reproduksi pada Anak SD

1. Mengerti dan memahami dengan peran jenis kelaminnya

Dengan diberikannya pendidikan reproduksi pada anak, seorang anak laki-laki diharapkan tumbuh dan berkembang menjadi laki-laki seutuhnya, begitu pula dengan anak perempuan, diharapkan tumbuh dan berkembang menjadi seorang perempuan seutuhnya. Sehingga tidak ada lagi yang merasa tidak nyaman dengan peran jenis kelamin yang dimilikinya.

2. Menerima setiap perubahan fisik yang dialami dengan wajar dan apa adanya

Masa kanak-kanak adalah masa dimana seorang manusia sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis. Terutama saat mereka mulai memasuki masa pubertas, dimana

perubahan fisik dan psikis mengalami tahap paling cepat dibandingkan dengan masa sebelum dan sesudahnya. Dengan diberikannya pendidikan seksualitas menjadikan anak-anak mengerti dan paham tentang bagaimana mereka menyikapi perubahan-perubahan tersebut, sehingga mereka tidak akan merasa asing, kaget, bingung, dan takut saat menghadapinya

3. Menghapus rasa ingin tahu yang tidak sehat

Sebaiknya, orang-orang terdekat seperti orang tua dan guru bisa menjadi sosok yang menyenangkan bagi anak untuk bisa memenuhi rasa ingin tahunya yang menggebu tentang banyak hal termasuk tentang seksualitas. Ini dimaksudkan agar anak tidak memutuskan untuk mencari tahu jawaban akan pertanyaan-pertanyaannya melalui teman, komik, VCD, ataupun media lainnya yang tidak menjamin anak mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya.

4. Memperkuat rasa percaya diri dan bertanggung jawab pada dirinya Percaya diri akan timbul jika seorang anak sudah merasa nyaman dengan dirinya. Anak akan merasa nyaman pada dirinya jika telah mengetahui setiap bagian dari dirinya juga fungsi dari bagian-bagian tersebut. Sehingga, anak akan mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Pada akhirnya, anak akan mulai belajar untuk bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

5. Mengerti dan memahami betapa besarnya kuasa Sang Pencipta

Pemahaman tentang bagian-bagian dan fungsi-fungsi yang ada pada tubuhnya akan membuat anak semakin mengerti dan memahami betapa luar biasanya ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Anak-anak dan remaja rentan terhadap informasi yang salah mengenai seks. Jika tidak mendapatkan pendidikan reproduksi yang tepat, mereka akan termakan mitos-mitos tentang seks yang tidak benar. Informasi tentang seks sebaiknya didapatkan langsung dari orang tua dan guru yang memiliki perhatian khusus terhadap anak-anak mereka.

Hasil survey Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks pranikah. Penyebabnya karena kurangnya pendidikan reproduksi kepada anak dan remaja (Pertiwi, 2007).

Pendidikan reproduksi yang dianggap tabu justru memberikan dampak negatif pada anak-anak. Sebaliknya, seks harus diajarkan kepada anak dengan cara yang bijak. Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan pemberian informasi tentang masalah seksual. Informasi yang diberikan di antaranya pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan

moral, etika, komitmen, agama agar tidak terjadi ”penyalahgunaan” organ

reproduksi tersebut.

Pendidikan kesehatan reproduksi dapat dikatakan sebagai cikal bakal pendidikan kehidupan berkeluarga yang memiliki makna sangat penting. Para ahli psikologi menganjurkan agar anak-anak sejak dini hendaknya mulai dikenalkan

dengan pendidikan reproduksi yang sesuai dengan tahap perkembangan kedewasaan mereka.

Informasi tentang reproduksi bisa diberikan sejak anak sudah bisa melakukan komunikasi dua arah. Orang tua dan guru saat ini perlu dibekali pengetahuan mengenai seks, karena tidak jarang juga anak-anak yang bertanya akan masalah seks. Kurangnya pembekalan tentang seks membuat anak menjadi bingung dan bisa mencari informasi yang salah, sebab didapat dari narasumber yang tidak layak. Hasil akhirnya tentu tidak sesuai dengan harapan dan manfaat.

Para remaja bisa mencari informasi yang berhubungan dengan seks melalui berbagai sumber seperti buku, majalah, film, internet dengan mudah. Padahal, informasi yang didapat belum tentu benar dan bahkan mungkin bisa menjerumuskan atau menyesatkan. Oleh sebab itu, guru dapat bekerjasama dengan orang tua disarankan agar mulai membiasakan berdialog dengan anak, dan anak juga dapat menggunakan orang tua dan guru sebagai narasumber yang tepercaya.

2.2.6 Pendidikan Kesehatan Reproduksi sebagai Bagian Integratif dari Pembelajaran

Dari latar belakang di atas, disadari bahwa pendidikan kesehatan reproduksi menjadi kebutuhan penting dalam dunia pendidikan formal (sekolah). Di kota besar seperti Jakarta dan Bali, beberapa sekolah menengah atas bahkan sudah melaksanakannya baik sebagai kegiatan intra ataupun ekstra kurikuler.

Namun, masih banyak orang berpendapat bahwa pendidikan kesehatan reproduksi hanya cocok bagi siswa sekolah menengah dan sebaiknya jangan dulu

diberikan pada siswa sekolah dasar. Ada kekhawatiran bahwa siswa sekolah dasar belum siap menerima hal tersebut dan lebih baik dalam kelas perihal seks tidak usah dibicarakan sama sekali. Pendapat ini sama sekali tidak beralasan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa tidak ada data yang mendukung bahwa pendidikan kesehatan reproduksi yang benar akan mengarahkan siswa untuk mencoba berperilaku seksual yang tidak sehat. Mendukung bahwa pendidikan kesehatan reproduksi yang benar akan mengarahkan siswa untuk mencoba berperilaku seksual yang tidak sehat (Pertiwi, 2007)

Temuan lain yang mendukung menurut Pertiwi (2007) adalah survey yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Faktanya, sekitar 15 % remaja usia 10-15 tahun telah melakukan hubungan seksual.

Selain itu, dengan perkembangan pesat teknologi informasi, anak usia sekolah dasar pun cenderung ingin tahu segala sesuatu yang berkaitan dengan seks. Apalagi di usia sekolah dasar akhir yang merupakan rerata usia pubertas, siswa akan dihadapkan pada perubahan fisik, emosional, dan sosial yang terjadi selama pubertas. Pubertas sendiri merupakan komponen dasar dari sistem reproduksi manusia, pengetahuan mengenai hal ini seharusnya telah didapatkan oleh anak-anak paling tidak sebelum mereka mendapatkannya.

Anak-anak menganggap orang tua dan guru sebagai role model termasuk dalam hal reproduksi. Sehingga, mau tidak mau orang tua dan guru dituntut bersikap bijaksana dan rasional dalam pendidikan kesehatan reproduksi. Jika

orang tua masih tetap risih dan bersikap kolot, guru sebagai seorang pendidik yang profesional harus mampu menjembatani komunikasi tentang hal ihwal kesehatan reproduksi ini antara siswa dan orang tuanya.

2.2.7 Pendidikan Kesehatan Reproduksi Bagi Anak Sekolah Dasar Materi Pendidikan Kesehatan Reproduksi dalam Pembelajaran Materi pendidikan kesehatan reproduksi pada dasarnya bersifat fleksibel, namun tetap mempunyai pokok-pokok bahasan yang sudah disesuaikan dengan kebutuhan usia siswa. Bersifat fleksibel artinya materi ini mempunyai variasi yang luas dan beragam, menyesuaikan dengan budaya daerah, norma sosial, dan nilai-nilai agama yang ada di lingkungan tempat sekolah itu berada. Fleksibel juga berarti dalam penyampaian materi, guru dapat menggunakan berbagai teknik dan metode yang sesuai dengan suasana kelas, disampaikan dengan bahasa ’gaul’ yang akrab di telinga siswa, dan pendekatan yang luwes pada beberapa siswa dengan karakter dan kepribadian ’khusus’.

Menurut Pertiwi (2007) pendidikan kesehatan reproduksi dalam pembelajaran yang ditujukan untuk siswa sekolah dasar secara umum terdiri atas :

a. Untuk siswa sekolah dasar awal (kelas 1-2)

Materi berupa pembedaan identitas laki-laki dan perempuan terutama dari aspek biologisnya, perhatian tentang bagaimana proses pertumbuhan dan perubahan yang akan mereka hadapi, bagaimana asal mula kehidupan, dan bagaimana adab yang baik dalam bertanya kepada orang tua tentang hal-hal tersebut. Guru disarankan untuk mengajarkan nilai etika seperti berpakaian

sopan, meminta ijin ketika akan memasuki kamar orang tua, dan menjaga kebersihan organ kelaminnya.

b. Untuk siswa sekolah dasar tengah (kelas 3-4)

Materi berupa eksplorasi perubahan menjelang pubertas secara detail, bagaimana asal mula kehidupan manusia (darimana bayi berasal), kejahatan seksual dan bagaimana menjaga kesucian diri serta menghindari pengaruh seksual dari lingkungan yang menyimpang. Guru disarankan untuk mendorong anak menjalin komunikasi yang erat dengan keluarga, mencari sumber pengetahuan seksual yang benar, dan berhati-hati pada orang-orang dengan lingkungan perilaku seksual yang menyimpang.

c. Untuk siswa sekolah dasar akhir (kelas 5-6)

Materi berupa perubahan fisik dan emosi saat pubertas, imej diri dan harga diri, memahami perubahan seksualitas dalam diri masing-masing siswa setelah pubertas (menstruasi dan mimpi basah), perubahan pergaulan sosial, bagaimana mengelola khayalan dan godaan seksual, serta mulai diperkenalkan tentang bagaimana terjadinya kehamilan dan kaitannya dengan menstruasi dan hubungan seksual. Pada tahap ini, guru harus mampu mengajarkan bagaimana cara mengelola menstruasi, mimpi basah, dan khayalan seksual (seperti dengan gizi seimbang, menjaga kebersihan, bersuci, meredam rasa malu dan bersalah, membangkitkan kepercayaan diri siswa akan bentuk fisiknya yang baru), mendidik siswa agar tidak percaya pada mitos-mitos yang menyesatkan, mulai memisahkan siswa laki-laki dan perempuan dalam lingkungan pergaulan secara fleksibel, dan menanamkan

Dokumen terkait