• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DATA

METODOLOGI PENELITIAN

1.1 Latar Belakang

Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani dan alam nabati maupun berupa fenomena alam baik secara masing-masing maupun bersama-sama yang mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup yang lingkungannya tidak dapat tergantikan. Ekosistem dapat berjalan dengan baik apabila lingkungan dapat berjalan seimbang. Tindakan yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan kerusakan hutan dan kepunahan pada salah satu sumber daya alam hayati maupun ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian yang besar pada masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi. Sedangkan upaya pemulihan dari kerusakan tersebut menjadi ke bentuk keadaan semula tidak memungkinkan lagi.

Indonesia dengan luas daratan sekitar 189 juta hektar memiliki 133,68 juta hektar sumber daya hutan yang kaya akan berbagai spesies dan beragam tipe ekosistem (mega biodiversity). Selama tiga dekade terakhir sumber daya hutan Indonesia telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional berupa peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah serta pertumbuhan ekonomi. Pentingnya fungsi hutan menurut Sumaworto (1992:45) sebagai pengatur tata air mempunyai dampak yang bersifat lokal dan regional, tetapi fungsi hutan sebagai penentu iklim (global warming) dan sumber keanekaragaman hayati (biodiversity).

Hutan merupakan salah satu bentuk dari sumber daya alam hayati dan memiliki ekosistem yang beraneka ragam yang terkandung di dalamnya. Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 1 angka 2 disebutkan pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumber daya alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan alam yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Perhitungan luas kawasan hutan di Indonesia ialah 133.694.685,18 Ha.1

Apabila hutan seluas itu dimanfaatkan dan dikelola dengan sebaik-baiknya, maka tentunya akan memberikan dampak dan manfaat dalam menunjang pembangunan bangsa dan negara. Hasil hutan, baik untuk dinikmati maupun diusahakan mengandung banyak manfaat bagi kesinambungan kehidupan makhluk hidup. Dilihat dari manfaatnya, hutan memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan dan makhluk hidup diantaranya sebagai pengatur aliran air, pencegah erosi dan banjir serta dapat menjaga kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, rekreasi, pariwisata, dan sebagainya. Selain itu, hutan dapat memberikan manfaat secara ekonomis sebagai penyumbang devisa bagi kelangsungan pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu, pemanfaatan hutan dan perlindungannya telah diatur dalam UUD 1945, UU No. 5 Tahun 1990, UU No. 41 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2009, PP No. 28 Tahun 1985 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen

1

Pengusahaan Hutan. Namun, gangguan terhadap sumber daya hutan terus berlangsung bahkan intensitasnya makin meningkat.

Di tahun 2015, kerusakan hutan telah meningkatkan emisi karbon hampir 75%.2 Ini sangat signifikan karena karbondioksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang berimplikasi pada kecenderungan pemanasan global. Salju dan penutupan es telah menurun, suhu lautan dalam telah meningkat dan level permukaan lautan meningkat 100-200 mm selama abad yang terakhir. Bila laju yang sekarang berlanjut, para pakar memprediksi bumi secara rata-rata 1o Celcius akan lebih panas menjelang tahun 2025.3

Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang semakin sering terjadi saat ini. Dampak kebakaran hutan yang sangat dirasakan oleh manusia berupa kerugian ekonomis yaitu hilangnya manfaat dari potensi hutan seperti tegakan pohon hutan yang biasa digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan bahan bangunan, bahan makanan, dan obat-obatan, serta satwa untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani dan rekreasi. Kerugian lainnya berupa kerusakan ekologis yaitu berkurangnya luas wilayah hutan, tidak Peningkatan permukaan air laut dapat menenggelamkan banyak wilayah. Kondisi cuaca yang ekstrim yang menyebabkan kekeringan, banjir dan taufan, serta distribusi organisme penyebab penyakit yang diprediksi dapat terjadi.

2 3

tersedianya udara bersih yang dihasilkan vegetasi hutan serta hilangnya fungsi hutan sebagai pengatur tata air dan pencegah terjadinya erosi.

Adapun dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan cukup besar mencakup menurunnya keanekaragaman hayati, merosotnya nilai ekonomi hutan dan produktivitas tanah, perubahan iklim mikro maupun global, dan asapnya mengganggu kesehatan masyarakat serta mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut dan udara. Selain itu juga terdapat dampak global dari kebakaran hutan dan lahan yang langsung dirasakan adalah pencemaran udara dari asap yang ditimbulkan mengakibatkan gangguan pernapasan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Gangguan asap karena kebakaran hutan di Indonesia telah terjadi pada tahun 1997-1998, 2002-2005, dan yang baru-baru ini terjadi di tahun 2015 menghasilkan asap yang bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Indonesia, namun juga negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam serta mengancam terganggunya hubungan transportasi udara antar negara.4

Menurut Danny (2001: 24), penyebab utama terjadinya kebakaran hutan adalah karena aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh kejadian alam. Proses kebakaran alami menurut Soeriaatmadja (1997:78), bisa terjadi karena sambaran petir, benturan longsuran batu, dan singkapan batu bara. Namun menurut Saharjo dan Hudsaeni (1998:56), kebakaran karena proses alam tersebut sangatlah kecil dan kurang dari 1%.

4

Kebakaran Hutan terpicu oleh munculnya fenomena iklim El-Nino seperti kebakaran yang terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994, dan 1997.5

1. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah

Perkembangan kebakaran tersebut juga memperlihatkan terjadinya perluasan penyebaran lokasi kebakaran yang hampir terjadi di seluruh provinsi di Indonesia, serta tidak hanya pada kawasan hutan tetapi juga di lahan non hutan.

Penyebab kebakaran hutan sampai saat ini masih menjadi topik perdebatan, apakah karena alami atau karena kegiatan manusia. Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia yang berawal dari kegiatan atau permasalahan sebagai berikut:

2. Pembukaan lahan oleh para pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) untuk Industri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.

3. Penyebab struktural, yaitu kombinasi antara kemiskinan, kebijakan pembangunan dan tata pemerintahan sehingga menimbulkan konflik antara hukum adat dan hukum positif negara.

5

Suara Pembaruan Daily, 13 Maret, 1998, El Nino Dahsyat 1997-1998: Dalang Berbagai Bencana. El Nino adalah sebuah peristiwa Alam yang menunjukan adanya proses pemanasan permukaan air laut di kawasan ekuator di Samudera Pasifik sebelah timur, memang di yakini oleh para pakar dunia sebagai dalang terjadinya bermacam bencana. Perubahan muka air laut di Pasifik tersebut dapat mempengaruhi dan mengubah pola cuaca dunia. Akibatnya, di beberapa negara bisa terjadi hujan di atas normal sementara di negara lainnya terjadi kekeringan parah El Nino tahun 1997-1998 lebih dahsyat dibandingkan dengan peristiwa besar berakhir 15 tahun lalu dan sekaligus yang terbesar yang pernah di catat. Fenomena El Nino pernah terjadi pada tahun 1982-1983, bersamaan dengan peristiwa kebakaran hutan pada waktu itu.

Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan hutan di mana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena cepat, murah, dan praktis. Namun, pembukaan lahan untuk perladangan tersebut umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun (Dove 1998:65). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya sebagai kamuflase dari penebangan liar yang memanfaatkan jalan Hak Pengusahaan Hutan dan berada dikawasan Hak Pengusahaan Hutan.

Pembukaan hutan oleh pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metode pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metode ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi, dan lahan lainnya.6

Sedangkan penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki

6

secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidakadilan menjadi pemicu kebakaran hutan oleh masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.

Kebakaran Hutan di Riau sudah menjadi persoalan tahunan bagi Provinsi ini di tengah-tengah musim kemarau. Pada awal tahun 2013, kebakaran hutan di Riau memicu pemberitaan di sejumlah media nasional Pemerintah pusat dimana saat itu belum melakukan koordinasi langsung dengan pemerintah daerah karena menganggap persoalan kabut asap di Riau merupakan tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Tidak lama kemudian, pemberitaan media nasional bergeser pada negara tetangga, Singapura dan Malaysia. Kebakaran hutan di Riau menyebabkan asap tebal dan juga menyelimuti negara tetangga Singapura dan Malaysia sejak Juni 2013 lalu.7

Kabut Asap akibat pembakaran hutan di Riau juga turut meresahkan berbagai lapisan masyarakat bahkan negara tetangga, Singapura dan Malaysia.8

7

Maharani, Ini Sebab Kabut Asap Hutan Riau Selimuti Singapura, Volume 1 Nomor 3, 2013.

Peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan kabut asap Sumatera pada umumnya, dan Riau pada khususnya tidak lepas dari pengelolaan lingkungan yang tidak berkelanjutan (tidak bertanggung jawab) sehingga dampak kebakaran ini sangat massif. Dalam perkembangan kasus kebakaran hutan di Provinsi Riau terdapat satu kabupaten yang mengalami tingkat kebakaran tertinggi setiap tahunnya yaitu Kabupaten Siak yang dimana sampai dengan tahun 2010, luas

8

kawasan lahan dan hutan sekitar ± 324.865,03 Ha atau sebesar 37,97%. Sedangkan luas produksi tanaman kelapa sawit dan kombinasi lainnya sampai dengan tahun 2010 yaitu:

Tabel 1.1 Luas Hutan Produksi

No. Tanaman Luas (hektar atau ha)

1. Kelapa 1.606, 41 ha 2. Karet 13.614,45 ha 3. Kopi 130,65 ha 4. Sagu 3.457,50 ha 5. Coklat 51,25 ha 6. Pinang 201,32 ha 7. Sawit 232.858,11 ha

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Siak Tahun 2015

Sementara itu, luas lahan perkebunan yang ada baik yang dikelola oleh Pemerintah Daerah, Swasta, dan kebun rakyat seluas ± 245.357,23 Ha atau 28,68% dimana jika diakumulasikan maka luas hutan dan lahan perkebunan mencapai 66,65% dari total luas wilayah Kabupaten Siak. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah perlu mengambil langkah yang strategis agar kasus kebakaran hutan dan lahan tidak menghanguskan sejumlah besar lahan dan hutan yang ada di wilayah Kabupaten Siak.

Tabel 1.2

Berikut Data Rekapitulasi Luas Kebakaran Lahan dan Hutan di Kabupaten Siak Tahun 2006 s/d 2015

No Tahun Kecamatan Luas Areal Terbakar Titik Api Keterangan 1. 2007 3 Kecamatan 664 Ha 53 Lahan Masyarakat 2. 2008 3 Kecamatan 864 Ha 67 3. 2009 4 Kecamatan 800 Ha 1.574 4. 2010 6 Kecamatan 760 Ha 45 5. 2011 5 Kecamatan 1387 Ha 65 6. 2012 6 Kecamatan 1156 Ha 73 7. 2013 6 Kecamatan 1361 Ha 356 8. 2014 4 Kecamatan 97 Ha 105 9. 2015 4 Kecamatan 1785 Ha 492

Jumlah Luas Areal Terbakar ± 8874 Ha

Sumber : Dinas Kehutanan Kabupaten Siak Tahun 2006 s/d 2012

Berdasarkan tabel diatas menunjukan bahwa kebakaran hutan telah menjadi fenomena dari tahun ke tahun. Hal ini juga dapat dilihat dari rentang jumlah kebakaran yang tidak mengalami penurunan secara signifikan, akan tetapi meskipun pada tahun 2014 bencana kebakaran lahan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun ke tahun sebelumnya, yaitu tahun 2015 yang mengalami jumlah tingkat kebakaran yang paling tinggi. Kebakaran hutan senantiasa terjadi di Kabupaten Siak sejak 8 tahun terakhir ini kurang lebih 8.874 hektar.

Oleh karena itu, Pemerintah Daerah sebagai pihak yang mengeluarkan izin harus mampu mengawasi pengelolaan hutan secara lebih bertanggung jawab dan ramah lingkungan serta memiliki langkah preventif dalam mencegah kebakaran

hutan. Adapun yang dilaksanakan dalam kegiatan pengawasan hutan melibatkan beberapa pihak-pihak yang terkait diantaranya yaitu:

1. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) 2. Badan Lingkungan Hidup (BLH)

3. Manggala Agni DAOPS Kabupaten Siak

Tujuan dari kegiatan pengawasan kebakaran hutan dengan melibatkan beberapa pihak adalah agar setiap kebakaran hutan yang terjadi secepat mungkin dapat ditanggulangi secara optimal, efektif dan efisien. Kegiatan pengawasan hutan yang melibatkan beberapa pihak yang terkait, diantaranya yaitu:

1. Melakukan patroli rutin dengan Polisi Kehutanan yang bertugas untuk mendeteksi kondisi langsung di lapangan.

2. Melakukan koordinasi dengan BMKG untuk memantau titik api (hotspot) dan memberikan informasi mengenai perkembangan titik api tersebut. 3. Melakukan koordinasi dengan Badan Koordinasi Penyuluhan untuk

memberikan edukasi kepada masyarakat lokal agar tidak membuka lahan dengan cara tradisional.

Upaya pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Siak selama ini hanya masih sebatas pada patroli rutin ke daerah-daerah yang rawan akan terjadi kebakaran lahan terutama pada musim kemarau atau bulan-bulan dimana frekuensi dan curah hujan yang sangat rendah. Kemudian, pengawasan kebakaran masih lebih difokuskan kepada pemadaman

daripada upaya pencegahan sehingga upaya untuk meminimalisir kebakaran hutan masih belum maksimal.

Oleh karena itu, maka berbagai perubahan yang terjadi harus disikapi dan diantisipasi secepatnya oleh Pemerintah Daerah dengan menerapkan strategi yang efektif guna memanfaatkan kekuatan internal yang dimiliki dan mempertimbangkan pengaruh eksternalnya. Atas dasar inilah perlu adanya kajian mengenai strategi yang tepat untuk melakukan pengawasan terhadap masalah kebakaran hutan yang sudah menjadi bencana tiap tahunnya di Kabupaten Siak.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis sangat tertarik melakukan penelitian untuk mencari alternatif strategi terkait upaya meningkatkan pengawasan hutan terhadap kasus kebakaran hutan di Kabupaten Siak. Adapun judul penelitian penulis adalah “Implementasi Strategi Dinas Kehutanan Dalam Upaya Meningkatkan Pengawasan Hutan Pada Kasus Kebakaran Hutan di Kabupaten Siak, Provinsi Riau”.

Dokumen terkait