• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN & SARAN

6.2 Saran

1. Pihak BPJS seharusnya bekerja sama terhadap seluruh bank atau dapat menggunakan ATM bersama untuk memudahkan peserta mandiri kelas I dan kelas II terhadap pembayaran iuran.

2. Pihak BPJS agar memberikan informasi dan sosialisasi yang jelas kepada masyarakat yang ingin menjadi peserta. Sosialisasi mengenai persyaratan administrasi dan BPJS online.

3. Pihak BPJS sebaiknya membuka cabang tempat pendaftaran calon peserta BPJS disetiap kecamatan, agar memudahkan calon peserta dalam mendaftar.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Demand atau Permintaan 2.1.1. Pengertian

Grossman (1972) dalam Trisnantoro (2009) penelitian yang sangat berpengaruh dalam khasanah ekonomi kesehatan menggunakan teori modal manusia (human capital) untuk menggambarkan demand untuk kesehatan dan demand untuk pelayanan kesehatan. Dalam teori ini disebutkan bahwa seseorang melakukan investasi untuk bekerja dan menghasilkan uang melalui pendidikan, pelatihan, dan kesehatan. Grossman menguraikan bahwa demand untuk kesehatan memiliki beberapa hal yang membedakan dengan pendekatan tradisional demand dalam sektor lain:

1. Yang diinginkan masyarakat atau konsumen adalah kesehatan, bukan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan merupakan derived demand sebagai input untuk menghasilkan kesehatan.

2. Masyarakat tidak membeli kesehatan dari pasar secara pasif. Masyarakat menghasilkannya, menggunakan waktu untuk usaha-usaha peningkatan kesehatan, di samping menggunakan pelayanan kesehatan.

3. Kesehatan dapat dianggap sebagai bahan investasi karena tahan lama dan tidak terdepresiasi dengan segera.

4. Kesehatan dapat dianggap sebagai bahan konsumsi sekaligus sebagai bahan investasi.

Demand terhadap kesehatan dapat dilakukan melalui pengertian tentang keinginan (wants), permintaan (demand), dan kebutuhan (needs). Pengertian ini dibutuhkan mengingat demand dalam pelayanan kesehatan merupakan suatu hal yang agak berbeda dibandingkan dengan demand untuk komoditi atau pelayanan lain. Dalam membahas pengertian ini, model dari Cooper (Posnett, 1988) merupakan kajian untuk dibahas. Secara skematis model tersebut digambarkan dalam Gambar 2.1

Keinginan (Wants)

Permintaan (Demands)

Kebutuhan (Needs)

Gambar 2.1 Konsep keinginan (wants), permintaan (demand), dan kebutuhan(needs) Berdasarkan model Grossman, keinginan seseorang bekerja menghasilkan pendapatan membutuhkan modal, antara lain kesehatan. Dalam istilah sosial

Keinginan seseorang untuk menjadi lebih sehat dalam hidup. Keinginan ini didasarkan pada

penilaian diri terhadap status kesehatannya.

Keinginan untuk lebih sehat diwujudkan dalam perilaku mencari

pertolongan tenaga kedokteran

Keadaan kesehatan yang oleh tenaga kedokteran dinyatakan harus

disebut dengan keinginan untuk sehat. Dengan konsep keinginan ini seseorang dapat menilai dirinya sendiri.

Secara umum fungsi permintaan adalah persamaan yang menunjukkan hubungan antara jumlah permintaan akan sesuatu barang dan semua faktor yang mempengaruhinya.

2.1.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Demand

Menurut Trisnantoro (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi demand pelayanan kesehatan antara lain: kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis; penilaian pribadi akan status kesehatannya; variabel-variabel ekonomi seperti tarif, ada tidaknya sistem asuransi, dan penghasilan; variabel-variabel demografis dan organisasi. Di samping faktor-faktor tersebut terdapat faktor lain misalnya, pengiklanan, pengaruh jumlah dokter dan fasilitas pelayanan kesehatan, dan pengaruh inflasi. Faktor-faktor ini satu sama lain saling terkait secara kompleks. 1. Kebutuhan Berbasis Fisiologis

Kebutuhan berbasis pada aspek fisiologis menekankan pentingnya keputusan petugas medis yang menentukan perlu tidaknya seseorang mendapat pelayanan medis. Keputusan petugas medis ini akan mempengaruhi penilaian seseorang akan status kesehatannya. Berdasarkan situasi ini maka demand pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan atau dikurangi. Faktor-faktor ini dapat diwakilkan dalam pola epidemiologi yang seharusnya diukur berdasarkan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, data epidemiologi yang ada sebagian besar menggambarkan puncak gunung es yaitu demand, bukan kebutuhan (needs).

2. Penilaian Pribadi akan Status Kesehatan

Secara sosio-antropologis, penilaian pribadi akan status kesehatan dipengaruhi oleh kepercayaan, budaya dan norma-norma sosial di masyarakat. Indonesia sebagai negara Timur sejak dahulu telah mempunyai pengobatan alternatif dalam bentuk pelayanan dukun ataupun tabib. Pelayanan ini sudah berumur ratusan tahun sehingga dapat dilihat bahwa demand terhadap pelayanan pengobatan alternatif ada dalam masyarakat. Sebagai contoh, untuk berbagai masalah kesehatan jiwa peranan dukun masih besar. Di samping itu, masalah persepsi mengenai risiko sakit merupakan hal yang penting. Sebagian masyarakat sangat memperhatikan status kesehatannya, sebagian lain tidak memperhatikannya.

3. Variabel-Variabel Ekonomi Tarif

Hubungan tarif dengan demand terhadap pelayanan kesehatan adalah negatif. Semakin tinggi tarif maka demand akan menjadi semakin rendah. Sangat penting untuk dicatat bahwa hubungan negatif ini secara khusus terlihat pada keadaan pasien yang mempunyai pilihan.

4. Penghasilan Masyarakat

Kenaikan penghasilan keluarga akan meningkatkan demand untuk pelayanan kesehatan yang sebagian besar merupakan barang normal. Akan tetapi, ada pula sebagian pelayanan kesehatan yang bersifat barang inferior, yaitu adanya kenaikan penghasilan masyarakat justru menyebabkan penurunan konsumsi. Hal ini terjadi pada rumah sakit pemerintah di berbagai kota dan kabupaten. Ada pula

kecenderungan mereka yang berpenghasilan tinggi tidak menyukai pelayanan kesehatan yang menghabiskan waktu banyak.

5. Asuransi Kesehatan dan Jaminan Kesehatan

Pada negara-negara maju, faktor asuransi kesehatan menjadi penting dalam hal demand pelayanan kesehatan. Di samping itu, dikenal pula program pemerintah dalam bentuk jaminan kesehatan untuk masyarakat miskin dan orang tua. Program pemerintah ini sering disebut sebagai asuransi sosial. Adanya asuransi kesehatan dan jaminan kesehatan dapat meningkatkan demand terhadap pelayanan kesehatan. Dengan demikian, hubungan asuransi kesehatan dengan demand terhadap pelayanan kesehatan bersifat positif. Asuransi kesehatan bersifat mengurangi efek faktor tarif sebagai hambatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pada saat sakit. Dengan demikian, semakin banyak penduduk yang tercakup oleh asuransi kesehatan maka demand akan pelayanan kesehatan (termasuk rumah sakit) menjadi semakin tinggi. Peningkatan demand ini dipengaruhi pula oleh faktor moral hazard. Seseorang yang tercakup oleh asuransi kesehatan akan terdorong menggunakan pelayanan kesehatan sebanyak-banyaknya.

6. Variabel-Variabel Demografis dan Umur

Faktor umur sangat mempengaruhi demand terhadap pelayanan preventif dan kuratif. Semakin tua seseorang sendiri meningkat demand-nya terhadap pelayanan kuratif. Sementara itu, demand terhadap pelayanan kesehatan preventif menurun. Dengan kata lain, semakin mendekati saat kematian, seseorang merasa bahwa keuntungan dari pelayanan kesehatan preventif akan lebih kecil

dibandingkan dengan saat masih muda. Fenomena ini terlihat pada pola demografi di negara-negara maju yang berubah menjadi masyarakat tua. Pengeluaran untuk pelayanan kesehatan menjadi sangat tinggi.

7. Jenis Kelamin

Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa demand terhadap pelayanan kesehatan oleh wanita ternyata lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Hasil ini sesuai dengan dua perkiraan. Pertama, wanita mempunyai insidensi penyakit yang lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Kedua, karena angka kerja wanita lebih rendah maka kesediaan meluangkan waktu untuk pelayanan kesehatan lebih besar dibanding dengan laki-laki. Akan tetapi, pada kasus-kasus yang bersifat darurat perbedaan antara wanita dan laki-laki tidaklah nyata.

8. Pendidikan

Seseorang dengan pendidikan tinggi cenderung mempunyai demand yang lebih tinggi. Pendidikan yang lebih tinggi cenderung meningkatkan kesadaran akan status kesehatan, dan konsekuensinya untuk menggunakan pelayanan kesehatan.

Sedangkan menurut Mankiw (2003), ada banyak faktor atau variabel yang dapat mempengaruhi permintaan suatu barang, sehingga akan menggeser kurva permintaan antara lain adalah:

1. Harga

Permintaan konsumen dapat dipengaruhi oleh harga, harga barang yang akan dibeli, harga pengganti maupun harga barang pelengkap. Konsumen akan membatasi pembelian jumlah barang yang diinginkan bila harga barang terlalu

tinggi, bahkan ada kemungkinan konsumen memindahkan konsumsi dan pembeliannya kepada barang pengganti yang lebih murah harganya. Harga barang pelengkap juga akan mempengaruhi keputusan seorang konsumen untuk membeli atau tidak barang utamanya, bila permintaan barang utama meningkat, maka permintaan akan barang penggantinya akan menurun dan sebaliknya.

2. Pendapatan Konsumen

Konsumen tidak akan dapat melakukan pembelian barang kebutuhan bila pendapatan tidak ada atau tidak memadai. Dengan demikian, maka perubahan pendapatan akan mendorong konsumen untuk mengubah permintaan akan barang kebutuhannya. Berdasarkan sifat perubahan permintaan terhadap berbagai barang apabila terjadi perubahan pendapatan, dapat dibedakan dalam beberapa golongan antara lain:

a. Barang Esensial adalah barang yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, sehingga kebutuhan atau permintaan akan brang initidak akan berubah walaupun terjadi perubahan pendapatan.

b. Barang Normal adalah barang yang permintaannya berhubungan lurus dengan pendapatan konsumen. Bila pendapatan konsumen meningkat, maka permintaan akan barang tersebut juga meningkat dan sebaliknya, bila pendapatan konsumen menurun, maka permintaan barang tersebut juga menurun.

c. Barang Inferior adalah barang yang permintaannya berhubungan terbalik dengan pendapatan konsumen. Bila pendapatan konsumen meningkat maka permintaan akan barang tersebut akan menurun, dan sebaliknya, bila pendapatan konsumen menurun, maka permintaan akan barang tersebut meningkat.

3. Jumlah Konsumen

Pertambahan konsumen misalnya penduduk, tidak dengan sendirinya menyebabkan pertambahan jumlah permintaan suatu barang. Akan tetapi pertambahan penduduk diikuti oleh perkembangan kesempatan kerja. Dengan demikian, akan lebih banyak orang yang akan menerima pendapatan dan hal ini juga akan menambah daya beli masyarakat. Pertambahan daya beli masyarakat akan menambah permintaan.

4. Selera Konsumen

Perubahan selera dapat termanifestasikan ke dalam perilaku pasar. Perubahan selera konsumen bisa ditunjukkan oleh perubahan bentuk atau posisi dari indifference map, tanpa ada perubahan harga barang maupun pendapatan, permintaan aka sesuatu barang bisa berubah karena perubahan selera.

5. Ramalan Mengenai Keadaan di Masa Yang Akan Datang

Perubahan-perubahan yang diramalkan mengenai keadaan pada masa yang akan datang dapat mempengaruhi permintaan. Ramalan para konsumen bahwa harga-harga akan naik pada masa yang akan datang akan mendorong konsumen membeli lebih banyak untuk menghemat pengeluaran pada masa yang akan datang.

2.2 Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) 2.2.1 Pengertian BPJS

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Adapun tujuan dari dibentuknya BPJS untuk mewujudkan

terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan/atau anggota keluarganya.

2.2.2. Fungsi, Tugas, Wewenang, Hak dan Kewajiban BPJS 1. Fungsi BPJS

BPJS Kesehatan berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

2. Tugas BPJS

a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta;

b. Memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja; c. Menerima Bantuan Iuran dari Pemerintah;

d. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta;

e. Mengumpulkan dan mengelola data Peserta program Jaminan Sosial;

f. Membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program Jaminan Sosial; dan

g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program Jaminan Sosial kepada Peserta dan masyarakat.

3. Wewenang BPJS

a. Menagih pembayaran Iuran;

b. Menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai;

c. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan Pemberi Kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional;

d. Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah;

e. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;

f. Mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;

g. Melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

h. Melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program Jaminan Sosial.

4. Hak BPJS

a. memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

b. memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial dari DJSN setiap 6 (enam) bulan.

5. Kewajiban BPJS

b. Mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan Peserta;

c. Memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya; d. Memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan Undang-Undang

tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;

e. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku;

f. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya;

g. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai saldo jaminan hari tua dan pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;

h. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai besar hak pensiun 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;

i. Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum;

j. Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dalam penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan

k. Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN. (Peraturan BPJS No.1 Tahun 2014)

2.2.3. Peserta BPJS Pekerja Bukan Penerima Upah atau Mandiri

Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.

Pekerja Bukan Penerima Upah (peserta pembayar mandiri) dan anggota keluarganya yaitu setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri, contohnya : Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri (pekerja professional seperti pengacara, dokter praktek, notaris, konsultan, dan lain-lain), dan pekerja mandiri lainnya seperti petani, nelayan, pedagang, tukang ojek, pekerja mandiri salon, pekerja mandiri bengkel, dan lain-lain.

Pekerja Bukan Penerima Upah tidak termasuk Pensiunan TNI, Pensiunan Polri, Pensiunan PNS, Pensiunan Pejabat Negara, Veteran dan Perintis Kemerdekaan. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya meliputi : pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri, dan pekerja yang tidak termasuk di atas yang bukan penerima upah. Termasuk Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.

Anggota keluarga meliputi istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah, sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.

Anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah dengan kriteria:

a. tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri; b. belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.

Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain. Anggota keluarga yang lain meliputi anak ke 4 (empat) dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.

2.2.4. Pelayanan Kesehatan yang Dijamin BPJS 1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama

Pelayanan kesehatan tingkat pertama, meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup:

a. Administrasi pelayanan;

b. Pelayanan promotif dan preventif;

c. Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;

d. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif; e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;

f. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis;

g. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama; dan h. Rawat Inap Tingkat Pertama sesuai dengan indikasi medis.

2. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, meliputi pelayanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap, yang mencakup:

a. Administrasi pelayanan;

b. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan subspesialis;Layanan Bagi Peserta BPJS Kesehatan 31

c. Tindakan medis spesialistik, baik bedah maupun non bedah sesuai dengan indikasi medis;

e. Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis; f. Rehabilitasi medis;

g. Pelayanan darah;

h. Pelayanan kedokteran forensik klinik;

i. Pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal setelah dirawat inap di fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, berupa pemulasaran jenazah tidak termasuk peti mati dan mobil jenazah;

j. Perawatan inap non intensif; dan k. Perawatan inap di ruang intensif.

3. Persalinan. Persalinan yang ditanggung BPJS Kesehatan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama maupun Tingkat Lanjutan adalah persalinan sampai dengan anak ketiga, tanpa melihat anak hidup/ meninggal.

4. Ambulan. Ambulan hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan satu ke fasilitas kesehatan lainnya, dengan tujuan menyelamatkan nyawa pasien.34 Panduan Layanan Bagi Peserta BPJS Kesehatan

2.2.5. Pelayanan Kesehatan yang Tidak Dijamin BPJS

1. Pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan yang berlaku;

2. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kecuali dalam keadaan darurat;

3. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja sampai nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan kerja;

4. Pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas yang bersifat wajib sampai nilai yang ditanggung oleh program jaminan kecelakaan lalu lintas;

5. Pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri; 6. Pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik;

7. Pelayanan untuk mengatasi infertilitas; 8. Pelayanan meratakan gigi (ortodonsi);

9. Gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/ atau alkohol; 10. Gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri;

11. Pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupuntur, shin-she, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment);

12. Pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan (eksperimen);

13. Alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu; 14. Perbekalan kesehatan rumah tangga;

15. Pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian luar biasa/wabah; dan

16. Biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan denganmanfaat jaminan kesehatan yang diberikan.

2.2.6 Universal Health Coverage (UHC)

Universal coverage menurut Mundiharno (2012) dapat diartikan sebagai cakupan menyeluruh. Istilah universal coverage berasal dari WHO (World Health Organisation), lebih tepatnya universal health coverage. Istilah tersebut sebenarnya kelanjutan dari jargon sebelumnya yaitu health for all.

Mundiharno (2012) menyatakan dalam perspektif jaminan kesehatan, istilah universal coverage memiliki beberapa dimensi. Pertama, dimensi cakupan kepesertaan. Dari dimensi ini universal coverage dapat diartikan sebagai “kepesertaan menyeluruh”, dalam arti semua penduduk dicakup menjadi peserta jaminan kesehatan. Dengan menjadi peserta jaminan kesehatan diharapkan mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan. Namun tidak semua penduduk yang telah menjadi peserta jaminan kesehatan dapat serta merta mengakses pelayanan kesehatan. Jika di daerah tempat penduduk tinggal tidak ada fasilitas kesehatan, penduduk akan tetap sulit menjangkau pelayanan kesehatan. Oleh karena itu dimensi kedua dari universal health coverage adalah akses yang merata bagi semua penduduk dalam memperoleh pelayanan kesehatan.

Secara implicit pengertian ini mengandung implikasi perlu tersedianya fasilitas dan tenaga kesehatan agar penduduk yang menjadi peserta jaminan kesehatan benar-benar dapat memperoleh pelayanan kesehatan. Ketiga, universal coverage juga berarti bahwa proporsi biaya yang dikeluarkan secara langsung oleh masyarakat (out of pocket payment) makin kecil sehingga tidak mengganggu keuangan peserta (financial catastrophic) yang menyebabkan peserta menjadi miskin.

WHO merumuskan tiga dimensi dalam pencapaian universal coverage yang digambarkan melalui gambar kubus berikut:

Ketiga dimensi universal coverage menurut WHO adalah (1) seberapa besar persentase penduduk yang dijamin; (2) seberapa lengkap pelayanan yang dijamin, serta (3) seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggung oleh

Sumber: WHO, The World Health Report (2010)

Gambar 2.2 Dimensi Universal Health Coverage

penduduk. Dimensi pertama adalah jumlah penduduk yang dijamin. Dimensi kedua adalah layanan kesehatan yang dijamin, misalnya apakah hanya layanan di rumah sakit atau termasuk juga layanan rawat jalan. Dimensi ketiga adalah proporsi biaya kesehatan yang dijamin. Makin banyak dana yang tersedia, makin banyak pula penduduk yang terlayani, makin komprehensif paket pelayanannya serta makin kecil proporsi biaya yang harus ditanggung penduduk. Alokasi atau pengumpulan dana yang terbatas berpengaruh terhadap komprehensif tidaknya pelayanan yang dijamin serta proporsi biaya pengobatan/perawatan yang dijamin (Mundiharno, 2012).

Indonesia berupaya mencapai universal coverage dalam tiga dimensi tersebut secara bertahap. Prioritas pertama dalam pencapaian universal coverage adalah perluasan penduduk yang dijamin, yaitu agar semua penduduk terjamin sehingga setiap penduduk yang sakit tidak menjadi miskin karena beban biaya berobat yang tinggi. Langkah berikutnya adalah memperluas layanan kesehatan yang dijamin agar setiap orang dapat memenuhi kebutuhan medis (yang berarti pula makin komprehensif paket manfaatnya). Dan terakhir adalah peningkatan biaya medis yang dijamin sehingga makin kecil proporsi biaya langsung yang ditanggung penduduk. Sesuai dengan pengalaman masa lalu dan pengalaman penyediaan jaminan kesehatan untuk pegawai negeri, Indonesia menghendaki jaminan kesehatan untuk semua penduduk (dimensi I), menjamin semua penyakit (dimensi II) dan porsi biaya yang menjadi tanggungan penduduk (peserta) sekecil mungkin.

Cepat tidaknya pencapaian universal coverage melalui asuransi kesehatan sosial (social health insurance) diperngaruhi oleh beberapa faktor. Carrin dan James Sebagaimana dikutip oleh Mundiharno (2012) menyebut ada lima faktor yang mempengaruhi cepat lambatnya suatu negara mencapai universal coverage. Pertama, tingkat pendapatan penduduk. Makin tinggi tingkat pendapatan penduduk makin tinggi kemampuan penduduk dan juga majikan dalam membayar iuran (premi). Kedua, struktur ekonomi negara terutama berkaitan dengan besarnya proporsi sektor formal dan informal.

Ketiga, distribusi penduduk negara. Distribusi penduduk yang tersebar luas ke berbagai wilayah menyebabkan biaya administrasi penyelenggaraan yang

lebih tinggi dibanding kalau penduduknya terpusat pada daerah-daerah tertentu. Keempat, kemampuan negara dalam mengelola asuransi kesehatan sosial. Penyelenggaraan jaminan kesehatan memerlukan sumberdaya terampil yang memadai. Kelima faktor tersebut perlu diperhatikan oleh pemerintah dalam membuat pedoman dan aturan (stewardship) dalam mencapai universal health coverage melalui asuransi kesehatan sosial (SHI).

Upaya pemerintah Indonesia dalam mencapai universal health coverage dilakukan dengan cara menerbitkan UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

Dokumen terkait