• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

C. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyampaikan beberapa saran terutama bagi guru bahasa dan sastra Indonesia yaitu:

1. Seorang guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia harus memiliki minat yang tinggi terhadap karya sastra, terutama cerpen khususnya kumpulan cerpen Emak Ingin Naik Haji karya Asma Nadia.

2. Nilai-nilai pendidikan yang ada dalam kumpulan cerpen Emak Ingin Naik Haji karya Asma Nadia, hendaknya dapat digunakan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari bagi anak didik untuk berbuat baik dan berpikir positif

3. Pemilihan materi pembelajaran sastra harus disesuaikan dengan kondisi siswa dan kurikulum yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi.1997. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: Rineka Cipta.

Andre Hardjana. 1985. Kritik Sastra (Sebuah Pengantar). Jakarta: Gramedia. Asma Nadia. 2009. Emak Ingin Naik Haji. Depok: AsmaNadia Publishing House. Atar Semi. 1993. Anatomi Sastra. Bandung: Angkasa Raya.

Burhan Nurgiyantoro. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press.

Brahim. 1968. Drama dalam Pendidikan. Jakarta: Asia Timur Baru.

Ekarini Saraswati. 2003. Sosiologi Sastra: sebuah Pemahaman Awal. Malang: Bayu Media dan UMM Press.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gani Rizanur. 1988. Pengajaran Sastra Indonesia (Respon dan Analisis). Jakarta: Depdikbud.

Gunoto Saparie. 2007. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra. (Http.www.Suara KaryaOnline.htm) Diakses tanggal 26 Februari 2010

Hadikusumo,dkk. 1999. Pengantar Pendidikan. Semarang: CV. IKIP

SEMARANG PRESS.

Hasan Alwi. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Henry Guntur Tarigan. 1983. Prinsip- Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Herman J Waluyo. 2002. Pengkajian Prosa Fiksi. Surakarta: UNS Press. Idianto M. 2004. Sosiologi untuk SMA kelas X. Jakarta: Erlangga.

Jabrohim (ed).2001. Metodologi Penelitian Sastra.Yogjakarta: Hanindita Graha Widia.

Jakob Sumardjo. 1981. Masyarakat dan Sastra Indonesia. Bandung: Nur Cahaya. Lexy J Moleong. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Mursal Esten. 2000. Kesusastraan (Pengantar Teori dan Sejarah). Bandung: Angkasa.

Netti Saptadewi. 2006. Skripsi”Kajian Struktur dan Kritik Sosial dalam Cerpen-cerpen karya Hamsad Rangkuti (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra)”. Surakarta:Universitas Sebelas Maret

commit to user

Nyoman Kutha Ratna. 2003. Teori, Metode dan teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Putu Arya Tirtawirya. 1982. Apresiasi Puisi dan Prosa. Ende Flores: Nusa Indah. Saini, K.M. 1994. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Angkasa.

Sapardi Djoko Damono. 1978. Sosiologi Sastra (Sebuah Pengantar Ringkas). Jakarta: Depdikbud.

Soerjono Soekanto. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian sastra (Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi). Yogjakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Suwondo, dkk. 1994. Nilai-nilai Budaya Susastra Jawa. Jakarta: Depdikbud. Tirtarahardja, Umar dan S.L la Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT

Asdi Mahasalya.

Wellek Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melanie Budianta. Jakarta: Gramedia.

Wiyatmi. 2005.Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

commit to user

Sinopsis Cerpen

Emak Ingin Naik Haji

Kerinduan yang mengental di mata Emak setiap musim haji tiba. Ketika dan balik jendela, Emak merayapi bangunan megah yang terletak persis di depan rumah kecil mereka. Tempat tinggal Juragan Haji.

Bukan berita baru karena nyaris setiap tahun tetangga mereka itu berhaji. Lebih sering sendiri atau berdua istri. Kadang mengajak anak-anaknya. Tidak cuma haji, konon Juragan Haji pernah sampai membawa 22 orang sanak keluarganya dalam paket umroh bersama selebritis terkenal..

Kalau melihat kenyataan betapa mudahnya Juragan Haji berangkat setiap tahun, Zein sulit mempercayai berita-berita yang berseliweran, biaya ONH yang terus membumbung, hingga menyulitkan orang-orang kecil untuk berangkat, ratusan jamaah yang batal karena masalah quota, atau penipuan oleh biro haji tidak bertanggung jawab.

Tetangganya yang kaya seakan tidak tersentuh masalah itu.

Zein melihat Emak lambat-lambat berjalan menjauhi jendela, tempat perempuan itu sehari-hari bermimpi.

“Eh, berape sekarang ongkosnya, Zein?” “ONH biasa atau plus, Mak?”

Emak tertawa. Beberapa giginya yang ompong terlihat, “Kagak usah plus-plusan. Mak kagak ngerti.”

“Kalo kagak salah tiga ribu lima ratusan.” “Murah itu!”

Kali ini Zein tertawa,

“Pakai dolar itu, Mak. Kalau dirupiahin mah tiga puluh lima jutaan.” Suara riang Emak kontan meredup, “Dulu sih kita punya tanah. Tapi keburu dijual waktu Bapak sakit.”

Beberapa saat Emak hanya menghela napas panjang. Suaranya kemudian terdengar seperti bisikan, “Mak pengin naik haji, Zein... pengin banget.”

Terlontar juga.

Hati Zein berdesir perih.

Dia telah gagal pikirnya kesal. Sebagai anak satu-satunya aku telah gagal membahagiakan Mak.

Terbayang wajah Emak. Ingat kerinduan satu-satunya perempuan itu. Empat puluh tahun sudah usia... kapan aku dapat melunasi mimpi Emak untuk naik haji?

Tapi Tuhan tahu dia bukan tidak berusaha.

Bimbingan belajar yang dikelolanya bersama seorang teman terpaksa bangkrut karena kalah bersaing.

Usahanya berjualan sepatu di pasar pun tidak berkembang. Malah meninggalkan hutang yang harus dicicili. setiap bulan. Sementara sisa sepatu terpaksa dia jual dengan harga sangat murah kepada tetangga.

Usaha warnet? Menggiurkan tapi butuh modal yang banyak. Alih-alih jadi pengusaha, dia malah jadi penjaga warnet yang buka 24 jam. Belakangan Zein berhenti bekerja, karena jam kerja yang panjang sampai pagi, membuat penyakit paru-parunya kambuh, dan meninggalkan deret resep yang tidak bisa ditebusnya.

Emak sudah terlalu lama menunggu.

Zein sadar, dia tidak punya banyak waktu. Tapi apalagi yang belum dilakukannya untuk mencari uang?

Barangkali hanya merampok dan membunuh. Pukul 02.00 pagi.

Sebilah parang dan golok. Seutas tali. Beberapa kantung plastik. Terakhir sapu tangan yang dilipat diagonal hingga berbentuk segitiga, sebagai penutup wajah.

Kalau keberadaannya di penjara bisa membuat Mak menjadi tamu Allah, dia siap.

Tekadnya sudah bulat.

Zein mencermati lagi persiapannya sebelum memasukkan satu demi satu barang di meja ke dalam tas ranselnya yang lusuh.

commit to user

Tepat ketika lelaki itu merogoh saku celana mencari sehelai kertas, tangannya menyentuh sesuatu. Lembaran-lembaran kecil yang diberikan Sri sebelum mereka meninggalkan supermarket.

Zein tertegun.

Dulu dia tidak pernah meletakkan nasib pada lembaran kertas.

Kupon undian dan supermarket besar, yang diberikan Sri usai mereka berbelanja. Potongan-potongan kertas kecil yang hampir dilupakan Zein.

Sosok Emak yang berdiri berjam-jam menatap rumah Juragan Haji terus mengusik. Memberinya energi lebih saat tengah malam itu Zein mengisi satu demi satu kolom dalam kertas undian: Nama, alamat, nomor KTP... sambil berdoa tak putus.

Harapan setitik yang tiba-tiba melenyapkan keinginan untuk menyatroni tempat tinggal Juragan Haji.

Kilatan memori melompat cepat menyusuri hari demi hari, hingga tiba waktu pengumuman yang dijanjikan. Mereka bilang nama-nama pemenang akan dimuat di surat kabar pagi hari ini. Dan Zein merasa dadanya meledak saat menemukan namanya tercantum di halaman delapan. Keriangan yang membuatnya melompat dan menari-nari sepanjang jalan.

Seumur hidup dia tidak pernah menangis. Dia bahkan tidak menangis ketika Bapak meninggal. Tapi beberapa waktu lalu Zein benar-benar menangis. Seperti tak percaya. Dia dan Emak merupakan satu dari lima pemenang undian berhadiah paket haji untuk dua orang.

Akhirnya dia bisa membawa Emak ke Mekkah. Berdoa di depan Ka ‘bah. Bershalawat di makam Nabi di Raudhah.

Koran

.

“Koran itu bikin kita cerdas!” ucapku berkali-kali menyitir moto sebuah media ibu kota. Atau di kesempatan lain, “Koran itu enak dibaca dan perlu!” suaraku keras dan penuh semangat, meski masih sama tidak kreatifnya, karena lagi-lagi cuma mencomot slogan koran.

Orang cerdas itu baca koran, tau!

Tapi perasaanku pada koran, mulai terganggu tiga bulan yang lalu. Uniknya bukan karena omongan kawan-kawan. Penyebabnya justru berasal dari koran itu sendiri.

Waktu itu aku sedang menyisir judul-judul berita tiap halaman, ketika mataku tertumpu pada satu berita “Guru SD di Bogor Dikeroyok Massa karena Mencabuli Anak Didik.”

Guru SD bernama Maman Jumadi 30 tahun, dikeroyok massa setelah salah satu muridnya mengadu telah diperlakukan tidak senonoh... Bapak dari tiga anak tersebut saat ini meringkuk di Polres Bogor.

“Hei .... mau ke mana, Din?”

Kliwon, teman sekelas di SPG dulu, yang kuhubungi membenarkan dugaanku.“Betul, Din. Itu Maman kawan kita. Kabarnya malah ini bukan yang pertama kali dia begitu. Kacau juga dia, ya!”

Kuraih koran pemberian Mas Parjo. Kubaca perkembangan kebijaksanaan Amerika Serikat terhadap warga muslim di sana, lalu komentar beberapa anggota DPR soal naiknya harga-harga menyusul kenaikan BBM, telepon, dan tarif listrik, sedang para konglomerat yang utangnya trilyunan malah dibiarkan bebas. Sungguh ajaib keadilan yang diberikan aparat pemerintah pada rakyatnya.

Kubuka halaman demi halaman. Kubaca satu demi satu. Bagiku koran yang kucinta memang bukan barang murah, jadi harus diperlakukan seperti makanan. Tak ada yang boleh terlewat. Siapa tahu berita yang membawa berkah malah ditaruh belakangan Jadi, aku terus membaca.

commit to user

Sampai halaman empat, aku terpaku. Mendadak bayangan Japra dengan tato-tato di sekujur lengan dan punggungnya, melintas. Japra yang lebih suka membeli rokok daripada membeli koran.

Dan kemarin, dalam keributan antara preman Tanah Abang, jagoan bongkaran itu tewas dibacok!

Aku terpukul. Rasanya ada bongkahan batu besar yang dipukulkan ke dadaku berulang ulang. Teman mainku dan kecil meninggal dan aku harus mengetahuinya lewat koran sialan mi?

Sejak itu aku mulai enggan membaca koran. Kubiarkan saja loper koran langgananku terbengong-bengong menerima penolakanku atas koran yang ditawarkan.

Pernah sekali, karena iba pada bocah penjual koran yang baru berusia 10 tahun itu, aku mengalahkan keengganan. Akibatnya?

...salah seorang buronan yang diduga terkaitjaringan pemboman di Makasar, berinisial MS. sehari-hari dikenal sebagai tukangparkir di Muara Angke...

MS? Tukang parkir Muara Angke? Muhammad Sani, Bang Sani? Bom? Kapan pula lelaki itu ke Makasar?

Masya Allah. Perasaanku gonjang-ganjing. Rekayasa aparat

keamanankah? Tuduhan asalkah untuk sekadar mencari kambing hitam? Atau memang aku yang tidak cukup memahami teman?

Lemas, kupandang lembar demi lembar koran yang masih kupegang. Aku sendiri tidak tahu, mana yang sebetulnya lebih menyesakkan dada. Koran yang memberitakan? Atau mereka sang pembuat berita?

Malam itu aku tidur sendirian. Mas Parjo tidak pulang, gerobaknya pun tak nongol. Mungkin menginap di tempat keponakannya, seperti biasa. Namun ketika besok dan besoknya, tukang bakso asal Pemalang itu, tidak juga muncul. Aku mulai panik.

Di depanku tergeletak surat kabar terbaru, yang baru saja kubeli dengan sangat terpaksa. Tujuannya cuma satu mencari jejak Mas Parjo.

Dengan mengumpulkan semua keberanian, aku meraih koran cepat-cepat, lalu membukanya tanpa berpikir.

Halaman pertama aman. Kedua juga aman. Tidak ada berita tentang tukang bakso yang mati terlindas kereta. Halaman ketiga, masih seputar pengusutan korupsi yang tidak selesai-selesai. Halaman keempat, kelima, keenam... seterusnya hingga halaman dua belas, aku menarik napas lega.

Tapi... tunggu dulu!

Halaman sembilan... Tuhan...

Emak, dan adik-adikku. Nama mereka semua tercantum dalam daftar korban tanah longsor, dua hari yang lalu.

commit to user

Bulan Kertas

“Kasih ketabrak motor, sekarang di rumah sakir....”

“Kasih, Cah Ayu, Rembulan Ibu, kenapa? Siapa orang kurang ajar yang bikin kamu celaka?” Kasih meraih tangan Yu Tarmi ke dadanya, “Kasih enggak apa-apa, Bu.” jelasnya lirih.

“Sekarang menjelang ujian akhir, Bu. Kasih takut nanti enggak lulus.” jawab Kasih sambil mencium tangan Yu Tarmi.

“Nduk, kamu harus lulus. Harus jadi orang pinter supaya enggak bisa dibohongi orang. Mesti kaya supaya bisa membantu orang miskin. Terus....”

Kasili menatap Yu Tarmi yang berkali-kali mernbolak-balik lembar ijazah di mana tercantum foto Cah Ayu-nya. Beberapa kali ibunya berdecak bangga.

“Ibu seneng kamu lulus...”

“Apa rencanamu. Nduk?” Kasih menarik napas dalam “Belum tahu, Bu. Mungkin kerja“

”Kuliah?“ Kata Ibu

Dua sisi hati Kasih berperang. Ingin kuliah. Sungguh. Tapi di sisi lain, ia ingin membahagiakan Ibu. Barangkali kalau ia bisa mencari nafkah, perempuan setengah baya itu tidak perlu lagi bekerja untuk Papi.

Kasih anak pelacur. Teman-ternan dan gurunya tahu itu. Ia bahkan nyaris mengalami pelecehan seksual dan beberapa lelaki, yang mengira Kasih tak beda dengan ibunya. Perempuan panggilan. Perempuan yang merusak rumah tangga orang, karena rumah bordil, ke sanalah para lelaki hidung belang menghabiskan uang.

Kasih anak pelacur. Ya.... Tapi suatu hari ia akan mengajak rembulannya berubah. Hidup sebagai perempuan terhormat. Berpikir begitu, semangatnya bangkit. Ia memandang Yu Tarmi, dan berkata tegas.

“Kasih akan kerja, Bu. Kasih akan cari kerja!” Dan gadis itu membuktikan kalimatnya. Seminggu kemudian Kasih mendapat pekerjaan, meski hanya sebagai operator telepon di tempat kursus kecil.

Kasih menyerahkan gaji pertamanya, amplop berisi beberapa lembar lima puluh ribuan itu kepada Yu Tarmi.

“Nanti sebagian kita tabung, Bu”

“Siapa tahu nanti kita bisa buka warung, atau beli mesin jahit,” tambah Kasih.Di benaknya berlompatan rencana-rencana masa depan. Kasih tahu ibunya pintar menjahit. Sejak kecil sampai sekarang baju-baju Kasih pun Ibu yang menjahit, meski menumpang mesin jahit tua milik Ceu Mumu. Hm... siapa tahu nantinya mereka malah bisa....

“Naik haji, Bu!”

Mudah-mudahan angan ini terwujud, bisik Kasih. Tak sabar untuk segera menghapus noda yang telah begitu lama melekati ibunya. Rembulannya harus bersih di hadapan Gusti Allah.

Sudah pukul sebelas malam. Pantas.

Lampu bulat-bulat kecil membiaskan cahaya warna warni di antara hentakan musik dangdut. Beberapa karyawati Papi terlihat mojok menemani tamu di warungwarung minum dan di pinggiran gang. Wajah-wajah full make up, dengan tubuh dibalut kaos super ketat dan celana panjang atau rok di bawah pinggul.

Kehidupan malam yang sekarang jadi masa lalu buat ibunya. Itulah yang dia baca tadi pagi, sebelum berangkat kerja. Kesungguhan yang terpancar dan kedua mata Yu Tarmi yang berkaca-kaca.

Melewati keramaian yang seperti pasar malam, Kasih melangkah lebih cepat. Tas di bahunya berayun-ayun. Tubuh Kasih yang kecil tenggelam dalam keramaian lalu lalang orang yang keluar-masuk rumah bordil. Teriakan para lelaki hidung belang, tawa keras mereka, dan celoteh genit anak buah Papi Lani yang duduk bergerombol di depan rumah-rumah yang menyewakan kamar, adalah warna yang tiap malam sempat diakrabinya.

Kasih terus melangkah. Alunan musik dangdut yang makin keras menyeruak dan tape besar di ruang-ruang yang menyerupai bar kecil, diantara tawa mengikik dan celoteh tak keruan.

Naluri, mungkin ini yang tiba-tiba membuat Kasih sekonyong-konyong menoleh, dan tersentak. Pendar cahaya lampu warna-warni di pojok jalan, menampilkan seraut wajah, yang tidak asing. Perempuan berbedak tebal yang

commit to user

duduk mengangkat sebelah kaki, dengan rokok rerselip di bibir.Tatapan genit di antara desah mesra perempuan yang make up-nya paling menor itu, merayu laki-laki berbadan besar, yang menggelendot padanya.

Ibu?

Kasih Nanar. Tubuhnya limbung. Dan rembulan bundar di langit, mendadak berkeping-keping di matanya.

Laki-laki yang Menyisir Rindu

Ibu tua dalam kebaya mengapus air matanya yang jatuh. Ia tak mengerti kenapa kesedihan semakin kental dari tahun ke tahun. Mungkin usia, pikirnya. Mungkin juga kesendirian. Sejak anak-anak lulus SMA dia mulai merasa kesepian. Seolah berlomba-lomba mereka meninggalkannya, meski dengan alasan yang bisa dimengerti. Bekerja. Dan waktu yang berkelebat cepat, tahu-tahu sudah membawa anak-anak pada tahapan lain dalam kehidupan, menikah dan punya anak.

Anak-anak sudah tak mengingatnya lagi. Padahal hari ini, pagi-pagi sekali dia sudah bangun, dan merapikan rumah, lalu masak ala kadarnya. ini hari jadinya. Dulu dia dan anak-anak selalu membuat syukuran sederhana untuk mengingat bertambahnya usia. Bukan upaya membawa gaya hidup Barat dalam kehidupari mereka. Tapi mereka jarang makan enak, dan makan enak itu jadi lebih berarti ketika disesuaikan dengan tanggal kelahiran anggota keluarga. Dengan cermat pula, perempuan berkebaya itu menyimpan uang sedikit demi sedikit, agar anak-anak bisa makan istimewa, beberapa kali dalam setahun.

Laki-laki itu menginjak pedal gas dalam-dalam, hingga mobilnya terasa terbang. Dia sudah terlambat. Seharusnya kemarin. Sesekali diliriknya jam di pergelangan tangan. Tak sabar untuk segera sampai. Dia ingin secepatnya menemui Mak, meminta maaf atas keterlambatan. Perasaan rindunya berbaur dengan rasa bersalah yang kental, membayangkan perempuan yang melahirkan nya menunggu sia-sia.

Tangan Agam mengetuk pintu, bersama salam yang dibisikkannya.

Suara sandal diseret dari dalam terdengar mendekat. Tak lama pintu terbuka, sesosok perempuan tua dalam balutan kebaya yang lusuh menatapnya beberapa kejap. Lalu memeluknya tanpa kata-kata.

”Mau kau bawa kermana Mak, Agam?”

Agam tersenyum saja. Hati-hati dia menuntun langkah Mak ke mobil. Perempuan berkebaya itu tak bertanya lagi. Wajahnya lurus menghadap ke depan. Tak ada yang tahu betapa hatinya melonjak karena kebanggaan yang

commit to user

terselip. Anaknya Si Agam, sudah jadi orang tampaknya. Sudah bisa pula membawa Mak-nya berkeliling naik mobil.

“Eh, ke mana kau ajak Mak, Gam?”

Rumah bercat putih itu herdiri di antara rumah-rumah lain yang lebih besar. Dulu mereka sering memandang rumah-rumah di kawasan elit ini, dengan kaki terendam air.Dituntunnya langkah Mak hingga berada tepat di depan pintu.

”Ini rumah, Mak.” bisiknya ke telinga perempuan itu.

Mak menatapnya dengan pandangan tak percaya. Lalu tersedu-sedu di dadanya. Tidak. Mak tak boleh menangis. Sebab rumah ini dibelinya untuk membahagiakan wanita itu. Mak tak boleh lagi tinggal sendirian dalam rumah bilik satu kamar. Perempuan itu sudah melewati begitu banyak bilangan tahun di sana. Mak butuh tempat yang lebih sehat, tempat yang lebih nyaman, di mana dia bisa menunggu kedatangan mereka dengan lebih tenang.

Matahari mulai menyibak langit, saat lelaki itu men- starter kijangnya. Dia tak berencana meninggalkan Mak lama. Hanya beberapa jam ke kota untuk membeli perabot baru bagi Mak.

Tapi sesuatu menghalanginya untuk segera kembali. Gelombang besar yang tiba-tiba saja datang.

Rumah-rumah dan perahu tak tampak lagi. Begitupun deretan rumah-rumah bagus yang dulu salah satunya di tempati perempuan berkebaya yang melepasnya di pintu rumah.

Jendela Rara

“Mak, kapan kita punya rumah?”

Sejak ia mengerti arti tempat tinggal, pertanyaan itu kerap disampaikannya pada Emak. Mulanya perempuan berusia empat puluh limaan, yang rambutnya beruban di sana-sini itu, tak menjawab. Baginya tak terlalu penting apa yang ditanyakan anak-anak. Kerasnya kehidupan membuat ia dan lakinya, hanyut dalam kepanikan setiap hari, apa yang bisa dimakan anak-anak esok. Maka pertanyaan apa pun dari anak-anak, lebih sering hanya lewat ditelinga.

Kanak-kanak seusia Rara, tak mengenal jera atau bosan mengulang pertanyaan serupa. Dan kali ini, ia berhasill mendapat perhatian lebih dari Emak. Sambil menyandarkan punggungnya di dinding tripleks mereka yang tipis, Emak menatap sekeliling. Matanya menyenter rumah kotak mereka yang empat sisinya terbuat dari tripleks. Hanya satu ruangan, di situlah mereka sekeluarga, ia, suami dan lima anaknya__sekarang empat__memulai dan mengakhiri hari-hari. Tak ada jendela, karena rumah-rumah di kolong jalan tol menuju bandara itu terlalu berdempet. Bahkan nyaris tak ada celah untuk sekedar lalu-lalang, kecuali gang senggol yang terbentuk tak sengaja akibat ketidak beraturan rumah-rumah tripleks di sana.

”Rara mau punya rumah yang ada jendelanya, Mak!”

”Ra! Kalo mau punya jendela, modal sendiri dong!” lantang suara kakaknya mengagetkan Rara.

”Asih!”

Asih yang mabuk terus berbicara dan tak menggubris teguran Jun. ”Kebutuhan itu banyak. Udah bagus gue sama Jun kerja. Pake buat yang lebih penting dong!” cerocos Asih, tangannya menjewer kuping Rara.

Rara tak gentar. Matanya yang jernih menatap lurus ke arah Asih yang mulai menyalakan rokok dan menghirupnya nikmat. Bagaimanapun Kak Asih harus tahu kalo jendela itu....

”Jendela itu penting, Kak. Buat keluar masuk udara. Terus kalo siang kita enggak perlu nyalain lampu. Udah terang sinar matahari yang masuk!” Jaawab Rara tak kalah keras.

commit to user

Keributan yang kemudian tak terelakan antara Jun dan asih, membuat Rara melarikan diri ke sudut rumah. Ia berjongkok sendiri, mata coklatnya berkaca. Bertambah-tambah perasaan gundahnya kala Bapak terbangun lantaran suara

Dokumen terkait