• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. SARAN

c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.

d. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep Dokter, pelayanan informasi obat, serta

pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Presiden Republik Indonesia, 2009).

B. Apoteker

Definisi Apoteker menurut Kepmenkes No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

Definisi Apoteker menurut Kepmenkes No. 889/MENKES/PER/V/2011 Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Pekerjaan kefarmasian menurut pasal 108 ayat (1) UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengelolaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep Dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Presiden Republik Indonesia, 2009a).

C. Psikotropika dan Narkotika

Psikotropika menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.5 tahun 1997 pasal 1 yang mengatur tentang Psikotropika, Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Dalam pasal 2, Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan, digolongkan menjadi :

a. Psikotropika golongan I, yaitu Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan, contohnya: brolamfetamina, etisiklidina, etriptamina, katinona, (+)-lisergida, mekatinona, psilobibna, rolisiklidina, tenamfetamina, tenoksilidina.

b. Psikotropika golongan II adalah Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantugan, contohnya: amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmetrazina, fensiklidina, levamfetamina, meklokualon, metamfetamina, metamfetamina rasemat, metakualon, metilfenidat, sekobarbital, zipepprol, levometamfetamina.

c. Psikotropika golongan III adalah Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan, contohnya:

amobarbital, buprenofrina, butalbital, flunitrazepam, glutetimida, katina, pentazosina, pentobarbital, siklobarbital.

d. Psikotropika golongan IV adalah Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan, contohnya: allobarbital, alprazolam, amfepramona, aminorex, barbital, benzfetamina, bromazepam, brotizolam, delorazepam, diazepam, estazolam, etil amfetamina, etil loflazepate, etinamat, etklorvinol, fencamfamina, fendimetrazina, fenobarbital, fenproporeks, fentermina, fludiazepam, flurazepam, halazepam, haloksazolam, kamazepam, ketazolam, klobazam, klosazolam, klonazepam, klorazepat, klordiazepoksida, klotiazepam, lefetamina, loprazolam, lorazepam, lormetazepam, mazidol, medazepam, mefenoreks, meprobamat, mesokarb, metilfeno barbital, metiprilon, midazolam, nimetazepam, nitrazepam, nordazepam, oksazepam, oksazepam, oksazolam, pemolina, pinazepam, pipadrol, pirovalerona, prazepam, sekbutabarbital, temazepam, tetrazepam, triazolam, vinilbital (Presiden Republik Indonesia, 1997).

Pabrik Obat, Pedagang Besar Farmasi, Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Pemerintah, Apotek, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan, Dokter, Lembaga Penelitian dan/atau Lembaga Pendidikan, wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan Psikotropika (Presiden Republik Indonesia, 1997).

Dalam rangka melakukan pengendalian dan pengawasan, Menteri berwewenang mengambil tindakan administratif terhadap Pabrik Obat, Pedagang Besar Farmasi, Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Pemerintah, Apotek, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan, Dokter, Lembaga Penelitian dan/atau Lembaga Pendidikan, dan Fasilitas Rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika (Presiden Republik Indonesia, 1997).

Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada Undang-Undang No.5 tahun 1997, dapat berupa :

1. Teguran lisan 2. Teguran tertulis

3. Penghentian sementara kegiatan 4. Denda administratif

5. Pencabutan izin praktek (Presiden Republik Indonesia, 1997).

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang (Presiden Republik Indonesia, 2009a).

Narkotika digolongkan ke dalam 3 golongan, yaitu golongan I, II, dan III. Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

a. Narkotika golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan, Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, contohnya: tanaman Papaver Somniferum L, tanaman koka, daun koka, kokain mentah, kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina, tanaman ganja, tetrahydrocannabinol, delta 9 tetrahydrocannabinol, asetorfina, acetil–alfa–metil fentanil N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida, alfa-metilfentanil, alfa-metiltiofentanil, beta-hidroksifentanil, beta-hidroksi-3-metil-fentanil, desmorfina, etorfina, heroina, ketobemidona, 3-metilfentanil, 3-metiltiofentanil, MPPP, para-fluorofentanil, PEPAP, tiofentanil, brolamfetamina, DET, DMA, DMHP, DMT, DOET, etiskilidina, etriptamina, katinona, MDMA, (+)-lisergida, meskalina, metkatinona, 4- metilaminoreks, MMDA, N-etil MDA, N-hidroksi MDA, paraheksil, PMA, psilosina, psilotsin, psilosibina, rolisiklidina, STP, DOM, tenamfetamina, tenosiklidina, TMA, amfetamina, deksamfetamina, fenetilina, fenmetrazina, fensiklidina, levamfetamina, levometamfetamina, meklokualon, metamfetamina, metakualon, zipepprol, opium Obat, campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan Narkotika.

b. Narkotika golongan II, yaitu Narkotika berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: alfasetilmetadol, alfameprodina, alfametadol alfaprodina, alfentanil, allilprodina, anileridina, asetilmetadol, benzetidin, benzilmorfina, betameprodina, betametadol, betaprodina, betasetilmetadol bezitramida, dekstromoramida, diampromida, dietiltiambutena, difenoksilat difenoksin, dihidromorfina, dimefheptanol, dimenoksadol, dimetiltiambutena, dioksafetil butirat, dipipanona, drotebanol, ekgonina, etilmetiltiambutena, etokseridina, etonitazena, furetidina, hidrokodona, hidroksipetidina, hidromorfinol, hidromorfona, isometadona, fenadoksona, fenampromida, fenazosina, fenomorfan, fenoperidina, fentanil, klonitazena, kodoksima, levofenasilmorfan, levomoramida, levometorfan, levorfanol, metadona, metadona intermediate, metazosina, metildesorfina, metildihidromorfina, metopon, mirofina, moramida intermediate, morferidina, morfina-N-oksida, morfin metobromida, morfina, nikomorfina, norasimetadol, norlevorfanol, normetadona, normorfina, norpipanona, oksikodona, oksimorfona, petidina intermediat A, petidina intermediat B, petidina intermediat C, petidina, piminodina, piritramida, proheptasina, properidina, rasemetorfan, rasemoramida, rasemorfan, sufentanil, tebaina, tebakon, tilidina, trimeperidina, garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas.

c. Narkotika golongan III, yaitu Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan, contohnya: asetildihidrokodeina, dekstropropoksifena, dihidrokodeina, etilmorfina, kodeina, nikodikodina, nikokodina, norkodeina, polkodina, propiram, buprenorfina, garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas, campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan Narkotika, campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan Narkotika (Presiden Republik Indonesia, 2009).

Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Sarana Penyimpanan Sediaan Farmasi Pemerintah, Apotek, Rumah Sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat, Balai

Pengobatan, Dokter, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan wajib membuat,

menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya (Presiden Republik Indonesia, 2009).

Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berupa:

1. Teguran 2. Peringatan

4. Penghentian sementara kegiatan

5. Pencabutan izin ( Presiden Republik Indonesia, 2009).

D. Pengelolaan Sediaan Farmasi di Apotek

Dalam Kepmenkes RI No.1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan meliputi perencanaan, pengelolaan, penyimpanan, dan pelayanan (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

E. Pengelolaan Narkotika

Menurut pasal 43 ayat (2) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada Rumah Sakit, Pusat Kesehatan Masyarakat, Apotek lainnya, Balai Pengobatan, Dokter, dan Pasien. Pada ayat (3) menyebutkan bahwa Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada Pasien berdasarkan resep Dokter (Presiden Republik Indonesia, 2009).

Berdasar pasal 9 ayat (3) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, rencana kebutuhan tahunan Narkotika disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan Narkotika secara nasional (Presiden Republik Indonesia, 2009).

Narkotika yang berada dalam penguasaan Apotek wajib disimpan secara khusus. Apotek wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala

mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya (Presiden Republik Indonesia, 2009).

F. Pengelolaan Psikotropika

Berdasarkan pasal 12 ayat (2) UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, penyaluran Psikotropika oleh Apotek dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh :

a. Pabrik besar kepada Apotek.

b. Pedagang Besar Farmasi (PBF) kepada Apotek (Presiden Republik Indonesia, 1997).

Menurut pasal 14 ayat (2) UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, penyerahan Psikotropika oleh Apotek hanya dapat dilakukan kepada Apotek lainnya, Rumah Sakit, Puskesmas, Balai Pengobatan, Dokter, dan pengguna/pasien. Berdasarkan ayat (4), penyerahan Psikotropika oleh Apotek dilaksanakan berdasarkan resep Dokter. Penyerahan Psikotropika oleh Dokter hanya dapat diperoleh dari Apotek dan dilaksanakan dalam hal :

a. Menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan. b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat.

c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada Apotek (Presiden Republik Indonesia, 1997).

G. Manajemen Persediaan

Manajemen persediaan (inventory control/inventory management) atau pengendalian tingkat persediaan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan penentuan kebutuhan material sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan operasional dengan menekan investasi persediaan seoptimal mungkin agar ketersediaan kebutuhan operasional menjadi efektif dan efisisien (Indrajit dan Djokopranoto, 2003).

Menurut Indrajit dan Djokopranoto (2003), usaha yang perlu dilakukan dalam manajemen persediaan secara garis besar dapat diperinci sebagai berikut: 1. Menjamin terpenuhinya kebutuhan operasi

2. Membatasi nilai seluruh investasi 3. Membatasi jenis dan jumlah material

4. Memanfaatkan seoptimal mungkin material yang ada

5. Prinsip manajemen persediaan adalah adanya penentuan jumlah dan jenis barang yang disimpan sehingga dapat selalu memenuhi kebutuhan, tetapi di lain pihak harus dijaga agar biaya investasi yang timbul dari penyediaan barang tersebut seminimal mungkin. Prinsip tersebut menandakan bahwa pengelolaan sediaan harus berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). Efektif berarti dapat menjamin pemenuhan kebutuhan sediaan, sedangkan efisien berarti dapat menekan persediaan sampai ke tingkat minimum (Indrajit dan Djokopranoto, 2003).

Tujuh hal dasar yang harus diperhatikan untuk merancang sistem inventory managementadalah:

1. Tujuan sistemsupplydan tipe sistem distribusi

2. Pelaporan dan rekaman yang menyediakan dana untukinventory management

3. Pemilihan barang yang akan distok

4. Keseimbangan antara tingkat servis dan tingkat stok 5. Kebijakan frekuensi pemesanan

6. Formula yang digunakan untuk menghitung kuantitasre-order

7. Kontrol ongkos yang terkait denganinventory management(Quick,et al, 1997). Persediaan merupakan bagian yang penting dalam operation management

karena membutuhkan modal atau dana yang cukup besar yang mempengaruhi penyerahan barang-barang kepada konsumen. Pengaturan inventory berpengaruh terhadap semua fungsi bisnis seperti operation, marketing dan financial. Yang dimaksud inventory adalah bahan baku, barang dalam proses, bahan pembantu, barang jadi supplies. Tujuan inventory control adalah menyediakan persediaan dengan mutu dalam jumlah dan waktu yang sesuai dengan permintaan. Jumlah yang disediakan tidak terlalu banyak agar investasi tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu sedikit agar jika ada kekurangan, harga inventory tidak terlalu mahal (Haningsih, 2010).

Berikut adalah model pengendalian persediaan dalam manajemen logistik yaitu model ABC yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun model ABC (Always Better Control), yaitu pengendalian perusahaan berhubungan dengan aktivitas

pengaturan persediaan bahan-bahan agar dapat menjamin persediaan dan pelayanan kepada pasien. Analisis ABC ini menekankan kepada persediaan yang mempunyai nilai penggunaan yang relative tinggi atau mahal (Meidi, 2005).

H. Pareto ABC (Always Better Control)

Konsep Pareto ditemukan oleh Vilfredo Pareto yang menemukan bahwa hanya sedikit sekali individu yang secara ekonomi memperoleh pendapatan terbaik. Hal ini juga terjadi pada perusahaan dimana hanya sedikit sekali barang yang laku dijual. Penemuannya ini diaplikasikan dalam manajemen persediaan yang disebut dengan ABC analisis atau yang disebut dengan prinsip Pareto (Zulfikarijah, 2005).

Dalam analisis ABC terdapat tiga klasifikasi yang sering kali disebut dengan hukum 80-20 yaitu A, B, dan C yang didasarkan pada volume dollar tahunan. Adapun pengukurannya adalah dengan cara mengalikan setiap item persediaan dengan biaya per unit. Persediaan tipe A berisi 20% dari total persediaan dengan biaya total persediaan 70%-80%, persediaan tipe B berisi 30% dari total persediaan dengan biaya total persediaan 15%-20%, persediaan tipe C berisi 50% dari total item dengan biaya total persediaan 5%. Tingkat kesalahan yang dapat diterima menurut rekomendasi APICS (The American Production and Inventory Control) adalah ± 0,2% untuk item A, ±1% untuk item B, dan ± 5% untuk item C (Zulfikarijah, 2005).

Terkait dengan pendapatan dari penyediaan obat, analisis ABC dapat digunakan untuk:

1. Menentukan frekuensi permintaan item obat, karena dengan memesan item obat kelompok A lebih sering dan dalam jumlah yang sedikit akan mengurangi biaya inventoris.

2. Mencari sumber item kelompok A dengan harga yang lebih murah.

3. Memonitor status permintaan item. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kekurangan item yang mendadak yang berakibat pada keharusan pembayaran darurat yang biasanya lebih mahal.

4. Memonitor prioritas penyediaan agar sesuai dengan prioritas sistem kesehatan yang menunjukkan jenis obat yang sering digunakan.

5. Membandingkan biaya aktual dan terencana (Quick, Hume,et al, 1997).

Terkait dengan distribusi dan manajemen inventori sediaan farmasi, analisis ABC dapat digunakan untuk :

1. Menentukan waktu paruh sediaan. Sebaiknya dilakukan pengawasan khusus terhadap sediaan yang masuk dalam kelompok A untuk meminimalkan sediaan yang terbuang karena melampaui waktu paruhnya.

2. Menentukan jadwal pengiriman sediaan. Ketika semua sediaan dipesan hanya satu kali dalam setahun, pengiriman sediaan yang masuk kelompok A dapat menyebabkan peningkatan waktu paruh sediaan.

3. Menentukan jumlah stok dengan melakukan frekuensi pemesanan yang lebih sering tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit untuk sediaan yang masuk dalam kelompok A.

4. Dengan melakukan kontrol yang ketat terhadap pemasukan dan pengeluaran sediaan yang masuk dalam kelompok A dapat meminimalisasi sediaan yang terbuang dan hilang akibat pencurian (Quick, Hume,et al, 1997).

Analisis ABC dapat diterapkan pada tahunan dan periode. Langkah-langkah dalam analisis ABC yaitu:

1. Mendata semua item yang dibeli atau dikonsumsi dan memasukkannya ke dalam unit biaya

2. Memasukkan kuantitas konsumsi selama satu tahun atau periode 3. Menghitung nilai konsumsi

4. Menghitung persentase nilai total setiap item

5. Menyusun kembali daftar berurutan dari total nilai yang paling tinggi 6. Menghitung persentase kumulatif nilai total untuk setiap item

7. Memilih point cut-offatau batasan (range persentase) untuk obat kelompok A, B, dan C

8. Menyajikan data dalam bentuk grafik (Quick, Hume,et al, 1997).

I. AnalisisMoving Average Total

Metode Moving Average Total digunakan untuk pemakaian yang memiliki sifat siklis yang tidak berkaitan dengan musim. Cara menghitung Moving Average Totaladalah:

1. Perhitungan dilakukan dengan melakukan penjumlahan kumulatif tiga bulan secara bergerak dengan contoh dibawah ini.

Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Pemakaian 8 4 19 11 20 21 Rata-rata penjumlahan pemakaian 3 bulan 10,3 11,3 16,7 17,3

Data real yang dimiliki hanya dari bulan ke-1 sampai bulan ke-6. Kumulatif bulan ke-3 didapat dari penjumlahan pemakaian 3 bulan dari bulan ke-1 sampai bulan ke-3 dibagi 3. Untuk seterusnya, perhitungan kumulatif dihitung secara bergerak dari bulan ke bulan. Dengan demikian kita memperoleh angka 3 bulan bergerak.

2. Setelah itu dilakukan perhitungan pertumbuhan rata-rata yang diperoleh dari angka 3 bulan bergerak yang diperoleh dari perhitungan diatas dengan cara (hasil penjumlahan kumulatif bulan berikut dikurangi hasil penjumlahan kumulatif bulan sebelumnya) dibagi dengan hasil penjumlahan kumulatif bulan sebelumnya dikalikan dengan angka 100.

Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Rata-rata penjumlahan pemakaian 3 bulan 10,3 11,3 16,7 17,3 Rata-rata Pertumbuhan 9,677 47,06 4 Average Rata-Rata pertumbuhan 20,25

Kemudian hitunglah average growth pertumbuhan dengan cara menjumlahkan (rata-rata pertumbuhan ke-1+ke-2+ke-3) lalu dibagi 3.

Bulan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Pemakaian 8 4 19 11 20 21 21,53 Rata-rata Penjumlahan pemakaian 3 bulan 10,3 11,3 16,7 17,3 20,84 Rata-rata Pertumbuhan 9,677 47,06 4 20,24 Average Rata-Rata pertumbuhan 20,25

Selanjutnya hitunglah (angka pertumbuhan rata-rata+100) / 100 % x kumulatif 3 bulan terakhir untuk mendapatkan hasil kumulatif bulan ke-7. Lalu hitunglah hasil pemakaian bulan ke-7 dengan cara (hasil penjumlahan kumulatif bulan ke-7 x 3) dikurangi hasil pemakaian bulan ke-5 dikurangi hasil pemakaian bulan ke-6.

3. Selanjutnya hitunglah rata-rata pertumbuhan ke-4 dengan melalui hasil yang didapatkan dari penjumlahan kumulatif bulan ke-7. Kemudian hitunglah

average growthpertumbuhan dengan cara rata-rata pertumbuhan ke-2 +rata-rata pertumbuhan ke-3 ditambah +rata-rata-+rata-rata pertumbuhan ke-4. Lalu hitunglah (angka pertumbuhan rata-rata+100) / 100 % x kumulatif 3 bulan terakhir untuk mendapatkan hasil kumulatif bulan ke-8. Lalu hitunglah jumlah pemakaian bulan 8 sama seperti menghitung jumlah pemakaian bulan ke-7.

4. Ulangi perhitungan average growth pertumbuhan untuk 3 bulan bergerak, perhitungan untuk mendapatkan hasil penjumlahan kumulatif sampai didapat hasil pemakaian untuk bulan-bulan berikutnya sampai bulan ke-12 (Perdhaki, 1997).

Berikut adalah rumus perhitungan Moving Average Total dengan n≥2 menurut Soerjono:

= + +

3

Keterangan: Ft: HasilMoving

At: Data real

(Soerjono,2004)

J. Landasan Teori

Analisis Pareto ABC dan analisis Moving Average Total merupakan analisis yang digunakan untuk forescast dalam kegiatan logistik. Kegiatan forecasting

merupakan pengelolaan logistik yang ditujukan untuk merumuskan tingkat persediaan dan target pemakaian yang amat strategis peranannya dalam alokasi sumber daya.

Analisis Pareto ABC didasarkan pada tingkat prioritas sediaan, yaitu tingkat prioritas primer yang dikategorikan dalam kelompok A yang memiliki kontribusi 80% terhadap pemakaian dan investasi yang perlu dipertimbangkan sebagai indeks kritis di Apotek, Puskesmas, atau Rumah Sakit sehingga perlu diolah secara ketat dan dimonitoring secara baik, sedangkan prioritas sekunder dikategorikan dalam kelompok B yang memiliki kontribusi 15% terhadap pemakaian dan investasi

sehingga tidak berdampak berarti namun perlu pengolaan yang baik, sedangkan kelompok C memiliki kontribusi 5% terhadap pemakaian dan investasi sehingga tidak memberikan kontribusi yang berarti namun tetap diperlukan pengolaan, yaitu dimana sediaan kelompok C tidak boleh sampaistock out(habis).

Analisis Moving Average Total digunakan untuk melihat perkiraan sediaan yang mengalami fluktuasi secara random sehingga dapat dilihat sediaan mana yang memiliki perkiraan jumlah pemakaian yang paling besar dibulan berikutnya sehingga dapat diperkirakan anggaran yang akan dikeluarkan dengan kebutuhan. Penyesuaian dana sendiri sebagai upaya efisiensi dan efektif. Efisien berarti bahwa dengan yang dibelanjakan dapat memperoleh barang yang lengkap dan dalam jumlah dan jenis yang memadai sesuai kebutuhan. Sedangkan efektif menyangkut pengunaan seoptimal mungkin dari setiap jenis perbekalan yang disediakan.

K. Hipotesis

1. Sediaan Psikotropika dan Narkotika yang mempunyai nilai pakai dan nilai investasi kelompok A akan terdistribusi merata di setiap Apotek.

2. Sediaan Psikotropika dan Narkotika yang mempunyai nilai indeks kritis kelompok A akan terdistribusi merata di setiap Apotek.

3. Sediaan Psikotropika dan Narkotika yang mempunyai nilai indeks kritis kelompok A merupakan sediaan Psikotropika dan Narkotika yang menjadi prioritas dalam pengelolaan sediaan setiap Apotek Kabupaten Sleman.

4. Semakin tinggi jumlah pemakaian bulan Januari-Juni 2011 maka semakin tinggi

32

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan studi kasus yang bersifat retrospektif. Disebut penelitian observasional karena pada penelitian ini dilakukan observasi terhadap variabel subjek menurut keadaan apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi peneliti (Pratiknya, 1993).

B. Variabel Penelitian 3. Variabel Utama

a. Variabel bebasdalam penelitian ini adalah nilai pakai (NP), nilai investasi (NI).

b. Variabel tergantungdalam penelitian ini adalah nilai indeks kritis (NIK).

C. Definisi Operasional

1. Apotek yang dianalisis dalam penelitian ini adalah Apotek di Kabupaten Sleman yang memiliki sediaan Psikotropika dan/atau Narkotika.

2. Nilai pakai (NP) adalah nilai yang diberikan kepada suatu sediaan Psikotropika dan Narkotika berdasarkan jumlah pengeluaran sediaan Psikotropika dan Narkotika pada periode Januari-Juni 2011.

3. Nilai investasi (NI) adalah nilai yang diberikan pada suatu sediaan Psikotropika dan Narkotika yang diperoleh dari jumlah pengeluaran suatu sediaan dikali harga sediaan tersebut pada periode Januari-Juni 2011.

4. Nilai pakai (NP) diperoleh dari data jumlah pemakaian Psikotropika dan Narkotika di Apotek yang tercantum dalam Laporan Bulanan Pemakaian Psikotropika dan Narkotika periode Januari-Juni secara tidak tertulis (e-mail). 5. Nilai investasi (NI) adalah nilai yang diberikan pada suatu sediaan yang diperoleh

dari jumlah pengeluaran suatu sediaan dikalikan harga sediaan dalam satuan rupiah pada tahun 2011 berdasarkan Harga Netto Apotek + PPN 10% .

6. Nilai investasi (NI) diperoleh dari Daftar Harga Netto Apotek (HNA) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari Pedagang Besar Farmasi (Kimia Farma) dan Apotek Panaceae yang menyalurkan obat kepada Apotek dengan harga yang

paling tinggi berdasarkan Kepmenkes Republik Indonesia Nomor

HK.03.01/MENKES/146/I/2010 Tentang Harga Obat Generik yang diperoleh pada tahun 2011 (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2010).

7. Nilai indeks kritis (NIK) diperoleh dari penggabungan skor Pareto nilai pakai dan Pareto nilai investasi Psikotropika dan Narkotika di setiap Apotek pada periode Januari-Juni 2011.

8. Kriteria inklusi: Pemakaian sediaan Psikotropika dan Narkotika yang terdapat dalam data SIPNAP di Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman pada periode Januari-Juni 2011 dengan 3 sediaan Psikotropika dan/atau 3 sediaan Narkotika.

9. Kriteria eksklusi: Apotek yang tidak melaporkan sediaan Psikotropika dan Narkotika selama Januari-Juni 2011 yang mempunyai <3 jenis sediaan Psikotropika dan Narkotika, dan sediaan Psikotropika dan Narkotika yang tidak diketahui harganya. Tahun 2011 dimulai pada tanggal 1 Januari 2011 dan berakhir pada tanggal 30 Juni 2011.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah jumlah pemakaian Psikotropika dan Narkotika di Apotek Kabupaten Sleman periode Januari-Juni 2011 yang terdaftar di Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.

E. Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Laporan pemakaian Narkotika dan Psikotropika yang tercantum dalam e-mail

berupa data SIPNAP di Apotek Kabupaten Sleman secara lengkap pada bulan Januari sampai Juni tahun 2011.

2. Daftar Harga Netto Apotek (HNA) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari

Dokumen terkait