• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

c. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi, antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika;

d. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2009b).

B. Sediaan Farmasi

Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka persiapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Undang-Undang Republik Indonesia, 2009c).

Menurut Kepmenkes RI No. 791/Menkes/SK/VIII/2008, daftar obat yang terdapat di apotek tercantum dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN). Obat esensial adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang (Undang-Undang Republik Indonesia, 2009a).

Narkotika digolongkan ke dalam 3 golongan, yaitu golongan I, II, dan III. Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Narkotika golongan I

dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan (Undang-Undang Republik Indonesia, 2009a).

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku (Undang-Undang Republik Indonesia, 1997).

Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan digolongkan menjadi psikotropika golongan I, II, III, dan IV. Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan, dimana psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan (Undang-Undang Republik Indonesia, 1997).

C. Pengelolaan Sediaan Narkotika dan Psikotropika di Apotek

Dalam Kepmenkes RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004 disebutkan bahwa pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan pelayanan. Beberapa peraturan terkait pengadaan sediaan farmasi adalah sebagai berikut (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

a. Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin (Kepmenkes No. 1332 tahun 2002 pasal 12 ayat (1)) (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2002).

b. Pedagang Besar Farmasi (PBF) hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industri farmasi, sesama PBF dan/atau melalui importasi (Permenkes No. 1148 tahun 2011 pasal 13 ayat 3) (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Pengelolaan sediaan farmasi dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan pelayanan. Dalam membuat perencanaan persediaan obat perlu diperhatikan pola penyakit, kemampuan dan budaya masyarakat. Begitu pula dalam pengadaan sediaan obat harus melalui jalur yang resmi guna menjamin kualitas pelayanan kefarmasian. Selain itu, penyimpanan obat harus di dalam wadah asli dari pabrik dan berada pada kondisi yang sesuai, layak, dan kestabilan bahan obat terjamin. Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi umum dan administrasi pelayanan. Administrasi umum meliputi kegiatan pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika, dan dokumentasi lainnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan administrasi pelayanan meliputi pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

Sediaan farmasi di apotek yang paling dominan adalah obat, dimana jenis obat yang membutuhkan pengelolaan secara khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan adalah narkotika dan psikotropika. Tetapi secara keseluruhan sediaan narkotika dan psikotropika di apotek mempunyai prinsip pengelolaan yang hampir sama dengan sediaan farmasi pada umumnya yang

meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

1. Pengelolaan Narkotika

Menurut pasal 43 ayat (2) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter, dan pasien. Pada ayat (3) menyebutkan bahwa apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter (Undang-Undang Republik Indonesia, 2009a).

Berdasarkan pasal 9 ayat (3) UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, rencana kebutuhan tahunan narkotika disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komprehensif dan menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan narkotika secara nasional (Undang-Undang Republik Indonesia, 2009a).

Narkotika yang berada dalam penguasaan apotek wajib disimpan secara khusus. Apotek wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaannya (Undang-Undang Republik Indonesia, 2009a).

2. Pengelolaan Psikotropika

Berdasarkan pasal 12 ayat (2) UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, penyaluran psikotropika oleh apotek dalam rangka peredaran hanya dapat dilakukan oleh :

b. pedagang besar farmasi kepada apotek (Undang-Undang Republik Indonesia, 1997).

Menurut pasal 14 ayat (2) UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan pengguna/pasien. Berdasarkan ayat (4), penyerahan psikotropika oleh apotek dilaksanakan berdasarkan resep dokter. Penyerahan psikotropika oleh dokter hanya dapat diperoleh dari apotek dan dilaksanakan dalam hal :

a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan, b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat,

c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek (Undang-Undang Republik Indonesia, 1997).

3. Pelayanan Narkotika dan Psikotropika

Sediaan narkotika dan psikotropika dilayani dengan menggunakan resep dokter oleh seorang apoteker di apotek. Apoteker harus melakukan skrining resep terlebih dahulu, yang meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetis bentuk sediaan obat dengan indikasi, dan pertimbangan klinis, seperti adanya alergi. Setelah hasil skrining telah sesuai, apoteker dapat melakukan penyiapan obat, memberi dan menuliskan etiket dengan benar dan tepat, menyerahkan obat, memberikan informasi obat kepada pasien, melakukan konseling dan memonitoring penggunaan obat (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

Pelayanan informasi sediaan narkotika dan psikotropika dilakukan oleh apoteker secara benar, jelas, mudah dimengerti, akurat, tidak bias, bijaksana dan terkini. Informasi sediaan narkotika dan psikotropika pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian, cara penyimpanan, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Selain itu, apoteker juga harus memberikan konseling mengenai sediaan narkotika dan psikotropika yang akan digunakan sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan sediaan narkotika dan psikotropika (Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2004).

D. Manajemen Persediaan

Istilah manajemen sebenarnya susah didefinisikan secara tepat. Tetapi beberapa pendapat dan definisi dari manajemen banyak dikemukakan oleh beberapa ahli dan praktisi manajemen, diantaranya F.W. Taylor mengemukakan bahwa manajemen merupakan seni untuk mengetahui keinginan dan melihat bahwa hal yang telah dilakukan adalah hal yang terbaik serta menggunakan cara paling mudah untuk mencapainya. George R. Terry mengemukakan bahwa manajemen merupakan suatu proses yang terdiri atas tindakan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan untuk menentukan dan mencapai suatu tujuan dengan memberdayakan orang-orang dan sumber daya yang ada. Sedangkan istilah manajemen menurut American Management Associationadalah suatu proses untuk membimbing manusia dan sumber daya fisik lainnya ke dalam

suatu unit organisasi yang dinamis untuk mencapai kepuasan pelayanan dan derajat moralitas yang tinggi (Murugan, 2007).

Dari beberapa istilah dan definisi manajemen di atas, dapat diketahui bahwa manajemen adalah seni dalam memaksimalkan suatu produksi dengan menggunakan dan mengembangkan potensi dan talenta setiap orang sehingga mereka mampu memperkaya diri dan hal tersebut menjadikan peluang bagi mereka untuk bertumbuh dalam mencapai tujuan. Manajemen memiliki arti penting karena mempu mengalokasikan penggunaan sumber daya untuk menyelesaikan suatu tugas dan mencapai suatu tujuan (Chisholm-Burns, Vaillancourt, and Shepherd, 2011).

Persediaan merupakan salah satu bagian dari tugas manajemen dalam keputusan operasi, sebelum membuat keputusan tentang persediaan. Persediaan merupakan salah satu aset terpenting dalam banyak perusahaan karena nilai persediaan mencapai 40% dari seluruh investasi modal (Zulfikarijah, 2005). Persediaan sangat berkaitan dengan pembelian, dimana pembelian yang optimal tidak dapat dilakukan tanpa adanya pemahaman terhadap ketersediaan persediaan (Chisholm-Burns et al, 2011). Logistik merupakan suatu ilmu pengetahuan dan seni, serta proses mengenai perencanaan dan penentuan kebutuhan, pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan pemeliharaan serta penghapusan material (Subagya, 1990).

Manajemen persediaan (inventory control) atau pengendalian tingkat persediaan merupakan kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan penentuan kebutuhan material sehingga diharapkan

Organisasi, Pembiayaan, Manajemen Informasi,

SDM

dapat memenuhi kebutuhan operasional dengan menekan investasi persediaan seoptimal mungkin agar ketersediaan kebutuhan operasional menjadi efektif dan efisien (Indrajit dan Djokopranoto, 2003). Bagi farmasis, manajemen persediaan ini digunakan untuk mengontrol tingkat persediaan obat menggunakan metode visual, periodik, dan terus menerus (Chisholm-Burnset al, 2011).

Prinsip manajemen persediaan adalah adanya penentuan jumlah dan jenis barang yang disimpan sehingga dapat selalu memenuhi kebutuhan, tetapi di lain pihak harus dijaga agar biaya investasi yang timbul dari penyediaan barang tersebut seminimal mungkin. Prinsip tersebut menandakan bahwa pengelolaan sediaan harus berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). Efektif berarti dapat menjamin pemenuhan kebutuhan sediaan, sedangkan efisien berarti dapat menekan persediaan sampai ke tingkat minimum (Indrajit dan Djokopranoto, 2003).

Menurut Quick et al. (1997), secara umum siklus manajemen obat mencakup empat tahap, yaitu selection (seleksi), procurement (pengadaan),

distribution (distribusi), dan use (penggunaan). Siklus manajemen obat terlihat pada gambar.

Gambar 1. Siklus Manajemen Obat (Quicket al., 1997).

Seleksi

Penggunaan

Distribusi

Pengadaan

1. Seleksi

Fungsi seleksi atau pemilihan obat adalah untuk menentukan jenis obat yang benar-benar diperlukan sesuai dengan pola penyakit. Beberapa kriteria yang digunakan sebagai dasar acuan dalam pemilihan obat, yaitu :

a. obat merupakan kebutuhan untuk sebagian besar populasi penyakit, b. obat memiliki keamanan dan khasiat yang didukung dengan bukti ilmiah, c. obat mempunyai mutu yang terjamin, baik ditinjau dari segi stabilitas

maupun bioavailabilitas,

d. biaya pengobatan mempunyai rasio antara manfaat dan biaya yang baik, e. bila pilihan lebih dari satu, maka dipilih yang data ilmiah dan

farmakokinetikanya paling baik dan lengkap, f. mudah diperoleh dan terjangkau,

g. obat sebisa mungkin merupakan sediaan tunggal (Quick, Hume, Rankin, O’Connor, and O’Connor, 1997).

Perencanaan merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah dan harga perbekalan farmasi yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan. Tujuan perencanaan pengadaan obat adalah untuk mendapatkan : (a) jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai kebutuhan, (b) menghindari kekosongan obat, (c) meningkatkan penggunaan obat secara rasional, (d) meningkatkan efisiensi penggunaan obat. Kegiatan pokok dalam perencanaan obat adalah : (a) seleksi/perkiraan kebutuhan (memilih obat yang akan dibeli) dan (b) penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana (Quicket al., 1997).

Dalam pengelolaan obat yang baik, perencanaan sebaiknya dilakukan berdasarkan data yang diperoleh dari tahap terakhir pengelolaan, yaitu penggunaan obat periode sebelumnya. Gambaran penggunaan obat dapat diperoleh berdasarkan data riil konsumsi obat atau pola penyakit (morbiditas) dan gabungan dari kedua metode tersebut. Metode konsumsi didasarkan pada evaluasi kebutuhan riil periode tahun lalu dan prediksi kebutuhan masa yang akan datang, yaitu dengan memperhitungkan kemungkinan kenaikan kunjungan, stok pengaman, dan lead time. Sedangkan metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan atas beban kesakitan (morbidity load yang harus dilayani). Metode kombinasi adalah metode penggabungan antara metode konsumsi dengan metode morbiditas. Misalnya, metode konsumsi tidak dapat memantau adanya fluktuasi penyakit maka dengan metode morbiditas dapat teratasi, sedangkan untuk menghindari adanya over stockpada metode morbiditas dapat dilakukan pengecekan langsung ke gudang untuk melihat kondisi persediaan (Quicket al., 1997).

Kendala yang sering dialami adalah perencanaan obat yang terlalu banyak dan di lain pihak terjadi kekosongan (stock out) atau pilihan item obat kurang, sehingga terjadi duplikasi atau pemilihan obat yang harganya mahal dan tidak digunakan, padahal ada itemobat lain yang harganya lebih murah (Quicket al., 1997).

2. Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah direncanakan dan disetujui dengan menyediakan obat yang dibutuhkan di

sarana pelayanan kesehatan. Pengadaan merupakan faktor terbesar penyebab terjadinya pemborosan, sehingga perlu dilakukan efisiensi dan penghematan biaya. Penghematan biaya dilakukan dengan menyusun perencanaan obat dengan menggunakan obat generik, pembelian volume besar untuk obat yang laku, dan meniadakan obat yang equivalent. Agar proses pengadaan dapat berjalan dengan lancar dan teratur, diperlukan struktur komponen berupa personil yang terlatih dan menguasai permasalahan pengadaan, metode dan prosedur yang jelas, sistem informasi yang baik, serta didukung dengan dana dan fasilitas yang memadai (Quicket al., 1997).

Pengadaan obat bertujuan untuk : (a) menjamin ketersediaan obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan, (b) menjamin mutu obat, dan (c) memperoleh obat pada saat dibutuhkan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan obat antara lain : (a) kriteria obat publik dan perbekalan kesehatan, (b) persyaratan pemasok, (c) penentuan waktu pengadaan dan kedatangan obat, (d) penerimaan dan pemeriksaan obat, (e) pemantauan status pesanan (Quicket al., 1997).

Menurut Quicket al.(1997), ada empat metode proses pengadaan, yaitu : (a) tender terbuka berlaku untuk semua rekanan yang terdaftar dan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sehingga penentuan harga lebih menguntungkan, (b) tender terbatas atau sering disebut lelang tertutup yang hanya dilakukan pada rekanan tertentu yang sudah terdaftar sehingga harga masih bisa dikendalikan, (c) pembelian dengan tawar menawar dilakukan bila jenis barang tidak urgent dan banyak, sehingga biasanya dilakukan pendekatan langsung untuk jenis tertentu,

(d) pengadaan langsung, pembelian dalam jumlah kecil dan perlu segera tersedia, sehingga harga relatif lebih mahal (Quicket al., 1997).

Quick et al. (1997) menyebutkan bahwa proses pengadaan obat yang efektif akan menjamin ketersediaan obat yang baik dalam jumlah yang tepat, harga yang wajar dan kualitas sesuai dengan standar yang diakui. Untuk memperoleh obat-obatan dapat melalui pembelian, sumbangan atau melalui pabrik. Siklus pengadaan obat meliputi langkah-langkah sebagai berikut :

a. meninjau atau memeriksa kembali tentang seleksi obat, b. menyesuaikan atau mencocokkan kebutuhan dan dana, c. memilih metode pengadaan,

d. mengalokasikan dan memilih calon penyedia obat (supplier), e. menentukan syarat-syarat atau isi kontrak,

f. memantau status pesanan, g. menerima dan mengecek obat, h. melakukan pembayaran, i. mendistribusikan obat, dan

j. mengumpulkan informasi mengenai pemakaian (Quicket al., 1997). 3. Distribusi

Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan pengiriman obat-obatan yang bermutu, terjamin keabsahan serta tepat jenis dan jumlah dari gudang obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien. Alur distribusi dimulai ketika obat dikirim oleh

produsen dan diakhiri ketika informasi penggunaan obat dilaporkan kembali kepada bagian pengadaan. (Quicket al., 1997).

Industri farmasi memproduksi obat sesuai dengan Good Manufacturing Practice (GMP) agar tercapai kualitas produk obat yang baik. Kualitas produk obat yang baik ini juga harus dipertahankan selama proses distribusi. Maka untuk menjaga kualitas produk obat dan layanan dari distributor, distribusi obat harus sesuai dengan Good Distribution Practice (GDP). Beberapa aspek dalam cara distribusi obat yang baik (CDOB), yaitu : (a) personalia, (b) dokumentasi, (c) pengadaan dan penyaluran, (d) penyimpanan, dan (e) penarikan kembali. Prinsip dari CDOB adalah menjamin keabsahan dan mutu obat agar obat yang sampai ke konsumen adalah obat yang aman, efektif dan dapat digunakan sesuai indikasi (Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2003).

Beberapa faktor yang mempengaruhi distribusi, diantaranya : (a) proses administrasi, (b) penyampaian data dan informasi, (c) proses pengeluaran barang, (d) proses pengiriman, (e) proses pembongkaran, dan (f) pelaksanaan rencana-rencana yang telah ditentukan (Subagya, 1994).

4. Penggunaan

Penggunaan adalah suatu tahap masalah pemakaian obat yang rasional serta dampak penggunaan obat yang tidak rasional. Menurut Report of the Conference of Experts WHO (1987), rasional dalam pengobatan adalah jika pengobatan dilakukan secara tepat (medical appropiate), yaitu tepat diagnosis, tepat indikasi, tepat jenis obat, tepat dosis, cara dan lama pemberian, tepat penilaian terhadap kondisi pasien, tepat penyerahan, tepat informasi, tepat tindak

lanjutnya dan waspada terhadap efek samping. Ketidakrasionalan pemakaian obat sangat beragam, mulai dari peresepan obat tanpa indikasi, dosis, cara, frekuensi dan lama pemberian yang tidak tepat, hingga peresepan obat-obat yang relatif mahal atau peresepan obat-obat yang belum terbukti secara ilmiah memberikan manfaat terapi yang lebih besar dibanding resikonya. Penggunaan merupakan proses penulisan resep oleh dokter, penyaluran oleh apoteker, dan pemakaian oleh pasien yang merupakan pendekatan profesional yang bertanggung jawab dalam menjamin penggunaan obat dan alat kesehatan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien melalui penerapan pengetahuan, keahlian, ketrampilan dan perilaku apoteker serta bekerja sama dengan pasien dan profesi kesehatan lainnya (Quicket al., 1997).

E. Metode Pareto ABC (Always Better Control)

Pada tahun 1800-an, Vilvredo Pareto, seorang ahli ekonomi dan sosiologi bangsa Italia, dalam studi penelitiannya sampai pada suatu kesimpulan bahwa pola distribusi pendapatan penduduk pada dasarnya sama di seluruh negara dan di sepanjang sejarah. Studi Pareto menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil penduduk yang memiliki sebagian besar pendapatan seluruh penduduk, dan sebaliknya pula, sebagian besar penduduk hanya memiliki sebagian kecil saja dari pendapatan seluruh penduduk. Penemuannya ini diaplikasikan dalam manajemen persediaan yang disebut dengan ABC analisis atau yang disebut dengan prinsip Pareto (Zulfikarijah, 2005). Berdasarkan ini, pada tahun 1940-an H. Ford Dickie dari General Electric mengembangkan hukum atau prinsip Pareto ini dan

menciptakan prinsip ABC dalam klasifikasi barang persediaan (Indrajit dkk, 2003).

Manajemen persediaan dalam perusahaan biasanya melibatkan ribuan atau bahkan jutaan itemdalam persediaan. Untuk melakukan pengendalian secara efektif, manajer persediaan harus menghindari item-item yang tidak penting dan berkonsentrasi kepada item-item yang paling penting. Prosedur pengendalian persediaan harus memisahkan item-item yang membutuhkan pengendalian secara ketat dari item-item lain yang dikendalikan secara tidak ketat. Pemilihan pengendalian persediaan dapat memberikan petunjuk item-item mana saja yang paling penting dalam persediaan dan yang membutuhkan lebih besar konsentrasi (Tersine dan Richard, 1994).

Biasanya menjadi tidak ekonomis bila melakukan pengendalian persediaan secara terperinci pada seluruh item di dalam persediaan. Ini menguntungkan bila membagi persediaan ke dalam tiga kelas menurut jumlah pemakaian per periode dan harga beli per unit. Pendekatan ini disebut analisis ABC. Dalam analisis ABC, item-item persediaan dikelompokkan ke dalam tiga kelas berdasarkan nilai persediaan tahunan, dengan kriteria pengelompokkan sebagai berikut (Tersine dan Richard, 1994).

Kelas A : terdiri dari 15% - 20% item dari seluruh item, yang menyerap 75% -80% dana.

Kelas B : terdiri dari 20% - 25% item dari seluruh item, yang menyerap 10% -15% dana.

Kelas C : terdiri dari 60% - 65%item dari selurihitem, yang menyerap 5% - 10% dana.

Tingkat kesalahan yang dapat diterima menurut rekomendasi The American Production and Inventory Control (APICS) adalah ± 0,2% untuk item A, ±1% untukitemB, dan ± 5% untukitemC (Zulfikarijah, 2005).

Prinsip ABC memberikan konsekuensi dalam pengendalian persediaan sebagai berikut (Indrajit dkk, 2003): (a) pengawasan harus lebih difokuskan pada barang kategori A, karena kekeliruan dalam pengawasan barang jenis ini dapat menimbulkan kerugian, (b) pengawasan terhadap kategori B bersifat cukup saja, (c) pengawasan terhadap kategori C cukup sekadarnya saja, karena kerugian yang mungkin ditimbulkan biasanya hanya sedikit, (d) konsep ini juga berpengaruh dalam menentukan jumlahsafety stock, apabila diperlukan, harus lebih teliti untuk kategori A daripada kategori B dan C.

Berdasarkan analisis ABC yang dilakukan diketahui bahwa setiap kelas membutuhkan tingkat pengendalian yang berbeda-beda. Diantaranya dalam hal pengaturan pengisian kembali persediaan. Item kelas A membutuhkan pengendalian yang lebih ketat dibandingkan item B atau C. Tersine dan Richard (1994) menyebutkan bahwa pengurangan item-item kelas A akan berpengaruh secara signifikan terhadap investasi persediaan dan dapat memberikan penghematan terbesar. Begitu pula apabila pengurangan dilakukan padaitemkelas B. Hasil analisis ABC ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mengatur dan mengendalikan persediaan, dimana item kelas A membutuhkan pengendalian yang lebih ketat dibandingkan dengan item kelas B dan untukitem kelas C dapat

dilakukan secara lebih longgar. Melalui pengaturan tingkat pengendalian yang berbeda-beda, diharapkan persediaan tiap-tiap item berbeda pada tingkat yang optimal, sehingga sistem persediaan dapat berfungsi secara optimal dengan biaya yang rendah.

Analisis ABC merupakan metode yang sangat berguna dalam melakukan pemilihan, penyediaan, manajemen distribusi, dan promosi penggunaan obat yang rasional. Terkait dengan pendapatan dari penyediaan obat, analisis ABC dapat digunakan untuk :

1. Menentukan frekuensi permintaan item obat, karena dengan memesan item

obat kelompok A dengan frekuensi yang tinggi dan dengan kuantitas yang kecil akan mengurangi biaya inventoris.

2. Mencari sumberitemkelompok A dengan harga yang lebih murah. Penyediaan barang seharusnya memusatkan pada item kelompok A dengan harga yang lebih murah dengan mencari bentuk sediaan termurah atau pemasok termurah. 3. Memonitor status permintaan item. Hal ini dilakukan untuk mencegah

terjadinya kekurangan item yang mendadak yang berakibat pada keharusan pembayaran darurat yang biasanya lebih mahal.

4. Memonitor prioritas penyediaan agar sesuai dengan prioritas sistem kesehatan yang menunjukkan jenis obat yang sering digunakan.

5. Membandingkan biaya aktual dan terencana (Quicket al, 1997).

Terkait dengan segi manfaat, analisis ABC digunakan untuk mengevaluasi item dengan tingkat penggunaan terbanyak bersama-sama pejabat

kesehatan, dokter dan tenaga medis lain untuk memberikan gambaran mengenai

Dokumen terkait