• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

5.2.1 Pelayanan Keperawatan

Penulis berharap bahwa institusi pelayanan kesehatan dapat menjadikan laporan praktika senior ini sebagai bahan masukan untuk dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan karena peran pelayanan kesehatan sangat diperlukan untuk mempertahankan derajat kesehatan, sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan kesehatan.

Penulis berharap dengan adanya penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam mengelola pasien yang mengalami gangguan mobilitas fisik berdasarkan aplikasi terapi yang sudah dilakuka

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Mellitus 2.1.1 Defenisi DM

DM adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar gula dalam darah dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi insulin sesuai kebutuhan tubuh (Sunyoto Rg. Acp, 2009). Menurut Perkeni (2011) dan American Diabetes Association (2012) DM adalah suatu penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah.

DM adalah penyakit kronik progresif yang digambarkan dengan ketidakmampuan tubuh dalam melakukan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang menyebabkan hiperglikemia (Black & Hawk, 2009).

2.1.2 Etiologi Diabetes Mellitus

Menurut Smeltzer & Bare, 2002 terbagi dua yaitu : a. DM tipe I :

 Faktor genetik

Penderita DM tidak mewarisi DM tipe I itu sendiri : tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah terjadinya DM tipe I.

Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA.

Faktor-faktor imunologi

Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing, yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.

 Faktor lingkungan

Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang menimbulkan destruksi selbeta.

b. DM Tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada DM tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.

Faktor-faktor resiko :

 Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)  Obesitas

 Riwayat keluarga

Menurut Sukmono RJ (2009), penyebab DM adalah sebagai berikut :  Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai

 Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang diproses secara berlebihan.

 Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang disertai pembentukan sel – sel antibodi dan mengakibatkan kerusakan sel – sel.

 Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan terhadap insulin akibat kurangnya reseptor.

2.1.3 Patofisiologi

Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat berfungsi dengan baik. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh berasal dari bahan makanan yang kita makan setiap hari. Bahan makanan tersebut terdiri dari unsur karbohidrat, lemak dan protein (Jan, 2000). Pada keadaan normal kurang lebih 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 10% menjadi glikogen dan 20% sampai 40% diubah menjadi lemak.

Pada DM semua proses tersebut terganggu karena terdapat defisiensi insulin. Penyerapan glukosa kedalam sel macet dan metabolismenya terganggu. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar glukosa tetap berada dalam sirkulasi darah sehingga terjadi hiperglikemia. Penyakit DM disebabkan oleh karena gagalnya hormon insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas

untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.

Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi penumpukan asetat dalam darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat atau asidosis. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh berusaha mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan napas penderita berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila tidak segera diobati akan terjadi koma yang disebut koma diabetik (Price,1995).

2.1.4 Faktor Resiko

Menurut Suyono (2009), DM di Indonesia akan terus meningkat disebabkan beberapa faktor antara lain :

1. Faktor keturunan (genetik)

2. Faktor kegemukan atau obesitas (IMT > 25 kg/m2)

a. Perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat b. Makan berlebihan

c. Hidup santai, kurang gerak badan 3. Faktor demografi

a. Jumlah penduduk meningkat b. Urbanisasi

c. Penduduk berumur diatas 40 tahun meningkat 4. Kurang gizi

2.1.5 Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut WHO (2015) dan PERKENI (2006), terdapat 4 jenis DM yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM tipe lain dan DM gestasional.

Tabel 2.1 Klasfikasi Diabetes Mellitus menurut Bruneer & suddarth (2002)

Klasifikasi Diabetes Mellitus Ciri-ciri Klinis

Tipe I (IDDM) DM Juvenil

a) Awitan terjadi pada segala usia, tetapi biasanya usia muda (<30 tahun)

b) Biasanya bertubuh kurus

c) Etiologi mencakup factor genetic, imunologi atau lingkungan

d) Memiliki antibody sel pulau Langerhans e) Memerlukan insulin untuk

mempertahankan kelangsungan hidup f) Komplikasi akut hiperglikemia;

Tipe II (NIDDM) DM Dewasa

a) Awitan terjadi pada usia >30 tahun b) Biasanya bertubuh gemuk (obesitas)

c) Etiologi mencakup factor obesitas, herediter atau lingkungan

d) Mayoritas penderita obesitas dapat mengendalikan kadar glukosa darahnya melalui penurunan berat badan

e) Memerlukan insulin dalam jangka waktu yang pendek atau panjang untuk mencegah hiperglikemia

f) Ketosis jarang terjadi, kecuali bila dalam keadaan stress atau menderita infeksi g) Komplikasi akut; sindrom hiperosmolar

nonketotik DM yang berkaitan dengan

keadaan atau sindrom lain (Diabetes Sekunder)

a) Disertai dengan keadaan yang diketahui atau dicurigai dapat menyebabkan penyakit; pankreasitis; kelainan hormonal; obat-obatan seperti glukokortikoid dan preparat yang mengandung estrogen

b) Bergantung pada kemampuan pancreas untuk menghasilkan insulin; pasien mungkin memerlukan obat oral atau insulin DM Gestasional (GDM) a) Awitan selama kehamilan, biasanya terjadi

pada trimester kedua atau ketiga

b) Disebabkan oleh hormone yang disekresikan plasenta dan menghambat kerja insulin

c) Resiko terjadinya komplikasi perinatal diatas normal, khususnya makrosomia (bayi berukuran besar)

d) Diatasi dengan diet, dan insulin (jika diperlukan) untuk mempertahankan secara ketat kadar gula darah normal

e) Intoleransi glukosa terjadi untuk sementara waktu tetapi dapat kambuh kembali

f) Factor resiko mencakup; obesitas, usia >30 tahun, riwayat diabetes dalam keluarga, pernah melahirkan bayi berukuran besar (>4,5 kg)

1. DM Tipe I : Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)

DM jenis ini terjadi akibat kerusakan sel β pakreas. Dahulu, DM tipe 1

(karena sering menimbulkan ketosis). Onset DM tipe 1 biasanya terjadi sebelum usia 25-30 tahun (tetapi tidak selalu demikian karena orang dewasa dan lansia yang kurus juga dapat mengalami diabetes jenis ini). Karakteristik DM tipe 1 yaitu terjadinya hiperglikemia yang disebabkan oleh sekresi insulin mengalami defisiensi (jumlahnya sangat rendah atau tidak ada sama sekali). Dengan demikian, pasien membutuhkan pemberian insulin seumur hidup untuk kelangsungan hidupnya. tanpa pengobatan dengan insulin (pengawasan dilakukan melalui pemberian insulin bersamaan dengan adaptasi diet), pasien biasanya akan mudah terjerumus ke dalam situasi ketoasidosis diabetik (WHO 2015; Arisman, 2011).

2. DM Tipe II : Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)

DM yang tidak tergantung insulin dan terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin). Disebabkan karena turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa. Namun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain, berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Mansjoer dkk, 2001). 3. DM tipe lain

DM jenis ini dahulu kerap disebut diabetes sekunder, atau DM tipe lain. Etiologi diabetes jenis ini, meliputi : (a) penyakit pada pankreas yang merusak sel

yang mengganggu sekresi dan/atau menghambat kerja insulin, seperti akromegali, feokromositoma, dan sindrom Cushing; (c) obat-obat yang menggangu sekresi insulin (fenitoin [Dilantin]) atau menghambat kerja insulin (estrogen dan glukokortikoid); (d) kondisi tertentu yang jarang terjadi, seperti kelainan pada reseptor insulin; dan (e) sindrom genetic (Arisman, 2011).

4. DM Gestasional

Merupakan suatu gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung (Nursemierva, 2001). Definisi ini juga mencakup pasien yang sebetulnya masih mengidap DM tetapi belum terdeteksi, dan baru diketahui saat kehamilan berlangsung. Faktor resiko DM Gestasional ialah abortus berulang, riwayat melahirkan anak meninggal tanpa sebab yang jelas, riwayat pernah melahirkan bayi dengan cacat bawaan, pernah melahirkan bayi lebih dari 4000 gram, pernah pre-eklamsia, Polihidramion. Faktor predisposisi DM Gestasional adalah umur ibu hamil lebih dari 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, pernah mengalami DM gestasional pada kehamilan sebelumnya, infeksi saluran kemih berulang-ulang selama hamil (PERKENI, 2002).

2.1.6 Manifestasi Klinis DM

American Diabetes Association (ADA) (2015) menyatakan bahwa gejala umum DM, yaitu:

1) Sering berkemih (poliuria)

2) Peningkatan rasa haus (polidipsia)

4) Kelelahan

5) Penglihatan kabur

6) Luka/memar lambat untuk sembuh

7) Penurunan berat badan, meskipun telah banyak makan (DM tipe 1) 8) Kesemutan, nyeri atau mati rasa pada tangan/kaki (DM tipe 2)

Pada DM tipe 1, gejala biasanya muncul secara mendadak, berat dan perjalanannya sangat progresif; jika tidak diawasi, dapat berkembang menjadi ketoasidosis dan koma. Ketika diagnosa ditegakkan, pasien biasanya memiliki berat badan yang rendah. Hasil tes deteksi antibodi islet hanya bernilai sekitar 50- 80% dan KGD >140 mg/dL (WHO 2015; Arisman, 2011).

Gejala DM tipe 2 muncul perlahan-lahan dan biasanya ringan (kadang- kadang bahkan belum menampakkan gejala selama bertahun-tahun) serta progresivitas gejala berjalan lambat. Koma hiperosmolar dapat terjadi pada kasus- kasus berat. Namun, ketoasidosis jarang sekali muncul, kecuali pada kasus yang disertai stress atau infeksi. Kadar insulin menurun atau bahkan tinggi, atau mungkin juga insulin bekerja tidak efektif (Arisman, 2011).

2.1.7 Komplikasi Diabetes Mellitus

Komplikasi akut pada DM antara lain (Boedisantoso R, 2007): a. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan glukosa darah < 60 mg/dl. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrinergic (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuroglikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).

Penyebab tersering hipoglikemia adalah akibat obat hipoglikemia oral golongan sulfonilurea, khususnya klorpropamida dan glibenklamida. Penyebab tersering lainnya antara lain : makan kurang dari aturan yang ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan dan lain-lain.

b. Ketoasidosis Diabetik

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan defisiensi insulin berat dan akut dari suatu perjalanan penyakit DM yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosi dan ketosis. Timbulnya KAD merupakan ancaman kematian pada pasien DM.

c. Hiperglikemia Non Ketotik

Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan sering kali gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis.

Akibat kadar gula darah yang tidak terkontrol dan meninggi terus menerus yang dikarenakan tidak dikelola dengan baik mengakibatkan adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal. Perubahan dasar itu terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot pembuluh darah maupun pada sel masingeal ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kematian sel yang akhirnya akan menjadi komplikasi vaskular DM. Struktur pembuluh darah, saraf dan struktur lainnya akan menjadi rusak. Zat kompleks yang terdiri dari gula di dalam dinding pembuluh darah menyebabkan pembuluh darah menebal dan

mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan berkurang, terutama menuju kulit dan saraf. Akibat mekanisme di atas akan menyebabkan beberapa komplikasi antara lain (WHO, 2015; Waspadji, 2006) :

a. Retinopati

Terjadinya gangguan aliran pembuluh darah sehingga mengakibatkan terjadi penyumbatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan mikrovaskular. Selanjutnya sel retina akan berespon dengan meningkatnya ekspresi faktor pertumbuhan endotel vaskular yang selanjutnya akan terbentuk neovaskularisasi pembuluh darah yang menyebabkan glaukoma. Hal inilah yang menyebabkan kebutaan.

b. Nefropati

Hal-hal yang dapat terjadi antara lain : peningkatan tekanan glomerular dan disertai dengan meningkatnya matriks ektraseluler akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal yang akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi dan kemudian terjadi perubahan selanjutnya yang mengarah terjadinya glomerulosklerosis. Gejala-gejala yang akan timbul dimulai dengan mikroalbuminuria dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis selanjutnya akan terjadi penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan gagal ginjal.

c. Neuropati

Yang paling sering dan paling penting gejala yang timbul berupa hilangnya sensasi distal atau seperti kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri dan lebih terasa sakit dimalam hari.

d. Penyakit Jantung Koroner

Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat aterosklerosis (penimbunan plak lemak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini 2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita DM. Akibat aterosklerosis akan menyebabkan penyumbatan dan kemudian menjadi penyakit jantung koroner.

e. Penyakit Pembuluh Darah Kapiler

Mengenali dan mengelola berbagai faktor risiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus diabetes merupakan hal yang paling sering pada penyakit pembuluh darah perifer yang dikarenakan penurunan suplai darah di kaki. 2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

Adapun data penunjang yang diperlukan dalam menegakkan diagnose DM adalah:

1) Kadar glukosa darah sewaktu  Plasma vena : a. <100 b. 100 - 200 = belum pasti DM c. >200 = DM  Darah kapiler : a. <80 b. 80 - 100 = belum pasti DM c. > 200 = DM

2) Kadar glukosa darah puasa  Plasma vena :

a. <110 b. 110 - 120 = belum pasti DM c. > 120 = DM  Darah kapiler : a. <90 b. 90 - 110 = belum pasti DM c. > 110 = DM

Menurut ADA (2011) dalam Taufiq (2011) kriteria diagnostik DM merupakan salah satu dari kondisi berikut :

1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L) 2. Glukosa plasma puasa >126 mg/dl (7,0 mmol/L)

3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl).

2.1.9 Penatalaksanaan DM 1. Edukasi

DM umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan kokoh. Keberhasilan pengelolaan diabetes mandiri membutuhkan partisipasi aktif penderita, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan harus mendampingi penderita dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif pengembangan ketrampilan dan motivasi. Edukasi secara individual dan pendekatan berdasarkan penyelesaian masalah merupakan inti perubahan perilaku yang berhasil. Perubahan perilaku hampir sama dengan proses edukasi yang

memerlukan penilaian, perencanaan, implementasi, dokumentasi dan evaluasi (PERKENI, 2006).

2.Terapi Gizi Medis

Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein, lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut (PERKENI, 2006):

a. Karbohidrat : 45 – 65% total asupan energi b. Protein : 10 – 20% total asupan energi c. Lemak : 20 – 25 % kebutuhan kalori

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari berat badan ideal dikali kebutuhan kalori basal (30 Kkal/kg BB untuk laki-laki dan 25 Kkal/kg BB untuk wanita). Kemudian ditambah dengan kebutuhan kalori untuk aktifitas, koreksi status gizi, dan kalori yang diperlukan untuk menghadapi stres akut sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya kebutuhan kalori pada diabetes tidak berbeda dengan non diabetes yaitu harus dapat memenuhi kebutuhan untuk aktifitas baik fisik maupun psikis dan untuk mempertahankan berat badan supaya mendekati ideal (PERKENI, 2006).

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan dan

Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti : jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (PERKENI, 2006).

4. Intervensi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan suntikan.

a. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat hipoglikemik oral dibagi menjadi 5 golongan, yaitu :

1) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): Sulfonilurea dan Glinid 2) Peningkat sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan Tiazolidindion 3) Penghambat glukoneogenesis: Metformin

4) Penghambat absorpsi glukosa: Penghambat glukosidase alfa 5) DPP-IV inhibitor

b. Suntikan : Insulin dan Agonis GLP-1 / Incretin mimetic2 2.2 Latihan Rentang Gerak Sendi

2.2.1 Pengertian

Latihan rentang gerak sendi merupakan terapi latihan untuk memelihara dan meningkatkan pergerakan dan kontraksi otot dimana dapat memberikan keuntungan dalam meningkatkan fungsi kardiopulmonal dan aliran darah sehingga mencegah terjadinya kontraktur dan membangun kekuatan massa otot (Kozier, Erb, Berman & Synder dalam Suari, 2004). Latihan rentang gerak sendi merupakan terapi nonfarmakologi yang dapat dipilih sebagai salah satu aktivitas fisik yang mudah dan aman untuk diterapkan pada tindakan keperawatan bagi pasien DM dengan terganggunya mobilisasi gerakan (Someita, dkk 2009). Latihan rentang gerak sendi ini meliputi setiap aktivitas tubuh (aktif maupun pasif) yaitu otot, persendian dan dengan pergerakan alamiah seperti abduksi, ekstensi, fleksi, pronasi dan rotasi (Taufiq, 2011). Craven dan Hirnle dalam Taufiq (2011) menyatakan bahwa latihan kaki (leg exercise) dilakukan untuk mencegah komplikasi setelah amputasi dengan meningkatkan sirkulasi. Latihan yang dilakukan berupa latihan pompa otot betis (calf pumping exercise) : dorsifleksi dan plantar fleksi.

2.2.2 Jenis Latihan Rentang Gerak Sendi

Potter & Perry (2005) menyatakan latihan rentang gerak sendi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, aktif, dan pasif.

1. Latihan rentang gerak sendi Aktif

Latihan Rentang Gerak Sendi Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien) dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan

motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendiri secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75 %. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Sendi yang digerakkan pada latihan rentang gerak sendi aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendiri secara aktif.

b. Latihan Rentang Gerak Sendi Pasif

Latihan Rentang Gerak Sendi pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan otot 50 %. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun, dkk, 2008).

Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada latihan rentang gerak pasif adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.

2.2.3 Gerakan Latihan Rentang Gerak Sendi Berdasarkan Bagian Tubuh Menurut Potter & Perry, (2005), Latihan rentang gerak sendi terdiri dari gerakan pada persendian sebaga berikut :

Gerakan Penjelasan Rentang Fleksi Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45° Ekstensi Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45° Hiperektensi Menekuk kepala ke belakang sejauh

mungkin,

rentang 40-45° Fleksi lateral Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh

mungkin kearah setiap bahu,

rentang 40-45°

2. Bahu

Gerakan Penjelasan Rentang

Fleksi Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke posisi di atas kepala,

rentang 180° Ekstensi Mengembalikan lengan ke posisi di samping

tubuh,

rentang 180° Hiperektensi Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap

lurus,

rentang 45-60° Abduksi Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala

dengan telapak tangan jauh dari kepala,

rentang 180° Adduksi Menurunkan lengan ke samping dan menyilang

tubuh sejauh mungkin,

rentang 320° Rotasi dalam Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan

menggerakan lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang,

rentang 90°

Rotasi luar Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari ke atas dan samping kepala,

rentang 90°

3. Siku

Gerakan Penjelasan Rentang

Fleksi Menggerakkan siku sehingga lengan bahu bergerak ke depan sendi bahu dan tangan sejajar bahu,

rentang 150°

Ektensi Meluruskan siku dengan menurunkan tangan,

rentang 150°

4. Lengan bawah

Gerakan Penjelasan Rentang

Supinasi Memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke atas,

rentang 70-90° Pronasi Memutar lengan bawah sehingga telapak

tangan menghadap ke bawah,

rentang 70-90°

5. Pergelangan tangan

Gerakan Penjelasan Rentang

Fleksi Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian

Dokumen terkait