• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.2. Saran

Adapun yang menjadi saran penulis dalam hal ini berdasarkan judul yang diteliti mengenai partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata alam Danau Toba adalah pemerintah daerah seharusnya lebih memperhatikan

daerah Parapat. Pembangunan seperti perbaikan jalan, pengadaan tong sampah dan lain sebagainya harus dikembangkan. Masyarakat juga harus lebih bersikap ramah kepada wisatawan. Masyarakat dan pemerintah harus bersyukur karena dianugrahi tempat yang sangat indah. Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah harus saling bekerja sama dalam memperindah alam Danau Toba.

DAFTAR PUSTAKA

Abu Huerah. 2008. Pengorganisasian dalam Pengembangan Masyarakat Model Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Bandung : Humaniora

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Partisipasi Masyarakat

2.1.1. Pengertian Partisipasi Masarakat

Partisipasi berasal dari bahasa Inggris yaitu participation, take a part artinya peran serta atau ambil bagian dalam kegiatan bersama-sama dengan orang lain. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan bagian yang integral yang harus ditumbuhkembangkan yang pada akhirnya akan menumbuhkan rasa memiliki (sense of belonging) rasa tanggung jawab.

Menurut Sutrisno dalam Salladien (2009) partisipasi adalah dukungan masyarakat terhadap rencana atau proyek pembangunan yang dirancang dan tujuannya ditentukan oleh perencana. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, merupakan kerja sama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai.

Jnabrota Battacharyya mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Mubyarto mendefenisikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.Partisipasi berarti peran serta seseorang atau kelompok masyarakat dalam proses pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberi masukan pikiran, tenaga, waktu, keahlian,

modal dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil -hasil pembangunan (I Nyoman Sumaryadi, 2010: 46).

Berbicara tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan, orang akan menemukan rumusan pengertian yang cukup bervariasi. Mikkelsen dalam Soetomo (2010), menginventarisasi adanya enam tafsiran dan makna yan berbeda tentang partisipasi. Pertama, partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-proyek pembangunan. Ketiga, partisipasi adalah proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil nisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu. Keempat partisipasi adalah pemantapan dialog masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan pelaksanaan dan monitoring proyek agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial. Kelima partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. Keenam partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri kehidupan dan lingkungan mereka.

Berdasarkan beberapa pengertian partisipasi tampak bahwa kriteria yang digunakan untuk menentukan adanya partisipasi masyarakat adalah adanya keterlibatan tanpa harus mempersoalkan faktor yang melatarbelakangi dan mendorong keterlibatan tersebut. Dengan menggunakan kriteria tersebut partisipasi diartikan sebagai keterlibatan

masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh determinasi dan kesadaran tentang keterlibatannya tersebut. Apabila yang muncul hanya unsur keterlibatan dan tidak didorong oleh determinsi dan kesadaran, hal tersebut tidak masuk dalam kategori partisipasi melainkan lebih tepat disebut sebagai mobilisasi (Soetomo,2010 :438)

2.1.2. Bentuk-bentuk Partisipasi Masyarakat

Menurut ahli ekonomi Mubyanto, partisipasi secara umum berarti esediaan untuk membantu keberhasilan suatu program sesuai denan emampuan setiap orang tanpa mengorbanan diri sendiri. Sedangkan menurut ahli sosiologi Santoso, partisipas meruaan keterlibata mental serta kesediaan untuk memberi sumbangan dan rasa tanggun jawab dalam suatu kegiatan untuk mencapai tujuan dari usaha yang bersangkutan.

Berdasarkan pada tingkat organisasi partisipasi dibedakan menadi dua, yaitu:

a. Partisipasi yan teroganisasikan, yaitu partisipasi yang terjadi bila suatu struktur organisasi dan seperangkat tata kerja dikembangkan atau dalam proses persiapan.

b. Partisipasi tdak terorganisasikan, yaitu partisipsi yang terjadi karena peristiwa temporer seperti bencana alam dan kebakaran.

Menurut Oakley sebagaimana dalam Jim Ife disebutkan ada perbandingan antara partisipasi sebagai cara dan partisipasi sebagai tujuan.

Tabel 2.1. Perbandingan antara partisipasi sebagai cara dan sebagai tujuan

Partisipasi sebagai cara Partisipasi sebagai tujuan

• Berimplikasi pada penggunaan partisipasi untuk mencapai tujuan atau sasaran yang ditetapkan sebelumnya.

• Merupakan suatu upaya

pemanfaatan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan program atau proyek.

• Penekanan pada mencapai tujuan dan tidak terlalu pada aktivitas partisipasi itu sendiri.

• Lebih umum dalam program-program pemerintah, yang pertimbangan utamanya adalah untuk menggerakkan

masyarakat dan melibatkan mereka dalam meningkatkan efesiensi system penyampaian.

• Partisipasi umumnya jangka pendek.

• Partisipasi sebagai

• Berupaya memberdayakan rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan mereka sendiri secara lebih berarti.

• Berupaya untuk menjamin peningkatan peran rakyat dalam inisiatif-inisiatif pembangunan.

• Fokuspada peningkatan kemampuan rakyat untuk berpartisipasi bukan sekedar mencapai tujuan-tujuan proyek yang sudah ditetapkan

sebelumnya.

• Pandangan ini relatif kurang disukai oleh badan-badan pemerintah. Pada prinsipnya LSM setuju dengan pandangan ini.

• Partisipasi dipandang sebagai suatu proses jangka panjang.

caramerupakan bentuk pasif dari partisipasi.

• Partisipasi sebagai tujuan relatif lebih aktif dan dinamis.

Partisipasi masyarakat adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingannya sendiri. Nelson (dalam Ndraha Taliziduhu hal.102) menyebut dua macam partisipasi yaitu partisipasi horizontal dan partisipasi vertikal. Partisipasi horizontal adalah partisipasi antara sesama warga atau anggota suatu perkumpulan, sedangkan partisipasi vertikal adalah partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antar klien dengan patron, atau antara masyarakat sebagai keseluruhan dengan pemerintah.

Berkaitan dengan sifat-sifat partisipasi masyarakat, beberapa pakar menyebutkan ada partisipasi otonom yang dilakukan atas kesadaran ataukah partisipasi yang dimobilisasi (mobilized participation). Adanya pembedaan dua sifat tersebut bertumpu pada kerelaan atau keterpaksaan, ini sebagaimana pendapat Myron Wiener. Namun disisi lain, pendapat berbeda yang tidak melihat sifat sukarela sebagai ukuran ada tidaknya partisipasi masyarakat dikemukakan Samuel Huntington dan Joan Nelson. Meskipun demikian, kedua sifat partisipasi masyarakat tersebut memiliki konsekwensi yang tidak berbeda, yaitu mempengaruhi proses penyelenggaraan dan proses pengambilan kebijakan dalam pemerintahan.

Dalam konteks mendorong keterlibatan masyarakat dalam sebuah kegiatan, Ife menjelaskan tentang kondisi-kondisi yang mendorong partisipasi, yaitu sebagai berikut: partisipasi masyarakat akan muncul ketika dirasa isu atau aktivitas tersebut penting; adanya anggapan bahwa aksi partisipasi mereka akan membuat perubahan; berbagai bentuk partisipasi, apapun tingkatan dan jenisnya, harus diakui dan dihargai; orang harus bisa berpartisipasi dan didukung dalam partisipasinya; dan struktur dan proses partisipasi tidak boleh mengucilkan sehingga masyarakat itu sendiri yang harus mengontrol struktur dan proses tersebut.

Partisipasi dapat merupakan keluaran pembangunan dan dapat juga merupakan masukan, bahkan masukan yang mutlak diperlukan. Disamping itu partisipasi dapat dianggap sebagai tolak ukur dalam menilai apakah proyek yang bersangkutan merupakan proyek pembangunan atau bukan. Jika masyarakat yang bersangkutan tidak berkesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan suatu proyek, maka proyek tersebut pada hakikatnya bukanlah proyek pembangunan.

Bentuk-bentuk partisipasi ada 6 (enam) yaitu antara lain :

1. Partisipasi dalam melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai salah satu titik perubahan sosial.

2. Partisipasi dalam memperhatikan atau menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (menaati, memenuhi, melaksanakan), mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya.

3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan. Perasaan terlibat dalam perencanaan perlu ditumbuhkan sedini mungkin di dalam masyarakat. Partisipasi ini disebut juga partisipasi dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan politik yang menyangkut nasib mereka, dan partisipasi dalam hal yang bersifat teknis.

4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional pembangunan.

5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan.

6. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Partisipasi masyarakat lokal tidak hanya berupa partisipasi individu, tetapi juga berupa partisipasi kelompok. Menurut Brandon, salah satu strategi partisipasi adalah dengan mempromosikan bentuk partisipasi pada dua tingkatan yaitu secara individu dan organisasi (kelompok). Karena mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan, lebih mudah jika mereka berpartisipasi melalui organisasi yang jelas.

Jika keenam bentuk partisipasi dikontruksikan secara logis, ternyata setiap bentuk partisipasi merupakan sekuen proses pembangunan suatu proyek pembangunan mulai dari bentuknya sebagai gagasan sampai pada bentuknya sebagai bangunan. Partisipasi yang dilakukan sepanjang proses tersebut dinamakan partisipasi profesional, sedangkan partisipasi

yang hanya dilakukan pada satu atau beberapa fase saja, dinamakan partisipasi parsial. Jika konsep partisipasi masyarakat ini dikaitkan dengan konsep kesadaran akan tanggung jawab terhadap (hasil) pembangunan, maka dapat disimpulkan semakin profesional partisipasi masyarakat semakin besar rasa tanggung jawab masyarakat terhadap pembangunan, dan demikian juga sebaliknya.

Konsep partisipasi mengandung makna yang amat luas dan arti yang dalam. Dalam proses pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai masukan yaitu fase penerimaan informasi, fase pemberian tanggapan terhadap informasi, fase penerimaan kembali hasil pembangunan, fase penilaian bangunan. Sebagai masukan, partisipasi berfungsi menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Sebagai keluaran, partisipasi dapat berfungsi sebagai keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai upaya.

Partisipasi masyarakat pada dasarnya adalah adanya keikutsertaan ataupun keterlibatan masyarakat dalam proses pengidentifikasian potensi yang ada di masyarakat , pemilihan dan pengambilan keputusan alternatif solusi penanganan masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan juga keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi. keikutsertaan masyarakat dalam berbagai tahap perubahan ini akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya dan dapat semakin memiliki ketahanan dalam menghadapi perubahan.

Sebaliknya jika masyarakat tidak banyak dilibatkan dalam berbagai tahapan perubahan dan hanya bersikap pasif dalam setiap perubahan yang direncanakan oleh pelaku perubahan (misalnya, pihak lembaga pemerintah, LSM maupun sektor swasta), masyarakat cenderung akan menjadi defedent (tergantung) pada pelaku perubahan. Bila hal ini terjadi secara terus-menerus, maka ketergantungan masyarakat kepada pelaku perubahan akan semakin meningkat.

2.1.3. Hambatan-hambatan Partisipasi Masyarakat

Dalam uraian sebelumnya telah dinyatakan bahwa partisipasi masyarakat boleh dikatakan merupakan unsur yang mutlak dalam pelaksanaan strategi penelolaan sumber daya berbasis komunitas. Pendekatan tersebut diharapkan dapat merespon berbagai keluhan dalam pelaksanaan pembangunan yang sentralis dan bersifat top down. Melalui pendekatan tersebut banyak terdengar keluhan bahwa pemerintah atau penguasa seringkali terlalu memaksakan progam yang sudah dirancang secara terpusat tanpa melakukan konsultasi denan masyarakat yang akan menjadi sasaran program. Dipihak lain juga, sering dikemukakan adana kenyataan, bahwa walaupun sudah dibuka kesempatan kepada masyarakat dan diberi sarana serta media untuk melakukan partisipasi, terutama dalam perencanaan, masyarakat tidak menggunakan kesempatan dan peluang tersebut.

Sebagaimana diketahui, untuk keperluan pelaksanaan pembangunan tidak jarang pemerintah menciptakan lembaga baru dalam

masyarakat dengan harapan dapat berfungsi sebagai wadah dan media partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta sebagai sarana komunikasi antara nstansi yang melaksanakan program dengan masyarakat. Walaupun demikian, jarang dari lembaga ini yang berhasil mengakar dalam kehidupan masyarakat, sehingga menjadi tidak dapat berfungsi sebagaimana diarapkan. Disamping itu, suasana iklim dalam forum yan diciptakan mungkin juga kurang mendukung. Suasana yang terlalu formal juga seringkali membuat komunikasi menjadi macet karena masyarakat terbiasa mengemukakan aspirasi dan pedapat daam situasi yang informal.

Faktor struktural dan kultural masyarakat yang bersangkutan seringkal juga perlu dipertimbangkan dalam mendorong munculnya partisipasi warga masyarakat terutama dalam pengambilan keputusan. Tidak jarang aspirasi, ide, pendapat dan usulan dari arga masyarakat tidak muncul dalam forum yang juga dihadiri oleh pimpinan dan elit lokal. Bukannya mereka tidak mempunyai ide dan aspirasi, tetapi suasana struktural cenderung mendorong mereka mengikuti dan menyetujui apa yang sudah disampaikan oleh elit dan pimpinannya.

Dorongan untuk berpartisipasi bagi warga masyarakat khususnya dalam proses identifikasi masalah dan kebutuhan sering dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu. Apabila wara masyarakat memiliki kesan bahwa apa yang mereka sampaikan dalam berbagai forum untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan ternyata kemudian tidak menetas menjadi program yang akan dilaksanakan, maka kenyataan itu

akan membuat warga masyarakat menjadi segan untuk berpartisipasi dalam hal yang sama untuk periode berikutnya.

Banyak literatur yang mengidentifikasi banyak faktor yang kondusif bagi partisipasi dan yang mewakili sumber daya positif bagi pekerja masyarakat.Berikut adalah faktor-faktor fasilitatif tersebut.

a. Bagi masyarakat asli, kontrol masyarakat secara penuh

b. Pengetahuan yang baik dan pemahaman yang jelas tentang kompleksitas partisipasi oleh pekerja masyarakat.

c. Kejelasan tentang kriteria yang yang digunakan dalam mengundang partisipasi untuk mengundang terhindarnya ketidakterlibatan.

d. Kejujuran dan keterbukaan kepada peserta tentang kendala dan keterbatasan partisipasi.

e. Akses kepada informasi yang relevan.

f. Legislasi (perundang-undangan) seperti undang-undang kebebasan mendapatkan informasi yang akan mengubah harapan peserta terhadap partisipasi sebagai hak mereka didukung oleh hukum.

g. Pelatihan masyarakat lokal dalam hal-hal seperti melobi dan advokasi. h. Penyediaan fasilitator pada temuan-temuan masyarakat.

i. Pelatihan ketua

j. Waktu yang cukup bagi peserta lokal untuk mewujudkan perannya k. Jejaring masyarakat dan organisasi yang kuat

l. Strategi ganda dari dan peluang bagi partisipasi

n. Membangun organisasi-organisasi masyarakat yang kuat yang dapat dikelola oleh masyarakat.

o. Apresiasi dan menghargai pengetahuan lokal, kearifan lokal dan sejarah lokal

p. Komitmen dan organisasi terhadap kemitraan dengan masyarakat

q. Harapan-harapan yang jelas dan eksplisit, yang dapat dinegosiasikan, komitmen, peran, peluang pengembangan keterampilan dan komitmen waktu

r. Umpan balik dan pengakuan terhadap kerja partisipan.

s. Identifikasi awal dan membahas setiap hambatan, konflik dan sebagainya.

Terdapat prinsip yang mendasari yang seharusnya memandu pekerja masyarakat untuk membangun proses-proses partisipasi yang kuat dan efektif, yang mempertimbangkan faktor-faktor penghambat dan kondusif.Prinsip tersebut adalah membangun hubungan yang memberdayakan dengan rakyat lokal yang berarti rakyat memiliki kapasitas untuk memengaruhi struktur dan keputusan-keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka dan membentuk kondisi-kondisi dimana mereka hidup.Menjamin hubungan-hubungan yang memberdayakan memerlukan fleksibilitas; merasa nyaman terhadap ambiguitas dan ketidakpastian, memiliki dasar nilai keadilan sosial dan hak yang jelas, mengetahui bagaimana ini berlaku terhadap praktik dan pembagian kekuasaan pada hubungan-hubungan seseorang dengan warga lokal.

2.2. Teori Pengelolaan Sumber Daya Alam

Pengelolaan sumber daya merupakan strategi pembangunan masyarakat yang memberi peran dominan kepada masyarakat untuk mengelola proses pembangunan, khususnya dalam mengontrol dan mengelola sumber daya produktif. Dengan demikian, strategi ini mengarah pada penguatan mekanisme dalam pengelolaan sumber daya agar lebih efektif terutama dalam rangka pemenuhan kebutuhan lokal. Melalui strategi ini setiap komunitas dapat mengembangkan sistem dan mekanisme yang memungkinkan warga masyarakat memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia untuk memenuhi berbagai kebutuhan individu dan kebutuhan kolektif. Sumber daya lokal yang dimaksud antara lain berupa tanah, air, informasi, teknologi, energi manusia dan kreativitas.

Pengelolaan sumber daya dibagi menjadi dua yaitu pertama, strategi pembangunan konvensional yaitu dalam strategi konvensional kontrol terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya tersebut dilakukan oleh administrasi birokrasi yang terpusat. Kedua, strategi pengelolaan berbasis komunitas yaitu peranan prakarsa, kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses pembangunan menjadi sangat sentral. Memang benar, dalam strategi pembangunan konvensional juga sering dikatakan ada unsur keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, tetapi pada umumnya peranan masyarakat terbatas pada keterlibatan masyarakat dalam melaksanakan berbagai program yang sudah dirumuskan secara terpusat, dengan demikian bersifat top down. Oleh sebab itu, keterlibatan seperti ini sebetulnya kurang

tepat disebut sebagai partisipasi, tetapi lebih tepat disebut sebagai bentuk mobilisasi pembangunan. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak ikut mengambil keputusan dan merumuskan program, sehingga lebih berkedudukan sebagai konsumen program dari atas, tetapi dianggap berkewajiban melaksanakannya. Sementara itu, dalam strategi ini masyarakat terlibat dalam segala proses pembangunan sejak identifikasi masalah dan kebutuhan serta perumusan program. Dalam strategi ini mandat pengelolaan pembangunan, khususnya sumber daya, tidak berada pada pihak pemerintah secara terpusat, tetapi berada pada masyarakat lokal. Untuk maksud tersebut diperlukan kapasitas masyarakat lokal dalam melakukan identifikasi kebutuhan, identifikasi sumber daya, merumuskan tujuan, dan mengelola serta mendayagunakan sumber daya lokal. Sebagai konsekuensinya, diperlukan suatu proses pengembangan kapasitas tersebut melalui upaya pemberdayaan masyarakat.

2.3. Potensi Destinasi Pariwisata dan Daya Tarik Wisata

Pariwisata adalah kegiatan rekreasi diluar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Sebagai suatu aktifitas, pariwisata telah menjadi bagian penting dari kebutuhan dasar masyarakat maju dan sebagian kecil masyarakat negara berkembang. Hidup seolah-olah didesain untuk produksi dan pekerjaan, sehingga tidak jarang mengakibatkan orang stress. Pariwisata kemudian menjadi kanal yang tepat untuk membebaskan masyarakat dari tekanan tersebut (Janianton:2006)

Berdasarkan skala prioritas pembangunan dan pengembangan daerah tujuan wisata di Indonesia, maka diputuskan untuk membangun 10 (sepuluh) daerah tujuan wisata di berbagai provinsi, yaitu :

1. Sumatera Utara, meliputi wilayah Danau Toba dengan Pulau Samosir dan sekitar Dataran Tinggi Karo dengan Berastagi

2. Sumatera Barat, meliputi wilayah Bukittinggi dengan Danau Maninjau, Danau Singkarak, Payakumbuh, dan Batu Sangkar serta Kotamadya Padang beserta objek-objek wisata disekitarnya.

3. Jawa Barat, meliputi wilayah kota Bandung, Jabotabek,Gunung Gede, Banten, Cirebon, Tasikmalaya dan Ciamis

4. Jawa Tengah dan Yogyakarta, meliputi wilayah Merapi Merbau, Semarang, Ambarawa, Kopeng, Dieng, Solo, Yogyakarta serta lingkungan Candi Borobudur dan Candi Prambanan, termasuk Kudus dan Demak

5. Jawa Timur, meliputi wilayah kota Surabaya,Malang (Trowulan, Pandaan, Tretes) , Gunung Bromo, dan Pulu Madura serta Banyuwangi 6. Sulawesi Selatan meliputi Kotamadya Ujung Pandang, Maros, Gowa,

Jeneponto, Bulukumba, Selayar, Kabupaten Luwu dan Terutama Tanah Toraja

7. Sulawesi Utara, meliputi wilayah Kabupaten Minahasa, Air Madidi, Rembokan, Taratara dan Tasik Ria.

Syarat-syarat pariwisata memiliki 10 (sepuluh )faktor, yaitu : 1. Alam

a. Keindahan alam (topografi umum seperti flora dan faunadisekitar danau, sungai, pantai, laut, pulau-pulau, mata air panas, sumber mineral, teluk, gua, air terjun, cagar alam, hutan, dsb.)

b. Iklim (Sinar matahari, suhu udara, cuaca, angin, hujan, panas, kelembapan, dsb.)

2. Sosial Budaya

a. Adat istiadat (pakaian, makanan dan tata cara hidup daerah, pesta rakyat, kerajinan tangan dan produk-produk lokal lainnya.)

b. Seni bangunan (arsitektur tempat seperti candi, pura, mesjid, gereja, monument bangunan adat, dsb.)

c. Pentas dan pagelaran, festival (gamelan, musik, seni tari dan pecan olahraga, kompetisi dan pertandingan, dsb.)

d. Pameran pecan raya (pekan-pekan raya yang bersifat industri komersial)

3. Sejarah – Peninggalan purbakala (bekas-bekas istana, tempat peribadahan, kota tua dan bangunan-bangunan purbakala peninggalan sejarah, dongeng atau legenda.)

4. Agama – Kegiatan masyarakat (kehidupan beragama tercermin dari kegiatan penduduk setempat sehari-harinya dalam soal beribadah, upacara, pesta, dsb)

5. Fasilitas Rekreasi

a. Olahraga (berburu, memancing, berenang, main ski, berlayar, golf, naik kuda, mendaki, dsb.)

b. Edukasi (museum arkeologi dan etnologi, kebun binatang, kebun raya, akuarium, planetarium, laboratorium, dsb.)

6. Fasilitas kesehatan – untuk istirahat, berobat ketenangan (spa mengandung mineral, spa air panas, sanatorium, tempat mendaki, piknik, tempat semedi,dsb.)

7. Failitas berbelanja- beli ini-itu (toko-toko souvenir, toko-toko barang kesenian dan hadiah, toko-toko keperluan sehari-hari, kelontong,dsb.) 8. Fasilitas hiburan – waktu malam (kasino, night club, disko, bioskop,

teater, sandiwara, dsb.)

9. Infrastruktur – kualitas wisata (jalan-jalan raya, taman, listrik, air, pelayanan keamanan, pelayanan kesehatan, komunikasi, kendaraan umum,dsb.)

10. Fasilitas pangan dan akomodasi – makanan dan penginapan (hotel, motel, bungalow, inn, cottage, guest house, restoran, coffeshop, rumah makan,dsb.)

Pesat tidaknya perkembangan kegiatan kepariwisataan sangat erat kaitannya dengan penyediaan sarana dan prasarana kepariwisataan sebagai penunjang.

i. Prasarana kepariwisataan

Prasarana kepariwisataan adalah semua fasilitas yang memungkinkan proses perekonomian dapat berjalan dengan lancar sedemikian rupa sehingga dapat memudahkan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Jadi fungsinya adalah melengkapi sarana

kepariwisataan sehingga dapat memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Dalam pengertian ini, yang termasuk kategori prasarana adalah :

a. Prasarana umum (general infrastructure)

Yaitu prasarana yang menyangkut kebutuhan umum bagi kelancaran perekonomian. Adapun yang termasuk dalam kelompok ini, antara lain :

- Sistem penyediaan air bersih - Pembangkit tenaga listrik

- Jaringan jalan raya dan jembatan

- Airport, pelabuhan laut, terminal, stasiun - Kapal ferry, kereta api dan lain-lain - Telekomunikasi

b. Kebutuhan masyarakat banyak (Basic Needs of Civilized life)

Yaitu prasarana yang menyangkut kebutuhan masyarakat banyak. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah :

- Rumah sakit, klinik, puskesmas - Apotek

- Bank - Kantor Pos

- Administration offices (pemerintahan umum, polisi, pengadilan, badan-badan legislatif, dsb.)

Tanpa adanya prasarana tersebut, sulit bagi sarana-sarana kepariwisataan dapat memenuhi fungsinya dalam memberikan pelayanan bagi wisatawan.

ii. Sarana kepariwisataan

Sarana kepariwisataan terdiri dari tiga macam, dimana satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Dalam hubungan usaha setiap

Dokumen terkait