• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENUTUP

B. Saran

Proses inkulturasi di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran telah berjalan hingga sekarang. Unsur-unsur kebudayaan Jawa yang relevan senantiasa digunakan untuk membantu umat beriman menghayati iman mereka. Berbagai usahapun telah dilakukan untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa yang memiliki nilai yang tinggi. Untuk itu penulis memberikan saran sehubungan dengan penggunaan unsur-unsur budaya Jawa dalam rangka membantu umat menghayati iman mereka.

1. Umat diharapkan semakin mampu melestarikan penggunaan unsur-unsur budaya Jawa khususnya gamelan dengan turut terlibat aktif dalam tugas koor lingkungan di gereja hati kudus Yesus Pugeran.

2. Kaum muda diharapkan untuk semakin memiliki kesadaran yang tinggi akan pelestarian kebudayaan yang dimiliki sehingga mau datang terlibat dalam perayaan ekaristi dengan menggunakan iringan gamelan Jawa yang diselenggarakan di gereja Hati Kudus Yesus Pugeran tiap minggunya.

3. Bagi dewan Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran, inkulturasi merupakan suatu proses yang berlangsung secara terus menerus seiring dengan perkembangan jaman. Oleh karena itu diharapkan dewan paroki berkerjasama dengan pihak-pihak yang mampu di bidang seni karawitan untuk membuat suatu variasi dalam hal iringan gamelan Jawa sehingga juga dapat dinikmati oleh kaum muda.

4. Bagi Romo Paroki, diharapkan untuk terus memberi dukungan bagi setiap usaha pengembangan inkulturasi budaya Jawa yang sesuai dengan iman Kristiani di Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran.

5. Liturgi menjaadi suatu perayaan yang berarti tidak hanya mencari ketenangan saja tapi juga mencari semangat dan keberanian dalam hidup sehari-hari. Nampaknya hal ini merupakan salah satu kekurangan musik gamelan Jawa yang kurang bisa memberikan nuansa semangat sehingga menimbulkan kurangtertariknya kaum muda pada gamelan Jawa. Untuk itu perlu adanya suatu eksperimen yang berlangsung terus menerus dalam hal musik liturgi. Selain untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa, juga untuk mencari suatu cara di mana kenyataan hidup harus dicerminkan dalam liturgi sehingga musik perlu dirubah sedikit agar sesuai dengan keadaan kaum muda di Paroki Hati Kudus Pugeran.

Peringatan 70 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugreran. Menuju Paroki Mandiri dan Dewasa. Yogyakarta: Panitia Peringatan 70 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran

Bakker, A. (1988). Ajaran Iman katolik 2. Yogyakarta: Kanisius Banawiratma, J.(1989). Baptis, Krisma, Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius Darmawijaya, St. (2005). Kisah Para Rasul. Yogyakarta: Kanisius

Dinas Kebudayaan. (1999). Deskripsi Umum Gamelan Jawa. Yogyakarta: Pemerintah Provinsi DIY

Heuken, A. (2005). Ensiklopedi Gereja jilid 5. Jakarta: Obor _________. (2005). Ensiklopedi Gereja jilid 6. Jakarta: Obor

Hood, Mantle. (1958). Javanese Gamelan in the world of music. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat

Jacobs Tom. (1989). Refleksi Teologis Tentang Ekaristi. Dalam Banawiratma, J (ed). Baptis, Krisma, Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius

Jayasewaya, Ign. (2004). Menuju Paroki Mandiri dan Dewasa. Yogyakarta: Panitia Peringatan 70 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran

Kesowo Murti Heru. (1994). Peringatan 60 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus. Yogyakarta: Winonggo Offset.

Keuskupan Agung Semarang. (1988). Keuskupan Agung Semarang Indonesia. Semarang: KAS

Koenjono, Th. (1985). Bina Liturgia I: Inkulturasi. Jakarta: Obor

Komisi Liturgi KWI. (2002). Pedoman Umum Missale Romanum. Ende: nusa Indah KWI. (1996). Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius

Lecaro, G, dkk (2007). Musicam Sacram (Salinan). Yogyakarta: PML

Lembaga Biblika Indonesia. (1981). Tafsir Kisah Para Rasul. Yogyakarta: Kanisius. Lukasik, A . (1991). Memahami Perayaan Ekaristi: Penjelasan tentang Unsur-Unsur

Perayaan Ekaristi. Yogyakarta: Kanisius

Martasudjita. E. (1998). Makna Liturgi Bagi Kehidupan Sehari-hari. Yogyakarta: Kanisius

_____________. (2000). Musik dan Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: Kanisius. _____________. (2003). Spiritualitas Liturgi. Yogyakarta: Kanisius.

Maryanto Ernest. (2004). Kamus Liturgi Sederhana. Yogyakarta: Kanisius

Moeryantini Henrika (1975). Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. Ende Flores: Nusa Indah.

Moleong, M.A. (2007). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: PT Remaja Rosdakarya.

Panitia Peringatan 70 Tahun Gereja Hati Kudus yesus Pugeran. (2004). Menuju Paroki Mandiri dan Dewasa. Yogyakarta: panitia Peringatan 70 Tahun Hati Kudus Yesus Pugeran Yogyakarta

Paulus, Yohanes II. (1993). Dokumen Konsili Vatikan II, (terjemahan R. hardawiryana, SJ). Jakarta: Dokpen KWI.

PML. (2007). Warta Musik edisi 04/ 2007. Yogyakarta: PML Prier, KE (1986). Inkulturasi Nyanyian Liturgi. Yogyakarta: PML _________ (2006). Sejarah Musik. Yogyakarta:PML.

_________ (2009). Inkulturasi Musik Liturgi. Yogyakarta: PML.

Redaksi Tembi. (2002). Majalah Tembi, no. 8 Tahun II Edisi Maret-April 2002). Yogyakarta: Yayasan Kebudayaan Jawa.

Sinaga, Anicetus. (1984). Gereja dan Inkulturasi. Yogyakarta: Kanisius. Siswanto, M. (2007). Tuntunan Karawitan I. Yogyakarta: PML

Suharjendro, E. (1994). Sejarah Gereja Pugeran dalam 60 Tahun. Dalam Panitia Peringatan 60 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus Pugeran. Peringatan 60 Tahun Gereja Hati Kudus Yesus. Yogyakarta: Winonggo Offset.

Susantina Sukatmi. (2001). Inkulturasi Gamelan Jawa, Study Kasus di Gereja Katolik Yogyakarta. Yogyakarta: Philosophy Press

Utomo Wiji. http:// www.duniasastra.com accesed on Februari, 7, 2009. Windhu Marsana. (1997). Mengenal 25 Sikap Liturgi. Yogyakarta: Kanisius.

Winter, CF. (1983). Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan.

Wisnu Subroto Sunardi. (1997). Sri Lestari an Introduction to gamelan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

5

Mungkin terkait dengan usia, dengan iringan gamelan ibu merasa terbantu untuk menghayatiu iman. Gamelan sekarang tidak mendayu-dayu seperti dulu, gamelan sekarang sangat menyesuaikan dengan kondisi. Ada juga misa bahasa Indonesia dengan iringan gamelan jawa.

Apakah Gereja Pugeran memiliki tujuan / kebijakan khusus terkait dengan penggunaan gamelan sebagai pengiring dalam Perayaan Ekaristi, mengingat penggunaannya sudah berlangsung lama?

Tujuan dan kebijakan karena dari berdirinya Gereja Pugeran adalah Gereja Jawa jadi kita pertahankan untuk mempunyai cirri khas kejawaan. Jadi bagaimanapun kita nguri-uri budaya jawa, karena di lain Gereja kalau orang tidak mau menikmati gamelan bisa di lain Gereja. Tapi orang mau menikmati gamelan hanya ada di Pugeran.

Apakah dari awal berdirinya Paroki Pugeran memiliki kesepakatan tertulis untuk terus menggunakan Iringan Gamelan di setiap misa?

Kesepakatan tidak tertulis, tapi itu terus menerus berlangsung dan tidak ada yang protes, kesepakatan tertulis tidak ada. Misalnya pada hari besar, tidak menggunakan maka banyak umat yang protes. Itu bukan keputusan tertulis tapi memang itu consensus, komitemen dari umat

Faktor-faktor apa yang menyebabkan anak muda kurang tertarik ikut misa dengan iringan gamelan?

Faktornya karena mereka memandang sangat lelet, mereka tidak begitu dong dengan bahasa Jawa, karena seluruh misa menggunakan bahasa Jawa. kita sangat gembira adanya kelompok gamelan anak2 sd.

Program apa yang akan dikembangkan oleh seksi liturgi untuk kelompok gamelan anak gitararia?

6

Hal-hal apa yang menghambat pengembangan penggunaan gamelan jawa di Paroki Pugeran?

Belajar gamelan itu tidak bisa individual, pertama kekompakan, kerjasama, harus terjalin prosesnya lebih lama dari belajar organ. Belajar organ sendiri bisa tapi belajar gamelan sendiri pasti tidak bisa. Jadi, anak-anak muda itu kurang telaten,dan untuk bekerjasaama itu juga bagi mereja dirasa kurang menarik untuk belajar bersama sering sulit karena punya kepentingan sendiri-sendiri.

Peluang apa saja yang terdapat di Paroki Pugeran untuk mengembangkan penggunaan iringan gamelan Jawa?

Setiap gereja wilayah memiliki kelompok penabuh gamelan, kami berharap ada kesinambungan kami upayakan dengan kerja keras agar gamelan semakin berkembang. lewat gereja wilayah

Usaha apa saja yang bisa dilakukan Paroki Pugeran untuk mengembangkan penggunaan iringan gamelan Jawa?

Kita berusaha menarik umat dan gamelan dibuat tidak begitu nglantur dan lebih dinamis tapi tidak keluar dari pakem. Bisa mengiringi nyanyian bahasa Indonesia, banyak lagu2 pk paul syair bhs Indonesia, tapi cengkok jawa.

Bagaimana tanggapan Romo paroki dengan adanya penggunaan Irirngan Gamelan jawa di Paroki Pugeran?

Romo dimanapun berkarya, dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung, Romo Tut wuri umat sebagai gembala tut wuri dombanya. Romo tidak bisa mengubah menurut selera mereka harus berusaha ngipuk-ipuk, mengembangkan talenta, kekuatan yang terdapat dalam umat. Sejauh ini belum pernah ada romo yang kontra dengan gamelan. Meskipun mereka harus menyesuaikan dan belajar bahasa Jawa dan nyanyian yang tidak mudah.

Wawancara dengan Bapak Wianjono, Ketua Dewan paroki Hati Kudus yesus Pugeran pada tanggal 23 Juni 2009

7

yang gegap gempita. Penyembahan bernuansa tenang. Gamelan membawa nuansa ketengan Untuk kalkangan tua itu sangat membantu dalam mereka mendekatkan diri pada Allah. Sehingga irama gamelan yang tenang membantu mendekatkan diri pada Allah yaitu pada pisowanan seperti di kraton

Apa yang mendasari Paroki Pugeran menggunakan Iringan gamelan sebagai musik pengiring dalam Perayaan Ekaristi hingga saat ini?

Dari Gereja selalu mengupayakan cara-cara apa yang bisa membantu umat untuk benar-benar dalam perjumpaan dengan Allah merasa sreg dan “In”. Salah satunya karena latar belakangnya itu adalah penyembahan, dan umat pugeran senang dengan corak penyembahan, maka kalau hal itu diadakan berarti membantu umat dalam mencapai apa yang diharapkan. Ke Gereja bagi mereka adalah sowan, marak, mendekat pada Tuhan. Dengan digunakannya gendhing jawa dan iringan gamelan maka merka yang datang ke gereja terbantu untuk bisa “in” dan merasa terpenuhi hasratnya untuk meluangkan waktu berjumpa dengan Allah.

Faktor-Faktor apa yang membuat kaum muda kurang tertarik mengikuti misa dengan iringan gamelan jawa?

Nuansa kaum muda sudah berbeda, mereka ingin yang lebih bersyukur dengan sukacita. Gaya penyembahan tidak disukai oleh mereka. Bagi mereka dekat berarti meluapkan sukacita, sedangkan luapan suka cita tidak bisa dilakukan dengan irama gamelan. Gamelan di gereja memiliki corak serba tenang dan tidak menghentak-hentak. Sedangkan mereka suka dengan sukacita yang meluap-luap. Oleh karenanya untuk memetri budaya ini kita memulainya dengan anak-anak. Mereka mulai merawit dan nembang. Kita berharap resapan ini sampai pada mudika. Beberapa lingkungan sudah memulai, sejak rm Wiyana tugas sekitar 2 tahun lalu. Hasilnya, untuk kelompok anak-anak sudah mulai maju. Sedangkan Mudika belum tertarik, mereka senang dengan luapan emosi mereka, dengan sukacita bukan dengan penyembahan. Ini tidak hanya pada lagu namun juga pada devosi ekaristi. Umat yang banyak datang pada acara devosi adalah ibu dan bapak. Jarang sekali ada kaum muda. Ada semacam kerterputusan perubahan gaya orang tua saat ini dan dulu. Saat saya muda dulu saya menyukai gamelan, namun tidak demikian dengan remaja sekarang.

8

untuk itu misalnya daereh sempu, padokan, ngestiharjo. Jadi daerah pinggiran selalu lebih stabil tumbuhnya, namun untuk lingkungan sentral, misalnya kraton, mangkuyudan gereja timur, barat yang masih susah. Mereka menikmati gendhing tapi kurang tertarik untuk memainkannya. Belum menyeluruh yang mau aktif. Demikian juga gendhingnya, mereka menikmati tapi kurang berpartisipasi, tidak ikut nyanyi. Ternyata dalam penghayatan ini perwujudannya ada 2 yaitu menolong umat dalam nuansa menghadap sowan tapi tidak ikut, artinya pasif. Ada juga yang betul2 tidak hanya mau mendengar tapi juga mau memainkan gamelan dan gendhingnya. Kendalam tidak semua umat mau aktif menabuh dan nyanyi gendhing. Sebagian penikmat sebagian aktif.

Peluang apa saya yang terdapat di Paroki Pugeran dalam Pengembangan penggunaan iringan gamelan Jawa pada Perayaan ekaristi?

Situasi yang ada di Pugeran dalam berkomunikasi dengan gemabala gereja. Umat pada umumnya menggunakan bahaja Jawa yang halus dalam berkomunikasi dengan Imam. Dengan begitu nuansa kultur jawa masih terasa. Nuansa Jawa yang penuh denhan unggah umngguh tetap terpelihara di pugeran, sejauh anak muda dengan selera seperti, manakala nuansa Jawa tetap terpelihara, maka akan enak. Romo setelah misa tidaj langgusng pulang tapi

Usaha-usaha apa yang dilakukan Paroki Pugeran dalam melestarikan penggunaan Gamelan Jawa dalam Perayaan Ekaristi?

Penggunaan gamelan dan gendhing Jawa tetap dipertahankan ada satu misa di hari miggu yang menggunakan hal itu.

Ini dirturunkan dalam generasi-generasi berikut. Harapannya anak-anak ketika remaja dan mudika tetap berlanjut. Setelah jadi remaja dan mudika tetap diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri.

Tidak hanya hari minggu, tapi dalam even-even tertentu (Paska, Natal, Hari Raya lain) selalu menggunkana gendhing. Diharapkan remaja dan mudika tetap diberi kesempatan. Dengan begitu ada kelompok orang tua, mudika, remaja dan anak-anak sehingga penggunaan gamelan akan tetap lestari.

Wawancara dengan Rm. Antonius Dodit Haryono, Pr Pastor Kepala Paroki Hati Kudus Yesus Pugeran pada tanggal 24 Juni 2009

9

yang bisa bertugas hanya 9 lingkungan. Akhir-akhir ini sejak rm wiyana bertugas di sini lalu beliau punya kemampuan dalang dan gamel, mulai mengajak kelompok anak-anak dan beberapa kali dipentaskan di berbagai sekolah dan bertugas beberapa kali di Gereja Pugeran. Untuk lingkungan yang sangat minim akan penggamel, maka Rm wiyana menggali kemampuan menggamel di kalamgan anak dan remaja. Namun yang sudah ok adalah anak-anak. Seperti juga di radio ada peminat, demikian juga dengan peminat gamelan juga memiliki penggemar. Kaum muda kurang punya respon yang ok terhadap gamelan. Meskipun gamelan merupakan bagian yang integral dan rutin tapi untuk beberapa lingkungan dari 84 lingkungan yang ada hanya ada 9 yang siap. Kaum muda kesulitan menggunakan bahasa Jawa mereka lebih suka pakai bahasa gaul.

Peluang apa saja yang dimiliki oleh Paroki Pugeran untuk mengembangkan penggunaan gamelan Jawa?

Mencampur iringan gamelan dengan koor bahasa Indonesia, tidak murni iringan gamelan jawa dengan bahasa Jawa. Hal itu sangat tidak ok dengan rekan-rekan muda. Lalu diberbagai kesempatan pahargyan-pahargyan tertentu digunakan gendhing tapi menggunakan bahasa Indonesia. Nanti tanggal 12 Juli Perayaan Ekaristi puncak syukur 75 tahun Gereja Pugeran, digunakanlah gendhing tapi menggunakan bahasa Indonesia. Gendhing tetap coba ditampilkan dan diberi nuansa yang berbeda. Tidak hanya untuk kaum muda saja tapi juga orang-orang yang dewasa yang bahasanya masih kacau. Kita coba gendhing untuk dimix dgn bhas Indonesia di perayaan tertentu. Memperkenalkan gamelan pada anak2 karena merupakan investasi untuk ke depan, ada juga pelatihan-pelatihan yang ditawarkan, tapi masih saja kurang tanggapan dari kaum muda, hanya yang sepuh2. Anak muda kurang berminat dan serius terhadap gamelan.

Masalahnya adalah soal regenasi. Kebanyakan oerang bangga dengan misa yang menggunakan band, kurang mencintai budaya sendiri, berkebalikan dengan orang luar negeri yang tertarik dengan budaya kita. Bayak mereka bilang ngantuk, lama dll. Biasanya misa dengan iringan gamelan berlangsung satu jam 10 menit. Regenerasi adalah usaha yang akan dikembangkan terus menerus.

Kebijakan atau tujuan macam apa yang diambil oleh Paroki Pugeran untuk tetap menggunakan iringan gamelan jawa dalam misa?

10

bentuk barat. Joglo sangat jawa sekali. Untuk lebih tahu, dari gedung Gerejanya, filosofi rumah jawa kena semua. Untuk lebih memantapkan maka dimasukkan juga gendhing jawa . Penggunaan gamelan disiarkan oleh RRI. Sehingga sampai kini tetap eksis jam 8 dengan bahasa jawa dan gamelan kecuali ada perubahan Pada jaman itu wong Jawa dengan kekayaan budayanya akan lebih mudah nyantel, meskipun saat itu sebelum konsili vatikan II bahasa yang digunakan adalah bahasa lati, orang Jawa banyak tidak tahu. Shdg dengan bahawa jawa dan gamelan umat lebih mengetahui dan memahami. Gereja Pugeran yang pertama kali memasukkan Gendhing Jawa dalam PE.

Harapan dan usaha-usaha apa yang dikembangkan di Paroki Pugeran untuk melestarikan penggunaan gamelan Jawa dalam peribadatan?

Saat ini memang ada ketegangan, di satu pihak ingin melestarikan budaya Jawa yang adi luhung, tapi di lain pihak banyak umat yang mengurung diri yang tidak sungguh bangga dgn kekayaan budaya. Gerakannya baik tapi lama-lama kalau tidak dipahami bahwa ini merupakan suatu kekayaan pengungkapan iman, maka ini seperti museum, indah, baik tapi hanya tontonan padahal harusnya menjadi tuntunan, bukan hanyan tontonan sekedar show sehingga tidak merasuk dalam hati. Sementara di Pugeran yang bisa nggendhing hanya beberapa kelompok, dari 84 lingkungan hanya 9 lingkungan yang bisa itu hanyalah beberapa persen saja. Dalam 75tahun paroki saya mengajak untuk menambah khasanah lagu-lagu Jawa. Karena lagu-lagu Jawa lebih sedikit dari yang diatonis. Ada lomba membuat lagu pentatonic dan diatonis, adanya pelatihan lector bahasa jawa dan menarik kaum muda untuk mengenal bahasa Jawa dan gamelan Jawa. Banyak anak yang lebih menyukai bahasa inggris, mandarin, Jepang karena bisa menjual. Kita juga punya gamelan yang mempunyai aspek-aspek sosial yang kaya, harus dimainkan bersama-sama sehingga menbangun persaudaraan, kerukunan, persatuan dan kebersamaan. tidak seperti organ yang individual.

11 gamelan Jawa?

Gereja Katolik Pugeran menyelenggarakan misa dengan menggunakan iringan gamelan Jawa dan gendhing Jawa setiap hari minggu pukul 08.00 pagi. Mungkin Gereja Pugeran adalah satu-satunya gereja di Keuskupan Agung Semarang yang secara rutin menggunakan iringan gamelan Jawa tiap minggunya. Hal ini terpelihara dengan baik di Paroki Pugeran. Misa ini menjadi daya tarik bagi kaum tua dan keluarga-keluarga muda di Paroki Pugeran. Namun bagi kaum muda misa ini kurang menjadi daya tarik. Dalam perayaan-perayaan penting misalnya Natal, Paskah, dan Pesta-pesta besar lain, gereja Pugeran senantiasa menggunakan gamelan sebagai iringan. Meski tidak terlalu banyak peminat, tampaknya misa ini tetap menjadi kebanggaan di Paroki Pugeran.

Apa penyebab kurang tertariknya akaum muda terhadap misa dengan gendhing dan gamelan Jawa (dari segi iringan atau bahasanya)?

Sebagian besar umat di Paroki Pugeran memilih misa dengan bahasa Indonesia karena dirasa mudah dimengerti.

Kesulitan apa saja yang dialami oleh Paroki Pugeran untuk mengembangkan penggunaan gendhing dan gamelan Jawa dalam peribadatan?

Kesulitan yang dialami sehubungan dengan penggunaan gamelan Jawa di Paroki Pugeran adalah soal regenerasi. Saat ini tidak semualingkungan mau dan berani bertugas dengan menggunakan gendhing. Di sisi lain para pengiringnya sudah tua . Lalu setelah Romo Wiyana datang, ia melatih anak-anak dan sering bertugas untuk mengiringi misa. Romo juga melatih kaum muda namun belum siap digunakan.

Peluang dan usaha apa yang ada di Paroki Pugeran untuk mempertahankan atau mengembangkan penggunaan gamelan Jawa?

Usaha yang dilakukan adalan mencoba menggarap iringan gemalan secara lebih modern. Gamelan yang sudah mulai digunakan sejak tahun 1958 menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Pugeran. Selain metode gamelan klasik juga mulai diusahakan metode alternative diatonis agar lebih segar sehingga dapat menjadi daya tarik tersendiri. Ga,melan tidak hanya untuk mengiringi misa berbahasa Jawa tapi juga misa dengan berbahasa Indonesia. Gereja Pugeran bekerjasama dengan ISI

12

gamelan Jawa mampu memberi daya/ kekuatan untuk menjalani tugas romo sehari-hari?

Gamelan memberi nuansa yang melekat di hati masyarakat. Hal itu juga saya alami. Adanya rasa hormat yang mendalam pada orang-orang kudus. Ada rasa yang berbeda ketika saya mempersembahkan misa dengan bahasa Indonesia dan misa dengan bahasa Jawa. Faktor budaya dalam hal ini budaya Jawa memberi sentuhan yang khas sehingga saya merasa lebih mantap. Bahasa mampu mengajak orang mengalami relasi yang berbeda. Misalnya doa Salam Maria dan Sembah Bekti. Pada kalimat “Salam Maria” dan “Sembah Bekti Kawula Dewi Maria”. Akan terasa lain jika saya mengucapkan dengan bahasa Jawa. Hal itumenimbulkan rasa sangat hormat pada orang kudus. Saya datang ke gereja seperti saya sowan terhadap Raja. Ada suatu sikap hormat. Bagi orang yang dekat dengan budaya Jawa, hal ini akan mendukung penghayatan, tapi bagi yang tidak dekat dengan budaya Jawa hal ini tidak mendukung. Iman dihayati dalam bahasa orang beriman. Orang yang biasa berbahasa Jawa akan mendalami iman dalam Bahasa Jawa. Perlu diingat bahwa Religiositas itu menyentuh sisi harian tapi juga menyentuh sisi asing yang memberi makna yang sacral. Religiositas menyentuh sisi harian hal ini dapat dilihat dalam penggunaan bahasa Jawa dan juga gendhing Jawa dalkam misa, tapi juga menyentuh sisi asing seperti penggunaan roti dan anggur dalam misa.

Menurut Pengamatan Romo apakah kehadiran Budaya Jawa dalam hal ini Gendhing, Gamelan Jawa mampu membantu umat menghayati imannya?

Semua harus kita lihat sesuai konteksnya. Bagi umat yang dekat dan kental dengan budaya Jawa tentu hal ini sangat membantu, tapi bagi umat yang tidak dekat bahkan tidak kenal dengan budaya maka hal ini tidaklah membantu.

13 menggunakan iringan gamelan?

Karena saya sudah tua maka saya lebih bisa merasakan. Saat saya masih muda berusia di bawah 30 tahun saya juga kurang menyukai gamelan.

Hal apa saja yang bapak peroleh selama mengikuti Perayaan Ekaristi?

Saya merasakan setelah 3 tahun mulai bisa merasakan sesuatu yang saya tidak tahu itu apa, hal itu beda. Itu saya ikuyi dari awal sampai akhir mengalami merasakan . Ada sesuatu hal yang saya dapatkan, saya semangat, gembira, percaya, ketenangan dan segala macam.

Apakah hal itu berpengaruh dalam hidup bapak sehari-hari?

Saya menjadi manusia merdeka. Tidak terpengaruh oleh yang ada diluar tapi juga tidak masa bodoh, saya percayta dan saya alami Allah selalu beserta kita.

Apakah Inkulturasi dalam Gereja benar-benar membantu bapak menjadi 100%Katolik?

Seharusnya begitu namun akan menjadi bahaya menurut saya jika inkulturasi hanya

Dokumen terkait