• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGGUNAAN IRINGAN GAMELAN JAWA DALAM

A. Gamelan Jawa

2. Sejarah dan Perkembangan Gamelan Jawa

Alat musik gamelan Jawa mulai ada sejak jaman pra sejarah. Sekitar tahun 2500-1500 sebelum masehi terjadi suatu perpindahan bangsa dari Asia Tengah ke Asia Tenggara yang disebut Imigrasi Pra-Melayu atau proto Melayu. Perpindahan bangsa-bangsa ini membawa hasil-hasil budaya mereka. Salah satu hasil budaya yang mereka bawa adalah alat musik dari bambu. Setelah mengalami perkembangan beberapa waktu kemudian muncullah alat musik seperti angklung, seruling dan gambang yang termasuk dalam salah satu komponen musik gamelan jawa hingga saat ini (Prier, 2006:74-74).

Pada abad 4 Sebelum Masehi, kembali terjadi imigrasi besar atau disebut Deutero Melayu yang berpusat di daerah Cina Selatan bernama Annam. Abad 4 disebut juga dengan jaman perunggu, maka kedatangan orang-orang tersebut membawa pengaruh juga di bidang musik. Diperkirakan bahwa gong-gong yang pertama berasal dari Asia Selatan di Desa Dong Son daerah Annam. Pada penggalian kurang lebih tahun 1930 ditemukan banyak sekali alat dari perunggu, sehingga terbukti bahwa dari sinilah kebudayaan perunggu tersebar tidak hanya ke Indonesia tapi ke seluruh Asia Tenggara. Tangga nada pelog juga ikut dibawa ke Indonesia oleh kelompok proto melayu. Tangga nada pelog ini tersebar di seluruh Asia Tenggara namun kemudian terutama dipelihara di Jawa dan Bali. Gong-gong yang dibawa oleh orang-orang proto Melayu dari Cina Selatan ke Indonesia ditemukan dalam penggalian di Jawa. Gong-gong ini pada jaman dahulu digunakan orang-orang dalam upacara adat antara lain untuk mendatangkan hujan secara magi (Prier, 2006: 75-78).

Revolusi besar terjadi pada abad pertama dengan dibuatnya kapal-kapal besar di Teluk Persia dan Laut Cina. Hal itu menyebabkan lalu lintas ke Indonesia menjadi

intensif. Para pedagang India mendatangi daerah-daerah Indonesia sejak abad 2 dan 3 untuk mencari bahan perdagangan, sehingga pengaruh India di Indonesia menjadi besar terutama dalam hal perdagangan, politik, agama dan kebudayaan. Pada abad ke IV Agama Budha masuk ke Indonesia dan mendirikan pusatnya di Sumatera awal abad ke VII dengan nama Kerajaan Sriwijaya dan di Jawa dengan Kerajaan Syailendra pada tahun 750-850. Pada masa itu berkembanglah kebudayaan Jawa berupa musik dan tari, arsitektur dan seni rupa, serta dibangunnya Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Selain tangga nada pelog, dipakai juga tangga nada slendro yang diperkenalkan oleh Dinasti Syailendra pada abad VIII. Perkembangan musik sangat dipengaruhi oleh drama Hindu Ramayana (Prier, 2006: 78-80).

Pada waktu orang Hindu datang ke Jawa, mereka telah menemukan bermacam-macam alat musik. Dalam relief Candi Borobudur terdapat alat musik lokal maupun alat musik yang diimpor dari India. Musik-musik tersebut adalah gendang, termasuk gendang dari tanah dengan kulit di salah satu sisinya, angklung, alat tiup (semacam hobo), xylofon (bentuknya setengah gambang setengah calung), sapeq, sitar dan harpa dengan 10 dawai, lonceng dari perunggu dalam berbagai macam ukuran, gong, saron, bonang. Alat-alat tersebut mula-mula dimainkan menurut kebiasaan India. Selain itu dari penggalian-penggalian di Jawa Tengah telah ditemukan sejumlah besar bonang, nada-nada gender dan saron, lonceng, gendang, gong-gong namun belum diketahui berasal dari abad berapa. Alat-alat musik ini telah digunakan sebelum jaman Hindu (Prier, 2006: 80).

Pada akhir jaman Hindu gamelan sudah lengkap seperti sekarang ini hanya saja saat itu alat musik rebab belum masuk dalam seperangkat gamelan. Tahun

1389-1520 merupakan jaman kemunduran dan kehancuran Majapahit. Pada tahun itu juga di Malaka terjadi perkembangan kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa sampai di Sumatera. Pada tahun 1511 Malaka direbut Portugis dan masuk pula ke kepulauan Maluku pada tahun 1522. Sementara itu di Jawa berdiri Kerajaan Demak, kerajaan Islam yang pertama. Kesultanan Demak menguasai seluruh Jawa dan sebagian besar kepulauan di luar Jawa. Bersama dengan agama Islam masuk Indonesia, alat musik Arab seperti rebana, gambus dan rebab masuk. Alat musik rebab berkembang dan hingga saat ini senantiasa digunakan untuk memainkan gendhing bersama dengan komponen gamelan yang lain (Prier, 2006: 81).

Gamelan sebagai alat musik tradisional Jawa dilestarikan dalam dua jalur. Pertama, gamelan dipakai dan dilestarikan sebagai musik rakyat dalam bentuk jathilan, reog, salawatan, rinding, siteran, lesungan, gamelan mulut, gamelan bambu atau gumbeng dan lain sebagainya. Kedua gamelan digunakan sebagai musik istana untuk mengiringi tari klasik dan wayang, digunakan sebagai musik sakral (sekaten) serta vokal tunggal berupa Sekar Ageng, Sekar Alit, Macapat, Panembrama dan sebagainya. Selama berabad-abad gamelan dipelihara di keraton sebagai suatu kebiasaan dan fasilitas hidup yang mewah dan mahal. Namun pada umumnya kesenian tidak dinikmati secara pribadi oleh raja sehingga rakyat sering diberi kesempatan untuk ikut menikmatinya pula (Prier, 2009: 22).

Mulai pada abad 20 orkes gamelan perunggu tak hanya terdapat di keraton tapi juga ditemukan di luar keraton dalam masyarakat pada umumnya. Pada saat itu rakyat berusaha memainkan gamelan dengan cara yang sama seperti di keraton yaitu secara klasik, khidmad, dan agung. Hal itu disebabkan karena hidup masyarakat Jawa

masih di bawah perlindungan dan dalam ketergantungan dari keraton. Pada tahun 1945 Indonesia mengalami kemerdekaan dan sejalan dengan politik Indonesia yang mulai berkembang maka tradisi dan kehidupan sosial masyarakat Solo dan Yogyakarta pun turut berubah dan berkembang. Hal itu menyebabkan terbentuknya suatu jurang antara tradisi dan perkembangan kontemporer. Tradisi keraton tetap dipelihara, sementara di luar keraton termasuk dalam sekolah dan Gereja gamelan dimainkan dengan adanya kreasi yang baru. Dari situ permainan gamelan dihayati secara sungguh-sungguh sehingga mampu menghubungkan batin dengan roh nenek moyang (Prier, 2009: 23). Perkembangan yang ada pun menimbulkan suatu perubahan yang mencolok. Prier (2009:23) dalam bukunya mengemukakan bahwa

Bukan rahasia juga bahwa generasi muda merasa tidak tertarik lagi dengan gamelan tradisional. Dunia jaman sekarang dialami berputar lebih cepat daripada hidup di lingkungan Kraton dan musik gamelan klasik. Hidup sederhana dirasa lebih tepat dari pada hidup mewah seperti dapat disaksikan dalam kraton Yogya dan Solo. Adat Jawa makin kurang dikenal oleh generasi muda yang lahir dan tumbuh di kota.

Seiring dengan perkembangan jaman, musik gamelan Jawa tidak terbatas pada gaya klasik Keraton. Saat ini terdapat bermacam-macam eksperimen kreasi baru misalnya memukul gong tidak pada kepala gong tapi pada bagian lain yang menghasilkan bunyi yang lain pula, memukul kayu rancakan gender, bonang dan sebagainya untuk menciptakan bunyi kotekan. Perkembangan lebih jauh lagi adalah penggunaan tambahan alat musik lain seperti terompet, keyboard, gitar dan lain-lain yang disebut dengan Campursari.

Campursari mengandung arti campuran dari dua atau lebih sari-sarinya musik. Dari campuran tersebut terbentuklah musik baru tanpa harus menghilangkan musik

asli. Campursari terdiri dari tiga jenis musik yaitu keroncong, uyon-uyon atau karawitan dan musik diatonis. Ketiga jenis musik tersebut disatukan sehingga menjadi bentuk yang harmonis. Banyak orang menyukai jenis musik ini karena ketiga jenis musik campuran ini telah mengakar dalam hati masyarakat (Redaksi Tembi, 2004: 9-10). Musik Campursari ini merupakan suatu cermin dari masyarakat Jawa yang sedang berkembang hingga saat ini (Prier, 2009: 24).

Dokumen terkait