• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL LOKASI PENELITIAN

A. Kecamatan Mawasangka (Kawasan Darat/Pesisir)

2.2. Potensi Sumberdaya Alam di Kecamatan Mawasangka dan Pengelolaannya

2.2.4. Sarana dan prasarana

Pada bagian ini akan menggambarkan sarana dan prasarana yang terkait dengan pengelolaan SDL dan kesejahteraan penduduk di Kecamatan Mawasangka yang meliputi: sarana pendidikan, transportasi dan komunikasi dan ekonomi.

Sarana pendidikan

Secara umum, Kecamatan Mawasangka memiliki sarana pendidikan yang cukup lengkap mulai dari SD sampai SMA. Berdasarkan data statistik (BPS, 200) sarana prasarana pendidikan di Kecamatan Mawasangka terdiri dari 27 sekolah SD, 2 SMP dan 1 sekolah SMA. Namun demikian, jumlah sarana dan prasarana pendidikan yang ada

relatif kecil dibandingkan luas wilayah kecamatan (sebelum pemekaran), yang merupakan kecamatan terluas di Kabupaten Buton. Sekolah SMP dan SMA hanya terdapat di kota kecamatan, sementara akses masyarakat untuk mencapai sarana pendidikan relatif sulit, karena jarak sekolah SMP dan SMA dengan desa di sekitarnya relatif jauh dan tidak terdapat transport umum. Selama dua tahun terakhir terdapat penambahan sarana pendidikan di Kecamatan Mawasangka yaitu 3 buah SMP yaitu satu SMP di Desa Tanailandu (tahun 2006) dan selebihnya di Napa dan Matara (sekarang termasuk Mawasangka Timur) yang dibangun pada tahun 2007. Pada tahun 2008 direncanakan akan dibangun sebuah SMK di kota kecamatan.

Desa Terapung memiliki sarana pendidikan SD dan MTs Swasta dengan satu ruang kelas dan baru memiliki siswa sampai kelas 2. Tingkat pendidikan anak di desa ini relatif rendah karena sebagian besar tingkat pendidikan anak hanya sampai SD dan SMP. Banyak yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMP. Sekolah SMP hanya ada di Kecamatan Banga yang berjarak sekitar 7 km dari desa. Jarak yang cukup jauh ditambah dengan langkanya sarana trasnportasi umum sampai ke desa, menyebabkan banyak anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMP. Sekolah SMA hanya ada satu di ibukota kecamatan yang berjarak sekitar 17 km dari Desa Terapung, sehingga diperlukan biaya yang cukup besar untuk pergi sekolah. Umumnya mereka yang melanjutkan ke SMA berasal dari keluarga yang cukup mampu karena dibutuhkan biaya transport yang cukup besar atau biaya pondokan atau harus memiliki kendaraan bermotor. Penambahan sarana sekolah SMP di beberapa desa, cukup bermanfaat karena memberi kemudahan bagi lulusan SD yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Menurut informasi dari Kepala Sekolah SD Terapung, sebelum ada tambahan SMP, tingkat melanjutkan pendidikan ke SMP hanya 30 persen. Kini setelah ada MTsS di Desa Terapung dan SMP di Tanailandu, sebagian besar tamatan SD melanjutkan ke tingkat SMP. Kondisi sekolah MTsS masih memerlukan perbaikan dan pengembangan, sehingga tahun 2008 direncanakan untuk direnovasi dengan bantuan dana dari Program COREMAP.

Di samping kendala transportasi, kurangnya aspirasi orang tua untuk menyekolahkan anak menjadi salah satu faktor rendahnya pencapaian tingkat pendidikan. Faktor ekonomi menjadi alasan para orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya lebih lanjut. Banyak anak usia sekolah yang sudah bekerja baik sebagai nelayan maupun pekerjaan lainnya, seperti petani (di kebun), di pabrik pengolahan ikan dan kepiting (basecamp) di Desa Terapung atau bahkan sebagai buruh budi daya agar/rumput laut di Desa Wakambangura. Faktor kemudahan mendapatkan pekerjaan, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan banyak anak-anak bekerja dan malas untuk melanjutkan sekolah. Pada umumnya mereka mudah memperoleh uang untuk jajan sendiri maupun untuk membantu orang tua. Oleh karena itu, pasang surut kegiatan kenelayanan di Desa Terapung akibat perubahan musim (Timur dan Barat), ikut berpengaruh pada tingkat kehadiran siswa di sekolah. Pada musim Timur (musim bagan) anak laki-laki ikut membantu orang tua ke bagan, sehingga sering tidak masuk sekolah sedang pada musim Barat absensi berkurang, karena siswa rajin datang sekolah.

Seperti halnya di Desa Terapung, Desa Wakambangura juga memiliki satu buah SD dan tidak memiliki SMP. Namun dilihat dari aksessibilitasnya, desa ini memiliki jarak yang lebih dekat ke kota kecamatan dibandingkan Desa Terapung (sekitar 7 km), sehingga lebih mudah untuk melanjutkan ke SMP di kota kecamatan.

Sarana ekonomi

Sarana ekonomi yang tersedia di Kecamatan Mawasangka masih terbatas pada sarana pasar dan warung sembako. Di Kecamatan Mawasangka terdapat 4 buah pasar yang terdiri dari 3 pasar permanen dan 1 pasar tidak permanen. Ketiga pasar permanen yang dapat mendukung kegiatan ekonomi masyarakat berlokasi di Desa Watolo, Terapung dan Wakambangura, dan satu pasar non permanen di Desa Tanailandu. Sebelumnya, pasar di Desa Wakambangura juga merupakan pasar non permanen, setelah dilakukan perbaikan pasar tahun 2008 melalui Program PPK, statusnya berubah menjadi pasar permanen. Keberadaan pasar sangat penting dalam menunjang

kegiatan ekonomi masyarakat, terutama sebagai tempat jual-beli hasil perikanan dan pertanian. Masing-masing pasar memiliki hari pasar yang berbeda, di Terapung hari pasar adalah Rabu dan Minggu, di Wakambangura pasar diadakan dua hari sekali dan pasar di Watolo (kota kecamatan) dua kali dalam seminggu. Perbedaan hari pasar di masing-masing lokasi mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi jual-beli, karena mereka dapat ke pasar setiap hari, tergantung hari pasar lokasi tersebut. Ikan hasil tangkapan nelayan dijual di pasar-pasar yang ada di kecamatan melalui pedagang ikan atau ’papalele’. Papalele membeli ikan langsung pada nelayan yang baru pulang dari laut dan selanjutnya dibawa ke pasar. Begitu juga hasil pertanian, seperti sayur-sayuran, jagung, pisang, dan ubi kayu. Selain pasar desa, sarana ekonomi lain yang cukup mendukung kegiatan ekonomi masyarakat desa adalah warung sembako. Jumlah warung sembako relatif sedikit, pada umumnya menyediakan 22 bahan pokok makanan yang tahan lama, seperti minyak, gula, kopi dan jenis makanan lainnya, bahkan warung-warung tersebut juga menjual bahan bakar solar dan minyak tanah untuk kebutuhan transportasi (motor) yang banyak dimiliki masyarakat.

Sebagai daerah yang sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai nelayan, maka sarana ekonomi yang dibutuhkan untuk menunjang kegiatan kenelayanan adalah dermaga, tempat pelabuhan kapal nelayan dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Sampai kajian dilakukan (2008), kedua sarana ekonomi ini belum ada, di Desa Terapung maupun Desa Wakambangura. Kemungkinan karena di sepanjang pantai kedua desa terdapat karang yang cukup luas, sehingga menyulitkan pembangunan dermaga. Pada saat air surut akan terlihat hamparan baru karang yang cukup luas di sepanjang pantai. Selama ini nelayan berlabuh pada beberapa tempat di pinggir pantai. Sarana ekonomi yang menunjang kegiatan kenelayanan adalah adanya tempat penjualan atau pengisian bahan bakar minyak (BBM) atau semacam SPBU kecil di Desa Terapung, untuk memenuhi kebutuhan kapal motor nelayan setempat. Pemilik SPBU kecil ini adalah salah seorang pengumpul ikan dan rumput laut di Kecamatan Mawasangka. SPBU ini mampu memenuhi kebutuhan

sebagian besar bahan bakar solar untuk nelayan di daerah ini. Sejauh ini belum ada keluhan nelayan mengenai ketersediaan bahan bakar minyak di daerahnya.

Tempat pelelangan ikan (TPI) belum tersedia di daerah penelitian maupun di tingkat kecamatan. Ikan hasil tangkapan nelayan dijual langsung pada masyarakat, atau melalui papalele maupun pengumpul ikan yang ada di masing-masing desa. Di Desa Terapung, terdapat beberapa pedagang pengumpul ikan teri yang merupakan hasil tangkapan dominan nelayan di desa ini. Masing-masing pedagang pengumpul memiliki beberapa nelayan anggota yang rutin menjual hasil ikan teri pada pengumpul tersebut. Namun tidak tertutup kemungkinan bagi nelayan untuk menjual ikan pada pedagang pengumpul lainnya. Begitu juga untuk hasil tangkapan kepiting, terdapat beberapa pedagang pengumpul kepiting yang membeli langsung dari nelayan di Desa Terapung. Ditingkat pedagang pengumpul, ikan teri maupun kepiting diolah di desa, sebelum dijual ke pedagang besar di luar kota. Ikan teri diolah menjadi ikan teri asin atau tawar dan kering sedang kepiting diolah menjadi kepiting rebusan yang sudah diambil dagingnya. Begitu juga di Desa Wakambangura, ada beberapa orang pedagang pengumpul rumput laut yang merupakan hasil dominan nelayan di samping hasil tangkapan ikan karang dan ikan pelagis. Ikan karang hidup dijual pada pedagang pengumpul besar di Desa Watolo, yaitu satu-satunya pengumpul ikan karang di Kecamatan Mawasangka. Meskipun belum ada TPI namun nelayan tidak mendapatkan masalah untuk memasarkan hasil tangkapan ikan dan rumput laut, karena pedagang pengumpul umumnya penduduk yang tinggal di lokasi tersebut. Sarana ekonomi lainnya yang dapat menunjang kegiatan kenelayanan adalah lembaga permodalan, seperti Koperasi. Lembaga Koperasi terdapat di Desa Terapung namun sudah tidak berfungsi lagi, disebabkan pengelolaan yang kurang maksimal dan macetnya pengembalian cicilan dari anggota. Hal ini disebabkan karena pola pengembalian koperasi yang rutin tidak sesuai dengan pola penerimaan pendapatan masyarakat nelayan yang bersifat musiman. Setiap bulan anggota koperasi harus mengembalikan cicilan,

sementara pada musim barat banyak nelayan mampu membayar cicilan, karena umumnya tidak melaut sehingga tidak memiliki penghasilan, atau berpenghasilan minim. Orang/lembaga yang biasa meminjamkan modal biasa disebut ’bos’ atau ’tauke’ umumnya sebagai pedagang pengumpul. Di Desa Terapung terdapat 9 orang pedagang pengumpul ikan teri, yang juga sebagai ’bos’ pemberi pinjaman pada nelayan, dan nelayan mempunyai kuwajiban untuk menjual ikan padanya. Pembayaran dilakukan pada saat nelayan menjual ikannya pada pengumpul tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa nelayan, keberadaan pedagang pengumpul cukup membantu nelayan dalam hal permodalan, karena di samping sebagai sumber modal pengumpul juga dapat berfungsi sebagai tempat menyimpan uang bagi nelayan. Pada saat musim bagan, sebagian nelayan yang menjual hasil tangkapannya pada pengumpul, tidak langsung mengambil uang hasil penjualannya, tetapi tetap disimpan oleh pengumpul dan diambil pada musim Barat, yaitu saat bagan masuk ’dok’. Di tingkat kecamatan terdapat satu orang pedagang pengumpul (Bp. L) yang memiliki anggota dari beberapa desa. Selain pinjaman uang, Bp. L juga memberi pinjaman peralatan tangkap seperti bagan, kompressor, dan bubu pada anggotanya. Sistim ini sudah berjalan lama, sehingga ketergantungan nelayan pada pedagang pengumpul cukup tinggi.

Sarana transportasi dan komunikasi

Secara umum, prasarana jalan yang menghubungkan desa dengan kecamatan maupun kecamatan dengan kota kabupaten, tidak mengalami perubahan yang berarti selama dua tahun terakhir. Kondisi sebagian jalan masih dalam keadaan rusak, baik dari Pelabuhan Wamengkoli ke kecamatan maupun jalan dari kecamatan ke desa. Menurut informasi dari kantor kecamatan, perbaikan jalan yang rusak terkendala oleh adanya prioritasi pembagunan pada pemberdayaan masyarakat. Berbagai program pemerintah lebih diarahkan pada memberdayakan kegiatan ekonomi masyarakat dengan beberapa bantuan dana bergulir serta pembangunan sarana dan prasarana ekonomi. Sementara itu, pembangunan jalan membutuhkan dana yang cukup besar dibandingkan dana yang tersedia. Dalam hal ini,

pemerintah kecamatan mengharapkan perbaikan jalan dimasukkan dalam program pemerintah provinsi, sebagi pihak yang bertanggungjawab dalam pendanaan infrastruktur jalan antar kabupaten. Hal ini mengingat Kecamatan Mawasangka sebagai jalur lintas yang menghubungkan Kabupaten Buton dengan Kabupaten Muna, tepatnya di Desa Terapung yang merupakan perbatasan Kabupaten Muna. Pada saat kajian dilakukan kondisi jalan yang menghubungkan Kabupaten Muna dengan Desa Terapung dalam kondisi relatif bagus.

Sarana transportasi dari pelabuhan ke kecamatan maupun dari kecamatan ke desa tidak banyak mengalami perubahan selama dua tahun terakhir. Kendaraan roda empat merupakan sarana angkutan reguler yang membawa penumpang dari pelabuhan ke kecamatan maupun sebaliknya. Namun angkutan reguler ini tidak selalu melayani penumpang sampai ke desa. Di kecamatan tidak terdapat sarana transportasi reguler yang menghubungkan kecamatan dan desa atau antardesa. Selama ini masyarakat biasa menggunakan kendaraan motor roda dua milik sendiri atau motor sewaan ’ojek’ bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan.

Perubahan yang cukup besar terjadi pada sarana komunikasi, yaitu dibangunnya 2 buah tower Telkomsel di Kancebumi dan Mawasangka. Kini masyarakat hampir di semua desa dapat berkomunikasi menggunakan telepon seluler. Sebelum adanya sarana tower telkomsel, telpon seluler hanya dapat menangkap sinyal di beberapa tempat tertentu saja. Selain itu ada beberapa Warung Telekominikasi (Wartel) yang dapat digunakan masyarakat untuk berkomunikasi dengan daerah lain.