• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL LOKASI PENELITIAN

B. Kecamatan Kadatua (Kawasan Buton Pulau)

2.2.1. Sumber daya alam Sumber daya darat

Secara singkat Kecamatan Kadatua dideskripsikan oleh penduduk maupun pemerintah lokal sebagai daerah miskin sumber daya alam (SDA). Kemiskinan SDA ini yang sering dikemukakan sebagai faktor utama mengapa penduduk miskin, pendidikan tertinggal dan pembangunan terkebelakang. Tanah bebatuan berkapur, sulit air dan kurang hasil laut. Uraian tentang sumber daya alam (SDA) di Kecamatan Kadatua meliputi SDA yang ada di laut (sumber daya laut- SDL) dan SDA yang ada di daratan (sumber daya darat)

Sumber daya darat berupa tanah yang gersang yang dipenuhi batu-batu cadas berkapur. Batu-batu-batu tersebut adalah karang-karang yang sudah mati. Kemungkinan besar pulau ini dulunya adalah dasar laut yang kemudian terangkat naik. Tanahnya keras berbatu-batu, sehingga orang mengatakan bahwa petani Kadatua bercocok tanam di atas bebatuan. Pada prakteknya orang menanam di sela-sela bebatuan yang ada tanahnya. Tanah-tanah yang ada sekarang ini pun menurut penduduk berasal dari batu-batu yang sudah lapuk dan melunak menjadi tanah. Tanaman dominan yang tumbuh di atas bebatuan ini adalah alang-alang.

Dengan kondisi tanah seperti itu orang menanam jagung, ketela pohon, pisang dan jambu mete dengan hasil yang minimal. Seperti jagung yang ditanam, baru setahun kemudian bisa dipanen. Hasilnya pun sangat sedikit. Jagung panenan kecil-kecil, sehingga dikatakan orang sebagai jagung bonsai. Bedanya dengan jagung di daerah yang lain adalah rasanya yang sangat manis dan gurih. Begitu juga dengan ketela pohon yang baru dipanen setelah ditanam selama 2 – 3 tahun. Ketela pohon umbinya juga kecil, tetapi rasanya manis. Kadangkala juga disebut sebagai ubi racun, karena kalau tidak sempurna kita membersihkannya orang yang memakannya akan keracunan. Jagung

maupun ketela pohon yang dipanen dikeringkan lalu ditaruh di dapur atau di para-para. Bila mau memakannya, ketela pohon diparut, kemudian parutan ubi tersebut dikukus sehingga matang dan disebut

’kasoami’. Orang memakan ketela pohon kini sebagai makanan

pokok. Nasi sebagai selingan dan kalau ada tamu.

Banyak dijumpai juga pohon pisang yang tidak berbuah. Jika berbuah hanya sesekali saja, lalu tidak pernah lagi. Jantung pisang banyak dimanfaatkan orang dengan memasaknya sebagai sayur. Daun Kelor yang tumbuh liar di pulau ini juga banyak dimanfaatkan sebagai sayuran karena cuma-cuma. Dulu biasa mereka memakannya sebagai lauk untuk kasoami. Semenjak tahun 1980-an orang-orang di pulau ini makanan pokoknya adalah beras, jagung dan ubi kayu hanya sebagai makanan selingan. Daun Kelor pun menjadi sayuran pelengkap makan nasi.

Hal serupa terjadi pada jambu mete yang hasilnya sangat terbatas. Dulu orang enggan menanamnya karena pesimis akan bisa tumbuh dengan baik. Ada seseorang yang mencoba menanamnya dengan membuang sampah-sampah, khususnya rumput dan tanaman yang sudah dpangkas di tanah tempat jambu mete ditanam. Ternyata tanah bebatuan yang dipupuk dengan rumput dan tanaman yang membusuk (pupuk kompos) menjadi gembur dan pohon tersebut bisa berhasil tumbuh.

Kini sudah mulai banyak orang menanam jambu mete dengan mengikuti cara dari orang yang pertama berhasil menanam jambu mete. Masalah penjualan sampai saat penelitian ini berlangsung masih merupakan kendala besar, sehingga orang sering tidak memanen jambu mete walaupun sudah saatnya. Jumlah pohon mete pun masih sangat sedikit, sehingga panen tidak menghasilkan jumlah yang banyak. Hasil panen sebagian dimakan untuk keluarga dan sebagian lagi dijual ke tetangga atau sebagai kiriman antar tetangga. Potensi lain yang cukup menarik untuk dikembangkan adalah hasil dari pohon kelapa. Di pulau ini banyak pohon kelapa yang berhasil tumbuh tinggi menjulang, tetapi hanya sebagian saja yang berbuah. Bagian-bagian lain dari pohon kelapa sangat bermanfaat untuk berbagai keperluan.

Daunnya bisa dimanfaatkan untuk membuat atap rumah panggung. Batang pohonnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan maupun untuk kayu bakar. Belum lagi hama kelapa yang dikenal sebagai ’Kepiting Kenari’ sangat lezat sebagai bahan makanan. Apabila diusahakan dengan sungguh-sungguh, Kepiting Kenari bisa menjadi salah satu komoditi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Masalah utama yang dihadapi penduduk adalah kesulitan air. Harapan mereka bisa diperoleh teknologi tepat guna yang bisa mengubah air laut yang asin menjadi air tawar untuk keperluan rumah tangga sehari-hari juga untuk usaha tani mereka. Tanpa itu mereka melihat tinggal di pulau yang ada hanyalah kemiskinan. Merantau merupakan solusi yang ada. Bila ada air tawar yang cukup, barangkali akan bisa mengubah kondisi tanah menjadi lebih subur. Usaha tani hanya mengandalkan air hujan yang tidak begitu banyak turun ke pulau ini. Saat ini penduduk memenuhi keperluan air minum dari PAH (air hujan yang ditampung) dan beli air yang dijajakan orang per derijen. Air tersebut diambil dari mata air Pulau Siompu. Sebagian lagi diambil dari sumur yang terletak di tengah-tengah Pulau Liwutongkidi. Orang mengambil air ke sana dengan menggunakan sampan dan membawa derijen-derijen kecil (1 liter). Kadang-kadang juga orang membawa satu dua derijen besar ukuran 5 liter untuk mengangkut air dari Pulau Siompu ke Pulau Kadatua. Setibanya di Kadatua akan dijual sebagian dan sebagian lagi dipakai sendiri. Sumber daya kelautan

Sejak dulu ikan bukanlah menjadi target utama usaha komersial kenelayanan mereka. Ikan hanyalah untuk memenuhi kebutuhan subsistensi. Jumlah penduduk sedikit dan kurangnya akses pasar telah menjadi faktor mengapa ikan lebih merupakan komoditi subsistensi dan bukan komoditi komersial. Komoditi laut yang utama seperti lola, teripang, japing menjadi target pencarian. Tahun 1980-an pernah dilakukan ’sasi’ di perairan desa Waonu untuk ketiga jenis produk kelautan, yakni teripang, lola dan japing-japing. Setelah sasi dibuka nelayan luar yang mau mengambil ketiga jenis produk itu di perairan

desa Waonu harus membayar sejumlah uang. Adapun uang yang diperoleh, menurut kepala desa Waonu (Salahudin), digunakan untuk pembangunan fasilitas desa seperti masjid dan balai desa. Sementara itu, beberapa penduduk yang diwawancarai menyebutkan penggunaan uangnya tidak jelas. Disini terlihat betapa rentan hubungan antara penduduk dengan aparat pemerintahan desa yang diwarnai ketidakpercayaan dan ini juga berdampak terhadap berbagai program pembangunan.

Dengan menggunakan bom ikan nelayan memang bisa memperoleh ikan dalam jumlah banyak, tetapi sebatas pemenuhan kebutuhan. Bom ikan lebih dimaksudkan sebagai suatu hiburan (exciting), serupa kalau kita menyulut mercon, begitu ujar seorang nelayan desa Waonu. Harga ikan cukup rendah di desa-desa kecamatan ini. Itulah juga penyebabnya mengapa ikan bukan menjadi target utama usaha kenelayanan.

Sesungguhnya baru beberapa tahun terakhir ini dengan adanya redi (pukat cincin) usaha penangkapan ikan berkembang. Akan tetapi investasi yang besar (lebih dari Rp100 juta) pada usaha kenelayanan ini menyulitkan nelayan untuk memilikinya. Tidaklah mengherankan bila usaha kenelayanan ini hanya berkembang di desa Banabungi, yang merupakan desa terdepan, yang paling dekat jaraknya dengan kota kabupaten Buton. Problem pemasaran ikan masih sering merupakan kendala. Adanya pukat cincin (redi) memungkinkan nelayan menangkap ikan sebanyak-banyaknya, tetapi penjualan terbatas. Beratus-ratus ikan busuk sering dijumpai pada masa panen ikan di desa Banabungi karena tiadanya penampung lagi.

Kini orang mencurahkan banyak waktunya untuk mencari bulu babi, gurita, kerang-kerangan serta usaha rumput laut yang kesemuanya merupakan usaha di area pantai. Laki-laki masih dominan sebagai tenaga kerja pencarinya.. Ikan yang dijadikan target tangkapan yang utama adalah ikan-ikan pelagis yang berada di area terumbu karang, khususnya ikan Layang dan ikan Tongkol. Banyak jenis ikan tangkapan sampingan yang dibuang begitu saja (by-catch) karena tiadanya nilai komersial ikan tersebut.

Dahulu hasil laut yang komersial terbatas sekali dengan harga yang rendah. Kini hasil laut yang bernilai komersial diupayakan oleh penduduk, misalnya, ikan Pari yang jumlah sangat banyak. Bila ikan tersebut tersangkut pada jaring nelayan, maka dahulu akan dibuang pada saat menyortir hasil tangkapan (discards). Saat penelitian ini dilakukan ikan pari sudah menjadi komoditi komersial yang diperjualbelikan. Begitu juga dengan bulu babi dan kerang-kerangan saat penelitian ini berlangsung sudah laku diperjualbelikan.

Kondisi SDL dua tahun yang lalu menurut para penduduk dideskripsikan sebagai : sudah kurang ikan, terumbu karang hancur karena penggunaan bom ikan dan bius sebagai alat tangkap yang destruktif semenjak tahun 1950-an, dan tiadanya mangrove yang melindungi pulau dari abrasi ombak. Contoh yang menarik adalah Pulau Liwutongkidi yang semakin mengecil areanya. Menurut penuturan penduduk, dulunya batas pantai pulau itu sekitar 30 meter ke depan.

Jenis ikan komersial seperti ikan Kerapu sudah sulit diperoleh kalau tidak boleh dibilang musnah. Tahun 1990-an ikan Kerapu menjadi primadona ikan komersial yang diburu oleh nelayan karena banyak pembelinya. Pedagang pengumpul memainkan harga, sehingga membeli dengan harga yang rendah. Over fishing terhadap ikan Kerapu terasa dampaknya sekarang dengan jarang diperolehnya ikan Kerapu di dalam operasi penangkapan ikan.

Pada musim angin kencang gelombang kuat sulit ikan. Indikator utama adalah yang tertangkap hanyalah ikan Pogo. Ikan-ikan lain sulit diperoleh. Pada musim ini hasil laut utama yang menjadi lauk pauk penduduk adalah ikan Pogo, kerang-kerangan dan Bulu Babi. Musim angin tenang merupakan panenan besar bagi penduduk, karena bisa memperoleh banyak ikan. Musim pancaroba antara musim gelombang kuat dan musim gelombang tenang juga masih menghasilkan tangkapan ikan yang cukup besar jumlahnya. Faktor banyaknya sampan tidak bermotor dan nelayan yang kerja sendirian yang mendominasi usaha perikanan di kecamatan ini merupakan faktor penyebab mengapa angin kencang hasil ikan cenderung lebih

sedikit, walaupun sebagian informan menyebutkan bahwa justru pada musim angin kencang banyak ikan.

Kondisi laut sekarang ini relatif lebih terjaga, karena intensitas penangkapan ikan yang rendah, penduduk lebih banyak mencurahkan waktu untuk berdagang. Pemenuhan kebutuhan hidup diperoleh dari hasil dagang. DPL (daerah perlindungan laut) pun sudah mulai menunjukkan hasil dengan banyaknya tangkapan ikan oleh penduduk di kawasan tersebut.

2.2.2. Wilayah pengelolaan

Secara geografis memang potensi terbesar kabupaten Buton tidak pelak lagi adalah pada sektor kelautan. Tidak kurang dari 82% wilayah kabupaten ini adalah lautan. Jika musim timur angin dari laut Banda sangat kencang mengganggu orang mencari ikan, sehingga orang mencari ikan di perairan sebelah barat Pulau Buton. Begitu sebaliknya, jika musim barat orang mencari ikan di perairan sebelah timur Pulau Buton. Jenis ikan yang menjadi target (fish-target) pada kedua musim itu sama saja yakni ikan Tuna dan ikan-ikan karang. Alat tangkap yang dipakai penduduk masih terbatas seperti pancing ulur, bubu, gillnet, panah, pukat cincin dengan tambahan rumpon untuk mengumpulkan ikan. Jenis-jenis ikan komersial yang ditangkap adalah ikan Layang, ikan Tongkol dan ikan Tuna. Adapun ikan karang yang dicari-cari adalah ikan Kerapu, ikan Sunu dan Lobster.

Produksi ikan-ikan karang beberapa tahun yang lalu memburuk, karena akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan bertahun-tahun lamanya, khususnya penggunaan bom ikan dan bius sebagai teknologi tangkap. Terumbu karang di perairan kabupaten ini sudah banyak yang rusak akibat teknologi perusak tersebut. Terumbu karang banyak yang sudah hancur, karang yang masih utuh sebagian besar berwarna putih yang disebut penduduk sebagai diserang ‘penyakit putih’. Semenjak tahun 2003 sudah dibentuk sistim pengawasan masyarakat per desa dengan pemberian bantuan perahu

motor dan pengurusnya dari masyarakat pelaku budi daya rumput laut. Terumbu karang di perairan Buton hanya terdapat pada area 4 mil ke bawah, berbeda dengan karang Kaledupa dan lain-lain gugusan karang di perairan provinsi Sulawesi Tenggara ini yang letaknya jauh dari pulau..

Kini berbagai desa, termasuk Desa Waonu dan Desa Kapoa, telah mempunyai daerah perlindungan laut (DPL) yang ditetapkan dalam berbagai Peraturan Desa (Perdes). Rata-rata satu desa binaan COREMAP memiliki 1 atau 2 DPL. Penyusunan DPL dan pembuatan Peraturan Desa dilakukan oleh masyarakat desa itu dan disyahkan oleh pihak kabupaten. Dari hasil penelitian ini diketahui pihak aparat desa yang umumnya melakukan pengukuran daerah perlindungan laut dan seringkali kurang sosialisasi pada masyarakat, hal ini tidak jarang menimbulkan kerentanan untuk konflik dalam masyarakat. Saat sekarang adanya DPL telah membuahkan hasil dengan mulai banyaknya jenis ikan yang bisa ditangkap nelayan. Menurut keterangan ketua Bappeda kabupaten Buton, sumber daya laut lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk setempat dibandingkan pendatang. Nelayan pendatang, khususnya nelayan

andun dengan kapal di atas 10 GT diwajibkan mencari ikan di

wilayah provinsi, namun pelanggaran masih sering terjadi.

2.2.3. Teknologi penangkapan

Sebagai salah satu sasaran program COREMAP, desa-desa di Pulau Kadatua kini tidak dapat dikategorikan sebagai desa nelayan yang maju dengan aktivitas perikanannya. Desa-desa yang berada di Pulau Kadatua bukan penyumbang penghasil produksi ikan di kabupaten Buton. Di masa lalu, menurut informasi, desa-desa di Kadatua sebenarnya pengguna bahan peledak untuk menangkap ikan, hal ini dilakukan karena daerah ini merupakan tempat penghasil bahan peledak yang terkenal di daerah Buton. Penduduk desa seperti Waonu sudah biasa melakukan jual-beli bahan peledak untuk konsumsi nelayan sekitar. Bahan peledak diambil dari sisa-sisa bom PDII yang

diambil dari daerah Morotai, Maluku Utara.. Oleh sebab itu, teknologi alat tangkap tidak berkembang di daerah ini.

Apabila melihat dari keragaman jenis alat tangkap, maka alat tangkap yang ada di desa-lokasi COREMAP jumlahnya sedikit dan jenisnya tidak beragam.. Apabila dibandingkan dengan di Kabupaten Buton menunjukkan keragaman alat tangkap yang rendah. Jenis alat tangkap yang terdapat di Kadatua hanya 6 jenis yang relatif masih sederhana, seperti pancing ulur. Alat tangkap ini paling menonjol di Kadatua. Dengan banyaknya pancing ulur semakin mengindikasikan bahwa nelayan Kadatua termasuk nelayan tradisional. Ekspansi wilayah tangkap tidak begitu jauh dan di sekitar Pulau Kadatua, karena sarana perikanan hanya berupa perahu sampan dan perahu mesin tempel. Pelaksanaan program COREMAP di Pulau Kadatua diawali dengan pembentukan Daerah Perlindungan Laut (DPL), sehingga hal ini merupakan pengenalan baru model pengelolaan perikanan yang sebelumnya tidak dikenal, yakni wilayah penangkapan yang dikuasai oleh desa atau masyarakat (communal fishing rights). Dalam sejarahnya, nelayan di Pulau Kadatua tidak mengenal hak atas wilayah penangkapan yang dikuasai oleh desa atau masyarakat. Oleh sebab itu, apabila DPL nantinya menjadi fishing rights masyarakat nelayan di desa-desa lokasi COREMAP tersebut maka masalah kelembagaan atau pranata yang terkait dengan pengelolaan DPL perlu segera dibentuk. Saat penelitian ini dilakukan, kelembagaan pengelolaan DPL belum ada. Oleh sebab itu, masih ditemui adanya warga yang belum mengerti tujuan dari program DPL (Daerah Perlindungan Laut).

Tabel 2.3. Keragaman Penggunaan Alat Tangkap Ikan di Kabupaten Buton

Lokasi Penelitian Alat tangkap Kab.

Buton

Kec.

Kadatua Waonu Kapoa

Pukat/Jaring - Payang 20 15 4 11 - Pantai 199 - - - - Cincin 35 21 - 2 - Insang Hanyut 1.550 - - - - Insang Lingkar 1.596 - - - - Insang Lingkar 337 - - - - Insang Tetap 1.596 74 22 20 Pancing - Huhate 5 - - - - Rawai Tuna 329 - - - - Rawai Dasar 168 - - - - Tonda 1.594 - - - - Ulur 2.936 455 158 61 - Lainnya 948 - 8 51 Perangkap - Sero 27 - - - - Bubu 2.153 104 Bagan - Perahu 424 - - - - Tancap 10 - - - Alat P. Kepiting 548 Alat. P. Teripang 14 - - - Alat T. Tombak 18 - - -

Alat Tangkap lain 350 270 15 15

Sumber: Laporan Tahunan Statistik Potensi dan Produksi Perikanan Tahun 2005.

2.2.4. Sarana dan prasarana

Ada pasar tradisional desa di lokasi COREMAP yang aktif setiap minggu sekali. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap hari, penduduk membeli dari pedagang sayuran atau warung yang ada di desa. Terdapat prasarana jalan yang menghubungkan desa-desa di Pulau Kadatua dan menghubungkan ke kota Bau-Bau di Pulau Buton. Panjang jalan sekitar 60 km, dan jalan beraspal baru sekitar 3 km. Selebihnya merupakan jalan berkerikil (10 km), dan jalan semen (7 km).

Sarana transportasi umum adalah angkutan desa dan ojek. Peranan angkutan desa sangat besar bagi penduduk untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sarana mobilitas penduduk terutama penduduk yang bekerja di Bau-bau sebagai pedagang. Selain angkutan darat, terdapat perahu “mesin dalam” (inboard) yang menghubungkan Pulau Kadatua ke kota Bau-bau. Perjalanan dari P. Kadatua sampai Pulau Buton sekitar seperempat jam.. Sarana pelabuhan perahu berada di desa Banabungi

Salah satu sarana perkonomian yang cukup penting adalah depot kecil untuk memenuhi kebutuhan BBM perahu-perahu nelayan dan kendaraan bermotor di Pulau Kadatua yang terletak di desa Kapoa. Lokasi desa COREMAP ini dipilih untuk mengindari ombak besar pada saat musim barat sehingga kapal perikanan mudah merapat. Sekolah Dasar di Pulau Kadatua terdapat di setiap di desa, sedangkan SMP Negeri berada di desa Lipoe, ibukota Kecamatan Kadatua. Untuk mengatasi lulusan SMP negeri di Pulau Kadatua, dibangun gedung SMA di desa Lipoe. SMA di Kadatua adalah sekolah swasta yang didirikan oleh para guru-guru SMP Negeri Kadatua sebagai jalan keluar mengatasi problem pendidikan lanjutan di Kadatua. Survai terhadap di desa lokasi COREMAP di Pulau Kadatua memperlihatkan penduduk yang menamatkan SMA sangat kecil dibandingkan SD dan SMP.