• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. HASIL PENELITIAN

4.6 Tahap Input PHBS

4.6.5 Sarana dan Prasarana

Sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan yang bisa berupa alat atau media. Sedangkan prasarana adalah segala sesuatu penunjang utama terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek).

Beberapa indikator dalam PHBS menunjukkan pentingya pemenuhan sarana dan prasarana seperti sarana air bersih, jamban, tempat pelayanan kesehatan, dan lain- lain. Adapun sarana promosi kesehatan yang diperlukan saat masa tanggap darurat menurut informan 1 yaitu:

“Kita pakai leaflet ya, alat peraga, leaflet nya ya ini, kayak pencegahan HIV, cuci tangan, dan menggunakan jamban. Kalau peralatan kebersihan itu menjadi urusan koordinator pengungsi. Mereka lapor ke rapat harian media center, nanti mereka diberikan melalui BNPB karena BPBD kita masih baru. Kalau masalah fasilitas PHBS, itu berkaitan dengan sektor lain kayak Dinas

PU bertanggung jawab menyediakan air bersih, Pos pendamping BNPB bertanggung jawab mengenai jamban dan tempat pengungsiannya, kalau sampah sama orang Dinas Kebersihan, jadi ada tupoksi masing-masing..” (Informan Pertama).

Menurut Informan pertama sarana dan prasarana untuk penyuluhan PHBS digunakan leaflet dan poster tentang HIV, mencuci tangan dan penggunaan jamban. Namun tidak satupun yang langsung berkenaan dengan PHBS kedaruratan di pengungsian khususnya tentang ASI Ekskluasif. Padahal dalam buku pedoman kedaruratan yang dikeluarkan oleh Depkes dan UNICEF berisi tentang 10 pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di pengungsian.

Untuk sarana dan prasarana PHBS yang berkaitan dengan peralatan kebersihan dan ketersediaan air serta kebutuhan PHBS di pengungsian menjadi tanggung jawab instansi terkait seperti BNPB di pos pendampingan, Dinas PU, maupun Komando tanggap darurat.

Di lokasi pengungsian Gunung Sinabung, sarana pelayanan kesehatan juga dianggap penting. Hal ini diungkapkan oleh informan 2 yaitu:

“Pelayanan kesehatan pengungsi untuk mengendalikan kesehatan lingkungan dan penyakit yang rawan di daerah pengungsian seperti ISPA, Malaria, diare, dan campak, cukup baik dari pada biasanya. Karena pos kesehatan buka 24 jam melayani pasien, lebih dekat di lokasi pengungsian, tidak makan waktu, gratis lagi…”

Pelayanan kesehatan tersebut diperlukan dalam menjamin dan meningkatkan status kesehatan warga pengungsi. Jika dipertimbangkan bahwa keadaan darurat bencana merupakan saat rawan munculnya berbagai penyakit yang bisa menyerang siapa saja. Oleh sebab itu, tidak ada posko pengungsian yang tidak mendapatkan

pelayanan kesehatan walaupun tidak pelayanan lengkap. Ini berdasarkan wawancara informan 2:

“Tidak ada, semua pos pengungsian ada pelayanan kesehatan” (Informan Ketiga).

Sementara itu, keadaan lokasi pengungsian dijelaskan oleh pengungsi (Ibu. A) sebagai berikut:

“Masih kurang baik, karena keadaan di pengungsian tempatnya sempit, udaranya pengap, kuantitas air bersih kurang banyak, karena banyak yang memakainya”.

Keadaan lokasi pengungsian seperti paparan informan 6 menunjukkan bahwa jumlah pengungsi tidak sesuai dengan luas posko sehingga para pengungsi mengeluh dan merasa tidak nyaman. Apalagi kegiatan-kegiatan mereka sehari-hari seperti bertani, bercocok tanam, bergembala dan lain-lain harus terhenti lama dan tidak ada kegiatan pengganti selama di posko pengungsian.

Koordinator pengungsi GBKB juga memiliki pendapat berbeda yaitu:

“Kualitas air bersih sebenarnya bagus, kuantitas air bersih masih kurang, karena dipengungsian kan banyak yang mempergunakan dan membutuhkan. Tong sampah sudah disediakan, di setiap sudut lokasi pengungsian, setiap hari sampah tersebut diangkut ke tempat pembuangan sampah yang agak jauh dari lokasi ini. Jamban sudah disediakan, tapi karena tidak terawat keadaannya kurang bersih, kamar mandi juga begitu.

Sarana dan prasarana yang di adakan di lokasi pengungsian melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sudah didistribusikan ke setiap posko. Hanya saja perawatan dan pengawasan untuk pemakaian sarana dan prasarana promosi kesehatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) tersebut yang kurang dijalankan oleh warga pengungsi. Pemakaian massal membuat para warga tidak

begitu peduli terhadap sarana yang seharusnya dimanfaatkan sebaik mungkin walaupun belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan warga.

Kepala Puskesmas Brastagi menyatakan bahwa:

“Karena di tempat pengungsian ramai, walaupun fasilitas sudah disediakan,masih kurang. Kalau dilakukan penyuluhan sekarang, mereka ngerti tapi nanti lupa lagi. Itu jamban dan fasilitas juga gak dirawat. Menjaga tempa tidurnya agar tetap bersih juga gak bisa. Saya bilang itu bisa kena scabies nanti, bisa ISPA kalau gak pake masker waktu tidur rame-rame, sebentar aja masuknya dah itu gak lagi. Koordinatornya juga kurang kerjasama dengan kita. Payahlah…”.

Pernyataan tersebut sangat tepat mengingat ketidak efektifan dan efisien sarana dan prasarana yang ada untuk digunakan oleh warga pengungsi. Hal ini lah yang menimbulkan beberapa penyakit seperti diare, ISPA, gastritis dan lainnya yang disebabkan oleh kondisi sanitasi lingkungan yang buruk dan status gizi warga pengungsi yang juga tidak mendukung. Sehingga sistem imun warga menurun dan mudah terserang penyakit.

Rangkuman:

Sarana dan prasana yang digunakan untuk penyuluhan PHBS di pengungsian merupakan sarana dan prasarana yang sudah ada sebelum bencana sehingga kurang relevan dengan keadaan bencana. Selain itu, pembagian leaflet maupun poster lebih banyak dibebankan pada Puskesmas. Untuk sarana dan prasarana yang mendukung PHBS pengungsi juga masih belum memadai terutama dalam pemenuhan kebutuhan sanitasi di pengungsian.

4.7 Tahap Proses PHBS 4.7.1 Perencanaaan

Menurut Levey dan loomba, perencanaan adalah suatu proses penganalisaan dan pemahaman dari suatu sistem, merumuskan tujuan umum dan tujuan khusus, memperkirakan kemampuan yang dimiliki, menguraikan segala kemungkinan rencana kerja yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan umum dan tujuan khusus tersebut, menganalisa efektifitas dari pelbagai rencana kerja ini, memilih satu diantaranya yang dipandang paling baik, menyusun perincian dari rencana kerja terpilih secara lengkap agar dapat dilaksanakan, dan mengikatnya dalam suatu sistem pengawasan yang terus menerus dalam rangka dapat dicapainya hubungan optimal antara rencana kerja itu dengan sistem yang ada.

Dalam mengatasi tingginya penyakit dari Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), perencanaan yang diperlukan menurut informan 1 yaitu:

“gak ada direncanakan dulu. Ya kekmana kegiatan rutin ya kek gitu aja dibuat.” (Informan Pertama)

Pendapat ini juga didukung oleh Informan Kedua yaitu:

“Kan ada nya minilok setiap puskesmas, dari itulah perencanaannya. Gak khusus-khusus kalilah. Ini kan bencana, darurat, jadi harus serba cepat. Setiap anggota kita di Puskemas pun sudah taunya apa yang harus dikerjakan. Paling yang kita mau persiapkan ya poster dan leaflet kitanya untuk dibagikan”

Dalam tahap perencanaan ini, jumlah tenaga kesehatan, sarana dan prasarana yang diperlukan menurut informan 1 akan dibuat memadai walaupun dengan jumlah yang seadanya sehingga Promosi Kesehatan PHBS bisa terlaksana dengan baik.

“Kami di Puskesmas melaksanakan tugas bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, BPBD, karena seperti buku cerita, poster leafleat itu dari dinas kesehatan, hasil laporan di lapangan dikirim kembali ke dinas kesehatan, karena kita tidak bisa bekerja sendiri tetapi bekerja sama dengan lintas sektor dan lintas program” (Informan Pertama).

Dengan demikian, pada tahap perencanaan perlu diadakannya koordinasi antar lintas sektor yang terkait dengan kedaruratan bencana. Namun, dalam perencanaan ini, dibutuhkan tenaga perencana yang kompeten untuk memikirkan hal-hal yang perlu dilakukan dan dipersiapkan dalam melakukan program promosi kesehatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) seperti yang dikemukakan oleh informan kedua dalam menjalankan tugas sebagai petugas Promosi Kesehatan Puskesmas yaitu:

“Karena garis koordinasi itu ada, jadi saya tinggal melaksanakan saja... yang merencanakannya itu kepala bidang Promkes Dinkes Kabupaten Karo. Nantinya saya akan pertanggung jawabkan semuanya pada beliau. Perencanaan tersebut selalu dilakukan dan dilaksanakan setiap bulannya, kadang-kadang 2 minggu sekali bersama dengan petugas promkes Dinas Kesehatan Kabupaten Karo. Tergantung keadaan pengungsi lah...”

Garis koordinasi linear dan vertikal membuat proses perencanaan ini berjalan dengan baik. Setiap bidang sudah memahami tugas dan fungsi dari jabatanannya. Ada yang bertindak sebagai Top Level Manager, Middle Manager, dan Low Manager. Dengan demikian informan 1 hanya membuat perencanaan dan menggorganisir team- team yang digerakkan ke lokasi pengungsian.

Rangkuman:

Berdasarkan hasil wawancara disimpulkan bahwa perencanaan untuk kegiatan promosi kesehatan khususnya tentang PHBS tidak dilakukan secara khusus, misalnya

melalui meknaisme rapat dengan pihak terkait dan Puskesmas terdampak. Kegiatan dilakukan secara langsung bersama bidang lain tanpa adanya penetapan prioritas masalah, dan perumusan kegiatan.

4.7.2 Pengorganisasian

Menurut Muninjaya (1999), pengorganisasian adalah suatu langkah untuk menetapkan, menggolong-golongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan, penetapan tugas-tugas dan wewenang seseorang, dan pendelegasian wewenang dalam rangka mencapai tujuan.

Dalam menetapkan pembagian tugas, informan 1 selaku “Planner” menyesuaikan tugas dengan kemampuan dari tenaga pelaksana baik tenaga kesehatan maupun tenaga penyuluh untuk terjun ke setiap posko pengungsian. Penggorganisasian dilakukan bertahap dan disebar ke seluruh posko secara merata untuk menghindari kekosongan tenaga pada posko pengungsian.

“Kita ini sama-sama dengan instansi lain kalau ada kunjungan atau rame- rama dengan bidang lain, kayak orang kespro untuk ibu hamil dan menyusuinya, orang promkesnya, kan sama-sama. Jadi gak sendiri- sendiri.Kita usahakan kalau setiap berkunjung kita jelaskan pentingnya menjaga PHBS.’ (Informan Pertama)

Menurut Informan pertama bahwa untuk pengorganisasian dilaksanakan secara bersama-sama dengan bidang lain. Jika dilakukan kunjungan ke lokasi pengungsian, dilakukan bersama misalnya bidang kesehatan keluarga sedang melakukan kegiatan kesehatan reproduksi, maka demikian juga dengan bidang promosi kesehatan akan melakukan penyuluhan. Dengan demikian tidak selamanya

penyuluhan PHBS dilakukan sendiri-sendiri di setiap bidang. Selain itu, diupayakan untuk melakukan penyuluhan PHBS di setiap pos pengungsi yang dikunjungi.

Hal yang sama ditunjukkan oleh Informan ketiga berikut:

“Kita lebih banyak berhubungan dengan orang Puskesmas ya. Kita ingatkan untuk memperhatikan tentang PHBS di pengungsian. Koordinasinya lebih banyak ke mereka aja.”

Menurut Informan ketiga, Dinas Kesehatan banyak berhubungan dengan Puskesmas yang wilayah kerjanya terdampak bencana untuk melakukan penyuluhan dan pemantauan tentang PHBS di pengungsian.

Sementara informan kedua memaparkan upaya yang mereka lakukan dilapangan bagian dari pengorganisasiaan dari Informan 1 yaitu:

“Upaya-upaya yang kami lakukan itu meliputi: (a) Menempatkan pengungsi agar menempati posko pengungsian sesuai pembagian berdasarkan kecamatannya, (b) Menyalurkan bantuan yang masuk dari luar, (c) Memantau dan melaporkan perkembangan Gunung Sinabung bekerja sama dengan BMKG. (d) Mendata para pengungsi, (e) Melihat dan mengatasi epidemiologi penyakit pengungsi, Dan (f) Mengatasi permasalahan teknis di lapangan”.

Proses pengorganisasian yang dilakukan tidak sembarangan tetapi dilakukan sesuai prosedur dalam tugas dan fungsi setiap bagian yang terkait. Namun, dalam pengorganisasian ini diperlukan koordinasi yang baik agar tidak tumpang tindih keberhasilan kegiatan yang dicapai. Warga pengungsi menjadi paham ketika memerlukan bantuan, akan meminta kepada koordinator pengungsi.

Rangkuman:

Kegiatan pengorganisasin dilakukan dengan melakukan kegiatan bersama dengan bidang lain dan menjalin kerjasama dengan puskesmas. Selain itu

pengorganisasian yang dilakukan untuk membagi pengungsi dan posko kesehatan berdasarkan wilayah masing-masing.

4.7.3 Penggerakan

Penggerakan adalah suatu rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan aktivitas mempengaruhi orang lain agar mereka suka melaksanakan usaha-usaha kearah pencapaian sasaran/tujuan administrasi.

Berikut pendapat informan tentang penggerakan:

“Kalau kita mau kunjungan kita kasih tau sama orang puskesmas.” (Informan Pertama)

Berdasarkan wawancara di atas disimpulkan bahwa setiap kegiatan kunjungan di Puskesmas selalu berkoordinasi dengan pihak Puskesmas.

Informan ketiga memiliki pendapat yang lebih detail sebagai berikut:

“Kebanyakan kita berkoordinasi dengan orang Puskesmas khususnya orang Promkesnyalah. Lagian gini, ini kegiatan PHBS ini kan ada laporannya setiap bulan, dari situlah kita lihat bagaimana perkembangan PHBS nya. Selalu kami adakan lomba PHBS nya setiap tahun. Jadi ga karena bencana aja. Memang penting saat ini, tapi dah kami tanamkannya ini sejak dulu.” Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Dinas Kesehatan berkoordinasi dengan pihak Puskesmas khususnya yang menangani kegiatan Promosi Kesehatan. Setiap kegiatan PHBS sebelum bencana sebenarnya dilaporkkan setiap bulan secara rutin namun untuk situasi bencana pemantauan seharusnya dilaksanakan setiap hari. Dinas Kesehatan setiap tahunnya mengadakan lomba desa terbaik yang dinilai dengan indicator PHBS. Sehingga menurutnya PHBS ini sudah ditanamkan sejak belum terjadi bencana.

Rangkuman:

Penggerakan dan pelaksanaan promosi kesehatan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Karo adalah dengan melakukan kunjungan sekaligus melaksanakan penyuluhan di lokasi pengungsian.Kegiatan ini dilaksanakan bersama- sama dengan bidang lain dan juga melibatkan Puskesmas.

4.7.4 Pengevaluasian

Pengevaluasian adalah suatu tindakan yang dilakukan melalui proses pemantauan sehingga menghasilkan suatu hal yang dibandingkan dengan rencana kerja. Dalam proses pengevaluasiaan ini, perlu dilihat dan ditinjau kembali perencanaan yang telah dibuat dan indikator – indikator Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang telah dicapai.

“Kek manalah saya bilang ya, angka diare tinggi, ISPA tinggi, conjunctivitis banyak, memang ada yang campak juga. Susah, karena budaya masayarakat kita memang jorok. Lebih bagus ladangnya yang bersih dari pada tempatnya. Lagian pengungsi banyak Memang kita kewalahan memantaunya. Sebenarnya hal ini harusnya bisa menjadi tanggung jawab masing-masing pengungsi, Karena PHBS itu kan untuk kesehatannya…Bukan kita.” (Informan Pertama). Menurut Informan pertama, pada bencana ini angka kejadian penyakit memang tinggi. Oleh karenanya, menurut Beliau PHBS ini tidak boleh hanya menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan, tetapi juga masyarakat yang menjadi pengungsi itu sendiri wajib berusaha untuk meningkatkan kesehatannya dengan berPHBS.

Demikian juga yang diungkapkan oleh Informan Ketiga:

“Itulah memang kita sebenarnya sudah maksimal, tapi orang yang mau diurusin banyak, pengungsi banyak titik pengungsian juga banyak, tenaga kesehatan kitapun sudahnya selalu kita siapkan di lokasi pengungsian,

Seharusnya adalah kesadaran pengungsi itu sendiri. Kader kita pun gak bisa kita andalkan saat ini. Mereka stress juga.”

Pendapat dari informan ketiga menunjukkan bahawa mereka sudah bekerja dengan maksimal namun karena penggungsi jumlahnya sangat banyak dan tersebar di beberapa lokasi titik pengungsian maka tentunya tidak semuanya dapat dipastikan telah melakukan PHBS dengan baik dan benar.

Rangkuman:

Kesimpulan dari wawancara adalah meskipun di setiap pos pengungsi sudah disiapkan posko kesehatan namun seharusnya ada muncul kesadaran dari pengungsi itu sendiri untuk melakukan PHBS tanpa harus dipantau karena semua itu berhubungan dengan kesehatan mereka sendiri. Selain itu kader juga turut mengungsi sehingga mereka juga sehingga tidak dapt diandalkan seperti dulu ketika tidak ada bencana.

Meskipun di setiap pos pengungsi sudah disiapkan posko kesehatan namun seharusnya ada muncul kesadaran dari pengungsi itu sendiri untuk melakukan PHBS tanpa harus dipantau karena semua itu berhubungan dengan kesehatan mereka sendiri. Selain itu kader juga turut mengungsi sehingga mereka juga sehingga tidak dapt diandalkan seperti dulu ketika tidak ada bencana.

4.8Tahap Output PHBS

Tujuan dari pelaksanaan PHBS tidak tercapai karena masih tinggi angka kesakitan dan terjadi KLB campak. Berikut pendapat informan:

“Memang, gak bisa lah, kan pengungsi banyak, Kita di sini banyak juga yang harus diperhatikan. Memang ada KLB, tapi segera kita tangani” (Informan Pertama).

Berdasarkan wawancara menunjukkan bahwa tidak semua pengungsi dapat dipastikan melaksanakan PHBS yang dapat dilihat berdasarkan laporan harian dan dianalisis dengan meminta laporan angka kesakitan setiap hari dari pos kesehatan, diperolah data yaitu: ada 143.446 kunjungan (Data Media Center) didapatkan 6 (enam) penyakit yang dominan ada di pengungsian yaitu ISPA yang merupakan jenis penyakit yang tertinggi sebanyak 88.986 orang, gastritis sebanyak 25.607 orang, diare 5.315 orang, hipertensi 4.409 orang, dan conjunctivitis 3.834 orang dan penyakit lainnya yang tidak tercakup dalam keenam penyakit tersebut sebanyak 13.785 orang

Menurut Informan pertama, mereka memang tidak bisa mencapai sasaran dari output karena jumlah pengungsi yang cukup banyak. Selain itu terjadi KLB campak, namun Dinas Kesehatan Kabuppaten karo sudah berusaha untuk menanganinya.

Hal yang sama juga ditunjukkan oleh pendapat dari Informan Ketiga berikut: “Iya memang tidak bisa kita kita capai ya, masyarakat juga memang kurang memiliki PHBS yang bagus. Lebih baik ladangnya bersih dari pada rumahnya. Nanti, buang sampah juga sembarangan. Coba lihat menjaga tempat tingggalnya di pengungsian juga gak bisa, fasilitas yang ada gak dirawat dengan baik..” (Informan Ketiga)

Menurut Informan Ketiga, tidak tercapainya output PHBS sesuai dengan yang diharapkan karena prilaku PHBS pengungsi pada dasarnya juga kurang baik. Pengungsi adalah mayoritas petani sehingga lebih banyak menghabiskan waktu di lokasi pengungsian. Selain itu masih kurang kesadaran pengungsi untuk menjaga

kebersihan tempat mereka tidur dipengungsian dan fasilitas yang ada juga kurang dirawat dengan baik.

Rangkuman:

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa kegiatan promosi kesehatan masih belum tercapai karena ditemukannya KLB dan angka kesakitan yang masih tinggi. Selain itu perilaku masyarakat belum menunjukkan PHBS. Tujuan promosi kesehatan yaitu untuk menigkatkan kesehatan, dan mencegah terjadinya penyakit.

BAB 5 PEMBAHASAN

5.2Komponen Input 5.2.1 Kebijakan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kabupaten Karo belum memiliki kebijakan tersendiri tentang promosi kesehatan pada masa tanggap darurat khususnya mengenai PHBS. Menurut Kepala Seksi Promosi Kesehatan, kegiatan PHBS yang dilakukan sesuai dengan kebijakan rutin seperti halnya tidak terjadi bencana seperti membagi poster tentang PHBS ke Puskesmas, menerima laporan Rumah Tangga yang ber-PHBS, dan melakukan , dan lebih mengandalkan peran petugas kesehatan yang ada di puskesmas.

Dinas Kesehatan menjelaskan bahwa PHBS sudah menjadi program penting dan ditunjukkan dengan pelaksanaan kegiatan lomba desa yang penilaiannya didasarkan pada PHBS. Sayangnya, pelaksanaan desa dengan Rumah Tangga yang ber-PHBS tidak melibatkan program desa siaga sehingga pengungsi tidak terlibat secara aktif dengan inisiatif untuk mempertahankan status kesehatannya dengan PHBS meskipun sedang dalam pengungsian. Padahal, jika program desa siaga pada daerah rawan bencana dijalankan, maka masyarakat akan mengerti apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan status kesehatannya secara mandiri ketika terjadi bencana dan menjadi pengungsi.

Namun Kementrian Kesehatan bekerjasama dengan UNICEF sebenarnya telah mengeluarkan buku pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam masa kedaruratan bencana. Buku pedoman tersebut berisikan pedoman dalam langkah- langkah yang harus dipatuhi ketika terjadi bencana. Namun, buku tersebut belum tersosialisasikan secara keseluruhan kepada petugas Puskesmas, pengungsi maupun relawan.

Banyak petugas kesehatan, relawan dan pengungsi yang belum memahami tentang langkah-langkah PHBS yang semestinya. Sedangkan untuk terlaksananya perubahan perilaku masyarakat di bidang kesehatan, pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Karo memerlukan dukungan kebijakan dari pememerintah daerah berkaitan dengan penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam kehidupan masyarakat Kabupaten sehari-hari seperti pemberian ASI eksklusif, penimbangan balita, memberantas jentik, tidak merokok dalam rumah.

Pemerintah Kabupaten Karo sebenarnya sudah mempunyai potensi yang kuat untuk menerbitkan kebijakan tentang Pembudayaan Hidup Bersih dan Sehat karena dalam visi Dinas Kesehatan adalah Kesehatan Kabupaten Karo Tahun 2011-2015 adalah “Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat seoptimal mungkin melalui upaya pelayanan kesehatan yang bermutu, merata, terjangkau dan berkesinambungan serta didukung prilaku hidup bersih dan sehat untuk menuju Indonesia sehat 2015”.

Hal itu tentu menujukkan keinginan Pemerintahan Kabupaten Karo ingin warganya hidup bersih dan sehat. Untuk itu dalam menciptakan perubahan perilaku supaya diterapkan lebih maksimal oleh petugas kesehatan dan dinas terkait, maka

perlu pendekatan advokasi kepada pemerintah daerah dan DPR agar program Promkes dalam penerapan PHBS ini dapat didukung oleh pemerintah Kabupaten Karo dalam mengeluarkan suatu kebijakan pemerintah daerah yang menyangkut PHBS. Dimana PHBS menjadi prioritas utama dalam promosi kesehatan yang perlu didukung dengan dana dan tenaga yang terampil/ profesional.

Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang seharusnya diterapkan oleh masing-masing daerah di seluruh Indonesia untuk meningkatkan Prilaku Hidup Bersih dan Sehat, yaitu:

1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 1357 / Menkes /Sk / XII / 2001 tentang Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana Dan Penanganan Pengungsi khususnya tentang promosi kesehatan yang menekankan bahwa dukungan kebijakan adalah promosi kesehatan yang ditujukan kepada sasaran tertier (pengambil keputusan) sehingga memperoleh dukungan kebijakan atau sumber daya dalam rangka mengatasi permasalahan yang ada setiap bulan sekali.

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif yang menekankan pentingnya Ibu mempertahankan pemberian ASI Eksklusif meskipun dalam situasi kedaruaratan dan pemerintah wajib mendukung dan memfasilitasinya.yang tertuang dalam pasal Pasal 39 yaitu Pembinaan dan pengawasan terhadap

pelaksanaan program pemberian ASI Eksklusif dilaksanakan pada situasi normal dan situasi bencana atau darurat.

3. Buku Pedoman Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dalam Kedaruratan yang diterbitkan oleh Kementrian Kesehatan RI bekerjasama dengan UNICEF berisi tentang panduan berPHBS untuk pengungsi, petugas kesehatan dan relawan.

4. Pedoman Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana yang dikeluarkan oleh Pusat Penanggulangan Krisis.

5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 564/ Menkes/SK/VIII/2006. Pembentukan Desa Siaga bertujuan untuk meningkatkan peran serta

Dokumen terkait